21. Tentang Binta dan Orang Tuanya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo, terimkasih sudah menemani Merebah Bumi sampai sejauh ini. Untuk beberapa chapter selanjutnya, setiap chapter akan lebih panjang. Pun akan lebih banyak membahas secara rinci konflik batin setiap tokoh di setiap chapter. Jadi, ku harap kalian jangan bosan. Namanya, juga cerita slice of life. 

Anyway, selamat membaca dan selamat bersemesta. Jangan lupa tap tombol bintang sebelum memulai cerita <3

Merepetisi kembali beberapa kenangan yang tersimpan baik dalam kepalanya, Binta mendadak merasakan sebuah sensasi kerinduan yang merebak memenuhi dada. Kepada saat-saat kehidupan sederhana dari keluarga kecilnya itu terlihat luar biasa gembira, luar biasa bahagia, dan baik-baik saja.

Dahulu, Binta tentu saja tidak benar-benar memiliki kehidupan yang bisa dikatakan baik. Apa yang kau harapkan jika tumbuh dalam keluarga yang dibesarkan oleh orang tua tunggal? Belum lagi, simpang siur kabar tentang ibunya yang kerap diterima Binta dari masyarakat. Ayah gadis remaja itu tidak diketahui identitasnya, tidak pernah ada sebuah nafkah yang mereka terima, pun ibu selalu tutup mulut setiap kali topik tentang ayah dibahas di permukaan.

"Kembalikan milikku!"

Binta kecil tidak tahu apapun, dia yang sedang memegang sebuah penghapus bergambar beruang yang tampak lucu itu lantas menaruh kembali penghapus karet milik salah satu temannya, "Aku nggak ngambil, kok. Aku cuma mau lihat karena kelihatannya lucu sekali."

Gadis berambut pendek, Ratna namanya, mendelik tak suka. Di rampasnya kembali penghapus yang berada di atas meja. Cepat-cepat diletakkan ke dalam kotak pensil dan memasukkan ke dalam tas, "Ini penghapus baruku. Bapak yang belikan buat aku. Kamu kan nggak punya bapak."

Binta ingat sekali, seusai mendengar perkataan yang menohok hatinya itu, ia berlari cepat mengambil tasnya. Keluar tanpa ingin mendengar kembali dan berlari kencang menghampiri Ibu yang sedang sibuk mengolah bahan-bahan untuk membuat kue.

"Tidak apa-apa, anak cantik ibu pasti kesal sekali, ya, diolok begitu."

"Binta mau ketemu Ayah! Binta mau marah sama Ayah! Kenapa Ayah pergi ninggalin kita! Ninggalin Ibu!" Binta menutup kedua matanya dengan lengan kanan, terus menangis kencang dengan bahu naik-turun, "Binta juga ingin dibelikan penghapus lucu sama Ayah, Binta juga ingin pergi ke pantai sama Ayah, Binta juga mau diajarin sepeda sama Ayah. Kenapa selalu Ibu?! Ayah kemana?"

Binta masih terlalu kecil untuk memahami perasaan Ibu, atau bagaimana kalimat-kalimat yang ia lontarkan dengan penuh amarah itu benar-benar menyakiti ibunya. Namun, sebagai anak kecil, Binta hanya ingin sebuah kebenaran, validasi akan kemana sosok yang selama ini dicarinya itu berada. Kenapa dia tidak pernah benar-benar merasakan hangatnya pelukan ayah. Kemana ayah saat Binta harus menerima semua tuduhan, hinaan, dan cacian dari semua orang.

Namun seiring berjalannya waktu, Binta semakin tahu bahwa eksistensi ayah dalam hidupnya adalah sebuah kemustahilan. Dia semakin paham kalau menanyakan satu sosok itu agaknya menciptakan sebuah luka samar yang dilihatnya melalui sorot mata Ibu yang begitu sendu.

Setelah terus-menerus bertanya dan tidak mendapatkan sebuah jawaban, Binta berhenti dan menyerah ketika suatu malam, ia mendapati Ibu tengah menangis terisak begitu keras, tetapi ditahannya melalui dua tangan yang menutup rapat-rapat mulut di dapur. Semata-mata agar tangisan itu tidak terdengar Binta.

Itu begitu menyakitkan, rasa-rasanya Binta ingin mengembalikan seluruh waktu-waktu yang dahulu pernah ia lakukan karena telah menyakiti sang ibu. Namun, kalimat yang selalu diingat oleh Binta adalah sebuah penggalan yang ibu bisikkan ketika ia merasa dunia dan semesta tidak adil karena terus menjejalinya dengan pahitnya takdir.

"Jangan pernah membenci Ayahmu, Binta. Terlepas dari apa yang dia lakukan kepada kita, dia masih seorang pria yang baik dan penuh kasih sayang."

Orang dewasa benar-benar membingungkan. Bagian mananya dikatakan masih seorang pria baik di saat pria sialan itu meninggalkan Binta dan Ibu tanpa kabar apapun?

Semenjak melihat Ibu yang menangis hebat, Binta mulai bertekad untuk hidup dengan baik ke depannya. Dia berjanji tidak akan pernah menanyakan kembali di mana keberadaan ayah, toh hidup berdua dengan Ibu adalah hal yang menyenangkan. Keberadaan Ibu sudah cukup baginya. Ibu adalah rumah terbaik tempat menampung segala lelah yang dibawanya.

"Bu, dunia luar terlalu menakutkan. Binta lelah."―Ibu seolah bisa membaca kalimat tersebut melalui dua mata bulat Binta yang meredup lelah. Bagaimana dunia yang begitu keras itu terus menerus memberikan putri kesayangannya ujian yang tidak kunjung selesai.

Terlepas dari semua hal tidak adil yang Binta terima di luar rumahnya, dari setiap hinaan yang terekam baik di kepalanya, dari setiap cacian yang mustahil untuk dilupanya, Binta agaknya merasa bahwa dia akan baik-baik saja karena ada Ibu di rumah mereka. Ada Ibu yang bisa membuat semua lelahnya menguap. Ada Ibu dengan sorot teduhnya dan belaian tangan lembutnya yang melingkupi. Ada pula Ibu yang kerap merengkuhnya dengan hangat.

Aku tidak melaluinya sendiri, aku masih mempunyai Ibu. Aku akan baik-baik saja.

Namun―sekarang.

Malam yang dingin itu, malam yang penuh dengan teriakan yang memekakkan telinga memenuhi penjuru rumah, malam yang terasa sangat pilu, Binta merasa sendiri.

Gadis tersebut menutup pintu kamar dengan teramat pelan, dan detik selanjutnya meluruh begitu saja. Membiarkan dinginnya lantai kamar memenuhi tubuhnya yang hanya terbalut piyama berbahan tipis. Lutut gadis tersebut direngkuh dengan dua lengan mungilnya. Melingkupi tubuh kecil itu dengan pelukan dari dirinya sendiri. Direngkuh oleh dinginnya angin malam yang datang dari celah jendela, diselimuti kegelapan dan hanya dibekali cahaya remang-remang dari lampu luar rumah mereka, Binta total melepas semua tangis dan laranya malam hari itu.

Ibu, aku tidak baik-baik saja. Aku tidak mempunyai tempat berbagi. Semua orang membenciku. Keluargaku kali ini tidak menerimaku. Rumah kali ini terasa begitu dingin. Dan aku harus melalui semua ini sendirian.

Ibu, aku rasanya ingin ikut Ibu saja.

Binta menenggelamkan kepalanya ke dalam lutut, suara isakannya teredam di sana, ia tidak ingin semakin merepotkan banyak orang dengan suaranya.

Lemah dan melangkah patah-patah, Binta duduk di meja belajarnya. Membuka salah satu laci dan mengambil bingkai foto usang. Itu fotonya dengan Ibu ketika kelulusan SMP. Ibu tampak bahagia sekali, mereka berdua tersenyum begitu lebar. Binta memeluk Ibu dengan dua lengannya, serta Ibu yang melingkarkan tangannya pada pinggang Binta.

Satu tetes air mata membasahi permukaan kaca pada bingkai tersebut. Binta menghapusnya dengan ibu jari, tetapi tetes demi tetes air terus berjatuhan dari kedua matanya. Binta semakin terisak, dadanya terasa begitu sakit dan seolah diremas begitu kuat. Jadi, dibawanya bingkai foto tersebut pada pelukannya. Dengan kepalanya yang masih menunduk tetapi tangis yang tak berhenti, sosok ibu dalam bingkai tersebut terus direngkuh Binta dengan erat.

"Ibu, kenapa ibu pergi ninggalin Binta sendiri? Kenapa ibu nggak izinkan Binta untuk ikut Ibu saja? Binta ... ingin pulang saja, kembali bersama Ibu," sesenggukan, Binta melanjutkan patah-patah, "... seperti dulu."

Menghabiskan menit demi menit untuk terus menangis, Binta yang sudah lebih tenang dari sebelumnya, melihat buku yang berserakan di atas meja belajar. Benar, perlombaan olimpiade akan berlangsung satu minggu lagi. Kegiatan belajarnya tadi tertunda karena perkelahian Nava dan Ayah. Namun, melihat kembali foto Ibu dan dirinya yang masih dalam dekapan, Binta bangkit berdiri. Melangkah menuju ranjang empuk dan mendaratkan tubuhnya di sana. Menarik selimut dan membungkus tubuhnya dengan sempurna dengan bingkai foto Ibu yang masih setia di pelukannya.

Iya, biarkan saja aku istirahat. Malam ini saja, malam ini saja, dan malam ini saja. Setelah itu, besok aku akan kembali berjuang seperti biasanya.

Aku ... hanya ingin mencecap saja sensasi tenang. Rasanya benar-benar melelahkan.

Aku ... ingin tidur kembali bersama ibu.

Malam ini saja, malam ini saja, malam ini saja.

***

"Sudah siap semua, Sayang?"

Binta mengangguk, tas ransel satu berisi buku-buku, kemudian ada satu tas jinjing berisi beberapa pasang baju dan perlengkapan pribadinya.

"Kayaknya semua sudah lengkap, Bunda."

Bunda mengangguk, senyumnya terlihat benar-benar tulus, pancaran matanya terlihat begitu senang dan bangga. Lantas membuka lengannya lebar-lebar, Bunda menarik Binta ke dalam rengkuhannya. Menggoyang tubuh mereka ke kanan dan ke kiri, lalu berbisik halus.

"Bunda bangga sama kamu," Bunda memenuhi kepala Binta dengan dua tangannya yang berada di dua sisi kepala, lalu kembali menarik Binta untuk mendaratkan satu kecupan sayang di dahi.

Setelah Bunda, Ayah maju menghampirinya. Rasanya luar biasa canggung dan kikuk. Binta meremat tali tas ranselnya dan membasahi permukaan bibirnya gugup, "Binta, pamit dulu, Ayah."

Ayah tersenyum tipis, dua tepukan diterima Binta di bahunya, "Belajar yang baik, ya, Nak. Menang atau kalah, itu urusan belakangan. Kamu sudah sampai tahap ini saja sudah hebat. Yang penting, lakukan semuanya dengan maksimal."

Binta mengangguk patuh. Gadis tersebut tersenyum tipis kepada Ayah, "Makasih, ya, Ayah."

"Nanti kalau butuh apa-apa, hubungi saja Bunda, ya, Sayang? Semangat!"

Binta tertawa kecil melihat Bunda yang tampak begitu antusias menyemangatinya, bahkan dengan dua tangannya yang mengepal.

Namun, ia menatap kecewa pada mobil Ayah yang tadi mengantarnya dari rumah. Kali ini hanya ada orang tuanya saja, tidak ada Sekala atau Nava yang ikut mengantar. Ini memang rasanya sedikit menyakitkan, mengingat sejak dulu Sekala selalu antusias dan mendukungnya secara maksimal, pun Nava yang meskipun terlihat cuek tetapi diam-diam masih peduli. Namun, tidak apa-apa. Kejadian dan keributan di rumah satu minggu yang lalu memang membuat hubungan mereka bertiga sedikit lebih renggang.

Terlepas dari itu semua, Binta merasa cukup melihat dua orang tuanya kini berdiri tegap di hadapannya. Memberikan afeksi dan dukungan maksimal, mendadak ia merasa sedikit terharu.

Jadi, begini rasanya memiliki orang tua yang lengkap?

Rasa-rasanya, baru kemarin Binta melihat iri beberapa murid seusianya yang diantar dan didukung oleh orang tua mereka, sementara Binta harus berangkat dan memasuki area lomba seorang diri. Namun, kini semuanya sudah berbeda.

Seandainya saja, ada ibu di sini yang berdiri di samping ayah dan―

Ya ampun, Binta. Apa yang kamu pikirkan?!

Binta lekas menyingkirkan pemikiran konyol itu di kepalanya. Ia melihat Bunda yang masih sibuk memberikan petuah apa saja yang boleh dan tidak boleh Binta lakukan selama di hotel dan mengikuti lomba. Semua vitamin, bahkan camilan Binta sudah dirapikan dengan baik dalam tas jinjing, bergabung bersama pakaiannya. Bunda yang sejak subuh membantunya berkemas dan memastikan semua kebutuhan Binta tercukupi.

Bunda pasti akan terluka jika tahu apa yang tadi terlintas di pikiran Binta. Wanita sebaik ini dan setulus ini, aku tidak akan menyakitinya. Bunda yang selama ini selalu di pihak Binta ketika satu penghuni rumah berpaling darinya.

"Oke, Sayang? Ingat pesan Bunda, ya? Baik-baik di sini. Jaga diri, jangan lupa tetap kabarin Bunda selama di hotel, ya? Oke?"

Binta tertawa kecil, ia mengangguk. Lalu membentuk gestur hormat dengan tubuhnya yang spontan menegak, "Siap, Bos!" ucapnya, mengundang tawa kecil Bunda yang terdengar begitu merdu.

"Lagipula, Binta cuma di sini dua hari saja. Tiga hari, sih, hitungannya. Nggak bakalan lama. Nanti Binta telfon setiap hari."

Bunda mengelus pipi Binta yang sudah mulai berisi dan membelai puncak kepalanya. Membubuhi satu lagi kecupan sayang di dahi anak perempuannya, "Hati-hati, Sayang. Nanti kami jemput, Binta."

Binta mengangguk, ia melangkah mundur. Sebelum pada akhirnya pelan-pelan mulai menjauh. Tangannya terangkat tinggi dan melambaikan tangan pertanda perpisahan. Dari kejauhan, Ayah merangkul Bunda, pun orang tuanya itu juga melambai dan tersenyum bangga padanya. Terlihat sekali benar-benar memberi dukungan absolut kepada anak bungsu mereka.

Ayah, Bunda, tunggu sebentar saja. Binta akan berjuang dan membanggakan kalian. Binta akan membuktikan bahwa Binta juga tidak kalah dari kakak-kakak di rumah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro