Bagian 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai! Selamat datang di cerita Merapi Wicaksana🐍

Kalian datang dari alam mana, nih?

JANGAN BAWA CERITA LAIN KE SINI. Dah, gitu aja. Sayang, deh, Mwah

Satu vote dari kalian, sangat berarti buat aku. Apalagi kalau menuhin kolom komentar beuh, sayang daghu sama kamoeh♥️

••

Merapi, brengsek, gila, gak punya hati, enggak ada otak, posesif, halal untuk dibunuh!

Airin mengumpat melihat kekasihnya yang kini tengah duduk berdampingan dengan seorang gadis di warung belakang.

Tangannya mengepal, ingin rasanya dia mengacak-acak wajah sok kegantengannya itu. Tangannya terulur melepas sepatunya. Kemudian, tanpa pikir panjang, Airin melemparnya hingga mengenai kepala belakang si gadis yang notabenenya mantan kekasih Merapi.

"Aduh!"

Airin melipat kedua tangannya di depan dada. Tampang songong dia tunjukkan pada Merapi yang kini sudah menoleh dan menatapnya tajam.

"Airin!" Merapi mengeratkan giginya. Sorot matanya menunjukkan jelas bahwa dia emosi dengan apa yang Airin lakukan.

"Apa? Gak sengaja. Lempar balik dong sepatu gue. Panas, nih." Airin menengadahkan tangannya dengan satu kaki terangkat agar tidak berpijak pada aspal.

Merapi meraihnya. Dengan tidak manusiawi, dia melempar sepatu itu pada Airin. Untungnya, Airin dengan sigap menangkapnya. "Makasih, gue mau balik." Airin mengenakkan sepatunya kembali.

"Selangkah aja lo pergi, gue pastiin kaki lo patah, Airin!"

"Berani lo patahin kaki gue, mantan kesayangan lo gue botakin, bangsat!" Airin menjawab dengan nada tak santai.

Akhirnya, dia memilih melangkah pergi meninggalkan Merapi dan Larissa—Mantan kekasih kesayangan Merapi.

Si bangsat itu memang benar-benar membuat Airin emosi. Ingin rasanya dia bunuh mereka berdua. Tapi, dia masih punya otak. Masih sekolah, masa iya jadi narapidana juga. Ogah!

"Airin!" Merapi melangkah meninggalkan Larissa dan memilih menyusul kekasihnya yang sudah berjalan menjauh.

Airin menghentikan langkahnya. Dia berbalik. "Apaan, sih? Mau patahin kaki gue? Nih, patahin." Airin mengangkat kakinya dan menyodorkannya pada Merapi.

Merapi menepisnya. Cowok itu langsung meraih pergelangan tangan Airin dan menariknya. "Minta maaf sama Larissa!"

"Ogah."

"Cewek bangsat." Merapi mengeratkan giginya menatap marah pada Airin.

Airin membalas tatapannya dengan berani. "Lo kalau mau pedekate sama mantan lo itu, pedekate aja, sana. Gue mau balik, gerah."

"Minta maaf gue bilang!"

"Gak mau! Lo kenapa maksa banget, sih?!"

"Larissa kesakitan gara-gara lo lempar pake sepatu! Mikir sedikit, kek!" Cengkraman tangan Merapi semakin erat.

Airin mendesis pelan merasakan sakit di bagian pergelangan tangannya. "Dianya aja yang lemah!"

"Lo serang dia dari belakang, Anjing! Dia punya salah apa sama lo?!"

Airin berusaha melepas cengkraman tangan Merapi. Dadanya sesak, dia ingin marah. Dia juga sakit, tapi Merapi seolah menutup mata untuk itu.

"Gak tau. Gue gabut." Airin berusaha tenang. Gadis itu membuang arah pandangnya enggan menatap ke arah Merapi.

Krek!

Airin memejamkan matanya, mulutnya sampai terbuka kala Merapi memelintir lengannya dengan kuat hingga berbunyi.

Mata Airin memanas, rasanya perih. Namun Merapi, dia malah memasang tampang tak bersalah dan menatap datar ke arahnya. "Impas, kan?"

"Lo jahat." Airin berkata lirih.

Merapi sontak mengendurkan cengkeramannya. Cowok itu terdiam, matanya melunak menatap Airin yang kini menunduk dan meringis.

"Merapi, kamu apa-apaan, sih?" Larissa datang, dia mendorong bahu Merapi dan menyentuh lengan Airin.

Airin menepisnya. "Gak usah sok perduli, jijik gue lihat muka lo!"

"Emang anjing!" Merapi menarik rambut Airin. Larissa menahannya dan membuat Merapi akhirnya memilih melepaskan dan menatap Airin dengan marah.

Airin berjalan menjauh meninggalkan mereka. Tangan kanannya terasa semakin perih, gadis itu meringis berjalan menunju halte untuk pulang ke rumah.

Matanya menatap ke arah Merapi yang kini tengah berbicara dengan Larissa di tempat yang sama.

Hubungannya dengan Merapi baru terjalin selama 3 bulan. Merapi memang kasar dari segi ucapan, tapi hubungannya saat itu masih terbilang baik-baik saja karena Merapi masih menghargai keberadaannya.

Namun, dua bulan lalu, Larissa kembali datang di kehidupan Merapi. Airin tidak tahu bagaimana mulanya. Tapi sejak saat itu, Merapi secara terang-terangan menunjukkan perhatiannya pada Larissa.

Dia sering kali ingkar, dia seringkali pergi, dia seringkali datang tiba-tiba dan datang dengan keadaan kacau. Dan dia seringkali mementingkan Larissa.

Lama Airin menunggu angkutan umum. Namun, tak ada satupun yang lewat. Gadis itu akhirnya beranjak dan memilih menunggu sembari berjalan. Dia tak mau berlama-lama melihat Merapi dan Larissa.

"Naik."

Airin mendelik melihat mobil yang kini melaju pelan mengikuti langkahnya.

Merapi, di sampingnya ada Larissa.

Lagipula, heran! Merapi dan Larissa anak kuliahan. Kenapa pula Larissa harus ikut-ikutan datang ke sekolah Airin mengikuti Merapi?!

"Naik, Airin!"

Airin menghela napas pelan. Matanya berbinar kala mendapati pengendara motor yang dia kenal.

Dengan senyum lebar, Airin melambaikan tangan kirinya. "Calvin!"

Si pengendara berhenti di depan mobil Merapi. Namun, betapa terkejutnya dia kala Airin naik begitu saja. "Jalan!"

"Lah, gue buru-buru, Airin! Gue mau ke—"

"Sampai depan doang, buruan!" Airin menepuk pundak Calvin—teman ekstrakulikulernya dengan tidak santai.

Calvin akhirnya melajukan motornya mengabaikan bunyi klakson yang tidak santai di belakang sana.

Di dalam mobil, Merapi mencengkram erat stirnya dan dia pukul setelahnya. "Bangsat!"

•••

Airin memutar bola matanya malas kala mendapati Merapi yang sudah menunggu di depan pintu rumahnya.

Saat ikut bersama Calvin tadi, Calvin membawa Airin ke rumah sakit untuk menemui saudaranya yang kecelakaan. Karena terlalu buru-buru, dan panik, akhirnya Airin dibawa sekalian oleh Calvin.

Airin pasrah saja. Daripada dia pulang bersama Merapi.

Namun, melihat lengan Airin yang membengkak, sekalian saja Calvin meminta Airin untuk diobati juga. Karena, dia sudah mulai tenang setelah tahu ternyata saudaranya baik-baik saja.

Jadilah dirinya pulang sore hari.

Dan kini dia kembali dihadapkan dengan cowok yang membuat lengannya patah itu.

"Dari mana lo?"

"Lo pikir?" tanya Airin. Gadis itu hendak melewati Merapi. Namun, Merapi menahan Airin dan mencengkeram tangan kirinya yang baik-baik saja.

"Mau apa? Mau patahin tangan gue lagi? Gak sekalian kaki gue lo patahin juga? Biar gue gak bisa jalan sekalian!"

"Gue nanya lo dari mana, Bangsat?! Gak usah ngalahin pembicaraan!"

"Bukan urusan lo!"

"Urusan gue! Lo cewek gue. Lo tau gue gak suka lo deket-deket sama orang lain dan mengabaikan gue kayak tadi!" Merapi menatap Airin marah.

Tangannya mencengkeram semakin erat. "Asal lo tahu! Gue capek-capek bawa mobil buat jemput lo dari kampus ke sekolahan lo. Dan lo malah—"

"Apa? Gue gak minta."

Merapi memejamkan matanya menahan emosi. Airin sudah kembali meringis karena tangannya semakin mencengkram erat. "Gak tahu diri," desis Merapi.

"Emang."

"Larissa baik sama lo. Dan lo, malah seenaknya berlaku kasar ke dia. Gimana kalau di kenapa-kenapa?!" Nada suara Merapi meninggi.

Airin tertawa pelan. "Ya baguslah, geger otak sekalian. Kan lucu, tuh, 'Seorang Mahasiswa geger otak karena dilempar sepatu oleh seorang siswi SMA.' Gue berharap gitu, sih."

Merapi menghela napasnya pelan. Cowok itu mengendurkan cengkeramannya dan beralih mengusap pelan rambut milik Airin.

Airin terpaku. Namun setelahnya, dia memejamkan mata kuat kala Merapi beralih menjambak rambutnya. "Gue peringati, Airin. Berhenti jahat sama Larissa. Atau gue akan balas lo lebih parah daripada ini," desisnya.

"Gue nunggu. Bunuh gue sekalian." Airin membuka matanya dan menatap Merapi dengan wajah berani. Namun, bola mata itu sudah memerah. Terlihat jelas bahwa dia menahan sakit hati, dan juga emosi.

Tak mendapat jawaban apapun dari Merapi, Airin kembali membuka suara, "Kalau Larissa sebegitu pentingnya buat lo, buat apa lo minta gue jadi pacar lo, hm? Mau bunuh gue secara perlahan, iya? Gue gak takut mati, Merapi!" Airin mendesis pelan membalas tatapan tajam Merapi.

Merapi berdecih kemudian dia tertawa. "Kenapa lo masih bertahan kalau lo tahu Larissa berarti di hidup gue, hm? Biar orang-orang bilang lo beruntung bisa pacaran sama cowok kayak gue?"

"Cowok kayak lo?" Airin tertawa remeh.

"Bahkan, gak ada satupun yang bisa dibanggakan dalam diri lo, Merapi," lanjut Airin.

Airin memejamkan matanya semakin erat. Air matanya menetes saking perihnya jambakan Merapi.

Sampai akhirnya, Merapi beralih memeluk Airin dan mengatur napasnya. Keningnya dia jatuhkan pada puncak kepala Airin.

"Jangan pernah pergi dari gue, Airin," kata Merapi lirih.

Airin diam. Tidak membalas pelukan Merapi sedikitpun.

Vote dan komentarnya jangan lupa brodii•

Kesan setelah baca part pertama?

Follow akun sosial media :
Instagram Octaviany_Indah
Tiktok : Wattpad.oncom

Rekomendasi cerita ini sabi dong♥️

Merapi Wicaksana

Airin Thalita Utami

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro