💕6. Mengendalikan Diri💕

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yu Lian akhirnya memboyong Dewi Andayu ke rumah Soerakarta. Rumah itu sudah beberapa bulan tidak ditempati. Awalnya dibeli Paman Tan dan Baba Ji mendapat toko serta rumah Soerabaja, yang kini sudah ditinggalkan. 

Karena keluarga Yu kembali lagi ke Soerakarta dan keluarga Tan pindah ke Amerika, maka Paman Tan mengembalikan rumah itu dengan dalih ia akan mengambil toko dan rumah Soerabaja untuk dijual. Baba Ji bersyukur ada Paman Tan yang terus memberikan begitu banyak bantuan dari awal datang ke Indonesia sampai sekarang. 

Baba Ji tak bisa membayangkan tanpa campur tangan sahabatnya. Setelah dalam masa perburuan yang berat, keluarga Yu harus benar-benar menata hidupnya lagi. Bisa dikatakan mereka tak punya apa-apa. 

Kadang Dayu bahkan tak habis pikir, mereka mau saja dimintai tolong Dewandaru—seorang pemberontak yang mereka selamatkan—untuk menyelundupkan dirinya menjadi bagian dalam keluarga Yu, Padahal mereka tahu, keputusan itu sangat berimbas banyak pada kestabilan dan kenyamanan keluarga Yu.

Setiap Dayu bertanya kenapa keluarga Yu suka menolong, Lian selalu menjawab, "Tidak akan rugi menolong.
Semesta akan membalasnya dengan cara yang tidak akan pernah kamu duga. Buktinya Tuhan masih memberi kita keluarga Yu keselamatan, bahkan penerus di rahimmu."

Memang banyak sekali pertolongan yang didapat mereka selama perburuan, yang membuat Dayu juga bersyukur bisa selamat sampai detik ini. Namun di sisi lain, terselip rasa bersalah, karena membuat keluarga itu  pailit secara ekonomi. Hanya beberapa lembar uang saja yang tersisa. Walau Lian tak menceritakan, Dayu tahu kegelisahannya. Terlebih saat Dayu mendengar niat Daru ingin mengadakan acara pernikahan yang pasti membutuhkan banyak biaya.

Dayu pun tak bisa menolak keinginan sang kakak. Maka dia pun berinisiatif akan membuat kebaya pernikahannya sendiri serta rangkaian roncean bunga melati untuk pernikahan. Setidaknya, ia akan menghemat biaya yang harus dikeluarkan.

***

Pagi itu Baba Ji, Lian dan Dayu pulang dengan menggunakan kereta yang ditarik Cokelat, si kuda yang dibeli Lian dengan menggadaikan giok peninggalan ibu Lian. Kereta itu bahkan Baba Ji buat sendiri dibantu oleh Lian sesekali dan beberapa tetangga dari kayu bekas dan besi yang tidak terpakai. Setidaknya, keluarga Yu tidak merepotkan dalam memboyong menantu untuk tinggal di rumah Soerakarta.

Baba Ji dan Lian adalah dua lelaki yang pekerja keras. Mereka tidak mempunyai mental seperti tuan tanah, sehingga mereka harus membanting tulang agar bisa menyumpalkan sejepit nasi dengan sumpit di mulutnya. Melihat kegigihan suaminya, hati Dayu serasa mencelus. Pengorbanan Lian sungguh membuat hati Dayu mencair.

"Dayu, kamu manut sama suamimu. Jangan suka mencak-mencak. Kamu sudah bukan anak bungsu di keluarga, tetapi nyonya muda keluarga Yu," nasihat Daru saat mengantar di halaman depan rumah Bendan. "Lagi pula kata orang-orang zaman dulu, pamali wanita hamil suka marah. Kamu harus ingat sama bayimu. Mengerti?"

"Mas Daru ini nasihatnya seperti orangtua saja. Aku paham kok!" sanggah Dayu.

"Kamu paham, tapi tidak melaksanakan. Kata orang Jawa, 'Inggih-inggih mboten kepanggih'. Aku kasihan dengan suamimu." Dayu mengerucutkan bibirnya dan matanya memicing  tak senang.

"Daru, kamu membuat istriku tertekan!" seru Lian yang sedang mengikat barang bawaan di kereta.

Daru menjentikkan jari di atas kening Dayu. "Itu, lihat! Suamimu sangat menyayangimu! Jangan manja, dan bersikap layaknya tuan puteri lagi."

"Inggih, Kang Mas Dewandaru!" Dayu menggosok keningnya yang memerah.

"Dayu, Mas ingat, Sibu pernah berkata, 'wanita itu menelan pil pahit kehidupannya sehingga dia bisa kuat. Pil pahit setiap orang itu berbeda, tergantung derajad kesehatan jiwa dan raganya. Yang jelas pil pahit yang tertelan itu sudah disesuaikan untukmu. Jangan menolaknya atau kamu akan melemah! Sepahit apapun telanlah bulat-bulat'," kata Daru sambil membungkuk, menyetarakan wajahnya di depan wajah Dayu yang lebih pendek.

Mendengar kata Sibu, bulir bening menggenang di pelupuk mata Dayu. Dia menutup satu mata dengan punggung tangan dan menggigit keras bibirnya, berusaha untuk menahan tangisnya pecah.

Dewandaru terharu sekaligus sedih. Dia tidak mengira akan melepas adik kecilnya secepat ini. Adiknya selalu dimanjakan oleh orangtuanya dan selalu membuat lelaki itu dituntut untuk melindungi sang adik. Dan ketika orangtua mereka berpulang, beban menjadi wali bagi Dayu ada di pundaknya.

Melihat Dayu yang terisak kecil, dan ekspresi menahan tangisnya, mengingatkan Daru pada gadis kecil yang selalu memujanya dan kemana-mana ingin bersamanya. Gadis kecil yang menyebalkan karena setiap dipegang sedikit pasti berteriak, atau Daru harus mengalah karena tiap barang yang dia pegang selalu direbut Dayu.

Mas, pegang saja telek lencung*, lihat adikmu juga mau pegang tidak!! Kelakar Romo sewaktu mereka kecil, yang membuat Sibu terkekeh. 

Dulu Dayu kecil membuatnya jengkel, tapi kini, ketika gadis kecil itu menjelma menjadi gadis dewasa yang sudah bersuami bahkan sudah mengandung janin dari benih suaminya, membuat Daru rindu masa itu. Masa dimana Dayu bermanja-manja dengannya. 

Daru merengkuh adiknya. Mereka kini tinggal berdua. Hanya Dayu yang dimiliki Daru, dan kini Daru harus melepas Dayu ikut dengan suaminya. Setidaknya Daru lega, dia mempercayakan Dayu pada sosok lelaki yang tepat.

"Daru, Dayu tidak akan pergi jauh. Kamu masih bisa menjenguknya dan kami akan sering-sering singgah ke Bendan," kata Lian menepuk punggung sahabat yang juga kakak iparnya.

Daru mengecup pucuk kepala Dayu dan menyeka air yang menggenang di sudut mata dengan buku jarinya.

"Kamu harus menjaga adikku, Xiao Kai! Tak akan kubiarkan kamu menyakitinya!" ancam Daru melerai pelukannya.

"Sepertinya yang sering tersakiti aku bukannya, ya?" Lian menggaruk kepalanya yang tak gatal. Mendengar hal itu Dayu mencebik tak senang.

Daru terkekeh. Beberapa saat tinggal bersama pasangan itu, Daru paham kalau Lian sangat sering mengalah dengan perangai Dayu yang kadang manja dan bermulut pedas. Entah terbuat dari apa hati Lian, karena Daru sendiri kadang tidak sabar dengan tingkah adiknya.

"Dayu, kamu juga harus menahan diri. Itu loh mulutmu ..." Daru menarik bibir penuh Dayu membuat Dayu mengerang, "tolong diberi saringan. Tidak asal bicara!"

"Nanti tidak ada yang kapok lombok kalau gitu." Dayu berusaha membela diri.

"Yang ada, lama-lama dia senep (sakit perut) sama kamu Dayu!" Daru menarik hidung adiknya membuat Dayu merasa diserang dua lelaki itu.

"Senang ya, Ko, ada pembela. Kalian kaum lelaki bersekutu melawan kami wanita lemah," keluh Dayu. Kedua matanya menjuling berada ke tengah memeriksa kondisi ujung hidungnya.

Lian merangkul istrinya dan mengecup pelipis Dayu membuat Daru tak percaya, memperbolehkan lelaki lain menjamah adiknya. Bahkan dulu dengan Yudha, sahabat baiknya pun, membuat Daru selalu was-was dan mengancam Yudha bila berniat macam-macam dengan adiknya.

"Daru, tenang saja. Aku menjaga Dayu dan melindunginya dengan baik," kata Lian meyakinkan.

"Kalau soal itu, aku tidak ragu. Terima kasih mau menerima Dayu apa adanya. Walaupun dulu, kupikir kamu terpaksa menerimanya." Daru memberikan pelukan hangat pada Lian. Dua lelaki yang dipuja dan disayang Dayu itu saling memberi tepukan punggung.

"Kami berangkat dulu ya. Supaya tidak terlalu siang. Kami harus beberes di sana karena lama tidak ditempati," kata Lian.

"Baiklah, hati-hati di jalan."

Daru mengantar mereka dan membantu Dayu naik ke atas kereta kuda. Lian menjadi kusir dadakan mengendalikan Cokelat yang akan berpacu di jalanan menuju rumah mereka, ditemani Baba Ji di sebelahnya.

Entah kenapa Dayu merasa sedih, saat kereta mulai memutar rodanya dan Cokleat meringkik menarik sekuat tenaga beban di tubuhnya. Daru melambaikan tangan dan Dayu pun membalasnya dengan senyuman. 

Sosok Daru lama kelamaan mengecil dan menghilang ketika kereta yang ditumpangi oleh keluarga Yu berbelok di jalan utama.

Dada Dayu terasa sesak. Walau angin pagi menjelang siang berembus sepoi-sepoi, rasanya tak dapat memenuhi rongga dada gadis itu yang terasa seperti dibelit oleh tali. Padahal Dayu paham, jarak antara Bendan dan Soerakarta tidaklah jauh. 

Dayu diam, menatap deretan sawah yang dilalui. Angin yang mempermainkan anak rambutnya membuat Dayu sesekali harus menyibakkan helaiannya agar tidak menutupi mata. Gerakan Cokelat berlari, membuat badan Dayu ikut berayun seiring hentakan kaki kuda menapaki tanah.

Mengetahui istrinya yang tiba-tiba menjadi pendiam, Lian menanyai istrinya, khawatir bila Dewi Andayu tidak nyaman.

"Dayu, kamu kenapa?" tanya Lian menyempatkan sebentar menoleh ke belakang. Baba Ji yang mengantuk karena merasa dinina bobokan oleh ayunan kereta, berusaha membuka mata, memeriksa keadaan menantunya di belakang.

"Tidak apa-apa," jawab Dayu.

"Hah, tidak mungkin. Biasanya kamu bercerita panjang lebar seperti lebah yang berdengung tiada henti," komentar Lian.

"Aku banyak bicara, ya, Ko?" tanya Dayu lirih.

"Justru kalau kamu diam saja, aku jadi was-was. Biasanya bibirmu itu selalu bergerak-gerak mengeluarkan suara, bahkan tidur pun aku masih mendengar suara dengkuranmu yang keras." Kata Lian itu disambut dengan tepukan keras di punggungnya. Lian merintih dan menggosok punggung yang ngilu.

"Nah, ini baru Dewi Andayu! Kalau tidak mulutnya, tangannya pun bisa  bicara," ujar Lian disambut tawa Baba Ji.

"Ih, Koko!" Dayu merengut, malu dengan mertuanya yang kini tertawa renyah.

"Kalian ini lucu sekali. Persis seperti Lian dan YanNi. Sepertinya aku melihat wujud YanNi di diri Dayu," timpal Baba Ji.

"Fuqin, aku istrinya Koko. Bukan adiknya," sanggah Dayu.

"Iya, tapi Lian sungguh beruntung. Dia seperti mendapatkan istri yang berasa adik. Kehilangan YanNi membuat kami berdua kehilangan sosok gadis muda yang sangat kami sayang," kisah lelaki paruh baya itu dengan pandangan menerawang.

"Pasti YanNi sangat cantik, ya? Di potret yang terpasang itu dia begitu anggun di usia mudanya," kata Dayu sambil mengingat gambar wajah Yu YanNi dalam foto hitam putih.

"Iya, dia sangat anggun. Dia menyukai merajut dan menyulam. Di waktu luang dia selalu membaca buku-buku warisan keluarga Yu, sehingga dialah yang paling pandai meracik ramuan dan akunpunktur. Keahlian sebagai pengobat tradisional keluarga Yu menurun padanya," kenang Lian.

Dayu mendengarkan kenangan mereka dengan seksama. "YanNi adalah teman baik Yi Jie. Aku mengenal Yi Jie sewaktu dia bermain di rumah kami. Waktu itu dia masih sangat kecil ...."

Baba Ji berdeham, memberi isyarat Lian. Namun Lian tak paham dan meneruskan ceritanya. "Yi Jie anak yang pendiam. Tapi aku suka cara dia—" 

Baba Ji terbatuk keras.

"Fuqin, sepertinya tenggorokan Fuqin sakit. Ini minum dulu." Dayu mengambil termos kecil, dan saat akan menuangkan air ke tutupnya, goncangan kereta membuat air itu tumpah ke paha Dayu. 

Dayu terpekik membuat Lian menarik kuat tali kekang si Cokelat. Kuda cokelat itu meringkik, kaki depannya yang hendak melaju tertahan membuat dua kakinya terangkat. Yu Lian berbalik ke belakang, mengamati Dayu yang menarik roknya sehingga separuh pahanya tersingkap.

Rambut yang terjuntai saat menunduk membuat Lian tak mampu melihat ekspresi Dayu yang kesakitan. "Kamu tidak apa-apa? Hati-hati, Dayu!"

Dayu mengerling ke arah mertuanya. Dia ingin marah pada Lian yang dengan santainya membicarakan istri pertamanya. Bukan mantan istri, karena mereka terpisah oleh maut.

Dayu mengambil napas panjang, menata mimik wajahnya, dan menatap Lian dengan tatapan tajam.

"Koko tolong hati-hati! Kalau tahu begini, kita terima saja tawaran Panji menggunakan mobilnya!" kata Dayu membuat Lian membelalak.

"Kenapa harus menerima tawaran orang lain, kalau kita bisa mengusahakan sendiri? Kamu tak menghargai usaha Fuqin yang sudah membuat kereta ini karena memikirkan perjalananmu. Membawa menantunya yang hamil!" Mata sipit Lian membulat.

"Aku ... aku ... bukan ..." Dayu memandang bergantian dua lelaki di hadapannya. Ingin hati Dayu membalas, membuat Lian cemburu dengan membawa nama Panji tetapi justru apa yang terlontar dari bibirnya terasa pedas seolah tak menghargai jerih payah Baba Ji. 

Namun melihat ayah mertuanya yang dengan kilat mata yang teduh memandangnya, membuat lidah Dayu hanya bisa menggetarkan kata, "Maaf, aku keterlaluan ...." 

Dayu meremas kuat ujung roknya hingga buku-buku jarinya memutih. Lian melihat paha Dayu yang memerah, lantas menarik roknya. "Sudah, kita lanjutkan perjalanan. Sesampainya di rumah kita oleskan ramuan supaya tidak berbekas. Aku tidak ingin paha istriku belang."

Dayu berusaha mengurai senyuman di wajahnya. Akhir-akhir ini Dayu susah mengendalikan amarah, apalagi hormon kehamilannya kadang mempermainkan emosinya. Namun, Dayu teringat nasihat Daru, sehingga ia memilih menahan marahnya.

💕Dee_ane💕💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro