Bagian 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bel pulang sekolah berbunyi sekitar dua puluh menit yang lalu. Namun, karena penjelasan materi yang katanya 'tanggung' mau tak mau kelas Airin pulang terlambat demi menjelaskan materi tersebut sampai tuntas dan akan beralih ke bab selanjutnya Minggu depan.

Saat ini, Airin berjalan menyusuri lapangan menuju ke arah luar sekolah. Namun, langkahnya terhenti kala mendapati Calvin yang tiba-tiba saja bertanya padanya.

"Rin, gak latihan?" tanya Calvin.

Airin yang baru saja keluar dari gerbang sekolah, langsung beralih menatap Calvin yang sudah siap dengan baju latihannya.

Cowok itu menggenggam botol air mineral dengan sepatu yang sudah diganti dengan sandal.

"Gue skip."

"Lho, sayang banget. Lo udah beberapa hari ini enggak latihan, emang gak mau ikutan tanding? Kan masih ada kesempatan."

Airin menggeleng. "Kayaknya gue gak akan ikut."

Mendengar jawaban itu, Calvin lantas mengerutkan alisnya. "Lo ... Tiba-tiba kayak gini bukan gara-gara enggak kepilih, kan? Lo bukan orang yang kayak gitu soalnya."

"Bukan, kok. Yaudah, gue duluan ya, bye!" Airin menepuk bahu Calvin dengan tangan kirinya.

Saat Airin hendak pergi, Calvin menahan Airin dan menarik gadis itu agar menatap ke arahnya lagi. "Lo mau ke mana?" tanya Calvin.

"Balik."

"Mau gue anter?"

"Gak usah. Gue naik angkot aja." Airin menolak.

Calvin menggeleng. "Gue anter. Lagian latihan masih lama, kok. Siapa tau pas di jalan lo berubah pikiran, gitu. Gue gak keberatan kok anter lo buat bawa baju ganti ke rumah."

Airin mendengkus mendengarnya. "Gue bilang gak usah."

"Usah aja. Lo gak usah malu-malu gitu, deh. Geli gue lihatnya." Calvin menepuk puncak kepala Airin dengan lembut. Kemudian, dia mengacaknya sebentar dan mengajak gadis itu untuk berjalan ke arah parkiran sekolah.

"Lo baik gini, gak akan minta uang bensin, kan?" tanya Airin.

Mendengar itu, Calvin lantas melotot tak terima. "Gak boleh fitnah gitu, Rin. Nanti kalau gue beneran minta duit bensin gimana? Emang lo ada duit?"

"Duit gue banyak, ya. Gak usah ngada-ngada."

"Yaudah, motor gue jangan lupa diisi bensin kalau gitu." Calvin tercengir lebar.

Calvin memilih naik ke atas motornya dan menyimpan air mineral itu pada tas yang masih menggantung di motor. Kemudian, Calvin memundurkan motornya dan mengajak Airin untuk naik. "Naik."

Airin memilih naik. Kemudian, gadis itu menepuk Calvin sebagai tanda dia sudah siap melaju.

"Ini mau ke mana? Rumah lo? Atau ke mana? Ke hutan? Barangkali lo mau ketemu kembaran lo, gitu?"

"Kembaran gue? Apaan?" tanya Airin heran.

"Eh, emang di hutan ada apa aja, sih?" Calvin menggaruk pipinya bingung. Dia melirik Airin lewat kaca spion dan tertawa.

Airin mendorong bahu Calvin dengan kesal. "Apaan, sih?! Gak jelas, lo. Jalan!"

"Iya, jalan ke mana, Neng Airin? Ini motor udah Abang nyalain, nih."

"Rumah gue."

Calvin mengangguk. "Oke, jalan!"

Motor melaju meninggalkan kawasan sekolah. Di perjalanan, Calvin terus menerus berbicara. Cowok itu seakan tak kehilangan topik pembicaraan agar dirinya bisa membuat perjalanan menjadi lebih ramai.

Tak jarang Calvin tersenyum pada anak sekolah lain yang baru saja bubaran di lampu merah.

Ada yang tersipu, ada juga yang menatap Calvin dengan sinis seolah-olah mengatakan. "Lo bawa pacar lo! Ngapain lo genit sama gue?!"

Namun, Calvin tetap tersenyum dan menatap mereka seraya menopang dagunya.

"Rin, tipe cowok lo kayak gimana?" tanya Calvin tiba-tiba.

Airin mengedikkan bahunya. "Gak punya."

"Yah, gimana, sih. Terus, kak Merapi gimana, tuh?"

"Ngapain lo nanyain Merapi? Suka lo sama dia?"

Calvin mendengkus mendengar ucapan Airin. "Yakali, gue masih lurus!"

"Eh, btw, lo tanya juga dong tipe cewek idaman gue kayak apa." Calvin melirik Airin lewat kaca spion.

Airin tersenyum paksa dan menggeleng. "Ogah."

"Yaudah, kayaknya lo pengen tau tapi malu-malu. Gue kasih tau, nih. Tipe cewek idaman gue, beda gender sama gue."

"Serah lo, deh! Lo lama-lama minta gue hajar ya, Vin?!"

Calvin menggeleng dan melotot. "Rin, jangan gitulah ngomongnya. Gue gini-gini enggak berani sama cewek! Lo jangan nyari ribut, kalau lo kena pukul sama gue, gue ngerasa bersalahnya bakalan seumur hidup. Gue udah dititipin pesan sama emak gue. Gak boleh main fisik sama cewek, gue dilahirin di rahim cewek, anak gue juga nanti lahirnya di rahim cewek!"

"Itu kalau lo panjang umur!" jawab Airin.

Perkataan Calvin malah mengingatkan Airin pada Merapi. Di saat Merapi tak segan melakukan kontak fisik padanya, Calvin justru malah berjaga-jaga enggan menyakiti seorang gadis.

Airin menghela napas pelan.

"Lo doanya gitu banget, Rin. Emang lo gak mau menua sama gue?"

"Dih?"

"Maksudnya, lo tua, gue tua. Nanti kita punya anak, punya cucu, dari calon masing-masing. Lo pikir gue mau sama lo? Ya kalau jodoh sih gak nolak, lo tipe gue soalnya," ucap Calvin memelankan kalimat terakhir.

Selama beberapa menit kemudian, Airin dan Calvin sampai di depan rumah Airin.

Gadis itu turun. Namun, tanpa di duga, Calvin justru merapikan rambut Airin dengan tangannya. Sampai akhirnya, dia beralih mencubit pipi Airin dengan gemas. "Gue lebih seneng lihat lo kesel terus marah-marah daripada diem-dieman kayak tadi. Jelek tau gak?"

"Makasih udah anter gue." Airin menepis tangan Calvin.

Calvin tersenyum dan mengangguk. "Yaudah, gue balik ke sekolah lagi. Lo beneran gak mau latihan?"

"Gue ada urusan."

"Yaelah kayak orang penting aja lo. Yaudah, gue duluan, ya. Dadah, dugong!" Calvin mencubit kedua pipi Airin. Kemudian, cowok itu tertawa keras dan beralih melajukan motornya.

Airin menghela napas pelan. Kini, tatapannya beralih pada rumah di depannya. Gadis itu mengepalkan tangannya beberapa saat. Sampai akhirnya, Airin memilih untuk melangkah masuk.

Baru saja beberapa langkah Airin memasuki rumah itu, sebuah tamparan langsung melayang tepat di pipinya.

Airin memejamkan mata dengan wajah yang menoleh ke arah kiri.

"Dari mana aja kamu?!"

Airin tak menjawab. Gadis itu mengepalkan tangannya.

"Papa tanya, dari mana aja kamu, Airin?!"

Airin mendongak, menatap Papanya dengan mata yang terasa panas. Namun, Air mata tak kunjung jatuh karena Airin menahannya. "Maaf, Pa," kata Airin.

"Puas kamu buat Papa malu, hah?! Kamu tau? Karena ulah kamu yang kabur-kaburan kayak gini, Pak Arif hampir aja batalin dana untuk perusahaan yang Papa bangun dengan susah payah!"

"Kamu yang tau gimana perjuangan Papa, Airin! Kamu yang tau gimana susahnya Papa! Kamu juga yang tau gimana jahatnya keluarga Mama kamu yang hina-hina Papa karena Papa orang miskin!" Winata mendorong kepala Airin dengan jari telunjuknya.

Airin mengangguk. Airin tahu itu.

"Kamu mau Reihan, Adik kamu ngalamin hal yang sama kalau Papa bankrut?! Kamu mau Papa ngalamin hal itu untuk yang kedua kalinya, hah?!"

Airin terkekeh miris. Gadis itu mengangguk. "Papa tenang aja. Pernikahannya lusa, kan? Airin udah di sini. Apa yang sebenernya Papa khawatirin?"

"Pak Arif---"

"Airin yang bakal ngomong sama Papanya Merapi. Kalau perlu, biar Airin yang mohon-mohon dan sujud-sujud demi kesejahteraan Papa sama keluarga Papa! Itu yang Papa mau?! Airin lakuin sekarang!" Airin melepas tas sekolahnya. Kemudian, gadis itu melemparnya ke lantai dan memilih melangkah pergi meninggalkan Winata.

Airin tidak suka Mamanya dijelekkan seperti itu. Airin tidak suka nama Mamanya di sebut, Mamanya tidak salah! Sejahat-jahatnya Mama Airin, dia tetap Ibunya.

"AIRIN!"

Airin mengabaikannya. Gadis itu memilih berjalan menuju halte. Rasa perih di pipinya dia abaikan. Tujuannya sekarang adalah, Papanya Merapi.

•••

"Gue kangen Airin, Bas."

Ini sudah kesekian kalinya Sebastian mendengar Merapi mengatakan kalimat ini.

Selama beberapa hari ini, Sebastian yang menemani Merapi. Beberapa hari lalu, Papanya Merapi memanggil seorang Dokter ke rumah. Namun, sampai sekarang tak ada perubahan apapun pada Merapi.

Arif---Papanya Merapi akhir-akhir ini memilih pulang kemari. Sebastian yang memberitahu kondisi Merapi. Karena, Sebastian merasa, tidak mungkin akan menemani Merapi setiap waktu, dia juga memiliki kesibukan tersendiri. Walaupun Sebastian tidak sibuk-sibuk banget, sih.

Selain karena itu, Papanya Merapi berhak tau soal ini.

"Bas, Airin belum pulang?"

"Belum."

Merapi yang terbaring di atas kasur, lantas memilih menatap ke arah samping dengan pandangan kosong.

Tangan, kaki, kening, dan seluruh tubuh Merapi penuh dengan luka. Dia sendiri yang melukai dirinya.

Merapi melakukan hal itu di saat tidak ada satu orangpun yang menemaninya di sini.

Kejadiannya beberapa hari lalu. Satu hari setelah Merapi jatuh dari tangga.

Setelah kejadian itu,  Sebastian dan Papanya Merapi mau tak mau harus berjaga mengawasi Merapi.

"Gue kangen sama dia, Bas."

"Lo udah bilang itu ribuan kali. Telinga gue bener-bener bosen dengernya."

Merapi mencengkram selimutnya dengan erat. Tiba-tiba, dia merasa takut. Rasa takut itu kerap kali datang secara tiba-tiba. Pemikiran soal Airin tidak akan kembali lagi padanya benar-benar menganggu pikiran Merapi.

Cklek

Merapi menoleh, cowok itu terdiam kala mendapati Airin yang kini berdiri di depan pintu dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya.

"A-Airin." Merapi sontak beranjak.

Airin diam. Begitupun dengan Sebastian yang memilih menatap ke arah Merapi dan Airin secara bergantian.

Merapi turun dari kasur. Namun, dia terjatuh karena kakinya yang masih terdapat luka dan belum sembuh total.

"Airin, gue gak papa." Merapi cepat-cepat berkata. Padahal, Airin masih diam di tempatnya tanpa mengatakan apa-apa.

Merapi berusaha bangkit. Cowok itu memegang apa saja yang bisa dia jadikan tumpuan. "Airin, lo balik? Lo ke mana aja, Airin?" tanya Merapi.

Mata Airin menyusuri kaki dan juga tangan Merapi yang terdapat banyak luka yang terlihat jelas di sengaja.

Gadis itu terdiam kala Merapi memeluknya dengan tubuh yang berusaha agar tidak menopang pada tubuh Airin sepenuhnya.

"Airin, lo ke mana aja?" Merapi bertanya pelan.

Cowok itu berusaha berdiri tegak. Kemudian, dia mengusap pipi Airin dengan lembut. Namun, dia terdiam kala mendapati pipi Airin yang merah karena bekas tamparan. "Ini kenapa? Siapa yang nyakitin lo? Gue nyakitin lo? Gue ya, Rin? Gue minta maaf." Tangan Merapi bergetar. Matanya menatap berkaca-kaca dengan sorot takut yang mendominasi.

Airin menatap mata itu. Gadis itu kemudian menunduk menatap tangan Merapi. "Lo kenapa?" tanya Airin.

"Airin gue nyakitin lo, ya? Pipinya sakit? Mau diobatin?" tanya Merapi mengabaikan pertanyaan Airin.

"Tapi gue gak mau obatin lo lagi. Nanti lo pergi lagi dari gue," lanjut Merapi lirih.

Airin melirik ke arah Sebastian yang sedaritadi duduk di depan meja rias.

Merapi menatap Airin. Meraih tangan kirinya, kemudian digenggamnya dengan erat. "Airin, tangan kanannya masih sakit?" tanya Merapi.

Airin tak menjawab. Dia memilih mengajak Merapi untuk duduk di atas kasur dan menyelimuti cowok itu kembali.

"Bokap lo pulang jam berapa? Dia balik ke sini, kan?" tanya Airin.

Merapi mengangguk pelan. Cowok itu enggan melepas tangan Airin. Dia menarik Airin untuk duduk di sebelahnya. Kemudian, tangannya terulur memeluk Airin dari samping dengan kepala yang bersandar pada bahu gadis itu.

"Kangen." Merapi berucap lirih.

Cowok itu beralih mencium kening Airin dengan lembut. Kemudian, dia kembali ke posisi semula.

Airin diam. Gadis itu menatap lingkaran tangan Merapi di perutnya.

"Jangan pergi, Rin. Rasanya gue mau mati." Pelukan Merapi semakin erat.

Sebastian tahu Merapi mencintai Airin. Namun, sikap Merapi malah menunjukkan seolah-olah dia terobsesi pada Airin.

Dia bisa melihat bagaimana kacaunya Merapi saat Airin pergi. Sebastian bisa melihat bagaimana hancurnya Merapi ketika Airin jauh dari pandangannya.

"Rin, Pi, gue nunggu di luar. Jadi obat nyamuk gak enak." Sebastian mendengkus. Dia beranjak kemudian beralih berjalan keluar.

Pintu dibiarkan terbuka.

"Tangan sama kaki lo kenapa?" tanya Airin.

Merapi menggeleng. "Gak papa. Gak sakit, kok," jawab Merapi.

Airin memilih diam. Dia tidak tahu harus berbicara apa. Jujur, jauh dalam lubuk hatinya Airin sedih dan khawatir melihat kondisi Merapi. Namun, Airin enggan menunjukkan itu secara berlebihan.

"Airin," panggil Merapi.

"Apa?"

"Larissa enggak hamil anak gue, Rin."

Gue udah tau, jawab Airin dalam hati.

Merapi memainkan jarinya di antara sela-sela jari Airin. "Lo seneng, kan?" tanya Merapi.

Airin tak menjawab. Bagaimana bisa Airin senang kalau kejadian inilah yang membuat Merapi berubah menjadi Merapi yang seperti sekarang.

Kasar.

"Kemarin lo ke mana aja, Rin?" tanya Merapi lagi.

Airin ikut menatap ke arah tangannya yang dimainkan oleh Merapi. "Ada."

"Kenapa pergi?"

"Gak papa."

"Capek, ya? Kemarin lo cuman istirahat doang kan?" Merapi menatap Airin.

Airin mengangguk. "Iya."

Mendengar itu, Merapi lantas tersenyum. Cowok itu menegakkan tubuhnya dan beralih membawa Airin untuk bersandar di dadanya. "Airin, gue sayang banget sama lo. Jangan pergi lagi." Merapi mencium puncak kepala Airin dengan lembut.

Airin menunduk. Air matanya jatuh. Namun, Merapi tidak menyadari itu.

Kembali pada Merapi, itu artinya Airin harus siap menguatkan mentalnya lagi.

Dia bisa berubah menjadi kasar dan lembut kapan saja. Dia bisa menyakiti Airin kapan saja, dan Airin bisa dipukul kapan saja oleh Merapi.

Namun, ini kemauan Papanya. Memang siapa yang peduli dengan kebahagiaan Airin? Papanya saja lebih mementingkan kebahagiaannya sendiri, kan?

Dia tidak mau terjerumus pada masa lalunya lagi dan memilih mengorbankan putrinya sendiri tanpa tahu apa yang dialami Airin di sini.

TBC

Nungguin gak NII?

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Airin

Merapi

Calvin

Sebastian

Papanya Airin

Spam next kuy!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro