24. Masa-masa Kita Bersama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat datang kembalii! Merebah Bumi akan menemani kalian sepanjang Januari ini. Selamat membaca dan selemat bersemesta. Jangan lupa tekan tombol votenya terlebih dahulu <3

            "Nava ke mana?"

"Sudah pergi duluan," Bunda menuangkan teh hangat dari teko ke cangkir milik Ayah, "Katanya buru-buru soalnya hari ini jadwal piketnya dia."

"Nggak sempat sarapan bareng memang?" Ayah melirik Bunda dari balik koran yang tengah dibacanya setiap pagi.

Bunda menggeleng pelan, menyematkan senyum di sana, "Tapi tadi sudah aku bawakan kotak makan buat dia sarapan sesampainya di sekolah, Mas."

Ayah tidak melakukan banyak protes apapun. Pria tersebut mengangguk sembari melanjutkan bacaannya. Menelusuri berita-berita apa yang tengah terjadi akhir-akhir ini. Kebiasaan membaca Ayah memang patut diacungi jempol. Di ruang kerja pribadinya, buku-buku milik Ayah pun tertata rapi di rak. Selain dokumen-dokumen penting pekerjaannya, Ayah sangat suka mengoleksi banyak buku bacaan. Baik itu fiksi maupun non fiksi. Agaknya hobi Ayah yang satu itu menurun ke anak bungsunya, Cendrakasih Bintari Ayudisa, sekalipun Binta tidak berani untuk meminjam bahkan hanya satu buku milik Ayah di ruang kerjanya. Bukan apa-apa, bacaan Ayah terlalu tinggi. Sekelas para penulis ternama dengan diksi dan jalan cerita yang tidak main-main. Binta hanya belum siap untuk melanjutkan bacaan ke tahap itu.

Ayah melirik satu novel yang Binta letakkan di atas meja makan.

"Pagi, Ayah. Pagi, Bunda!" sapa Binta riang, seusai menarik kursi dan duduk di sana, Binta menatap penuh minat roti panggang yang Bunda buatkan sebagai sarapan pagi itu.

"Kalau kurang kenyang, nanti beli nasi saja di sekolah ya, Dek. Bunda tadi telat bangun. Sempatnya bikin itu doang."

"Nggak, kok. Gini doang sudah kenyang," jawab Binta seraya menyomot dua roti panggang untuk disantapnya.

"Aku yang kurang kenyang," Sekala tiba-tiba datang dari balik dinding, ia meletakkan tasnya asal di kursi makan, "Orang Indonesia itu harus makan pakai nasi. Ini mah cuma ngemil doang, Bunda."

Bunda tertawa kecil melihat anak sulungnya. Kebiasaan Sekala memang sulit sekali dihilangkan. Bagi Sekala, kalau bukan nasi, bukan makan namanya.

"Nanti beli di kantin kampus saja, Mas Kala. Katanya nasi uduk yang di kantin enak." Bunda meletakkan piring yang sudah diberikan tiga potong roti kepada Ayah.

"Iya, iya."

Ketika pembicaraan sudah tidak melanjut lagi, Ayah yang kini membuka suara. Sorot pandangnya masih terpaku pada novel yang Binta letakkan di atas meja.

"Nggak dimarahin bawa buku beginian ke sekolah, Dek?"

"Hm?" Binta mengikuti arah pandang Ayahnya, lalu tersenyum sejenak sebelum menjawab, "Oh, nggak, kok. Yang penting nggak mengganggu pelajaran saja. Lagi pengin baca. Binta udah lama nggak baca buku."

"Percy Jackson: The Sea of Monster?" Sekala membaca judul buku yang dibawa Binta.

"Katanya bagus. Best seller juga, yang pertama udah difilm-in. Sebelum film-filmnya lanjut, aku mau baca dulu novelnya."

"Karya-karyanya Rick Riordan memang bagus-bagus."

Mata Binta mendadak berbinar mendengar ucapan Ayah. Gadis tersebut mengubah posisi duduknya menghadap Ayah sepenuhnya, "Ayah suka sama karya-karyanya Rick Riordan?!"

Wajah Ayah tampak biasa saja, bahkan terkesan datar. Namun pria tersebut berdehem sejenak, lalu mengangkat satu bahunya. Bermaksud menyombong, "Ayah punya lengkap serinya di ruang kerja."

"AYAH!!" Binta menatap tak percaya, gadis tersebut bahkan terkesan merengek tak adil, "Kenapa nggak bilang dari dulu? Binta nggak perlu beli mahal-mahal kalau begini."

"Pheww! Dudududu, uang jajannya abis, uang jajannya abis, uang jajannya abis!" Sekala bersiul meledek. Puas sekali melihat wajah merah adiknya itu.

"Nanti aku minta Mas Kala beliin jajan kalau uangku habis."

"Ogah! Nanti aku nggak kenyang makan."

"Kamu nggak pernah lihat-lihat buku Ayah, sih. Banyak yang bagus, lho. Bunda aja sekali-kali baca." Bunda tertawa kecil melihat keributan di meja makan itu.

"Habisnya buku Ayah buku-buku lama. Ngeri semua isinya. Jadinya males duluan ngecek lagi. Ah! Tau gitu dari dulu aku cek rak bukunya Ayah."

"Nggak apa-apa, biar makin banyak koleksi. Kayaknya punyamu yang edisi baru." Ayah justru semakin meledek menjadi-jadi.

"Ayah!" rengekan Binta mengundang tawa siapapun di meja makan, bahkan Ayah yang jarang tersenyum pun sampai menampilkan senyum tipisnya.

"Binta lagi senggang, ya, sekarang?"

"Iya, Bunda. Udah nggak ada lomba-lomba lagi. Jadi agak luang waktunya. Pelajaran di sekolah juga udah berhasil kekejar. Jadi nggak perlu setiap hari ambil privat kayak dulu. Kecuali kalau mau ada ulangan atau PR dari sekolah."

"Iya, sekarang karena lagi senggang, Dek Binta santai-santai saja dulu. Jangan terlalu diforsir, nanti capek. Senang-senang, pergi jalan-jalan sama teman-temannya atau ngapain gitu. Atau jalan-jalan sama mas-masnya."

Binta meringis, ia hanya mengangguk tersenyum asal. Sekala baru saja putus cinta, Nava sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan ujian nasional. Berjalan-jalan dengan mereka semua jelas ide yang buruk. Belum lagi menghadapi tempramen kakak keduanya. Duh, Binta tidak mau semakin memiliki urusan yang panjang.

Pada akhirnya acara sarapan pagi itu berlangsung beberapa lama dengan damai. Sampai Binta meneguk habis susu cokelat miliknya, lalu berpamitan pergi lebih dulu untuk mengambil tasnya yang tertinggal di kamar.

"Bahagia banget adikmu itu Sekala. Riang banget pagi ini." Bunda geleng-geleng kepala melihat punggung Binta yang perlahan menghilang.

"Jelas, lah," sahut Sekala, ia menyandar selagi menunggu adiknya untuk berangkat ke sekolah bersama, "Orang baru menang kemarin. Makanya sejak semalam nggak berhenti-hentinya cengengesan."

"Menang?" Ayah bertanya heran, "Maksudmu menang lomba olimpiadenya itu?"

"Iya, apa lagi memangnya?"

Ayah tersenyum tipis, pria tersebut membenarkan letak kacamatanya dan menghela napas sesaat. Melihat reaksi Ayah, Sekala tahu ada yang tidak beres.

"Adikmu tidak menang, Sekala."

Dugaan si Naradipa benar.

"Apa? Tapi bukannya semalam dia bilang―"

Ucapan Sekala terhenti, dia mengingat kembali perbincangan dengan Binta tadi malam. Benar, juga. Jika diingat-ingat kembali, Binta tidak berbicara apapun terkait perlombaannya.

Semua ini jelas hanya kesimpulan yang Sekala lemparkan hanya karena Binta tampak baik-baik saja sepulangnya dari hotel.

Bunda tersenyum, tangannya terulur untuk menepuk punggung tangan Sekala melihat ekspresi si sulung yang berubah.

"Baik-baik sama adiknya, Mas Kala. Dia memang kelihatannya nggak kenapa-kenapa, tapi Binta itu memang besar sekali hatinya. Legowo*," Bunda melihat Ayah dan tersenyum, "Iya, kan, Mas?" (*ikhlas)

Ayah menyeruput dahulu teh miliknya, lalu mengangguk, "Dia mungkin saja kecewa dan sedih. Tapi waktu dia tau kalau kamu dan Nava juga sedang nggak baik, dia masih sempat-sempatnya nanyain kalian. Dia yang minta Ayah buat berhenti belikan roti untuk kamu."

"Mas Kala!" suara Binta yang melengking memotong perbincangan di meja makan, sekala melihat adiknya yang sudah siap di ruang tengah dengan tas di punggung, "Ayo, sudah jam segini. Nanti macet di jalan," ujarnya.

Bunda dan Ayah lalu beranjak, Ayah lalu mengambil tas jinjingnya dan memakai jas miliknya yang tersampir di sandaran kursi. Bunda membenarkan terlebih dahulu dasi milik Ayah sebelum lalu berjalan menghampiri Binta.

"Ayo, Kala, kamu juga nanti terlambat―duh, ini anak satu susah sekali di bilangi. Bunda kan sudah bilang kalau pakai jaket itu harus diresleting dulu. Pakai rapat-rapat biar nggak masuk angin," omel Bunda, namun toh tetap dia yang menutup jaket merah muda milik Binta sampai tertutup rapat.

Sedang yang diomeli justru cengengesan tak bersalah, "Biarin, kan ada Bunda yang nutupin jaketnya."

"Dasar, bandel sekali anak bunda yang satu ini," kata Bunda menjawil ujung hidung Binta.

"Ayo, Dek. Bunda, Ayah, kita berangkat dulu." Sekala mencium tangan orang tuanya, di susul Binta.

"Iya, hati-hati."

"Aku juga berangkat dulu, Bu," Ayah lalu membenarkan jas kerjanya sebentar. Pria tersebut lalu manarik punggung Bunda dengan lembut dan mendaratkan kecupan mesra di dahi sang istri.

"Hati-hati di jalan, Mas."

"Daaaah, Bunda! Daaah Ayah!" Binta melambai tinggi dengan satu tangannya.

"Aduh, aduh. Itu jangan begitu nanti jatuh! Peluk Mas-nya kenceng-kenceng," alih-alih menjawab, Bunda justru kembali mengomel khawatir.

"Iya, iya ini sudah aku peluk!"

Ayah tersenyum melihat dua anaknya. Pria tersebut mengangguk dengan tangan yang balas melambai, "Hati-hati di jalan, Nak."

Dan pada akhirnya semua pergi menuju lokasi masing-masing. Selepas kepergian Binta dan Sekala, Ayah lalu memasuki mobil, pun berpamitan kepada Bunda untuk yang sekali lagi sampai menyusul kepergian anak-anaknya dengan arah yang berbeda.

Jalanan Yogyakarta pagi itu memang seperti biasanya. Ramai, macet, dipenuhi pekerja kantoran, mahasiswa, anak-anak sekolah, dan setiap orang yang menuju tempat kerjanya masing-masing. Tidak ada percakapan apapun sepanjang jalan itu. Binta pun tidak tertarik untuk membuka topik. Dia lebih senang melihat jalanan yang ramai dan menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.

"Dek."

"Ya?" Binta menyahut ketika Sekala memanggilnya di perempatan lampu merah, "Kenapa, Mas?"

"Kenapa nggak bilang yang sebenarnya ke aku?"

Binta mengernyit, "Maksudnya?"

"Kamu kan ... sebenarnya nggak menang lomba." Sekala bertanya, nadanya merendah dan kepalanya menunduk sejenak. Jelas sekali merasa bersalah atas perkataannya semalam.

Namun si bungsu di belakangnya justru tersenyum. Seolah hal yang dia alami bukanlah apa-apa. Meskipun―memang, seusai lomba dan mengetahui dia tidak bisa menang, Binta merasa benar-benar kecewa. Seolah semua usahanya yang dia tumpahkan, pengorbanannya yang jelas tidak main-main itu tidak terbayarkan secara sempurna. Namun kembali lagi pada sebuah fakta lain, memang begitu bukan sejatinya setiap perlombaan? Ada menang, ada kalah. Ada yang hebat, ada pula yang lebih hebat.

Lagipula, ini bukanlah kekalahan pertamanya. Sekalipun memang ini adalah rasa kecewa terbesarnya yang pertama.

"Nggak apa-apa," kata Binta pada akhirnya. Dia menempelkan kepala pada punggung kakaknya, "Lagian, sepulang lomba aku tetap dapat hadiah dari Bunda sama Ayah. Itu lebih baik dari kemenangan apapun yang aku terima, Mas."

"Yang makan-makan kemarin?"

"Iya," juga pelukan ayah dan pelukannya Mas Kala yang sama-sama hangatnya, lanjut Binta dalam hati, kepalanya masih mengingat sisa-sisa kebahagiaan yang ia rasakan kemarin.

Sekala tertawa lirih, ia menggeleng tak percaya, "Mas Nava-nya kasihan kemarin nggak diajak. Nanti ngambek, lho."

"Habisnya Mas Nava hobinya ngilang terus. Aku kan bingung jadinya. Tapi iya, deh, nanti aku ketemu Mas Nava biar nggak ngambek. Hehehe, kali aja aku juga dapat hadiah dari Mas Nava."

"Nanti pulang bimbel mau dijemput atau gimana?"

"Nggak usah, aku pulang sama Magenta saja. Lagian aku pulang cepet. Palingan jam tujuh sudah kelar. Mas Kala kan mau ada belajar bareng sama teman-temannya."

"Iya, juga, sih. Oke, nanti hati-hati, ya."

"Siap!"

***

Kantin cukup ramai, dan barangkali saja tempat tersebut tidak akan pernah sepi sampai jam pelajaran berlangsung. Di salah satu meja panjang pada bagian sebelah kanan, di sanalah Binta duduk bersama dengan Magenta, Baskara, dan―

"Lho? Ada Senjani toh di sini?" Binta menyapa hangat, nadanya terdengar sangat ramah. Belum lagi ketika Magenta yang duduk di samping Senjani tampak luar biasa kikuk dan malu-malu.

"Iya, aku bareng sama Genta dan Baskara. Soalnya nanti ada kumpul anak-anak debat, mau buat persiapan debate competition yang diadain sama kakak-kakak mahasiswa UGM."

"Wah, kereeeen," respon Binta spontan. Matanya menatap kagum Senjani.

Baskara berdehem, jelas tengah menyombong kendati bertingkah sok tidak seperti itu, tangannya melambai satu kali, "Biasa saja kali, Bin. Lomba begitu juga."

"Dih, yang keren itu Senjani. Bukan kamunya," cibir Binta seraya mendelik pada Baskara di sampingnya.

"Ya aku sama Senjani kan satu kelompok, bareng Magenta juga," balas Baskara tak terima.

"Tapi ngomong-ngomong," Binta mengabaikan ucapan Baskara barusan, lalu kembali mengujar, sembari menerima pesanan empat mangkuk bakso yang datang untuk mereka, "Kamu sama Genta mau ikut lomba debat lagi? Apa nggak capek? Baru saja kelar satu."

"Maunya nggak ikut," Magenta yang menjawab, "Cuma ternyata lombanya masih kisaran dua bulan lagi. Jadi sekarang cuma latihan debat biasa saja. Sama banyak-banyakin baca terus update berita."

"Wah, semangat, deh. Aku mah mending ikut karya tulis aja daripada yang begituan." Binta lalu menatap bergantian pada dua sahabat lelakinya, "Tapi serius, deh. Kalian tuh kayaknya kalau ada nominasi pasangan teromantis, pasti bakalan menang. Abisnya, langgeng banget nempel terus."

"Dih, najis," Baskara bergidik ngeri, ekspresinya sangat amat tidak sedap dipandang. Pun Magenta, kendati diam tak bersuara, tetapi ekspresinya tak kalah ngeri dengan milik Baskara.

"Tau, deh, aku jomblo awetan. Tapi nggak sama Magenta juga."

"Ya, terus kamu pikir aku sudi sama kamu. Amit-amit. Aku masih normal, masih lurus."

Binta tertawa renyah, di hadapannya, Senjani tak luput melakukan hal serupa.

"Ya habisnya, kalian kemana-mana berdua. Dari SMP sampai sekarang bareng. Sudah best mate forever, kesannya."

"Mau tau yang lebih lucu?" Magenta menyondorkan badannya, menunjuk Binta dengan garpu di tangan kiri bak pembicaraan yang akan ia ungkapkan adalah topik penting rahasia negara.

Sadar bahwa ada aroma-aroma gosip, Binta lekas memajukan badannya, "Apa-apa?"

Magenta berdehem sejenak, ia menyempatkan diri melirik sengit Baskara, lalu menghela napas berat, kemudian baru bicara, "Kakakku sama kakaknya Baskara pacaran."

"APA?!"

Binta berseru heboh, Senjani pun demikian. Selang beberapa detik diisi keheningan, kemudian dua gadis remaja itu terbahak keras. Binta bahkan sampai menepuk tangan berkali-kali dan menjadikan Baskara sebagai pelampiasan tawa dengan pukulan di punggung sahabatnya itu.

"Ya ampun, astaga. Maaf-maaf, itu kocak banget, sumpah. Berasa kayak kalian kalau mau misah juga ujung-ujungnya pasti bakalan balik lagi. Iya, nggak, sih, Jani?"

"Iya, bener. Duh, memangnya kalian nggak canggung pas tau kakak kalian jadian?" tanya Jani, selepas menghapus sisa-sisa air matanya karena tertawa.

"Oh, jelas. Sampai kita nggak sapaan hampir seminggu," kata Magenta, "Terus habis itu aku marahin Mas Langit. Bisa-bisanya di antara banyaknya spesies perempuan di dunia ini, dia harus nembak Mba Biru."

"Aku sampai ngomel-ngomel sama Mba Biru," ujar Baskara selepas menelan kunyahan baksonya, "Kenapa bisa-bisanya luluh gara-gara rayuannya Mas Langit. Padahal cowok lain juga banyak yang nggak kalah ganteng. Kakakmu contohnya," kata Baskara kepada Binta.

"Lho? Kenapa Kakakku di bawa-bawa?"

"Kakakmu sama Mas Langit teman dekat. SMP bareng, cuma SMA pisah. Ya, kayaknya masih kenal juga sih sama Kakaknya Baskara," jawab Magenta.

"Ya ampun, kalian!" Senjani kembali tertawa, kepalanya menggeleng tak percaya. Sedangkan Binta melongo mendengar ucapan Magenta dan Baskara barusan, "Benar-benar dunia ini sempit banget buat kalian," lanjut Senjani.

"Aku juga baru tau lho, Jani. Ya, circle-nya kakakku kan luas banget soalnya," gumam Binta yang juga masih tak percaya.

Lalu pembahasan tersebut berhenti. Baik Magenta dan Baskara pun tidak membahas lanjut terkait keluarga Binta, ataupun menyinggung nama Sekala, sekalipun Senjani terlihat baik, dua pemuda tersebut hanya menghargai rahasia sahabatnya.

"Tapi aku heran lho, Mba Biru bisa-bisanya mau sama Kakakku. Secara Mas Langit kan berandalan. Nggak ada romantis-romantisnya."

"Peletnya Mas Langit kuat," Baskara lalu memberiakan tanda menggunakan tangan yang mengarah pada wajahnya, "Mukanya Mas Langit gitu-gitu ganteng, lho."

"Memang, apalagi dia anak basket di sekolahnya waktu SMA. Padahal dia anggota yang paling pendek, tapi tetep aja banyak yang naksir."

"Terus nanti kalau misalkan nih, misalkan," Binta bertanya serius sekali, "Kalau mereka tengkar, kelahi, yang paling parah putus. Kalian gimana?"

"Gimana apanya?" tanya Magenta heran.

"Ya, gimana kan itu kakak kalian. Kalo mereka kelahi emang nggak ada kena dampaknya di kalian?"

"Ya nggak, lah," Baskara tertawa renyah, ia menyeruput sesaat es teh miliknya, "Judulnya aja mereka yang kelahi. Ya itu masalah mereka. Kita mah fine-fine aja."

"Yang penting jangan ada yang curhat ke kita," timpal Magenta.

"Nah itu maksudku!" seru Binta, "Kan kalau ada yang curhat, terus kesannya ada yang nyakitin orang yang kalian sayang, kan. Apa nggak tersinggung atau gimana gitu?"

"Kalau itu sih jelas ada. Pasti ada rasa kecewa atau kesannya agak kesel aja gitu. Maksudku, aku sama Baskara kan udah sering main bareng dan kenal keluarga masing-masing. Di mataku, Mba Biru orangnya baik, gitu juga di mata Baskara, Mas Langit orangnya baik. Kalau ke pasangan kan otomatis nggak ada yang disembunyiin dan bisa aja tengkar. Terus kalau udah kelihatan gitu, pastilah kita kecewa. Orang yang kita kira baik, ternyata nggak sebaik itu."

"Ya, namanya juga manusia. Pasti ada kurangnya. Cuma itu udah masalah lama. Mereka juga udah jalan lumayan, jadi kalau mereka kelahi atau gimana, kita berdua udah biasa aja. Nggak kayak pas masih awal-awal," lanjut Baskara.

"Tapi aku berharapnya nggak kenapa-kenapa, sih," gumam Magenta, pemuda tersebut menatap kosong es jeruk miliknya seraya memutar sedotan secara acak, "Mungkin kalau mereka tengkar besar, aku bisa aja pro ke Mba Biru."

"Lho? Kenapa ke Kakaknya Baskara?" Senjani yang sejak tadi menyimak, bertanya heran.

Magenta tersenyum tipis, ia mengangkat bahu, "Nggak tau saja, tapi aku udah bilang, kan, tadi? Mas Langit itu anaknya agak berandalan. Syukur-syukur ada yang mau sama dia. Mba Biru itu sabarnya luar biasa. Heran aku bisa-bisanya dia tahan sama Mas Langit."

"Aku juga kalau nanti mau cari pacar, maunya mirip-mirip Kakakku atau Mamaku, deh. Dua-duanya perempuan hebat soalnya." Baskara cengengesan, barangkali di kepalanya sudah tersimpan dengan baik tipikal wanita idaman yang ia harapkan.

Lalu beberapa saat kemudian, bel berbunyi. Waktu istirahat sudah usai dan itu tanda keempat sekawan harus menyudahi perbincangannya. Selepas menghabiskan tuntas bakso masing-masing dan sudah kekenyangan, mereka lantas berjalan bersama-sama. Berpamitan kepada Senjani yang menempati kelas reguler, Magenta, Binta, dan Baskara, harus menaiki tangga menuju lantai 2 menuju kelas mereka.

"Genta nanti nggak ikut privat tambahan, kan?" tanya Binta selagi dalam perjalanan mereka.

"Nggak, kenapa memangnya?"

Binta tersenyum, lalu mendekatkan diri pada sahabatnya, kemudian berbisik, "Mau ketemu sama Kak Nava."

Author's Note, Please Read

Halo, setelah aku cek kembali cerita Merebah Bumi, Kepada Langit, dan outline-outline kasar dari seri semesta lainnya : Rona Angkasa, Senandika Matahari, Merekah Bintang. Aku baru sadar ada kesalahan timeline yang aku buat sejak awal cerita ini.

Kisaran waktu Kepada Langit itu tahun 2020, sedangkan Merebah Bumi itu 2012-2014, nanti aku cek ulang lagi, jadi selama tahun itu nggak ada whatsapp, ojol, ataupun barang elektronik modern kayak yang kita temuin sekarang.

Mohon maaf atas kekeliruan yang sudah aku lakukan, kalau senggang aku akan menyempatkan waktu untuk revisi beberapa bab sebelum ini. Terimakasih atas permaklumannya

Sampai jumpa di bab selanjutnyaa <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro