✿ 00.23 ✿

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cinta tidak pernah salah!!!

•••••

"Ya aku tahu, dia hanya disuruh ayah untuk jagain aku sebenarnya kalau lagi di luar rumah. Sebenarnya dia hanya mengerjakan tugasnya."

"Nggak ada tugas-tugas seperti itu sampai mencampuri urusan pribadi orang lain, sayang."

"Jadi harus gimana?"

"Cowok itu cuma penghalang hubungan kita. Dia iri, dia cemburu, dia nggak mau kita bersatu lagi, Sani. Kamu ngerti, 'kan?"

"Apa aku harus buat dia mengerti, begitu?"

"Iya." Insani bergeming, tak bersuara. "Ya sudah, aku matiin, ya, sayang, selamat malam, selamat terlelap cintaku."

"Iya, kamu juga, ya."

Insani meletakkan handphone di atas meja. Berlahan berbaring di kasurnya sambil memikirkan semua kata-kata Azim apakah dia harus menyingkirkan Rakha dari hubungan ia dan Azim.

Besok aku akan bicara kepada Rakha. Dia harus mengerti cinta tidak bisa dipaksa.

*****

Kantor seperti biasa sibuk. Orang-orang lalu-lalang mondar-mandir, ada yang membawa berkas, ada yang sedang terima telepon, dan sebagainya. Pagi itu sudah pukul delapan lewat lima menit. Rakha tidak biasanya datang seperti ini. Matanya masih agak bengkak, mungkin kurang tidur tadi malam. Pekerjaannya terbagi karena adanya jurnalis rekrutannya. Baru saja ia melangkah hendak ke ruangan percetakan dengan sedikit memekik Hera mengentikan langkahnya.

"Pak Rakha," sapanya, "tunggu." Ia setengah berlari menghampiri Rakha.

"Ada apa?"

"Selamat pagi, Pak."

"Cuma ngucapin itu? Ok, selamat pagi juga," jawabnya sedikit tersenyum.

"Bukan, Pak, Bu Insani titip kata kalau Bapak sudah datang disuruh menghadap Ibu di ruangannya."

"O-oh, tunggu, ya, mau buat teh susu dulu."

Hera mengangguk. Tak berapa lama Rakha kembali dengan segelas teh susu hangat di tangan kirinya. Ia berjalan menuju ruangan Insani dan masuk ke dalam.

"Ada apa manggil aku?" tanyanya sambil beringsut. Ia lalu meneguk minuman favoritnya itu.

"Rakha," sapanya dengan tatapan sinisme, "memang benar kamu ditugaskan ayah untuk menjaga aku di luar rumah, tapi semalam itu kelewatan. Aku bukan anak kecil, ya, aku punya urusan pribadi sendiri."

"Urusan apa? Bercinta sama cowok itu?" tanya Rakha meninggi.

"Tidak ada yang salah dengan cinta, kau tahu?"

"Tidak memang, tapi kalian yang membuat cinta itu menjadi salah. Kalian yang salah."

"Sudahlah, Rakha, aku tidak ingin berdebat. Belakangan ini kita terlalu sering berdebat, bertengkar. Pokoknya mulai sekarang kamu tidak perlu lagi jagain aku di dalam ataupun di luar rumah. Aku harap kamu ngerti."

"Tidak bisa," sergah Rakha.

"Apanya tidak bisa?"

"Yang nyuruh aku Pak Hanafi bukan kamu, jadi aku hanya akan dengarkan perintah ayahmu."

"Jangan sampai aku keluarkan surat perhentian kerja untukmu, Rakha."

"Apa? Heh, karena pria itu kamu sampai mau mengeluarkan aku dari kantor ini. Kamu sudah dibutakan karena cintamu, Sani."

"Aku tidak buta, yang kulakukan hanya karena ingin bersama cintaku kembali."

"Dia sudah menikah dan kamu tahu itu."

"Apa salahnya?"

"Apa salahnya?" eja Rakha, "Kau—"

"Apanya yang salah?" tanya Hanafi muncul tiba-tiba.

"Pak Hanafi," sapa Rakha terhenyak, "Selamat pagi, Pak."

"Ayah? Ayah masuk kantor? Kok nggak bilang sama Insani?" Insani mendekati ayahnya. Ia mengisyaratkan agar Rakha tidak memberitahu apapun mengenai pertingkaian mereka.

"Kalian kenapa?"

"Tidak ada, Pak, hanya bahas masalah kerjaan," sangkal Rakha. "Kalau begitu saya pamit undur diri, ya, Pak, Insani. Saya harus kembali bekerja. Permisi," undur Rakha keluar setelah meraih gelas minumnya.

"Ayah ngapain masuk kantor? Ingat kesehatan ayah."

"Ayah bukan lumpuh sampai nggak bisa masuk kantor. Ayah hanya ingin memeriksa semuanya hari ini."

"Ayah kalau lelah pulanglah, Insani bisa mengurus perusahaan. Aku hanya tak ingin ayah kenapa-kenapa. Ayah tidak boleh capek."

"Ya sudah kalau gitu ayah ke kantin saja, sudah lama tidak mengota sama Ulung Abduh. Oh ya, ayah mau nanya benar kah Azim sudah pulang ke Indonesia?"

"I-iya, Yah, sudah," jawabnya gugup.

"Ayah nggak mau lagi kamu berurusan dengan Azim, Sani. Ngerti kamu? Dia sudah kurang ajar pergi tanpa ngasih kabar ke kamu. Dia lupa saat di sana, tiba di sini jangan sampai dia kembali ngedeketin kamu lagi."

"Baik, Yah," imbuhnya parau.

Insani melihat punggung ayahnya sampai hilang di balik pintu. Ia kemudian mengirim pesan untuk Rakha.

Temui aku malam ini di taman kota dekat Puswil. Kamu harus mengerti klu aku ngk ngin kamu ikut campur lg urusan pribadi terutama urusanku dgn Azim.

*****

Angin malam dingin menusuk kulit sampai ke tulang. Insani sudah sepuluh menit yang lalu berada di taman kota dengan lampu jalanan yang menyumbang cahaya redup. Berlalu-lalang kendaraan di jalanan membuat suasana ramai. Rakha datang belakangan. Ia menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya mendekati Insani. Benar katanya yang tadi pagi kalau belakang ini mereka lebih sering saling marah, bertengkar, dan memperdebatkan masalah yang itu-itu saja.

Rakha semakin dekat. Tiba-tiba hujan turun. Baru saja Rakha ingin menyapa Insani, wanita itu justru langsung berdiri karena menyadari hujan mulai turun. Mereka saling bertabrakan. Insani hampir saja tersungkur.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Rakha saat ia menahan kedua lengan Insani. Insani melepas paksa cengkraman Rakha.

"Ayo, ke sana," tunjuk Rakha ke arah kedai kecil di pinggir jalan. Insani mengikuti Rakha dari belakang dan mereka menyebrang jalan terlebih dahulu. Rakha mengibas-ngibasi kemejanya yang semakin berwarna gelap karena siraman air hujan. Sementara rambut Insani kebas ditimpa hujan.

"Apa kamu kedinginan?" tanya Rakha. Mereka berlindung di kedai kecil yang menjadi tempat beberapa orang untuk berteduh, bersinggah sambil menunggu hujan reda.

"Nggak," jawabnya ketus, "Langsung aja ya, Tuan Rakha. Aku cuma mau bilang jangan ikut campur urusan pribadiku lagi."

"Hujan-hujan begini kamu masih bahas itu?"

"Aku nyuruh kamu nemuin aku di sini karena mau bahas itu. Kamu pikir apa?"

"Tahan dulu, Sani, di sini bukan kita aja. Di sini ramai," bisiknya mendekatkan wajahnya ke wajah Insani.

Insani menolaknya seraya berkata, "Jangan mengalihkan pembicaraan. Aku tidak ingin berurusan lagi denganmu lebih dari pekerjaan, paham? Mulai dari sekarang, sekali lagi saja kamu urusin urusan pribadi aku apalagi sampai ikut campur masalah aku dan Azim, aku akan pulangkan kamu ke kantor asalmu."

Insani berbalik. Ia menebus hujan menuju mobilnya yang terparkir di trotoar jalan. Rakha mengejarnya. Ia mencengkram erat lengan Insani. Insani menghempaskan tubuhnya setelah menarik paksa lengan yang digenggam oleh Rakha.

"Aku tidak salah, Sani. Kamu harusnya yang sadar. Kamu benar, kita belakang lebih sering debat. Kamu tahu sejak apa?" imbuhnya di tengah derasnya hujan. Ia mengeraskan suara karena bercampur rintih hujan. Sesekali ia menyeka wajah yang dibasuh air hujan. Insani bergeming. Rakha melanjutkan kata-katanya, "Sejak kepulangan pria itu, Azim," pekiknya memberi tekanan saat menyebut nama Azim.

"Dia itu masih pacarku bahkan sampai detik ini. Itu yang perlu kamu ingat."

"Dia sudah menikah. Itu juga perlu kamu ingat," balasnya tak kalah tegas dari Insani. Insani membuang wajah seolah tak menerima kenyataan itu. Ia berdengus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro