Maafkan Ajeng, Bu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada raut kesedihan pada wanita yang telah melahirkanku. Raut yang tak ingin kulihat dari beliau. Raut yang tak ingin kulihat untuk yang kesekian. Terakhir, aku melihat raut itu saat merelakan aku untuk tinggal bersama Mas Muklas. Kini, raut itu kembali kulihat untuk merelahakan aku mencari uang di ibukota.

"Sing ati-ati kowe neng kono, Nduk. Sering-sering telepon. Lita mesti luruh kowe." Ibu mengingatkan dengan nada datar, tapi mengandung kesedihan.

Aku cukup paham dengan cara bicara beliau dari aku kecil. Kuraih tangan ibu, lalu meletakkan ponsel di tangannya. "Ibu pegang hape ini. Ajeng akan telepon ke sini kalau senggang. Untuk sementara Ajeng nggak pegang hape. Nanti Ajeng bisa usahakan pinjam hape bos buat telepon Ibu. Ajeng titip Lita, Bu. Doain Ajeng, semoga Ajeng dapat bos baik. Semoga kita cepat kumpulin uang buat bayar hutang sama bayar SPP Agus dan Gusti," ucapku tenang. Jangan sampai menangis agar Ibu tetap percaya.

Air mata pun keluar dari mata wanita kesayanganku. Jujur, ingin sekali aku menangis, tapi kutahan agar suasana tidak pecah. Aku membalikkan tubuh, mengusap mata yang panas dan akan mengeluarkan air mata. Kaki kugerakkan untuk menemui Gusti yang sedang di kamar.

"Gus, Mbak pamit," kataku pada Gusti yang sedang mengerjakan PR sekolah.

Gusti mengalihkan perhatiannya. "Iya, Mbak." Dia mengangguk.

"Mbak titip Lita. Kamu belajar yang rajin. Nanti pas gajian, Mbak langsung kirim ke Ibu buat bayar SPP kamu dan Agus. Ingatin Mas kamu juga jangan sering main dan pulang malam-malam. Kasihan Ibu." Aku mengingatkan.

Dia kembali mengangguk. Aku mengulurkan tangan. Gusti meraih tanganku dan mencium punggung tanganku.

Aku berlalu dari kamar Gusti dan Agus. Dua adik yang berbeda. Agus yang tak pernah betah di rumah sejak SMA. Gusti yang pendiam dan tak banyak bergaul dengan teman-teman. Walaupun terkadang mengesalkan, tapi dia yang lebih penurut dan pintar di sekolah.

Langkah kuayun menuju kamarku. Aku tak masuk, hanya membuka pintu sedikit, menatap putriku yang tertidur lelap. Aku harus kuat. Ada Ibu yang akan menjaga Lita selama aku kerja di Jakarta. Aku bisa menghubunginya kapan saja.

Perhatianku teralih ketika mendengar suara alas kaki. Aku menutup pintu kamar perlahan karena Lastri sudah tiba.

"Travelnya sudah nunggu," katanya padaku.

Kepala kuanggukkan. Pandangan kulempar ke arah Ibu. Beliau terlihat tenang, tapi masih tersirat raut sedih. Aku menghampiri beliau, meraih tangannya, lalu mencium punggung tangan beliau.

"Ajeng minta doanya, Bu," kataku setelah selesai menciyn tangan beliau.

Ibu hanya menganggukkan kepala. Aku pun melangkah meninggalkan beliau. Berat. Berusaha kuat agar tidak sedih. Lastri membantuku membawa tas berisi pakaian milikku. Kulihat, mobil warna hitam berhenti di depan gang setelah aku keluar dari rumah. Sejenak, aku menoleh ke arah rumah. Ibu dan Gusti berdiri di depan pintu. Aku menguatkan diri untuk tersenyum. Kulambaikan tangan pada mereka.

Pandangan kualihkan pada sekitar. Ada beberapa tetangga yang menyaksikan aku yang akan naik ke dalam mobil. Entahlah. Aku sudah tak lagi memikirkan gosip warga kampung ini. Sudah cukup bosan dengan celoteh mereka yang asal. Tak masalah bagiku jika mereka menjelekkan aku asal tak lagi kudengar tentang aku dan Pak Badrun. Kepergianku menegaskan jika menolak keras permintaan Pak Badrun untuk menikahiku.

Aku sudah masuk ke dalam mobil. Di dalam sini sudah ada dua wanita muda yang akan bekerja seperti apa yang akan aku kerjakan.

"Las, aku titip titip keluargaku sama kamu. Kalau ada apa-apa cepat kabari aku," kataku pada Lastri.

"Iya. Nanti kamu telepon aku saja kalau sudah sampai di sana," balasnya.

Kepala kuanggukkan.

Setelah semuanya siap, sopir pun melajukan mobil ini meninggalkan kampung halamanku. Pandangan kualihkan pada luar kaca. Warga kampung menatap mobil ini dengan tatapan penasaran. Biarlah mereka tidak tahu jika aku akan bekerja karena aku memang tak mengatakan hal apa pun pada orang lain. Hanya keluargaku dan Lastri saja yang tahu. Entah Ibu menceritakan hal ini pada orang lain atau tidak. Yang penting aku pergi untuk melakukan hal baik.

Pandangan kualihkan pada dua gadis di belakang. Dari wajah, aku menebak umur mereka masih berkisar dua puluh tahunan. Masih belia dan cantik.

"Kalian dikirim ning Jakarta ngendi?" tanyaku membuka suara pada mereka.

"Aku ning Jakarta Timur, Mbak." Gadis berjaket biru membalas.

"Kamu." Aku menatap gadis satunya yang mengenakan kaus hitam.

"Jakarta Selatan," balasnya cuek.

"Semoga kalian betah dan dapat bos yang baik." Aku mendoakan.

Gadis berjaket biru mengangguk disertai senyum ramah. Aku kembali fokus pada jalanan. Rasa tak sabar menggelanyuti, ingin segera sampai di tempat tujuan dan mulai bekerja. Ada banyak harapan dari pekerjaan ini. Berharap semuanya akan baik-baik saja ke depannya.

Bu, maafin Ajeng. Ajeng jadi membebankan Lita pada Ibu. Ajeng janji akan sering menghubungi kalian jika sudah punya hape atau pinjam sama majikan Ajeng. Ajeng harap, Ibu ridho, karena ridho Ibu yang akan bikin lancar setiap usaha Ajeng. Ajeng akan membuktikan pada Mas Muklas dan siapapun orang yang sudah mengejek kita bahwa kita tak sehina yang mereka bayangkan. Ajeng janji akan membuat kalian bahagia.

Aku menatap keluar kaca karena mobil ini berhenti di halaman rumah seseorang. Sudah dipastikan berhentinya mobil ini di halaman rumah orang untuk menjemput penumpang lainnya. Bagiku sudah tak asing.

Lebih baik aku tidur agar tidak jenuh di perjalanan sekaligus melepas lelah karena seharian bantu Ibu jualan dan mengajak Lita jalan-jalan.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro