💕 2. Semanis Madu💕

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sudah baca Peony? 
Kalau belum baca dulu yuk, baru puaskan dengan membaca Menur.

Sengaja Menur dibuat untuk memuaskan diri sendiri yang kadang susah move on dari pasangan dokter ini.

Jangan lupa vote n komen ya, gaes, agar bisa saling membahagiakan. Kalian dapat bacaan gretong, aku happy dapat komen kalian.

Happy reading. 🤓

❤Yu Lian - Dewi Andayu❤

Agustus 1945

Masa perburuan sudah berlalu. Yu Lian dan Dewi Andayu sudah berkumpul lagi bersama Baba Jie dan Dewandaru di rumah mereka di Bendan. Rumah Bendan kini sudah kembali 'hidup' daripada saat ditinggalkan. 

Kepulan asap dari tungku kayu yang berasal dari pawon menandai bahwa di rumah itu kehidupan telah menggeliat kembali setelah sekian lama mati suri. Dan, kini Dayu merasa sangat bahagia karena dirinya bisa berkumpul dengan orang-orang yang dicintainya—Lian, Dewandaru, dan Baba Ji Shen. Jangan lupakan jabang bayi yang kini bersemayam dengan nyenyak di rahim Dayu, yang membuat kebahagiaan itu terasa penuh.

Sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Lian, sejak memutuskan mengambil Dayu sebagai istrinya untuk melindungi wanita itu. Lian paling pandai membuat wajah Dayu berbinar dalam kesesakan. Apalagi sejak kehamilan istrinya, Lian bertekad akan semakin melindungi istri dan jabang bayinya.

Atmosfir euforia kemerdekaan bangsa Indonesia masih terasa menguar di udara. Suasana riuh terdengar dengan pekikan 'merdeka' saat para penduduk berpapasan. Sapaan baru itu benar-benar membakar semangat para penduduk desa yang sudah lelah dijajah selama 3,5 abad lamanya. 

Kedatangan Dayu dan Lian pulang ke kampung halamannya, disambut kegembiraan tersendiri bagi penduduk desa yang ikut prihatin dengan kelurga Raden Wedana. Tak henti-hentinya, rumah joglo itu kedatangan tamu, yang kata orang jawa 'ngaruhke' atau mencari tahu keadaan putra dan putri penguasa wilayah kawedanan Banyudono, yang sudah lepas dari perburuan. Saking banyaknya tamu, Lian cemas istrinya akan terlalu kelelahan. Lelaki itu akhirnya harus sedikit memaksa supaya Dayu segera beristirahat karena waktu sudah menunjukkan pukul 21.00.

"Ayo, Dayu istirahat dulu!" bisik Lian pada Dayu yang masih duduk bersimpuh di pendopo.

"Tidak enak meninggalkan tamu, Ko." Dayu memberi alasan. 

Lian menggigit bibirnya. Mata sipitnya memincing melihat para pemuda dan beberapa tetua desa masih duduk-duduk di pendapa. Beberapa dari mereka duduk dengan rokok linthing yang menyembulkan asap yang memenuhi ruangan.

Lian berdeham keras, membuat yang ada di situ melihat ke arahnya. "Bapak-bapak dan para pemuda desa, terima kasih karena sudah memberi perhatian pada istri saya. Istri saya sedang hamil, dan dia harus istirahat lebih cepat. Oh, ya, karena istri saya hamil, sebaiknya bila kesini, Bapak dan Mas ampun merokok." 

Dayu membelalak, tak percaya pada pidato singkat Lian. 

Baiklah, merokok memang merugikan kesehatan. Dayu tahu itu. Tapi, dia—sebagai penduduk asli di desa itu—bahkan tak berani memberikan larangan. Belum sembuh Dayu dari keterkejutannya, suaminya sudah menariknya seperti anak kecil yang kesorean bermain. 

Yang ada di situ tersenyum-senyum. Sebagian terdengar kasak kusuk berkata, "Pantas, bukan orang Jawa, jadi kalau bicara blak-blakan." 

Lian tak peduli apa kata orang. Yang ada dalam pikirannya adalah kesehatan Dayu dan anak dalam kandungan istrinya.

Dayu mau tidak mau pamit dari pendapa dengan muka yang memerah seperti anak gadis yang diseret pulang oleh ayahnya. Dalam perjalanan menuju kamar, berkali-kali Dayu mencubit Lian karena memperlakukannya seperti anak kecil. 

"Koko, bikin malu! Aku ini istrimu, bukan anak gadismu!" gerutu Dayu. 

Lian meringis menerima cubitan Dayu di lengannya. "Iya, karena aku harus melindungi dua nyawa, istri dan anakku, Dayu. Aku tidak ingin kamu terlalu lelah." Pernyataan itu untuk kesekian kali diucapkan Lian.

Akhirnya Dayu pun naik ke ranjang setelah membasuh kaki, muka dan menyikat gigi. Mereka sekarang duduk bersandar di dipan berkelambu dengan bantal untuk melindungi punggung Lian dari kerasnya kayu jati.

"Ko, ceritakan lagi pertemuan pertama kita dari sudut pandang Yu Lian?" Dayu paling senang menagih cerita pertemuan mereka. 

"Lagi?" Satu alis kiri Lian terangkat, dan Dayu menjawab dengan anggukan kecil. Sebenarnya cerita ini sudah sangat sering diceritakan oleh Lian. Seperti malam ini, Lian mengulang kisahnya bak dongeng pengantar tidur untuk Dayu.

❤❤❤

Saat itu, siang di bulan Maret tahun 1945 yang panas di musim pancaroba. Lian sudah duduk berjajar bersama orang-orang dengan senyum semringah yang menghiasi wajah mereka. Lelaki itu hanya bisa duduk diam, sementara banyak orang seolah melihatnya dengan pandangan aneh layaknya Lian adalah makhluk langka yang layak dilestarikan.

Lian duduk menyilangkan kaki di atas paha kiri. Siku lengan kanannya menumpu pada tangan yang terlipat di dada, sementara jemarinya memainkan bibir merah. Dalam hati, dia sedikit penasaran, bagaimana rupa gadis yang akan diperistrinya.

Hah, kenapa aku rela jauh-jauh pergi ke sini menjemput gadis itu? Padahal aku tahu Daru adalah pemberontak. Aaarrgghhh, harusnya kau menolaknya, Lian!

Tak dimungkiri, memperistri gadis yang menjadi adik dari Dewandaru membuat Lian yakin hidupnya tidak bisa tenang. Menyembunyikan pemberontak dan keluarganya yang akan dijadikan sandera bisa mendapat hukuman yang setara dengan pemberontak itu sendiri.

Melakukan kebaikan pada orang yang membutuhkan sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging di Keluarga Yu termasuk dirinya dan Baba Ji. Saat itu, Lian merasa Daru sudah sangat putus asa dan mau tak mau Lian sudi membantu saat sahabatnya membutuhkan pertolongan keluarga beretnis Tionghoa itu.

Lian menghela napas panjang. Baju formal yang dikenakannya membuatnya sedikit sesak. Hawa yang terasa panas di aula, mulai menyiksa Lian. Kakinya bergoyang tak sabar ingin segera berlalu dari acara pelantikan dokter itu.

Tak lama riuh terdengar. Mahasiswa yang tak banyak jumlahnya mulai memasuki ruangan satu persatu. Jumlahnya hanya 20 orang, dan hanya ada dua mahasiswi yang ikut dilantik menjadi dokter.

Lian teringat ciri-ciri calon istrinya yang diberikan oleh Daru. 

"Anaknya tidak tinggi. Kulitnya coklat sawo matang, dengan senyuman yang manis. Kamu akan langsung bisa mengenalinya, karena mahasiswi di sana hanya Dayu dan salah seorang temannya, yang bernama Melati."

Ya, benar. Ada dua gadis berkebaya. Yang satu kulitnya kuning langsat, yang satu coklat madu. Mata Lian masih mengamati gadis yang baru saja masuk. Si gadis kuning langsat langsung duduk di bangku yang disediakan, sedang gadis yang satu dengan menebar senyum di wajah, menggulirkan pandang ke seluruh penjuru aula, sampai akhirnya raut kecewa tampak di wajah itu.

Itu dia, Dewi Andayu.

Entah kenapa, saat membatin nama gadis itu, jantung Lian berdetak kencang. Bola matanya masih mengarahkan pandang, mengamati setiap gerak gerik Dayu.

Saat seorang teman mahasiswa menyapa Dayu, gadis itu tersenyum dan tertawa.

Ya Tuhan, manis sekali senyumnya. Betul kata Daru.

Sebuah sensasi hangat mengalir di batin Lian kala memandang senyuman Dayu yang terpancar di wajah bulat telur itu. Senyuman yang hanya bisa dimaknai dengan kata 'manis' itu membuat tenggorokan Lian terasa kering. Lian menyapu lidahnya di bibir. Ya, senyum itu semanis madu. Hatinya yang patah perlahan-lahan kembali menyatu dengan lengketnya senyuman semanis madu. Senyuman itu telah mengukir cinta di hati Lian tanpa disadari.

Lensa mata Lian masih mengatur akomodasi, memperjelas agar objek ayu yang duduk di barisan depan para wisudawan-wisudawati dapat tertangkap dengan jelas. Lian mengusap-usap dagu licinnya, menjadi pengamat yang baik semua tingkah dan polah sang calon istri.

Entah apa yang merasuki Lian, ketika nama Dewi Andayu dipanggil. Gemuruh bahagia ikut dirasakannya. Seolah sukma Romo dan Sibu Dayu merasuk di tubuhnya, meminjam raganya untuk mengamati detik-detik putri mereka memperoleh gelar menjadi dokter.

Mata Lian masih mengikuti gerakan Dayu. Saat sesi foto bersama, dada Lian terasa sakit, ketika melihat senyum Dayu yang memperlihatkan gigi putihnya. Lian yakin kedatangannya yang membawa kabar buruk di hari bahagia itu akan menghapus senyuman itu. 

Namun, tetap saja Lian harus menyampaikan berita itu walau mengikis kebahagiaan Dayu. Oleh karena itu, Lian pun segera bangkit saat Dayu sudah menyelesaikan sesi foto bersama. Lelaki itu tahu, Dayu yang melongokkan kepala ke segala arah sedang mencari Romo dan Daru, dua lelaki yang berarti dalam hidupnya.

"Dayu ...." Suara berat  Lian terdengar memanggil gadis berkebaya kutu baru berwarna merah.

Gadis itu menoleh. Jantung Lian semakin tertabuh dengan sangat kencang. Semakin di dekati, gadis itu ternyata tampak semakin manis. 

"Saya??" tanya Dayu meyakinkan bahwa Lian benar memanggilnya.

Lidah Lian seolah terkunci dan tenggorokannya tercekat. Ia hanya mengangguk dan mengambil secarik kertas dari kantung celananya. Sebenarnya Lian tidak ingin memberikan kabar buruk itu. Pria itu tidak ingin senyuman semanis madu itu lenyap dari wajah Dayu. Namun, kertas itu dengan berat hati tetap ia angsurkan di hadapan Dayu dengan tangan yang sedikit bergetar.

"Ini, ada surat dari Daru ...."

Dayu menerima surat itu dengan suka cita, tanpa berpikir apapun. Namun, seperti perkiraan Lian, ekspresi gadis itu lambat laun berubah. Senyuman itu pudar sedikit demi sedikit berganti dengan mata yang berkaca hingga bulir jernih mulai menetes di pipi, sampai akhirnya tubuh kecil itu tumbang.

Dengan sekali gerakan langkah lebar, lengan kokoh Lian menyambar tubuh melenting itu. Dalam jarak sejengkal dari pucuk hidung mancungnya, Lian dapat mengamati wajah itu.

Manis ....

Namun, wajah manis itu tak semanis ucapannya. Bibir penuh itu selalu melontarkan kata yang terdengar judes dan pedas begitu gadis itu siuman. Bukan rasa terima kasih karena sudah ditolong saat tak sadarkan diri, tetapi Dayu justru menangis terisak membuat Lian merasakan pilu karena teringat kesedihan dan traumanya saat istrinya diperkosa dan akhirnya menebas lehernya dengan katana karena merasa tak suci di hadapan sang suami.

Tuan Putri Dewi Andayu yang berasal dari kalangan bangsawan itu hidupnya terjun bebas, terombang-ambing nasib buruk yang membuat gadis itu harus menikahi anak sulung keluarga Yu. Dayu yang pada awal mulanya seperti mengidap sindroma tuan putri, mewarnai hari-hari Lian yang datar menjadi lebih dinamis dan penuh warna. Anak sulung keluarga Yu itu pun berjanji akan melindungi gadis yang sudah menjadi istrinya itu luar dan dalam.

❤❤❤

Dayu terkikik tiap kali Lian menceritakan hari pertama mereka bertemu. Dayu yang awalnya duduk di kasur bersandar di dada bidang Lian itu menegakkan tubuh.

Wanita itu menatap wajah Lian dalam temaram lampu dian dengan mata memicing. Dayu menarik hidung mancung Lian yang membuat lelaki itu memekik.

"Ih, ternyata ya, Yu Lian sudah terpesona dengan Dewi Andayu sejak awal bertemu. Gayanya saja seperti tidak tertarik! Sok berwajah datar!" Dayu terkikik dengan reaksi Lian yang kesakitan. 

Lian menarik tangan Dayu agar melepas batang hidungnya. Ia yakin kalau hidungnya sekarang sudah memerah karena tarikan keras Dayu.

"Ya, saat itu aku hanya sebatas terpesona, dan lama kelamaan mengenalmu, aku jadi jatuh cinta," ujar Lian sambil menggosok hidungnya yang terasa ngilu. "Kamu tahu Dayu, hidupku memang sedatar wajahku sebelum kamu hadir di dalam hidupku. Kamu yang menghiasi hariku menjadi penuh warna, membuat jantungku setiap hari berdetak tak keruan. Kamu ingat peristiwa kamu tersesat karena dikejar anjing?" Lian tertawa ngakak, memutar kembali ingatannya. Mengenang wajah Dayu yang memelas dan langsung memeluknya saat Lian menemukannya, membuat Lian paham, bahwa gadis itu bersandar padanya walau tak Dayu katakan. 

"Ih, jangan diingat-ingat. Itu memalukan sekali, Koko!" Dayu merengut. Peristiwa konyol itu ingin dia hapus karena membuatnya malu dan selalu menjadi bahan ledekan suaminya.

"Kamu lucu sekali, Dayu. Wajahmu ...," Lian masih tergelak, sambil menyeka air mata di pelupuk saking kencang tawanya. " ... konyol sekali!"

Dayu mencebik, mengerutkan kening, sambil mengambrukkan punggungnya bersandar pada bantal yang ditegakkan di sandaran tempat tidur. Wanita itu menyedekapkan lengannya di depan dada dengan mata yang masih menyipit menatap ke arah lenggak lenggok api lampu teplok di dalam semprong.

"Kesimpulannya, Koko hanya terpesona saja, dan hati Koko waktu memperistriku masih untuk Ke Yi Jie?" Bibir Dayu mencang-mencong karena tak menyangka nama istri pertama Lian terucap dari bibirnya sendiri.

Yu Lian kembali terkekeh. "Kamu cemburu, Dayu?"

"Hah, untuk apa cemburu dengan orang mati!! Koko aneh! Butuh waktu seribu tahun buat aku cemburu, Ko." Tapi ucapan Dayu berbanding terbalik dengan ekspresinya. Wajah Dayu merengut, dengan bibir yang maju beberapa senti ke depan. Lian pun tak kuasa untuk tidak menarik bibir penuh itu.

"Ahhhh, Keke!!" Suara teriakan Dayu tertahan, saat Lian menarik bibir atas dan bawahnya bersamaan dengan gemas.

Lian tertawa, karena suara sengau Dayu yang terdengar. Dayu menepis tangan Lian yang mulai melonggarkan tarikan di bibir Dayu.

"Dayu, sudah ada anak kita di rahimmu. Aku akan melindungi kalian berdua dengan segenap jiwa dan ragaku," ucap Lian.

"Aku tahu, Yu Lian akan menjaga Dewi Andayu dan jabang bayinya." Dayu mengelus lembut pipi Lian, dan mendaratkan kecupan di bibir merah Lian.

Ciuman itu tak sekedar kecupan kilat tetapi juga dengan lumatan yang membuat Lian kelabakan.

"Dayu, sabar. Jangan sekarang, kehamilanmu masih trimester satu," kata Lian di sela ciumannya.

"Harusnya Pak Dokter tahu, hormon ibu hamil sedang naik turun, bukan?" kata Dayu dengan nada menggoda.

"Jangan bilang kamu ngidam sesuatu yang aneh, Dayu." Lian mengernyitkan alisnya, dia tak ingin larut dalam ciuman itu.

Dayu menarik badannya, menatap Lian dengan mata yang terlihat memikat bagi lelaki itu seraya mengangkat satu alisnya. "Menurut, Koko?"

💕Dee_ane💕

Dewi Andayu yang selalu dilindungi dan disayangi Yi Lian Kai ...😍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro