Bagian 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

•VOTE DAN KOMEN MABRO

•Rekomendasiin cerita Merapi ke Instagram/Facebook/Twitter/Tiktok/Tetangga/ Anak-anak lalet juga ya•

•••

"Siap-siap. Kamu ikut Papa sekarang."

Airin memicingkan matanya. Padahal, dia baru saja membuka pintu dan masuk, Papanya tiba-tiba berkata begitu tanpa menyuruhnya masuk atau makan terlebih dahulu?

Gadis itu berdecak pelan. Mengabaikan ucapan Papanya, Airin memilih melangkah melewatinya dan berjalan menaiki anak tangga.

"Kalau kamu gak siap-siap, Papa bakal kirim kamu ke rumah Mamamu, Airin."

Airin yang baru saja menaiki beberapa anak tangga, berhenti dan menoleh. "Percuma, gak akan diterima. Gak perlu ngancem yang enggak mempan, Airin siap-siap sekarang."

Airin kembali melanjutkan langkahnya. Ketika dia sampai di lantai atas, gadis itu berdecih sinis kala mendapati Kakak tirinya yang baru saja keluar dari dalam kamar dengan dress yang sudah melekat pada tubuhnya.

"Saran gue mending lo enggak usah ikut deh, Rin. Malu-maluin Papa doang."

Mendengar kalimat itu, Airin lantas mengangkat sebelah alisnya. "Lo siapa? Harus banget gue denger omongan orang yang cuman numpang hidup di sini?" tanya Airin.

"Maksud lo apa?!"

"Apa? Gue bener, kan? Kok malah ngamuk, sih."

Maudi, Kakak tiri Airin yang usianya hanya berbeda beberapa bulan saja. Keduanya menempuh sekolah di SMA yang sama.

Hanya saja, kemarin-kemarin dia tengah berlibur bersama Papa Airin, Mama tiri, dan adiknya. Maka dari itu Maudi baru saja kelihatan di rumah.

Mungkin ... Mereka pulang saat pagi, atau siang? Mengingat, ini sudah sore menjelang malam.

"Asal lo tau Airin, Papa lebih bangga punya gua daripada punya lo!"

"Gue tau, kok. Soalnya gue tahu diri. Lo? Kok ngaku-ngaku? Gak tahu diri banget." Airin memilih membuka pintu kamarnya.

Maudi menjambak rambut Airin dengan kuat. Serangan mendadak dari Maudi membuat Airin sontak menepis gadis itu hingga Maudi terjatuh.

Heels yang dia gunakan patah bersamaan dengan barang-barang yang berjatuhan.

Untungnya, tidak ada yang berbahan kaca sehingga tidak ada yang pecah.

"Argh!" Maudi memekik kala Airin menghampirinya dan menjambak Maudi.

"Bales, dong. Nyerang kok dari belakang, dari depan, lah! Lemah banget." Airin menguatkan jambakannya.

"MAUDI!"

"AIRIN!"

DUGH!

Airin memejamkan matanya kala bahunya ditarik dari arah belakang dan di dorong hingga dia menabrak tembok. Airin terjatuh dengan posisi miring ke kanan.

Airin memejamkan matanya merasakan sakit dibagian lengannnya yang bahkan sama sekali belum pulih.

"Anjing, sakit banget." Airin mendesis. Dia berusaha berdiri, namun sulit.

"Kakak, ayo Lei bantu." Sebuah tangan mungil terulur ke arah Airin.

Airin menatapnya. Gadis itu mendorong tubuh kecil itu hingga si bocah terjatuh dengan posisi duduk.

PLAK!

Airin tertawa keras kala darah mengalir begitu saja di hidungnya. Gadis itu menatap Papanya dengan pandangan menantang. "Papa mikir gak, sih? Papa nampar Airin di saat Reihan di Deket Airin. Gimana kalau dia kena?!"

"Gak usah sok perduli! Lo sengaja kan dorong Reihan! Lo juga sengaja jambak gue. Gue salah apa sama lo, Airin?!" Maudi menangis tersedu-sedu di pelukan Ranti—Ibu Tiri Airin.

Airin berdecih.

Drama.

Lengan kiri Airin ditarik, dia dipaksa berdiri oleh Papanya. Saat Airin berdiri dengan posisi yang belum seimbang, dia di dorong masuk ke dalam kamar membuat Airin kembali tersungkur dengan posisi miring ke kanan seperti tadi.

Dan lengan kanan atasnya kembali menjadi korban tumpuan badan. "Bangsat," gumam Airin.

"Siap-siap, dan jangan bikin masalah!"

Bruk!

Pintu ditutup dengan keras.

"Maudi, kamu gak papa, sayang?"

Air mata Airin akhirnya terjatuh ketika mendengar suara lembut Papanya di luar sana.

Bahkan, Papanya sama sekali tak perduli dengan keadaan Airin. Entah dia buta atau tidak. Padahal, lengan Airin yang digips jelas-jelas tidak baik-baik saja.

Tapi dengan teganya, dia menampar Airin dan mendorongnya tanpa menanyakan bagaimana kondisi Airin.

Airin berusaha bangkit. Gadis itu beralih meraih ponselnya ketika dia sudah duduk di tepi kasur.

Merapi.

Airin hanya punya Merapi. Tapi, hubungannya dan Merapi baru saja berakhir tadi.

Jika sudah begini, siapa yang harus Airin hubungi?

Airin ingin pergi.

Airin mengusap darah di hidungnya. Kemudian, Gadis itu menelan salivanya susah payah. Banyak pesan masuk dan juga panggilan tak terjawab dari lelaki itu.

Namun, Airin meyakinkan hatinya. Dia tak boleh menganggu Merapi apapun keadaannya.

Ingat, Airin. Merapi juga sama seperti mereka. Dia tidak menyayangi Airin.

Prank!

Airin melempar ponselnya hingga hancur. Setelahnya, dia memilih masuk ke dalam kamar mandi.

•••

Di sebuah restoran, kini Airin duduk dengan tangan kiri yang sibuk mengacak-acak makanan yang tersaji di depannya.

Sedangkan Papanya, dia tengah asik bercanda bersama Maudi dan juga Reihan. Kejadian tadi seolah-olah mereka lupakan.

Bahkan, Papanya sama sekali tak meminta maaf setelah berlaku kasar pada Airin seperti tadi.

Ah, Airin lupa. Papanya, kan, tidak pernah meminta maaf sekasar apapun kelakuannya.

"Winata? Maaf nunggu lama. Saya harus jemput Putra saya dulu, tadi."

Winata—Papanya Airin tersenyum ketika mendapati pria sebayanya yang saat ini sudah menyalami satu persatu orang yang duduk melingkar di meja ini.

"Maaf, Om, tangan saya lagi sakit." Airin membalasnya dengan tangan kiri.

Dia mengangguk dan tersenyum. "Enggak papa."

"Silahkan duduk, Pak Arif." Winata tersenyum sopan.

"Ah, terimakasih." Pak Arif—Teman Winata langsung duduk di kursi kosong.

Tak lama setelahnya, kursi kosong di sebelah Airin ditarik. Seseorang duduk di sana tanpa permisi.

"Kak Merapi?"

Airin sontak menoleh. Gadis itu memicingkan matanya kala mendapati Merapi yang saat ini duduk di sebelahnya.

"Kamu udah kenal sama anaknya pak Arif?" Winata menatap ke arah Maudi seraya tersenyum lebar.

Maudi mengangguk semangat. "Kak Merapi Kakak kelas aku waktu aku kelas 10, Pa."

Baik Airin maupun Merapi, keduanya berdecih sinis mendengar jawaban Maudi.

Lihatlah tampang sok polosnya itu. Padahal, Maudi juga tahu Merapi kekasihnya Airin. Eh, mantan. Tapi sepertinya, Maudi belum tahu Airin dan Merapi baru saja putus. Jadi, anggap saja Maudi tahunya Merapi pacar Airin.

"Wah, kebetulan sekali. Kalau ..." Arif menatap ke arah Airin.

Airin menunduk sopan. "Airin, Om."

"Airin kenal Merapi?" tanya Arif.

Airin melirik cowok itu. Kemudian, dia menggeleng. "Enggak. Gak kenal."

Merapi melirik Airin. Sorot matanya terlihat sedih mendengar jawaban yang dikeluarkan oleh Airin.

Namun, dia memilih diam. Untuk malam ini, Merapi enggan mencari masalah.

Merapi memang kenal Maudi. Tapi, dia tidak pernah bertemu dengan orang tua Airin. Setiap dia datang ke rumah Airin, rumahnya selalu sepi.

Makannya, tak heran Winata hanya mengenal Merapi anak dari rekan bisnisnya. Bukan pacar dari putrinya.

"Jadi, mau santai atau langsung aja?" tanya Winata basa-basi seraya tertawa.

Arif ikut tertawa. Pria paruh baya itu lantas menepuk bahu putranya. "Langsung aja kali, ya. Biar setelah makan bisa langsung perkenalan."

Winata mengangguk. "Oke, oke. Jadi, Airin, ini Merapi. Anaknya om Arif rekan bisnis Papa. Rencananya, kami akan menjodohkan kalian, makannya—"

"Airin nolak."

Jawaban Airin sontak saja membuat Winata mendadak diam. Bahkan, Arif yang tadinya tersenyum langsung luntur secara perlahan.

Gadis itu menatap Merapi yang juga menatap ke arahnya. "Lo juga nolak kan?" tanya Airin.

Jika saja hubungannya dan Airin masih sebaik pertama, mungkin Merapi akan menerimanya tanpa pikir panjang.

Sehingga, yang bisa Merapi lakukan saat ini hanyalah diam. Keduanya bertahan dengan mata yang saling menatap.

Mereka sama-sama sakit, mereka sama-sama ingin tapi tak bisa, mereka sama-sama mau tapi mustahil.

"Merapi? Lo nolak, kan?" Suara Airin menjadi pelan dan bergetar.

Dia ingin memeluk Merapi. Ingin menangis sekencang-kencangnya tanpa ditanya apa penyebabnya.

Airin yakin, setelah makan malam ini berakhir, Airin pulang ke rumah, mungkin siksaan lain akan segera menantinya.

"Gue mau." Merapi melihat sorot ketakutan di kedua bola mata Airin. Merapi tidak tahu dia kenapa, tapi hatinya benar-benar sakit melihat Airin begitu.

Apa karena mereka baru saja berpisah? Maka dari itu Merapi merasakan sakit yang menjalar hingga ke dadanya?

"Pi—" Airin tercekat. Gadis itu sontak membuang arah pandangnya.

Gila! Merapi gila.

Dia menghamili Larissa. Kenapa dia malah berkata begitu di sini? Biarpun Airin belum memberitahu pada Merapi bahwa dia sudah mengetahui perihal ini, tetap saja. Jika dia bukan manusia brengsek, harusnya dia menolak secara tegas tentang perjodohan mendadak ini.

"Merapi mau, Pa." Merapi menatap Papanya yakin.

"Gue nolak, lo budeg?"

"Gue mau, Airin."

"Lo, brengsek!"

"AIRIN!"

Airin diam mendengar bentakan yang keluar dari dalam mulut Papanya. Gadis itu sontak menunduk dan mencengkeram erat dress yang dia kenakan.

"Maaf, Pak, Arif. Saya harus bicara dengan putri saya." Airin berjalan tertatih ketika Papanya menarik tangan Airin secara paksa.

Melihat itu, sontak saja Merapi berdiri dan mengejarnya.

Arif—Papanya Merapi yakin, Putranya dan gadis bernama Airin itu sepertinya sudah cukup dekat. Terlihat jelas dari cara mereka berinteraksi.

Bahkan, Airin dan Merapi sama sekali tak merasa canggung menyebutkan nama mereka masing-masing.

"Kak Merapi—"

"Gak papa. Biarin aja." Arif menahan Maudi yang hendak mengejar Merapi.

Di luar restoran, Merapi melihat jelas Airin ditampar dengan kencang. Tangan Merapi mengepal, cowok itu melangkah mendekat dan langsung memeluk Airin sehingga pukulan selanjutnya mengenai punggung Merapi.

"Merapi—" Suara Airin bergetar. Gadis itu langsung memeluk Merapi dan menumpahkan tangisnya di sana.

Sumpah demi apapun, ini pertama kalinya Merapi melihat Airin selemah ini.

Merapi membalas pelukannya. "It's ok. Ada gue." Merapi mengusap lembut bahu Airin.

Merapi menoleh kebelakang. Matanya menyorot tajam pada Winata. "Om gak perlu khawatir, saya akan minta Papa saya untuk tetap memberikan dana buat perusahaan Om, seperti yang dia janjikan."

"Enggak, Papa kamu enggak akan kasih kalau dia—"

Merapi menepis tangan Winata yang menujuk ke arah Airin. "Dia bakal terima perjodohannya dengan saya." Merapi menjawab dengan cepat.

"Dengan syarat, saya mau Airin ikut saya malam ini juga. Dan ... Tinggal sama saya."

"Kamu—"

"Atau perjanjiannya batal."

Airin meremas jaket yang Merapi kenakan dengan tangan kirinya.

Kenapa situasi ini harus datang padanya? Baru saja dia memutuskan untuk pergi dari Merapi, kenapa takdir seolah tak mengizinkan mereka untuk berpisah?

Tak cukupkan rasa sakit yang Airin rasakan? Harus seberapa lama lagi?

Bersama Merapi, ataupun bersama Papanya, mereka sama-sama neraka untuk Airin.

Tak ada yang lebih baik.

"Oke."

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Kolom menghujat disebelah sini =>

Spam nextnya brodii

Follow Instagram Octaviany_Indah

Tiktok : Wattpad.oncom

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro