💕4. Pengecut💕

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah mengisi keranjang anyaman dengan buah mangga muda dan ada beberapa yang matang, Dewi Andayu dan Yu Lian berpamitan untuk pulang.

Mereka kembali berjalan menyusuri jalan pedesaan. Matahari yang semakin tinggi membuat terik dan panas siang itu. Namun, Lian tetap enggan mengurai genggaman tangannya walau keringat membasahi telapak tangan.

"Dayu, kita istirahat dulu."

Lian menurunkan keranjang, mengibas kemejanya untuk membuat angin yang bisa menyejukkan kulit badannya. 

Sesekali Lian mengelap wajah dengan lengan kemeja, persis seperti anak kecil yang kelelahan bermain. Lian mengurai satu kancing kemeja teratas, membiarkan angin yang sedang berembus menerpa kulit.

"Ko, terima kasih sudah mencarikan aku mangga muda," kata Dayu sambil memandang pemuda yang berada di sisinya. 

Lian menoleh. Pancaran sinar mentari di wajahnya lagi-lagi membuat Dayu terperangah. Apalagi tetesan keringat yang mengucur dari pelipis ke tepi rahang, merambat ke leher perlahan menyusup ke dada suaminya membuat Lian terlihat ... jantan.

Dayu tersipu. Sejak awal pernikahannya, Lian selalu bisa membuatnya berdecak kagum atas talenta ragawi yang dianugerahkan Tuhan pada lelaki itu.

Lian mengambil sapu tangan dari kantung celana dan mengusap habis peluh di wajah. Dayu terkesiap, menyadari sapu tangan sutra bersulam bunga peony itu adalah sapu tangan yang dulu dibuat dan disulam dengan cinta Ke Yi Jie untuk Yu Lian.

Seketika sorot wajah Dayu berubah muram. Dayu menyadari, dari awal pertemuannya, ia hanya menerima cinta dan perhatian Lian. Belum pernah ia memberikan satu barang berharga untuk Lian. 

Dayu menggigit bibirnya berulang, menatap kosong gerakan Lian yang masih menyeka wajah.

Mengetahui perubahan mimik wajah istrinya, Lian mengerutkan alis. 

"Kamu kenapa, Dayu?" Lian melipat, dan memasukkan kembali sapu tangannya. Pria itu menatap Dayu, memperhatikan setiap detail wajah gadis Indonesia itu dengan cemas. "Kamu terasa panas? Ada yang tidak nyaman?"

Dayu menggeleng, sambil tersenyum. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya terpesona melihat suamiku."

Lian berdeham, berusaha menetralkan kepalanya yang semakin membesar. Dayu menyanjungnya? Pria itu bisa menghitung dengan jemari kedua tangan, saking jarangnya Dayu memuji.

"Kamu membuatku salah tingkah ketika mulutmu manis begini Dayu," ujar Lian yang sudah ingin terbang karena pujian Dayu.

"Iya, aku terpesona, karena suamiku masih menyimpan barang istri pertamanya!" Dayu mendengkus kencang seraya meninggalkan Lian yang melongo, menatap Dayu dengan bingung. Dirinya yang sempat terbang karena tersanjung tiba-tiba jatuh terhempas begitu saja.

"Barang istri pertama?" Lian mengernyitkan dahi, dan akhirnya paham maksud Dayu. Lian tersenyum miring, menyadari istrinya yang hamil kini lebih peka perasaannya.

Lian menjangkau tali keranjang, dan menentengnya lagi. Lelaki itu berjalan cepat menyusul Dayu. Dengan sigap, Lian meraih telapak tangan Dayu dan menggenggamnya.

"Dayu, itu hanya sapu tangan. Bukankah sayang kain sutra dibuang begitu saja?" tanya Lian. Dayu mengerling dari ekor matanya. Wajah Lian dari samping cukup membuat detak jantung Dayu tertabuh cepat.

"Iya, sayang sutra dibuang …," gumam Dayu membenarkan. "Tapi Ko, besok aku akan menyulamkan sapu tangan khusus untuk Koko, sehingga Koko tidak perlu lagi membawa barang itu kemana-mana."

"Dayu, Dayu ... sebegitu cemburunyakah kamu dengan Ke Yi Jie?" tanya Lian menelengkan wajahnya ke arah Dayu.

"Iya, karena Ke Yi Jie adalah wanita pertama untuk Yu Lian, istri pertama untuk anak sulung keluarga Yu. Sedang aku ... tetap saja aku hanya perempuan kedua di hidup Koko dan istri kedua bagi Koko."

Dayu berhenti melangkah. Kali ini wajahnya menunduk menyembunyikan rasa tak nyaman di hati. Sungguh, Dayu merutuki hormon kehamilan yang membuat dirinya lebih peka tak wajar. 

Yu Lian berbalik, meraih tubuh kecil Dayu dalam rengkuhan dada bidangnya. "Kenyataan itu yang tidak bisa aku hapus. Tapi ketahuilah, aku sangat mencintaimu."

***

Dayu memeluk suaminya. Tak peduli pandangan orang lain yang melihat mereka sambil tersenyum aneh. Dayu ingin menyesap aroma tubuh Lian yang menenangkan. 

Terkadang Dayu jengah dengan perhatian berlebih dari Lian. Di sisi lain, Dayu juga tidak ingin perhatian itu terenggut darinya.

Mereka melanjutkan perjalanan, menikmati terik sang surya sekaligus sesekali embusan angin yang bisa menyejukkan mereka.

"Ko, Koko tidak ingin kembali menjalani profesi sebagai seorang dokter?" tanya Dayu tiba-tiba dalam kebisuan mereka yang berselang beberapa saat.

"Dokter?" Lian mengerucutkan bibirnya. "Kupikir aku akan merawatmu lebih dahulu. Meyakinkan kamu sehat dan anak kita lahir selamat itu prioritasku. Lagipula aku harus membantu lagi ayah membuka toko lama di Pasar Gedhe."

"Aku ... ingin jadi bekerja menjadi dokter, Ko." 

Lian menoleh, memberi senyum manisnya.

"Kamu sudah menjadi dokter. Bersabarlah! Rawat dulu janin penerus keluarga Yu dalam rahimmu." 

Lian paham. Sangat paham, bahwa sejak lulus bersekolah di Ika Daigaku, Dayu belum sempat mengabdikan ilmunya. Tetapi membiarkan Dayu mengabdikan diri sebagai dokter dalam keadaan berbadan dua, membuat Lian tak tenang. 

***

Saat memasuki halaman rumah pada tengah hari itu, suasana rumah Bendan cukup ramai karena teman-teman seperjuangan Daru berkumpul, termasuk Panji.

"Lian Ge, mari bergabung bersama kami!" Teriakan Panji mengudara, yang dibalas kerlingan tajam Lian. Panji selalu mengolok Lian dengan menyebutnya 'Koko', 'Lian Ge', 'Xiao Kai' dengan gaya yang dimirip-miripkan dengan Dayu.

"Wah, pas makan siang! Ayo, Ko, bergabung! Aku minta Mbah Akik untuk mengupas mangga muda ini dan membuat sambalnya." 

Lian memandang Dayu yang sudah bergegas ke belakang, membuat ia tak punya pilihan lain selain bergabung dengan teman seperjuangan Daru setelah mencuci tangannya dari gentong pancuran di depan pendopo.

"Sini, Ko, duduk di sebelahku." Panji menepuk tikar anyaman di sebelahnya dengan gaya dimanis-maniskan yang membuat Lian kesal. Tawa beberapa orang seolah menyemangati Panji menggoda Lian.

"Panji, sekali kamu membuat wajah begitu, aku pastikan kamu akan bosan keluar masuk kamar kecil!" ancam Lian yang disambut gemuruh kekehan para lelaki yang ada di situ.

"Ih, Koko sungguh terlalu, sakit hati Panji!" Panji dengan gaya centil memukul-mukul lengan Lian.

"Pantas Dayu tak memilihmu, ternyata kamu tak jantan!" ucap Lian dengan wajah datar dan nada yang sama datarnya.

Panji melongo, menghentikan gerakannya. Lelaki itu ganti mencebik kesal, membuat Daru harus menengahi keduanya karena setiap kali bertemu mereka seperti anjing dan kucing.

"Kalian ini seperti anjing dan kucing, tapi tetap saja saling membantu." Daru teringat ketika Panji membawa Baba Jie pulang ke Bendan. Walau datang-datang menggerutu, merasa Yu Lian merepotkan tetapi Panji tetap memperlakukan ayah Lian dengan baik.

"Terpaksa. Lian merengek padaku supaya membawa ayahnya ke luar Soerabaja," ujar Panji dengan suara yang sudah normal.

"Panji, jangan kamu ganggu suamiku terus! Cari istri sana supaya ada yang kamu goda!" Dayu datang dari belakang dengan piring berisi mangga muda dan sambal rujak.

"Wanita mana yang mau dengan kami? Hidup kami tidak tentu, bergerilya dan lebih sering memeluk senjata," terang Panji.

"Bukankah Indonesia sudah merdeka? Untuk apa kalian memikul senjata lagi?" tanya Lian.

"Firasatku mengatakan tidak semudah itu Indonesia akan damai. Kita memang merdeka, tapi sepertinya banyak bangsa yang akan merongrong kemerdekaan kita," jawab Daru sambil menyuapkan nasi beserta ikan pepes dengan tangannya.

"Kita butuh tenaga muda! Apalagi kalian para dokter, jelas kami akan membutuhkan keikhlasan kalian membantu pergerakan kami bila—"

"Tidak!" sergah Lian membuat orang-orang yang ada di situ menatapnya tajam. "Aku pernah mengalaminya, menjadi seorang dokter gerilyawan! Tidak semudah itu! Dan jangan harap, kamu mengajak istriku karena tahu dia seorang dokter!"

"Ko!!" Mata besar Dayu semakin membulat tajam menatap Lian. Dia tak percaya suaminya berkata seperti itu di depan para pejuang pemberontakan pada saat Jepang masih berjaya.

"Aku serius, Dayu! Kamu hamil! Pikirkan kehamilanmu! Di rahimmu ada penerus keluarga Yu! Lagipula masih ada dokter atau tenaga kesehatan lain yang akan membantu pergerakan mereka!" Suara Lian meninggi.

"Tenanglah Xiao Kai! Kami tak akan memaksa kamu! Toh kamu bukan bagian dari bangsa kami." Panji menepuk punggung Yu Lian.

"Panji, selama suamiku di sini, dia adalah bagian dari bangsa ini. Apa yang terjadi dengan bangsa ini merupakan suatu hal yang harus kita hadapi bersama-sama. Tak peduli dari suku dan etnis mana dia berasal, bukan?" Dayu mendebat.

Darah nasionalisme Dayu yang ditempa selama belajar di Ika Daigaku atau awalnya STOVIA itu mendidih kala Panji membawa-bawa asal usul Lian. Belum selesai menutup mulut, Dayu dikejutkan Lian yang beranjak meninggalkan mereka dengan wajah masam. Dayu semakin terperangah dan memandang berkeliling semua orang yang ada di situ.

"Panji, Lian benar. Dia harus memperhatikan kesehatan Dayu. Dan dia juga pasti berpikir tentang keselamatan Dayu juga." Daru berusaha menelisik jalan pikiran Lian. "Dayu, sana susul suamimu. Mungkin ada benarnya, tidak hanya ibu hamil saja yang mudah tersinggung, suami yang istrinya hamil pun juga akan lebih peka perasaannya."

"Aku tahu." Dayu bergumam lirih, tetapi tetap bangkit untuk menyusul suaminya. Dengan langkah kecil-kecil Dayu mencari Lian ke belakang rumah, di tempat kesukaannya—gazebo di bawah pohon waru yang sejuk.

Dugaan Dayu benar, Lian sudah berbaring dengan kaki yang masih tertekuk menggantung di atas tanah. Lelaki itu merebahkan punggungnya dengan berbantalkan lengan. Ia mengurai semua kancing kemejanya, membiarkan kaos dalamnya terbuka sehingga angin dari persawahan yang masih hijau membelai tubuh. Lian memejamkan kelopak mata sipitnya, membiarkan angin menyejukkan batin dan raga yang panas.

"Ko," panggil Dayu pelan saat sudah berada di dekat lelaki itu. Dayu duduk lantas membaringkan pelan punggungnya menyamakan posisi dengan Lian. Mengetahui tak ada respon, Dayu memanggil suaminya lagi. "Tuan muda Yu...."

Lian hanya berdeham, menanggapi Dayu.

"Koko seperti perempuan merajuk. Tiba-tiba pergi begitu saja," keluh Dayu dengan mulut mencebik.

Lian mendengkus. "Supaya jadi laki-laki, aku harus seperti apa? Seperti mereka yang mengangkat senjata untuk berperang?"

"Kalau memang itu perlu, kenapa tidak?" jawab Dayu. Lian menegakkan badannya, memandang tak percaya pada Dayu, istrinya.

Lian mendengkus keras. Tarikan bibirnya miring mengeluarkan seringai di wajahnya. "Mungkin mereka belum pernah merasakan rasanya dicabik-cabik oleh peluru dan melihat apa yang menjadi idealismu melukai orang-orang yang kita cintai. Karena nasionalismeku, aku ...," Lian mengetuk dadanya keras, membuat Dayu menegakkan separuh tubuhnya bersandar pada telapak tangannya. "kehilangan Yi YanNi, serta istriku Ke Yi Jie. Lebih kejam lagi, aku melihat mereka dilucuti kesuciannya di depan mataku di saat aku tak berdaya. Dan Dewandaru ...," kini telunjuknya terangkat ke arah rumah, "... dia terpaksa meninggalkan adiknya pada lelaki asing, karena menjadi pemberontak dan diburu Dai Nippon. Jadi, apa yang akan aku peroleh dari membela negaraku? Yang ada hanya kekecewaan, kesedihan, dan … sakit hati!!"

Lian menatap nyalang istrinya. Dadanya kembang kempis saat berkata dengan nada tinggi. Sesuatu yang jarang ia lakukan pada Dayu. Lelaki itu membuang muka pada Dayu yang balas menatapnya tajam.

"Sebegitu besarnyakah sakit hatimu karena kehilangan Ke Yi Jie, Yu Lian? Bahkan keberadaanku tak bisa menggantikannya?" Dayu mengangkat alisnya seraya menarik bahu pemuda itu.

"Bukan begitu, Dayu. Aku hanya ingin melindungimu, melin—"

"Kamu pengecut, Ko!" Dayu bergegas meloncat turun dari gazebo dan meninggalkan Lian yang masih duduk di situ.

Telinga Lian terasa panas saat kalimat terakhir terlontar dari mulut istrinya. Lelaki itu hanya bisa mengepalkan tangannya kencang hingga buku-buku jarinya memucat dan lengannya bergetar. Matanya memicing, memandang punggung Dayu menjauh.

Rahang Lian yang mengerat itu berdesis, "Katakan apa saja yang kamu mau, Dewi Andayu. Aku akan mati-matian melindungimu. Aku hanya ingin hidup dengan damai dan tenang tanpa harus mendengar desing peluru menghantui setiap langkahku."

💕Dee_ane💕

💕Dee_ane💕

Menur ini lain sensasinya sama Peony ya ...
Semoga kisah ini tetap disuka😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro