12. Bertemu, Menghindar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayo, klik vote dan komentarnya dulu sebelum bacaa :) Selamat bersemestaa

Tepat pukul 5 sore, Magenta dan Baskara pulang dari rumah Binta. Mereka menghabiskan waktu dengan cukup baik. Belajar dengan tekun dan tenang, berdiskusi sesekali, pun rehat sejenak jika sudah penat. Saat makan siang pun, ada Ayah yang menyambut baik keduanya sekalipun tidak seramah Bunda. Baskara, satu-satunya manusia yang memilih olimpiade fisika juga tidak kalah tekunnya. Bedanya, lelaki itu lebih sering membuka video-video pembelajaran dari bimbel online yang dia ikuti. Wajar, sih, dia tidak mempunyai teman belajar seperti halnya Binta dan Magenta.

"Dadaaah! Hati-hati, ya, di jalan."

"Pulang dulu, Bin. Duluan, ya."

Binta merenggangkan badannya. Ia cukup lelah memutar otak seharian ini. Senyumnya merekah, akhirnya dia produktif juga di akhir minggu. Ya, sekalipun biasa-biasanya juga produktif, tetapi menghabiskan waktu untuk belajar dengan teman adalah hal yang cukup menyenangkan. Ini pertama kalinya Binta mengalaminya dan itu tidak terlalu buruk.

"Nanti malam mau nonton apa, ya?" gadis tersebut menggumam. Ia sudah bisa membayangkan menonton serial drama kesukaannya ditemani berbagai camilan yang menumpuk di kulkas.

Perempuan tersebut lekas membersihkan bekas-bekas makanan yang kotor tempat mereka belajar dan membawa kembali buku-bukunya masuk ke dalam kamar. Baru saja Binta merebahkan diri dan hendak bermain game di ponsel, pintu kamarnya terbuka.

"Teman-temanmu sudah pulang?"

Binta melonjak kaget, "Mas Nava? Ada apa?" balasnya justru bertanya. Ia menatap heran Nava yang tengah berdiri di ambang pintu sebelum masuk seenaknya dan menutup rapat-rapat pintu kamar Binta.

Gadis tersebut beringsut mengubah posisi menjadi duduk. Ia mengamati bagaimana Nava melangkah mendekatinya dengan sorot tajam tak melepas pandangan sedetik pun dari Binta.

Detik itu pula Binta tahu bahwa dia sedang dalam masalah besar. Memancing emosi Navarendra Adiwangsa bukanlah ide yang baik. Gadis tersebut reflek meremas sprei kasurnya menyalurkan perasaan gusar di sana.

Nava berhenti tepat di depannya, bersidekap dan menatap tajam, "Sudah lupa yang aku bilang dulu?"

"Mereka nggak akan kasih tau siapa-siapa kok, Mas. Mereka teman baikku. Nggak akan ada yang tau kalau kita saudara." Binta langsung menyela cepat. Ia tahu apa yang akan dibicarakan Nava.

"Terus kamu pikir aku peduli?" sahutnya bengis, ia menunduk guna menyondongkan badannya, "Kamu itu sudah janji, malah nggak ditepati. Sebenarnya mulutmu itu memang gunanya buat ngomong doang, ya? Tindakan apapun nggak bisa kamu lakukan. Nepatin janji saja susah. Kebiasaan."

"Aku mau izin sama Kak Nava kemarin tapi Kakak nggak ada seharian. Aku nggak tau harus gimana. Kita sama sekali nggak punya tempat untuk belajar."

Nava memincing, "Kak Nava?"

Binta mengatup bibirnya. Ia mengumpat dalam hati, "Ma-maaf, aku nggak sengaja."

"Nggak usah cari gara-gara kamu di sini. Mentang-mentang sudah hidup enak, jadi malah seenaknya. Kalau sampai ada kabar yang nyebar di seluruh sekolah, kamu yang kena akibatnya," ancam Nava.

Binta yang menunduk pun mengangguk patuh. Untuk yang kesekian kalinya. Dia tidak memiliki banyak pembelaan untuk melindungi dirinya. Hanya menurut bak orang payah yang benar-benar lemah yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Dia tidak tahu akan sejauh mana Nava menyakitinya, dia tidak tahu akibat seperti apa yang akan diterimanya. Namun, manakala mendengar itu langsung dari belah bibir seseorang yang sempai detik ini masih menjadi pemilik hati Bintari Ayudisa, gadis tersebut seolah tak peduli dengan dirinya. Yang ia pikirkan, ia hanya harus mengikuti semua ucapan Nava. Tidak ingin mencari masalah dan tidak ingin semakin menyakiti seseorang yang dulu pernah menjadi kekasihnya.

Nava tidak membutuhkan waktu lama. Seusai mengancam dengan nada rendah dan mengirimkan teror ke sekujur tubuh Binta, pemuda tersebut membuka pintu hendak keluar. Namun langkahnya tertahan ketika dia melihat Sekala yang justru sedang berdiri di hadapannya.

Mereka saling pandang sesaat dengan sorot dingin dan tak bersahabat. Sampai Nava meninggalkan kakaknya tanpa mengucap sepatah kata pun.

Di langkah kelimanya, pemuda tersebut berhenti.

"Sampai aku lihat kamu benar-benar nyakitin dia, Nava, apalagi kalau nanti kamu sampai main tangan, aku nggak akan tinggal diam. Aku nggak peduli, kamu memang adikku, tapi Binta juga adikku. Aku akan tetap melindungi apa yang seharusnya aku lindungi."

Nava menarik satu sudut bibirnya. Ia tersenyum remeh. Dengan tubuh yang masih memunggungi Sekala, pemuda tersebut membalas sinis, "Jadi begitu sekarang? Sayang sekali, Mas Kala sudah nggak bisa belain aku lagi."

"Nava―"

"Kalau begitu hibur saja dia. Bela dia. Lakukan apa saja yang dulu juga Mas Kala lakukan ke aku. Aku sudah nggak peduli. Tapi jangan berharap aku bakalan ngelakuin hal yang sama."

Usai mengatakan itu, Nava berlalu begitu saja. Tanpa sekedar menoleh melihat kakaknya. Pemuda tersebut memasuki kamar seusai menutupnya dengan gebrakan yang lebih keras.

Sekala menghela napasnya. Nava benar-benar keras kepala. Adiknya yang satu itu memang sedikit sulit diatur. Biarlah saja dulu. Biar Nava mengambil waktu karena kali ini, ada dua orang yang harus diurusnya. Jadi, lelaki tersebut mencoba mengambil napas dalam-dalam. Menenangkan diri sebelum menciptakan seulas senyum dan ekspresi tenang pun senang sebelum mengetuk kamar si bungsu.

"Binta? Ini Mas Kala. Boleh masuk?"

"Masuk saja, Mas."

Sekala memasuki kamar Binta. Gadis tersebut sedang meringkuk dan memainkan ponselnya. Menggulir beranda Instagram melihat-lihat tanpa minat. Padahal baru saja Sekala mencoba tetap terlihat senang tanpa masalah, ia kembali merasa iba melihat adiknya yang sedang tenggelam di balik selimut.

"Mas Kala mau beli titipannya Bunda. Mau ikut?"

"Nggak. Binta di rumah saja. Capek soalnya."

"Nggak mau dibeliin apa-apa?"

Binta menggeleng. Tatapannya masih tertuju pada ponsel. Gadis tersebut tampak lesu.

Sekala menghela. Pemuda tersebut mengambil tempat duduk di sisi ranjang Binta. Menepuk-nepuk kakinya lantas berujar.

"Dek, kalau Nava gangguin kamu, balas saja dia. Nggak usah takut."

Ucapan Sekala menarik atensi Binta, "Mas Kala dengar?"

Sekala menggeleng, "Tapi mau ngapain Nava ke kamar kamu kalau nggak mau gangguin kamu?"

Binta hanya diam. Dia tidak tahu harus bagaimana. Hal itu mengundang Sekala mengulum senyumnya, tangan si sulung menuju puncak kepala Binta. Mengelusnya halus dan berkata lembut, "Dia nakal, ya?"

Binta mengangguk pelan, "Nakal sekali," lirihnya.

Sekala melihat gemas Binta, "Makanya, lawan dia. Jangan takut. Supaya dia nggak gangguin kamu lagi."

Namun Binta justru menggelengkan kepalanya. Gadis tersebut sangat amat jarang bisa bermanja-manja seperti ini dahulu. Ketika Ibu masih hidup pun, Binta tidak sering menghabiskan waktu bersama karena ibu yang terlalu sibuk bekerja. Selama ini, Binta terbiasa mengurus keperluannya seorang diri. Namun memiliki seseorang sebagai tempat mengadu dan berkeluh kesah, Binta merasakan sensasi menyenangkan dalam dirinya.

Gadis tersebut kini justru menatap Sekala dengan senyum tipisnya, "Ada Mas Kala yang bakalan belain Binta, kan?"

"Aku nggak terus-terusan bisa belain kamu, Ta. Kamu harus bisa bela dirimu sendiri."

"Nggak mau. Aku maunya Mas Kala yang lindungin aku. Memangnya Mas Kala nggak mau?"

"Bukan begitu. Tapi kamu tau sendiri kalau kita nggak bisa terus sama-sama. Kamu harus bisa kuat. Harus jadi Binta yang nggak boleh lemah," tegasnya.

Gadis tersebut masih tersenyum. Ia lantas berkata, "Mas Kala nggak perlu khawatir. Sejak dulu, Binta selalu melindungi diri Binta sendiri. Binta nggak punya siapapun untuk berlindung selain ibu."

Hati Sekala terenyuh. Ia menatap lurus Binta, bisa-bisanya Sekala melupakan satu fakta itu.

Binta yang melihat ekspresi Sekala berubah lantas tertawa lirih, "Binta sudah jago untuk melindungi diri sendiri. Mas Kala nggak usah khawatir, ya. Adikmu ini kuat, lho."

"Lalu kenapa nggak pernah melawan Nava?"

"Hmm, kenapa, ya?" gadis tersebut mengubah posisinya menjadi terlentang. Menatap langit-langit kamarnya, lantas menjawab dengan senyum yang enggan beranjak, "Karena itu Mas Nava orangnya."

"Maksudnya?"

"Karena itu Mas Nava. Jadi, Binta nggak bisa melawan."

"Binta, tapi dia―"

"Iya, aku tau, kok. Apa yang Mas Nava lakukan itu salah. Tapi gimana, ya? Akunya saja yang nggak bisa melawan. Lagian, jadi adik yang nurut juga bukan hal yang dilarang kan, Mas Kala?"

Sekala menunduk sejenak. Ia menghembuskan napas dengan tenang. Kembali menatap Binta mencoba menasehati, "Binta," panggilnya lembut.

"Terlepas dari apapun posisimu. Terlepas dari siapa kamu. Terlepas dari bagaimana statusmu di keluarga ini, kamu juga masih punya hak untuk membela diri. Kamu nggak bisa terus-menerus menurut sama apa yang dikatakan Nava. Kalau itu membuat kamu nggak nyaman, kamu bilang ke dia. Kalau dia sudah gangguin kamu, kamu harus melakukan pembelaan. Binta, kamu itu juga manusia. Kamu juga punya hak untuk membela dirimu sendiri. Tidak peduli sekalipun Nava kakakmu sendiri.

"Aku memang akan bela kamu kalau semisal Nava sudah kelewatan. Namun, itu nggak akan mengubah apapun. Di mata Nava, kamu akan tetap terlihat lemah dan payah. Dia nggak akan tau letak kesalahannya kalau kamu pun nggak berbicara. Dia nggak akan peduli kalau itu bukan berasal dari kamu sendiri. Kamu melawan, selain untuk membela diri, itu juga untuk buat Nava sadar. Untuk kebaikan Nava sendiri."

Binta memilin jemarinya. Apa yang diucapkan Sekala memang ada benarnya. Gadis tersebut menatap ke arah jendela. Langit sudah memancarkan rona jingganya.

Sekala pun menepuk tangan adiknya dua kali, "Itu yang bisa aku bilang. Kamu pikirkan baik-baik. Supaya besok, kamu bisa mengambil langkah yang juga baik untuk diri kamu. Jangan semakin menyiksa diri sendiri, Binta."

Si sulung Naradipa bangkit dari duduknya. Ia belum selesai berbicara. Di ucapan terakhirnya, Sekala memberikan makna tersirat dalam sana, "Jangan hanya karena Nava, kamu berkorban terlalu banyak. Kamu nggak seharusnya melakukan itu. Kamu pun, berhak untuk bahagia. Karena bukan cuma dia saja yang terluka. Kamu pun sama. Dan dia harus tau fakta itu."

***

Sepanjang hidupnya, Nava hampir tidak pernah mengalami penolakan. Dia selalu berhasil dan bisa mendapatkan apapun yang ia mau. Hidup dalam ruang lingkup keluarga bahagia, Nava tak hentinya bersyukur akan hal itu. Dia mempunyai kakak yang juga sama ambisiusnya dengannya, Ayah yang menekannya agar berhasil dan sukses, serta Bunda yang menjadi pendorong semangat dan pendukung setia. Nava memang tidak mempunyai nilai sehebat teman-temannya di kelas unggulan. Namun prestasinya dalam bidang non akademik membuat nilai plus untuknya. Kebanggaan Ayah dan kesayangan Bunda. Begitu seringkali ia dielu-elukan di rumah.

Saat pertama kali merasakan jatuh cinta dan menemukan gadis yang sesuai inginnya, Nava pun tidak membutuhkan waktu lama sampai ia berubah menjadi seseorang yang dimabuk cinta dan pada akhirnya berhasil mendapatkan Disa sesuai keinginannya. Seluruh hidupnya benar-benar lurus tanpa ada rintangan yang berarti.

Namun barangkali, hidup memang tidak selamanya lurus-lurus begitu. Nava tahu, bahwa apa yang didapatkannya saat ini juga karena semua kesempurnaan hidup yang ia miliki. Segalanya seolah hilang dalam sekejap mata, segalanya pergi begitu saja. Semuanya yang ia miliki sedikit demi sedikit meninggalkannya, atau barangkali saja, Nava yang meninggalkan mereka.

"Kalau mau syuting drama-drama, ikut saja, Nava. Kamu sudah cocok untuk debut jadi aktor."

Nava menoleh melihat perempuan yang tiba-tiba saja duduk di sampingnya. Ia menyeruput es teh dan mengunyah cilok yang baru saja dibeli.

"Kamu kenapa perlu mampir ke sini sih, Aruna?" tanyanya kesal karena kegiatannya justru diganggu.

"Kamu terlalu mendalami peran. Sudah seperti second lead yang punya kisah cinta paling miris," komentar Aruna tanpa memedulikan Nava dan ucapannya.

Nava hanya menganggap ucapan Aruna sebagai angin lalu. Ia sadar berdebat dengan gadis itu tidak ada habisnya. Aruna selalu menemukan kalimat-kalimat untuk menyanggahnya. Jadi, dibiarkan saja Aruna yang tengah asyik menyantap cilok sembari mengeluh kepedasan, dan berakhir menyeruput serakah es tehnya.

"Sejak kapan kamu merokok, Nava?"

"Apa lagi, sih? Bicaramu makin ngawur. Kalau masih lapar, makan lagi sana. Biar nggak ngelantur."

"Itu buktinya apa?"

Nava melihat satu bungkus rokok yang terlihat sedikit di dalam saku almamaternya, "Ini titipannya Mas Kala. Aku males mampir-mampir, makanya tadi sekalian beli."

"Nggak ditanya macam-macam kamu sama kasirnya?"

"Nggak, lah. Biasa aja."

"Enak sekali, aku kalau beli rokok selalu ditanya. Yah, sayang banget. Kalau itu rokok punyamu, aku mau minta."

Nava mendelik. Ia spontan melihat Aruna terkejut, "Kamu ngerokok?!" serunya.

Aruna memejam sambil merutuk, "Bisa pelan-pelan, nggak? Telingaku nggak kemana-mana."

"Aruna, serius kamu ngerokok?" Nava bertanya sekali lagi, tidak memedulikan pernyataan Aruna barusan.

"Ya kalau ngerokok memangnya kenapa? Salah? Memang cowok saja yang boleh ngerokok?"

"Y-ya, nggak gitu juga sih. Tapi―duh, Aruna. Kenapa kamu harus ikut-ikutan, sih. Kamu masih SMA."

"Ya memangnya teman-temanmu ngerokok pas kapan? Kuliah? Orang mereka sering diam-diam ngerokok di belakang sekolah," balas gadis tersebut. Ia mengedikkan bahu acuh. Lepas setelahnya melempar bungkus cilok dan es tehnya ke tempat sampah.

"Tapi, Aruna. Kamu nggak seharusnya ikut-ikutan. Kamu kalau butuh pelampiasan, ya ke yang lain dong! Shopping, kek, traveling, kek. Apapun itu. Bahaya tau ngerokok."

Aruna hanya tersenyum tanpa ada rasa bersalah, "Shopping? Traveling? Sama siapa, Nava?"

Nava menatap bingung.

"Aku nggak punya banyak teman. Nggak kayak kamu yang kenalan di mana-mana banyak. Hidupku juga nggak sesempurna kamu yang dikelilingi orang-orang baik. Aku nggak punya siapapun yang bisa aku ajak untuk bertukar cerita."

Aruna memandang Nava sekali lagi. Ia tersenyum. Helaian rambutnya sedikit beterbangan terbawa angin, "Apa yang aku lakukan sepertinya juga lebih baik. Setidaknya, aku nggak perlu kelihatan sekali terlalu menyedihkan. Sama seperti kamu yang mempertontonkan kesedihan kamu di depan orang-orang."

Nava mengepalkan tangannya. Ia terpancing, "Tau apa kamu tentang hidupku?"

"Dan tau apa kamu tentang hidupku?" Aruna melawan balik. Gadis tersebut menatap Nava tak mau kalah. Berbeda dengan Nava, Aruna masih tampak tenang.

"Lihat, kamu nggak bisa jawab apa-apa, kan?" Aruna tersenyum senang atas kemenangannya, "Dengar, Nava. Nggak semua orang seberuntung kamu, nggak semua orang punya rumah sebagai tempat pulang."

"Rumahku sudah bukan lagi tempat pulang ternyaman." Nava berkata begitu saja.

Aruna menatap sedikit terkejut. Ia tidak menyangka Nava akan langsung mengatakan itu. Namun gadis tersebut justru mengulurkan tangannya. Mengode pada Nava agar membalas ulurannya.

Tepat setelah Nava menjabat tangan Aruna, gadis tersebut tersenyum begitu lebar. Sampai membuat dua matanya menyipit sempurna, "Selamat! Kamu punya teman senasib. Wah! Ku pikir cuma aku yang kehidupan keluarganya agak sinting. Kamu pun begitu," ucapnya ceria. Seolah itu hanyalah masalah kenakalan remaja yang bisa mereka tolerir bersama.

Namun Nava justru turut melakukan hal serupa. Ia tertawa. Entah menertawakan apa. Barangkali mengetawakan nasib hidupnya yang mendadak menyedihkan seperti ini.

"Jadi," Aruna menggantungkan ucapannya, "Karena rumah milik kita sudah tidak senyaman dulu, mau menemukan rumah bersama-sama, Nava?"

"Caranya?"

"Ayo kita pergi. Mencari rumah lain. Di tempat lain. Kota ini terlalu menyakitkan, bukan?"

Pernyataan Aruna terdengar konyol. Namun dengan jabatan tangan yang masih terjalin itu, Nava menimbang sejenak. Butuh beberapa detik untuk berpikir sampai ia pada akhirnya mengangguk. Ide konyol itu terdengar satu-satunya jalan keluar miliknya. Bagaikan sepercik cahaya yang hadir di ruang gelap yang selama ini dihuni Nava.

"Ayo kita pergi dari kota ini, Runa."

Aruna tersenyum penuh arti, "Tunggu sebentar saja. Sampai waktunya tiba, kita akan pergi sama-sama," gadis tersebut melepas jabatan tangan mereka. Kini berganti menyodorkan kelingkingnya, "Janji?"

Tak butuh waktu lama, Nava mengaitkan kelingkingnya pada milik Aruna. Setelah itu menempelkan ibu jari mereka. Seperti jaminan tak kasat mata yang hanya bisa diketahui keduanya.

"Janji."

Siapa yang ada di pihak Nava?

Atau yang ada di pihaknya binta?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro