15. Tentang Berubah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo, akhirnya cerita ini update lagi. Seperti biasa, jangan lupa klik vote nya sebelum baca <3
Selamat bersemesta

s e d a n g      b e r p u t a r

Banda Neira - Hujan di Mimpi

.

.

.

"Kayaknya makan toast enak, deh setelah ini." Binta tiba-tiba menukas ketika ia dan Magenta keluar dari ruang pembinaan olimpiade.

"Jangan toast, kebab saja." Dari arah kanan, Baskara menyahut, menyusul langkah dua sahabatnya tepat setelah dia keluar dari ruang pembinaan juga.

"Corn dog saja." Giliran Magenta ikut-ikutan.

Ketiganya tampak luar biasa penat dengan gurat-gurat lelah di wajahnya. Helaan napas yang terdengar sesekali dan langkah gontai sudah membuktikan betapa panasnya otak yang harus dipaksa tetap bekerja kendati ingin sekali berhenti. Seperti bermain, olahraga, atau apapun itu kecuali belajar pokoknya. Namun tentunya tidak bisa begitu, sebagai anak usia 16 tahun dan menduduki bangku SMA, pasti belajar akan selalu menjadi rutinitas wajib ketiganya.

"Langsung pulang saja kalau begitu." Binta mengambil jalan tengah. Malas sekali di situasi macam ini harus berdebat dengan dua kawannya. Apalagi hanya perihal makanan.

"Iya, kayaknya itu lebih bagus."

Binta melihat jam di tangan kirinya. Ia mendesah kasar, "Aku langsung ke bimbel. Ada yang punya les juga hari ini?"

"Aku," balas Magenta malas.

"Dan juga aku."

Ketiganya kompak menghela napas bersamaan. Rencana langsung pulang, seketika gagal.

"Aku nebeng ya, Ta." Magenta mengangguk pasrah mendengar penuturan Binta.

"Kita pergi jajan dulu, yuk. Masih ada waktu sebelum bimbel." Baskara berucap, mereka sudah berada di depan loker masing-masing.

Ketiganya mengganti buku yang mereka bawa. Mengambil buku-buku untuk keperluan bimbingan nantinya. Tas Magenta dan Baskara semakin tebal dan berat, sementara Binta memilih membawa tote bag lain untuk buku-buku tambahannya.

"Iya, aku juga lapar."

"Yaudah, mau makan apa? Kebab, toast, corn dong?" Magenta dongkol mendengar ocehan teman-temannya yang sejak tadi banyak mau.

"Toast."

"Kebab."

Mendengar itu, Magenta mendesah napas pasrah, ia mengibaskan tangan sebab paham karakter dua orang yang tidak mau kalah itu, "Beli cilok depan sekolah saja kalau gitu, atau cimol sama stik kentang."

"Yah, Ta. Kok malah beli itu, sih?" protes Baskara.

"Ya habis nggak ada yang mau ngalah."

Namun seperti biasa-biasanya, ucapan Magenta selalu menjadi keputusan mutlak yang mereka bertiga miliki. Bisa dibilang, dibandingkan mereka berdua, Magenta adalah orang yang cukup tenang dan juga tegas. Keputusan yang keluar dari bibirnya dianggap mutlak dan sebuah dosa besar jika melanggar, itu sih kata Baskara. Memang dia yang berlebihan, kalau Binta santai-santai saja. Dia menganggap apa yang diputuskan Magenta cukup bisa dipercaya mereka semua.

"Mas, cimolnya lima ribu, satu. Stik kentangnya tujuh ribu, satu. Sama cimol campur stik kentang tujuh ribu, satu. Semuanya pakai saos, ya." Binta menyebutkan pesanan mereka bertiga.

Sembari menunggu mas-mas penjual merampungkan pesanan, Magenta dan Baskara pergi membeli minuman untuk mereka bertiga. Tidak butuh waktu lama karena tidak ada antrian, berbeda dengan Binta yang menunggu pesanan karena ada perempuan di sampingnya yang datang lebih dulu.

"Lho? Senjani?"

Sekonyong-konyong Binta terkejut dengan nama yang Baskara lontarkan. Binta lekas menoleh ke kiri, tempat gadis yang sejak tadi asyik bermain ponsel itu mendongak. Ia tersenyum ramah dengan tangan yang melambai menyapa Magenta dan Baskara yang kini berada di hadapannya.

"Belum pulang juga, Jani?" Baskara mencoba ramah, sikunya sejak tadi menyenggol Magenta, semata-mata membantu sahabatnya itu melakukan pendekatan.

Satu sisi Binta menatap datar sembari menghela napasnya. Ia geleng-geleng kepala. Magenta justru mati kutu dan tegang luar biasa. Payah sekali.

"Belum, Bas. Tadi kebetulan aku ikut ujian susulan di ruang guru. Makanya pulang telat."

Baskara mengangguk paham, ia teringat ada satu perempuan lain di antara mereka, "Ini temanku, Jani. Namanya Binta. Yang waktu itu sempat kami ceritakan."

"Iya, aku sering lihat dia sama kalian. Halo, namaku Senjani. Panggil Jani saja." Senjani mengulurkan tangan, tersenyum ramah.

Binta mengamati wajah Senjani yang duduk di sampingnya lebih dekat. Dalam hati ia memuji selera Magenta. Pintar sekali sahabatnya itu memilih perempuan. Dilihat dari tampangnya saja, Senjani tipikal perempuan yang ramah dan baik-baik. Badannya memang kurus, tetapi dua pipinya cukup tembam, tampak menggemaskan. Dua netra bulatnya berkedip sesekali. Ia tampak sangat cantik nan ayu di saat bersamaan.

Memang dasar Magenta, dia bahkan tidak sanggup berkata-kata sejak tadi.

"Halo, Jani. Aku Bintari. Panggil Binta saja lebih singkatnya."

"Mba, ini pesanannya." Senjani hendak kembali membagi banyak topik dengan kawan barunya, terutama melihat Binta yang baru-baru ini menjadi topik hangat di antara kawan-kawannya. Namun, sayangnya harus terputus karena pesanannya baru saja selesai.

"Aku sebenarnya masih pengin cerita-cerita, cuma baru ingat mau ada les sebentar lagi," katanya tampak menyesal, "Nanti kita cerita-cerita lagi, ya. Binta, Baskara, Magenta. Aku duluan."

Ketiganya mengangguk maklum, mereka membalas senyum ramah Senjani, "Hati-hati, Jani."

Selepas memandang Senjani yang perlahan menghilang dari pandangan mereka, Baskara menatap Magenta dengan tatapan mencemooh khasnya. Ia berdecak dengan kepala yang tergeleng beberapa kali.

"Payah kamu, Genta. Kalau gini terus, gimana Senjani bakalan klepek-klepek sama kamu?"

"Memangnya ikan? Klepek-klepek." Magenta menyahut cuek.

"Jani baik, Ta. Kelihatannya, sih," komentar Binta, ia tidak mau langsung menilai hanya dari pertemuan pertama saja.

"Memang baik anaknya," timpal Baskara, "Tapi dasar Magentanya saja yang bandel. Dari dulu cuma dilihatin saja," cibirnya.

"Ya aku nggak mau langsung buru-buru bilang baik, sih. Baru ketemu pertama kali juga," Binta mengedikkan bahu, "Lihat dulu ke depannya, dari segi cewek, dia sudah sesuai belum sama kriteriaku. Perihal baik atau nggaknya. Takutnya depan kalian mereka baik, tapi sesama perempuan justru sebaliknya." Realistis saja, Binta hanya mencoba untuk berjaga-jaga mengingat akhir-akhir ini ketenangannya diusik kembali karena perbincangan para gadis di belakangnya yang tidak-tidak.

Baskara mengangguk maklum, dia mengerti. Terutama mendengar apa yang anak-anak di sekolahnya bicarakan tentang Binta. Sudah pasti sahabatnya tersebut tengah berhati-hati, sekaligus berniat melindungi Magenta dari perempuan yang tidak baik untuknya.

"Tapi, Ta," Binta berbicara, meraih kembali atensi Magenta yang sejak tadi hanya sebagai pendengar. Gadis tersebut menepuk pundak Magenta dan mengangguk beberapa kali, mengundang sarat kebingungan di wajah sahabatnya.

"Kalau untuk urusan wajah dan penampilan, aku akui seleramu cukup bagus."

***

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam dan Binta baru saja sampai di rumahnya. Hari ini, selain bimbingan, dia juga mengikuti khursus privat yang memang khusus disediakan di bimbingan belajar tempatnya. Ada beberapa pelajaran yang terlewatkan Binta selagi dia fokus pembinaan olimpiade, itu sebabnya dia membutuhkan privat untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah yang diberikan guru di sekolah.

"Halo, Mas," Binta merebahkan diri di sofa ruang tamu. Mengikuti Sekala yang tengah diam menatap ponselnya.

"Hm," balas Sekala menggumam singkat. Ia tampak enggan meladeni siapapun di rumah ini.

Binta mengernyit, ia melihat perubahan Sekala akhir-akhir ini yang lebih pendiam. Gadis tersebut melirik ponsel yang sejak tadi dipandangi oleh kakak sulungnya itu, "Lagi berantem ya, Mas?"

Sekala melirik Binta, ia menggeleng pelan sebelum memasukkan ponsel miliknya dalam saku, "Nggak, kok," ucapnya, "Cuma akhir-akhir ini kita jarang bisa bareng saja."

Binta mengangguk. Pantas saja Sekala uring-uringan, tidak mendapatkan kabar dari sang kekasih memang cukup memusingkan. Binta tentu saja tahu rasanya bagaimana.

"Sibuk kali, Mas, Mba Tsana-nya," ucap Binta mencoba menengahi, "Lagian kan, Mba Tsana jadi dokter. Pasti banyak banget kerjaan yang harus dia urus." Gadis tersebut menepuk-nepuk paha sang kakak, berusaha menenangkannya.

Sekala menghembuskan napasnya berat, "Dulu juga sibuk-sibuknya, tapi kita masih bisa tukar kabar sesekali. Sekarang ... aku ngerasa Tsana beda saja dari biasanya," gumamnya lirih, tetapi masih tertangkap rungu si adik.

Binta nyaris kembali menimpal jika saja Sekala tidak tiba-tiba menolehnya dan tersenyum tipis. Senyuman yang teramat tipis sampai-sampai tidak mengenai kedua netra cokelatnya. Pemuda tersebut menepuk puncak kepala Binta, menukas ringan.

"Sudah jangan dipikirkan. Ini cuma urusan cintanya Mas Kala saja," katanya, "Gih, kamu masuk sana. Ganti baju, Bunda lagi siapin makan malam. Nanti kita makan sama-sama."

Suara tawa dari ruang tengah menarik atensi Binta, gadis tersebut beringsut bangkit dari duduknya dengan tatapan tanya pada Sekala, "Siapa yang datang, Mas?"

"Sahabatnya Nava," jawab Sekala, "Dia datang belajar ke sini. Lintang namanya. Kamu nggak pernah lihat, karena Lintang akhir-akhir ini jarang ke sini."

Binta hanya menganggukkan kepalanya. Ia tidak mau berpikir panjang, berpamitan singkat pada Sekala dan berniat langsung memasuki kamar.

Namanya Lintang. Binta sudah tidak asing lagi dengan nama itu. Dulu, saat ia masih menjalin hubungan dengan Nava, beberapa kali pemuda tersebut menceritakan soal Lintang, bahkan terkadang meminta izinnya jika ia ingin keluar bersama Lintang. Singkatnya, Lintang adalah sahabat Nava sejak awal mereka menginjakkan kaki di bangku SMA. Kemana-mana selalu berdua. Belajar, bermain, bahkan ketika salah satunya ingin pergi pasti mereka saling menemani satu sama lain.

Binta melirik sekilas dari balik dinding untuk sesaat. Ah, jadi itu yang namanya Lintang. Binta mengangguk mengerti ketika ia memang beberapa kali menangkap Lintang ke kantin bersama dengan Nava. Namun ia tidak bertanya banyak kala itu, pikirnya memang si Lintang-Lintang ini salah satu dari teman-teman Nava yang lainnya. Lagipula, Nava tidak jarang pergi ke kantin bersama teman-teman perempuannya. Jadi, Binta tidak terlalu banyak ambil pusing dan memerhatikan.

Tawa Nava terlihat lepas sekali, Binta melihat itu dengan teramat jelas. Semenjak ia menginjakkan kaki di rumah ini, tidak pernah dia melihat Nava selepas pun seekpresif itu. Kakaknya yang satu ini tergolong sedikit kaku, keras, dan dingin selama di rumahnya. Apapun yang dilakukan Lintang, atau siapapun Lintang ini, pastilah dia orang yang penting bagi Nava dan sangat berperan penting dalam hidup kakaknya.

Binta pada akhirnya menghela. Gadis tersebut sudah teramat lelah dan tidak ingin menambah beban pikiran. Dia hanya ingin mandi, makan, lalu tidur. Tidak ingin yang muluk-muluk. Jadi, gadis tersebut melangkah, tentunya melewati Nava dan Lintang yang berada di ruang tengah.

Tawa dan perbincangan keduanya terhenti ketika Binta melewati mereka. Gadis tersebut menunduk, tidak menyapa ataupun sejenisnya. Bahkan untuk sekadar menoleh saja enggan.

"Anak Bunda sudah pulang?"

Namun panggilan Bunda menggagalkan rencana Binta yang baru saja hendak naik menuju kamar, "Iya, Bunda," sahut Binta malas.

"Bersih-bersih dulu ya, Nak. Nanti makan sama-sama. Ada Lintang juga di sini, Lintang ikut makan sama kita, ya." Bunda berucap ramah.

Lintang tersenyum dan mengangguk sopan, "Iya, Tante."

Binta tak mau lagi berlama-lama di sana. Belum lagi setelah melihat gelak tawa dan perdebatan kecil Nava serta Lintang di ruang tengah, dia tak mau mendengar itu lama-lama.

Sebenarnya, Binta enggan mengakui, dia tidak suka melihat Lintang sedekat itu dengan kakaknya. Entah tidak suka dalam konteks yang seperti apa, Binta pun tak tahu. Intinya, dia hanya tidak suka melihat gadis tersebut di sekeliling kakaknya. Jadi, dia lekas melangkah memasuki kamar. Menutup pintu dengan sedikit keras dari biasanya.

Dari bawah, Lintang mengamati dengan detail Binta yang sedari dulu ingin sekali ia temui. Gadis yang sejak awal memang sudah menarik perhatiannya, gadis yang dulu sangat diincar oleh Nava.

"Kamu giliran makan saja, cepat tanggapinnya," Nava mendadak mengomentari ucapan Lintang terhadap ibunya beberapa menit lalu.

Lintang cepat-cepat mengubah ekspresi wajahnya sebelum Nava menyadari itu. Ia mendorong bahu Nava lumayan keras, "Yeee, nggak apa-apa, dong. Sekarang kan aku jarang ke rumah kamu. Sekali-kali ngabisin makanan di sini," sahutnya asal.

Nava berdecih, "Diet, tuh. Muka sudah bulet banget kayak cilok. Kelewat makmur kamu."

"Ih, Nava. Ngomong berat badan sama perempuan itu nggak sopan, tau." Lintang berkata santai, ia sudah terbiasa dengan perkataan Nava yang sedikit frontal dan blak-blakan.

Nava mendecih, tampak tidak memedulikan ucapan Lintang yang dibuat-buat memelas itu. Fokusnya kini kembali kepada tumpukan kertas-kertas latihan Ujian Nasional matematika yang harus ia selesaikan. Sebentar lagi dia juga akan menjalani try out di sekolah. Itulah kenapa Lintang mengajaknya belajar bersama.

Sepeninggalan Nava, Lintang mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah. Ada foto besar yang terpajang di atas televisi. Foto keluarga yang dulu selalu dilihat Lintang setiap datang, sudah diganti dengan yang baru. Lintang meringis dalam hati. Arah matanya kembali menuju sebuah kamar di lantai dua, tempat Binta masuk ke sana beberapa saat lalu.

Gadis tersebut berganti melirik sahabatnya yang tengah fokus dengan soal trigomometri yang memusingkan kepala. Tanpa sepengetahuan Nava, Lintang menggelengkan kepala pelan, seraya tersenyum miris melihat kisah hidup sahabatnya yang selayaknya film-film di televisi.

Sabar ya, Nava. Setelah ini, pasti kamu akan bahagia, kok.

Akhirnyaaaa....

Kalian ketemu sama si Lintang di Merebah Bumi. Sudah sampai mana baca "Kepada Langit"? huhuhu, jangan lupa nantikan chapter selanjutnya yaaa.

Eits! Komentar kalian jangan lupa ditinggalkan yaa. It really means a lot for me. Share cerita ini ke teman-teman kalian dan jugaaa... mari berteman di instagram dengan follow @bintangsarla

Terimakasihhhh <3 sampai jumpa di bab selanjutnyaaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro