18. Setiap Orang Memiliki Lukanya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum baca, tekan dulu tombol bintangnyaaa. Selamat bersemesta <3

Perhatian, Chapter ini bakalan panjang, sekitar  2000an kata. Jadi, selamat menikmati.

            Agaknya memang setiap manusia ini punya rahasianya masing-masing. Katanya, hidup itu seperti panggung pertunjukan. Setiap orang berlomba-lomba menunjukkan versi terbaik miliknya. Tentunya dengan banyak alasan yang mengikut serta. Seperti, ingin terlihat lebih baik dibandingkan yang lain, tidak mau kalah, tidak ingin harga dirinya diinjak-injak, tidak ingin tampak memalukan, tidak ingin terlihat menyedihkan, atau hanya sekadar ingin membagikan kebahagiaan dan miliknya saja.

Nava melangkah pasti menuju toilet. Pemuda tersebut baru saja keluar dari kelas. Ada rapat di antara guru sehingga mata pelajaran dikosongkan dan hanya diisi dengan mengerjakan tugas saja. Pemuda tersebut sudah menyelesaikan tugasnya, pun mengumpulkan seperti yang lainnya. Hanya membutuhkan waktu satu jam pelajaran, sisanya dia gunakan untuk saling bersenda gurau dan tertawa dengan teman-temannya yang lain.

Meskipun kelas Nava tidak seramai kelas reguler, mengingat dia berada di kelas unggulan. Banyak teman-temannya yang memilih untuk mengerjakan soal-soal latihan ujian nasional melalui buku detik-detik persiapan ujian, duduk tenang dengan membaca novel, mengobrol senormalnya dengan satu-dua teman lainnya, atau yang paling aman adalah tidur. Tidur adalah yang seringnya mereka lakukan, mengingat selepas ini tidak ada waktu luang mereka untuk beristirahat.

Namun berbeda dari yang lain, Nava menuju toilet. Tidak untuk menuntaskan urusan panggilan alam seperti yang seharusnya, tetapi lelaki tersebut berdiri di depan westafel. Mengambil napas panjang, menahannya cukup lama seolah ingin membiarkan udara tersebut untuk bertahan lebih lama di sana, lalu menghembuskannya secara perlahan seusai merasa sedikit lebih tenang.

Bunyi air terdengar ketika Nava membuka keran westafel. Pemuda tersebut seketika membasuh wajahnya berkali-kali, sampai membasahi poninya yang sudah memanjang pun rambut yang berada di dua sisi wajahnya.

Dua tangan Nava bertumpu pada pinggiran westafel. Ia lelah sekali. Padahal dia hanya tertawa dan mencoba mengobrol seperti anak-anak SMA lain pada umumnya, senormalnya remaja seusianya. Namun ternyata, mencoba memasang sebuah topeng dan membohongi semua orang memang cukup melelahkan. Seharusnya dia tidur saja tadi, bukan justru ikut bermain bersama teman-temannya yang lain.

Nava menarik beberapa helai tisu dan membersihkan wajahnya. Ia sudah merasa lebih tenang dibandingkan awalnya, pun beranjak dan kembali ke kalasnya.

Namun baru saja ia membuka pintu toilet, ada Lintang yang sudah berdiri di hadapannya. Menyandarkan punggung di tembok dengan tangan menyilang depan dada. Memandang lurus Nava tepat pada manik mata pria tersebut.

"Sudah dibilangi, ikut aku saja ke kantin." Lintang melemparkan satu botol teh dingin kepada sahabatnya itu.

"Sejak kapan ada di sini?" Nava justru tidak mengindahkan ucapan Lintang. Ia membuka botol minumannya dan menenggak sembari berjalan.

Lintang berdecak kesal, "Minum tuh sambil duduk."

"Ku tanya sudah sejak kapan di sini?" Nava lagi-lagi tidak mendengar ucapan Lintang.

Lintang merotasikan matanya, "Sejak awal. Tadi niatnya balik kantin malah lihat kamu masuk ke sana. Kenapa sekarang?" Lintang cukup peka melihat rambut Nava yang basah, pemuda tersebut pasti baru saja membasuh wajahnya, "Karena nilai try out-mu turun?"

"Itu salah satunya," Nava dan Lintang tidak memilih untuk langsung masuk kelas. Mereka berdiri di luar, bersandar pada dinding pembatas lantai 3 sekolah mereka seraya melihat pemandangan di bawah yang sepi mengingat masih jam pelajaran, "Tapi tadi ngerasa capek aja. Anak-anak ngajak main, aku kayaknya ngabisin terlalu banyak energi pas main sama mereka."

"Makanya jangan terlalu semangat kalau main. Orang kalau peringkatnya turun kayak kamu tuh kalau bisa galau nggak makan berhari-hari. Ini kamu malah terlalu bahagia."

"Bukan terlalu bahagia. Ini tandanya aku stress banget. Ketawanya kebanyakan. Menghibur diri."

Lintang tertawa mendengar guyonan Nava, "Ndak pa-pa, Nav. Nanti kita belajar lagi. Bilang baik-baik sama orang tuamu."

"Ayahku bakalan marahin aku pasti, nih." Nava mendesah frustasi dengan jemari yang menyisir rambutnya.

Lintang menatap iba rekan seperjuangannya itu, "Ya ngomong baik-baik ke bapakmu, toh," ucapnya dengan logat Jawa yang khas dan kental, ciri khas Lintang sekali, "Lagian ndak semua orang bisa tetap ada di posisi atas."

"Iya juga, sih. Tapi―ah! Bete banget jadinya," sungut Nava, rambutnya teracak karena sisiran kasar jemarinya, mendadak ia menatap Lintang dengan sarat permohonan, "Nanti malam kamu nggak ada bimbingan, kan?"

"Hm?" Lintang berpikir sejenak, "Aku selalu full kalau malam-malam lho ngomong-ngomong."

"Ck!" decak Nava kesal, "Kenapa sampai malam juga, sih, lesnya? Aku juga sampai malam tapi nggak setiap hari."

"Beda, Nava, kamu nggak setiap hari tapi otakmu seenggaknya lebih encer dari punyaku."

Ucapan Lintang menciptakan tawa ringan yang terlontar begitu saja dari bibir Nava, Lintang ngeri juga menatap temannya yang tiba-tiba berubah begini, "Terus otakmu kental begitu?"

"Sebenarnya nggak gitu juga, sih, konsepnya. Tapi aku iya-kan saja, lah," ucap Lintang pasrah.

"Temani aku nanti malam, ya? Ya? Ya?" mohon Nava tiba-tiba, "Aku nggak tau mau kemana, takut mau langsung pulang ke rumah. Ayolah, Tang, bolos sehari nggak masalah―AKH!" Nava memekik saat Lintang memukul keras punggungnya.

"Matamu nggak masalah, sia-sia uang orang tuaku nantinya. Lagian aku mau ambil jam tambahan privat buat bahas soal try out matematika kemarin. Ada soal-soal dengan jenis baru yang aku nggak tau selesaiinnya gimana."

"Ah, dasar nggak setia kawan."

"Pulang, Nava," tekan Lintang yang kini menatap Nava serius, "Kamu mau sampai kapan kabur-kabur terus setiap malam? Kamu juga nggak boleh lupa untuk pulang. Itu rumahmu, dan mereka juga rumahmu."

Si pemuda saling memilin jemarinya, dengan kedua lengan yang bertumpu pada dinding pembatas balkon, "Terasa seperti bukan rumah lagi."

"Mau sampai kapan pun kamu mengelak, mereka tetap keluargamu, Nava." Lintang mencoba kembali menengahi, "Mau kamu jungkir balik, kabur, pergi, ngilang, nggak bakalan hilangin fakta kalau mereka keluargamu. Sampai kapan pun, cepat atau lambat kamu tetap butuh mereka dalam hidup kamu."

"Kamu hanya nggak mengerti karena nggak dalam posisiku. Keluargamu baik-baik saja. Bapakmu saja cinta mati sama ibumu."

"Dan sampai kapan pun juga," Lintang mencoba tetap bersabar, "Kehidupan orang lain akan terlihat lebih indah dari milikmu."

Lintang menepuk pundak sahabatnya beberapa kali, "Percaya, deh, Nava, keluargaku tidak mulus-mulus terus begitu, kok. Kelihatannya saja begitu. Ya, namanya juga manusia. Pasti kasih lihat sisi buruknya saja." Menciptakan jeda sesaat guna mengambil sebuah tarikan napas, Lintang lantas melanjut, "Jadi, saranku kamu pulang saja. Jelaskan baik-baik, tapi kalau memang ini salahmu, ya kamu harus mengakui kesalahanmu, Nava. Dengarkan semua yang dikatakan Ayah ataupun Bunda, dan jangan lupa minta maaf."

Nava tidak memberi tanggapan apapun, dia hanya mengambil napas panjang dan menghembuskannya berat. Kepalanya menunduk dan bahunya tampak merosot jatuh. Lintang memberikan dua tepukan sebelum memilih meninggalkan sahabatnya, memberikan Nava waktu sendiri untuk menjernihkan isi kepala miliknya.

***

Cuaca memang sedang terik-teriknya, tetapi Binta bersyukur bahwa sekolahnya mempunyai lapangan basket indoor dan mereka menjalani jam pelajaran di sana. Dengan seragam olahraganya yang ia kibaskan pada bagian dada, Binta pun mengambil banyak tarikan napas untuk melegakan dadanya yang sedikit sesak. Berlari keliling lapangan membuatnya sedikit susah bernapas. Jadi, ia mengambil tempat di salah satu barisan tribun paling bawah untuk beristirahat.

Di jam olahraga kali ini, mereka belajar basket. Tentunya setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari Pak Wayan, guru olahraga mereka, setiap siswa berpasangan untuk saling berlatih melempar bola basket dengan teknik yang sudah diajarkan. Binta, yang masih menunggu gilirannya lantas menunggu di bawah, duduk bersama teman-temannya yang lain bersebelahan dengan Baskara.

Semuanya tampak luar biasa normal. Binta pun masih bisa mendengar gosip terbaru Baskara yang menyempil di antara dia dan Magenta. Gadis remaja itu pun masih bisa terkikik pelan diam-diam karena candaan yang tidak berhenti-hentinya Baskara lontarkan.

Namun hal tersebut tidak bertahan lama.

Bugh!

"Aaah!"

"Binta!"

Tanpa dia sadari, sebuah bola basket tiba-tiba saja melayang. Mengenai lengan miliknya dengan teramat keras sampai Binta tersungkur jika tidak cepat-cepat ditahan Baskara yang berada di sampingnya.

"Ta, kamu nggak apa-apa?" Magenta, lantas mendekat. Melihat pergelangan tangan Binta yang memerah dari kaos olahraganya yang tersingkap.

"Woy! Kalau main hati-hati, dong!" Baskara berseru marah. Dia menatap sengit salah seorang murid lelaki dari kelas reguler. Dibelakang lelaki itu ada gadis yang samar dilihat Binta karena ia masih menutup mata menahan sakit. Di sepersekian detik tersebut, Binta bisa melihat Caca yang menyeringai puas menatapnya.

Sial, Binta lupa bahwa jam olahraganya bersamaan dengan kelas nenek sihir itu.

"Maaf, aku nggak sengaja. Pak, Maaf sudah nggak sengaja ganggu mata pelajarannya Bapak." Murid lelaki, yang diduga Binta masih dalam lingkaran pertemanan Caca, menunduk dan memohon maaf. Dengan ekspresi wajah yang dibuat-buat menyesal di sana.

"Kamu baik-baik saja, Binta?" Pak Wayan mendekat, ekspresinya juga tampak khawatir seperti yang lain. Tentu saja, dengan bola basket sekeras itu dan lemparan yang cukup kuat dari lelaki, pasti rasanya sangat menyakitkan. Duh, Binta malu sekali rasanya. Dia bahkan sampai menunduk dalam-dalam menyembunyikan wajahnya.

"Bapak gimana, sih? Jelas nggak baik, lah. Dia kan kesakitan begini." Baskara menyahut dongkol. Tentunya mendapat senggolan keras Magenta karena tindakannya yang tidak sopan.

Pak Wayan melihat lengan Binta yang memerah, beliau meringis, "Kalian berdua antar temannya, ya. Hari ini nggak ada pengambilan nilai. Jadi, masih aman. Binta kamu diam di UKS saja."

"Baik, Pak. Terima kasih."

Berdua, Magenta dan Baskara membantu Binta berdiri, setelah meminta izin, mereka lantas berjalan bersama dengan Binta yang masih meringis menahan sakit.

"Duh, duh. Manja sekali sampai ditemani dua cowok begitu."

"Yang kena bola tangannya, eh, yang repot malah kakinya."

"Cuma kena bola doang sampai segitunya."

Ketiganya menghentikan langkah sejenak, Binta mengatup bibir menahan amarah. Suara cekikikan para gadis di belakangnya terdengar.

"Hush, jangan begitu. Nanti kedengaran, lho."

"Iya, ih. Sudah ada pawangnya. Malah ada dua pula. Nanti malah kita yang kena serang."

"Serakah banget sampai dua pawangnya, bagi-bagi satu, dong."

Baskara mengepalkan satu tangannya yang bebas, dia spontan berbalik menghadap barisan para gadis yang sedang terduduk di tribun, "Woy kalian! Kalau ngomong―"

"Bas!" Binta cepat-cepat memotong, menahan Baskara untuk bertindak lebih jauh, "Kita ke UKS saja sekarang."

Baskara tampak tidak terima, "Bin! Tapi mereka―"

"Tanganku sakit, kita ke UKS sekarang," tegas Binta, tidak ingin mendengarkan barang satu penolakan di sana.

Baskara yang tidak setuju, menatap Magenta memohon dukungan. Namun sahabatnya yang satu itu justru mengangguk pelan dan membalas lemah tatapannya. Pasrah dan memberikan kode pada Baskara untuk menuruti saja perkataan Binta. Jadi, setelah berdecak kesal dan mengirimkan lagi satu delikan bengis pada sekumpulan gadis-gadis genit itu, sembari membantu Binta melangkah dengan lengan ketiganya yang saling bergandengan.

"Mereka sudah nyindir-nyindir kamu begitu. Kenapa nggak lawan saja, Bin?" Baskara bersungut kesal, koridor sekolah cukup sepi mengingat masih jam pelajaran.

Binta menghela napas panjang, "Nggak perlu diurusin yang begitu. Makin banyak masalah nanti, Bas. Bukannya cepat kelar, justru sebaliknya." Lagian, aku sudah biasa menghadapi hal semacam tadi. Menahannya seperti dulu-dulu agaknya pilihan yang tepat.

"Seenggaknya biarin aku sumpel semua mulut-mulutnya pake kaos kaki Magenta."

"Kok aku?" Magenta tersulut tak terima dia dibawa-bawa.

"Kaos kakimu kan bau. Seminggu nggak diganti."

Di tengah situasi begini, bisa-bisanya ucapan Baskara membuat Binta tertawa tak percaya, "Memangnya kamu berani? Cewek itu kalau sudah marah ngeri, lho. Kalah-kalah kucing liar. Ada juga kamu yang babak belur."

"Iya, tuh urus saja pacarmu, Bas. Bilangin ke dia supaya nggak usah gangguin Binta."

"Dih!" Baskara bergidik, "Ogah banget. Nggak bakalan aku mau pacaran sama nenek sihir kayak dia. Susah memang jadi orang ganteng, sampai ada yang obsesinya ngejar-ngejar begini."

Binta lantas menggeleng, tetapi pada pertengahan jalan mereka, ia melihat lengan mereka bertiga yang saling menggandeng satu sama lain.

"Ini memang harus gandengan begini?"

"Iya, biar kayak rupa-rupanya orang-orang sahabatan kayak di film-film."

"Memang Baskara itu drama king banget," komentar Magenta acuh, "tapi ya nggak harus juga sih sebenarnya. Aku ngikut Baskara saja yang tadi asal gandeng."

Binta mengulum senyum diam-diam. Hatinya menghangat. Setidaknya, kali ini dia tidak melewati semuanya sendirian.

Lantas si gadis menyahut santai sebelum ketiganya memasuki UKS, "Iya, semoga saja di jalan nggak tiba-tiba ketemu Senjani," katanya yang mengundang tawa ringan mereka bertiga.

"Kalau ketemu Senja, nanti kamu yang aku dorong, Bin."

"Ta, jahat banget sama temen sendiri."

***

Sekala mendesah kasar dalam kamarnya. Pun selepas itu mengerang kesal sampai menendang bak sampah kecil yang terletak tak jauh dari meja belajarnya. Di hadapannya ada banyak sekali paper work yang berserakan pun komputer yang masih menyala. Pemuda tersebut menyandarkan badan dan mendongak menatap langit-langit. Memejamkan mata guna mengusir segala amarah yang kini menguasai dirinya dan menarik napas panjang secara perlahan.

Sudah tiga hari dia tidak mendapatkan tidur yang cukup. Hanya empat jam waktu yang paling maksimal, dengan seluruh tugas-tugas kuliahnya yang menumpuk menjadi satu, kuis-kuis yang akan dia hadapi minggu depan, serta ujian semester yang akan diadakan satu bulan lagi.

Hal yang sangat membuatnya kesal dan menyulut emosinya adalah ketika seluruh teman-teman satu kelompoknya beralasan tidak memiliki waktu yang cukup untuk berkumpul dan mengerjakan tugas bersama. Pun seluruh materi yang terlebih dahulu sudah dibagi, tidak dikerjakan secara maksimal sehingga Sekala harus mengulang semuanya dari awal untuk memperbaiki kesalahan teman-temannya.

Singkatnya, ini sama saja seperti dia bekerja sendiri. Bukan tugas kelompok, terus terang saja.

Belum lagi―Tsana.

Benar, sudah nyaris dua minggu ini mereka jarang sekali bertukar kabar lantaran terlalu sibuk dan larut dalam kegiatan masing-masing.

"Tsana, sebenarnya aku salah apa kali ini?" Sekala kembali mengerang kesal seraya mengusap wajahnya.

Pening lagi-lagi menghantam kepalanya. Dari sekitar alis sampai bagian belakang kepala si Naradipa. Rasa sakit kepala yang memang akhir-akhir ini seringnya dia rasakan.

"Kamu nggak kenapa-kenapa, Dek. Cuma sedang stress saja, remaja seusia kamu memang rentan sekali kena stress. Nggak apa-apa." Begitu kata dokter yang bertanggung jawab di klinik universitasnya. Pun setelah itu memberikan resep obat kepada Sekala yang dengan rutin ia konsumsi sampai tersisa tiga butir saja hingga saat ini.

Sekala duduk di pinggiran ranjang selepas mengonsumsi satu butir obat miliknya. Ia berniat untuk tidur sejenak dan meraih satu komik yang tergeletak di atas nakasnya. Namun belum saja komik tersebut berhasil diraihnya, tangan Sekala tanpa sengaja menjatuhkannya.

"Sial," Sekala lagi-lagi mendengkus kesal melihat pergelangan tangannya, "Haduh, gini lagi, dah."

"Mas Kala! Binta boleh―"

Sekala terlonjak kaget ketika Binta tiba-tiba saja membuka pintu kamarnya.

"Binta, kalau mau masuk diketuk dulu kamar Mas-nya. Jangan asal buka begitu, nanti kalau Mas Kala-nya lagi ganti baju, gimana?" samar, suara Bunda terdengar dari luar.

"Oke, Bunda!" balas Binta, gadis tersebut masih berdiri di ambang pintu. Menatap heran Sekala yang masih saja duduk dengan pergelangan tangan kanan yang bertumpu di pahanya.

"Astaga, Mas Kala tangannya kenapa?" Binta melangkah mendekat, memekik kencang melihat tangan Sekala yang gemetar.

Sekala menempatkan telunjuknya di depan bibir, Binta spontan mengatupkan bibirnya melihat peringatan Sekala. Kakak lelakinya itu menggeleng pelan, "Nggak kenapa-kenapa. Ini cuma karena aku stress aja."

"Nggak dibawa ke dokter saja, Mas?"

"Ngapain? Cuma getar gini doang. Nggak masalah, kok. Sudah biasa."

"Heh?" Binta menatap kakaknya tak percaya, "Serius? Udah sering dong berarti? Benar nggak pa-pa tangannya?"

"Iya, walaupun nggak sering banget, sih. Cuma kambuh pas aku lagi pusing saja. Kayak pas kelas 3 SMA mau ikut UN dulu. Terus nggak pernah kambuh lagi sampai pas aku semester 3 ini. Ya, wajar, sih. Makin naik semester kan makin banyak drama." Sekala mengangkat bahunya santai, menunjukkan seolah itu bukanlah masalah besar dan Binta tidak perlu khawatir secara berlebih.

Sekala menunduk mengambil komiknya yang terjatuh, "Oh, iya, tadi kamu mau ap―"

Bruk!

Sekala membulatkan mata ketika merasakan sebuah lengan ramping melingkupi tubuhnya dan badan Binta yang berada di balik punggungnya. Masih dalam posisi yang menunduk dengan komik yang ia pegang di lantai, Sekala tak mengucapkan sepatah kata pun, sampai suara lirih Binta terdengar di balik tubuhnya.

"Pain, pain, go away. Come again another day." Lantunan lirih Binta terdengar di belakang tubuhnya, Sekala berusaha menahan diri untuk tidak larut dalam nyanyian sederhana si adik.

Seusai mengambil napas panjang dan memanggil rasa tenang, Sekala mencoba menyematkan simpulan senyum di wajahnya. Ia bangkit melepas pelukan Binta dan mengelus puncak kepala si bungsu.

"Harusnya itu―Rain, rain, go away. Come again another day," kata Sekala pelan, tetapi Binta menggeleng dengan senyum tipis di wajahnya.

"Hujannya bukan dari langit, tapi bakalan turun dari sini," telunjuknya menyentuh lembut kelopak mata Sekala, "Makanya sebelum hujannya datang, diusir dulu."

Sekala tidak mengucapkan apapun, dia terlalu larut pada keadaan sampai tidak sadar ketika Binta kembali melingkarkan lengan kecilnya di pinggang Sekala, "Mas Kala akhir-akhir ini kelihatan capek sekali. Kalau ada masalah, jangan sungkan untuk cerita sama aku lho. Ruang curhat akan selalu terbuka untuk Mas Kala." Binta menepuk punggung kakaknya beberapa kali, "Tenang aja, Mas Kala. Semua pasti akan berlalu, kok."

Adik bungsunya itu melepas pelukannya. Mendongak menatap Sekala dengan senyum semanis gula yang memenuhi wajahnya, "Makanya jangan khawatir. Semuanya nggak akan bertahan lama, termasuk rasa capeknya Mas Kala yang nggak akan bertahan lama."

Binta menepuk dadanya bangga, "Mas Kala punya Cendrakasih Bintari Ayudisa."

Sekala tidak bisa menahan diri untuk tak tersenyum melihat adiknya. Bahkan tangannya yang gemetar sudah berhenti entah sejak kapan. Jadi, tidak butuh waktu lama, kembali ditariknya Binta untuk masuk ke dalam rengkuhannya. Membubuhkan satu kecupan sayang di puncak kepala adiknya, seraya bergumam lembut.

"Ternyata punya adik perempuan juga nggak buruk-buruk amat."

Mulai hari ini, Merebah Bumi akan update setiap Selasa dan Kamis. Maaf karena kamis kemarin aku nggak sempat update. Jangan lupa jejaknya sebelum pergi.

Sampai jumpa hari selasa !!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro