27. Keberanian Binta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum baca, jangan lupa tekan tombol vote dulu. Selamat bersemsta <3

            Pagi itu kondisi Ayah sedang baik, setidaknya begitu yang dipikir Binta. Terutama ketika Sekala dan Nava yang tidak bisa mengantarnya karena mereka akan ada ujian, dan di sana pada akhirnya Ayah yang berganti mengantarkannya. Meskipun harus mengambil jalan memutar sedikit lebih jauh dan lama, kata Ayah tidak apa-apa, asalkan tidak mengganggu kakak-kakak agar mereka bisa mengerjakan dan mempersiapkan diri lebih matang untuk ujian.

Sesungguhnya di dalam kepala kecilnya pun Binta tidak begitu mengerti. Lagipula dia dan Nava juga satu sekolah dan hitungannya masih bisa berangkat bersama kendati Nava akan ujian. Namun tidak mau mencari gara-gara, Binta pun sadar bahwa kendati dia sudah tinggal di rumah sebagai anggota keluarga baru, rasa-rasanya keberadaaannya di dalam sana masih begitu asing. Sekalipun satu rumah memperlakukannya dengan baik.

Seolah Binta tidak benar-benar memiliki tempatnya di sana.

Berhenti.

Binta lekas menggelengkan pelan. Beberapa hari terakhir ini rasanya begitu berat. Masalah di luar, pun masalah di rumah. Dan dia hanya tidak ingin menambah masalah itu dengan pikiran berlebihan yang sanggup menyakiti perasaannya kapan saja.

Jadi, mengembalikan kesadaran dirinya pada realita. Melihat ramai riuhnya Yogyakarta pagi itu, Binta tersenyum tipis. Kepalanya menoleh ringan ke kanan, tempat Ayah tengah mengemudikan mobil.

Tidak berbohong. Hati Binta berbunga. Ayah tampak luar biasa gagah dengan setelah kemeja juga kacamata hitam yang membingkai wajahnya. Jika ditelisik kembali, Binta bisa melihat sedikit kemiripannya dengan Ayah. Ini pertama kalinya Binta di antar ke sekolah seperti ini. Jelas dia luar biasa senang, kendati terlihat biasa saja. Ternyata begini rasanya di antar ke sekolah dengan mobil bersama Ayah?

"Kenapa, Dek?" Ayah melirik ketika sadar sejak tadi dilihati.

Binta mengerjap, ia tersenyum tipis lalu menggeleng pelan, "Nggak apa-apa, Ayah," mata gadis tersebut melihat salah satu pedagang yang tampak ramai di pinggir jalan, ia lalu menunjuknya, "Ayah, bubur sumsum di sana enak, lho."

Ayah melirik sesaat tempat yang ditunjuk Binta yang baru saja mereka lalui, "Oh, ya? Ayah belum pernah nyobain. Kamu ke sana sama siapa?"

Dulu biasanya, aku ke sana sama Ibu. Binta membatin, tidak bohong ketika ia merasa sedikit terluka ketika mengingat fakta tersebut. Namun, Binta tentu saja tidak menyuarakannya. Jelas ia masih menghargai satu lagi perasaan wanita di rumah yang kini menjadi ibu barunya.

"Pernah mampir sama Mas Kala," jawab Binta sekenanya, ia tersenyum nanar samar-samar, "Ayah harus coba sesekali. Bubur jagung di sana juga enak. Manis, apalagi kalau di makan waktu hangat." Itu dulu makanan kesukaan Ibu, nggak ada salahnya Ayah juga tau apa makanan yang Ibu suka.

Namun lagi, itu hanya tersampaikan dalam hening dalam hatinya. Ayah tidak tahu apapun, jadi pria tersebut hanya tersenyum tipis dan mengangguk, "Iya, nanti kapan-kapan Ayah coba."

Mobil mereka berhenti tepat di depan gerbang sekolah Binta. Gadis tersebut lekas melepas sabuk pengaman dan bersalaman dengan sang Ayah, "Yah, Binta sekolah dulu."

"Iya, hati-hati, Dek. Belajar yang benar, ya. Jangan nakal dan buat gara-gara," ucap Ayah dengan nadanya bergurau. Pria tersebut senyum dan menepuk pelan puncak kepala Binta.

Ya Tuhan, rasanya benar-benar luar biasa, batin Binta. Gadis tersebut lalu tersenyum lebar. Merekah. Menampilkan deretan giginya yang rapi dan mengangguk semangat. Tidak menyangka hanya diantar sekolah saja dia sudah sesenang ini.

"Iya, Ayah. Dadaaah."

Setelah itu, mobil Ayah pergi meninggalkannya. Binta yang masih tak menghilangkan senyumannya mendongak menatap langit. Gadis tersebut lantas menarik napas panjang menikmati segarnya udara di pagi itu.

"Oke, hari yang baik, cuaca yang cerah. Mari kita sekolah dengan baik!" tekad Binta. Gadis tersebut mengepalkan dua tangannya. Sebelum melangkah yakin memasuki area sekolah.

***

Namun semuanya tidak seperti yang diharapkan.

Binta sadar bahwa sejak awal tatapan seluruh penghuni sekolah menghunus padanya. Entah atas sebab apa, gadis tersebut sadar ada sesuatu yang tidak beres di sini. Kemudian ketika ia baru saja menginjakkan kaki di anak tangga terakhir pada lantai 2, gadis tersebut di hadapkan dengan pemandangan orang-orang yang berkumpul di depan papan mading tengah memandangi sesuatu. Pun ketika dia melangkah mendekati papan tersebut, mendadak semua orang menatapnya aneh.

"Oh, jadi yang ini namanya Binta."

"Gini ternyata pacarnya Kak Nava."

"Dia deket sama banyak cowok katanya."

"Cantik, sih. Pantes aja Kak Nava mau."

Binta spontan panik mendengar bisik-bisik kata orang yang dia tangkap. Kenapa ini? Kenapa mendadak orang-orang tau rahasia besarnya yang bahkan Magenta dan Baskara saja tidak tahu fakta yang satu itu. Nava jelas bukan orang yang suka mengumbar hubungan mereka. Pun ketika dulu masih berpacaran, hanya orang-orang terdekat Nava saja yang tau hubungan mereka berdua.

Tidak menunggu lama, Binta lalu menerobos kerumunan, yang secara ajaib semua orang langsung memberikan jalan padanya. Sampai pada akhirnya dia berdiri di baris paling depan dan melihat ada tiga foto yang tertempel di sana.

Itu adalah fotonya dengan Nava. Foto kemarin malam saat ia membawakan Nava makanan, dan dua foto lain yang menampilkan Binta menaiki motor Nava di perempatan dekat sekolah.

Astaga, Binta merinding. Sebenarnya kenapa orang-orang suka sekali mencari tahu hidup orang lain? Sampai repot-repot difoto begini saja.

"Ta! Binta! Minggir, wey! Minggir semuanya!"

Binta berbalik ketika melihat ada Baskara dan Magenta yang menerobos, masih dengan tas sekolah mereka. Ini pasti mereka berdua baru saja sampai ketika mendengar kabar yang langsung menyebar ke seluruh penjuru sekolah.

Baskara lalu melepas empat foto yang menempel, merobeknya menjadi beberapa bagian dan menatap sengit orang-orang yang ada di sana.

"Apa lihat-lihat? Kalian jadi orang seneng banget gosip. Heran, deh. Yang begini-begini aja dibawa heboh. Moto orang tanpa izin gini juga termasuk melanggar privasi orang, tau! Alay banget," sahut Baskara berapi-api.

"Dah, udah! Bubar!" Magenta yang kini mengambil alih, dia berseru dan mengibaskan tangannya agar semua orang pergi dari sana.

Tetapi belum saja mereka pergi, belum juga kerumunan tersebut menghilang bahkan setengahnya, dua orang perempuan tiba-tiba saja menghampiri Binta. Gadis tersebut tinggi semampai dengan badannya yang proporsional, wajahnya sangat cantik, aura dominan yang dibawanya mengundang siapapun untuk menjadikan mereka lagi-lagi bahan tontonan.

Gadis tersebut berhenti tepat di hadapan Binta. Menatap Binta tajam dan menusuk. Memindai penampilan Binta dari atas hingga bawah.

Binta menghela napas. Baiklah, hari ini akan berlalu lumayan panjang, batinnya. Ia sudah lelah harus terus menerus masa bodoh dengan apa yang dikata orang. Emosinya sejak kemarin belum stabil, baru saja membaik tadi pagi, langsung dihempaskan kembali perasaannya seenak jidat seperti ini.

"Heh, anak baru. Kamu yang selama ini godain Nava? Jadi pacarnya Nava diam-diam, ya?"

Untuk satu alasan, Binta bersyukur karena yang orang-orang tahu, Nava pacarnya dari foto-foto yang menyebar. Bukan fakta sebenarnya terkait dia dan Nava yang menjalin hubungan jauh sebelum-sebelum ini.

Binta menghela sesaat, "Kak, aku sama Kak Nava nggak ada hubungan apa-apa. Itu Cuma foto iseng aja." Binta sejujurnya malas sekali meladeni yang begini-begini.

"Iseng apaan!" Seseorang yang Binta tahu bernama Citra dari papan nama yang menempel di seragamnya itu berseru marah. Matanya melotot dan ia mengikis jarak mereka berdua. "Heh, jelas-jelas yang lihat juga nggak bakalan buta! Kamu pulang tiap hari sama Nava, berangkat bareng, sampai bawain makanan segala ke bimbelnya. Apalagi kalau bukan pacar namanya?"

"Duh, Kak," Binta masih mencoba santai, "Kalau gitu berarti aku sama Magenta dan Baskara pacaran, dong?" Binta melempar senyum remeh mengejek, "Aku sama mereka berdua ini sering pulang bareng, berangkat bareng kalau mau les, sama sering bawain makanan satu sama lain. Wah! Hebat banget, aku punya tiga pacar sekaligus."

Magenta dan Baskara menahan tawa mereka. Belum lagi melihat raut wajah Citra yang semakin berapi-api.

Binta berlagak menghitung dengan jemarinya, "Kak Nava, Magenta, Baskara, ya ampun tiga-tiganya cowok famous. Banyak yang suka. Dan mereka bertiga pacarku. Pantes banget aku sampai banyak haters gini. Itu sih juga kalau Kakak percaya tiga-tiganya pacarku."

"Ngelunjak kamu, ya?!"

"Bukan ngelunjak, Kak. Habisnya ini yang tolol sebenarnya siapa, sih? Yang nyebarin foto nggak ada kerjaan banget ngikutin hidup orang lain, yang percaya juga bisa-bisanya cuma gara-gara foto dah mikir pacaran. Ya sudah, sekarang Kakak fotoan sama Kak Nava deh sana. Biar bisa pacaran―AAAHH!" Binta menjerit tiba-tiba ketika dirasakan tarikan keras pada rambutnya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Citra?

"BINTA!" Magenta berseru, lelaki itu hampir saja melerai dibantu Baskara, jika saja keduanya tidak ikut terdorong oleh tenaga dua gadis yang sedang emosi-emosinya.

"Heh, anak baru! Nava itu kayaknya sakit mata deh! Kalau emang bukan pacarnya ya sudah! Nggak usah ngelunjak sampai begininya. Belagu banget jadi adik kelas."

Binta sekuat tenaga melepas jambakan di rambutnya. Suasana di sekeliling mereka semakin heboh dan memanas. Jelas Binta sudah menjadi bahan tontonan saat ini. Namun ia tidak peduli, pun ketika jambakan itu tak juga lepas, Binta membalas jambakan yang tidak kalah kelas kepada Citra. Mengundang pekikan yang juga memekakkan telinga dari gadis itu. "Hoy, kepedean banget. Dasar sok cantik! Kalau Nava nggak sama aku juga, dia nggak bakalan mau kali sama cewek genit kayak Kakak! Lagian, ya, Kak, anak kelas tiga hari ini ada try out. Sana belajar yang bener biar ada isi tuh kepalanya."

Mendengar ejekan Binta yang semakin menjadi, Citra yang tidak terima lalu semakin membabi-buta menghajar Binta. Tentu saja Binta tidak mau kalah. Napasnya memburu, wajahnya memerah sempurna, matanya menyalang tajam. Dua gadis tersebut saling balas menjambak, memukul, dan menampar.

Binta merasa kebas ketika Citra tiba-tiba saja menampar keras pipinya.

"Aku bakalan buktiin kalau kamu tuh cewek yang nggak pantes buat Nava!"

"Aku nggak pacaran sama Nava! Situ budeg, ya?! Berkali-kali dibilangin. Kalau bego tuh jangan dipelihara!" balas Binta berteriak.

Plak! Plak!

Binta balas menampar dan memukul badan Citra ketika ada kesempatan untuknya. Tidak peduli dengan seragam mereka yang mulai kotor dan berantakan, pun rambut yang jelas sudah acak-acakan.

Suasana semakin ricuh ketika para penonton yang mengelilingi mereka, bukannya melerai, tetapi justru mengompori pertarungan ini.

"Banyak cewek yang sok bilang nggak suka sama Nava! Tapi nyatanya apa?! Mereka jilat ludahnya sendiri. Jadi jangan kira aku bisa kamu bodoh-bodohin, ya!"

Binta menyeringai, gadis tersebut menjilat darah yang mengalir di sudut bibirnya, "Nggak perlu aku bodoh-bodohi. Situ emang udah bodoh dari sananya!"

Mendengar cercaan itu, Citra semakin memanas. Dia hampir saja kembali menampar pipi Binta, yang sudah siap akan disambut Binta jika memang akan terjadi padanya, dan dibalas dengan hal tak kalah keras. Namun, belum saja tangan Citra mendarat, satu seruan keras menghentikan semuanya.

"Kalau mau kelahi, jangan di sekolah. Sana di luar saja, nggak usah sekolah sekalian!"

Kerumunan yang awalnya mengelilingi mereka berdua, terpecah. Binta bisa melihat sosok guru BK yang menjadi mimpi buruk seluruh siswa dengan penggaris kayu panjang yang menjadi senjata andalannya.

Berbeda dengan Citra yang sudah tampak panik dan ketakutan, Binta memilih acuh tak peduli. Toh, dia tidak sepenuhnya salah di sini. Binta hanya membela diri, itu saja. Jadi, dia sama sekali tidak terganggu dengan pincingan mata dari Bu Yulia ketika memerhatikan seksama penampilan kacau dua tokoh utama yang berkelahi di koridor sekolah.

"Binta, Citra, ke ruangan saya sekarang! Yang lain, kembali ke kelas! Kalian ada begini bukannya di sudahi, malah di dukung, jadi tontonan!"

Tidak ada yang berani melawan, semua siswa segera kembali memasuki kelasnya masing-masing. Termasuk Magenta dan Baskara yang menatapnya iba dan memohon maaf. Binta hanya mengangguk, tidak mempermasalahkan itu. Dia akan menyelesaikan ini semua di ruang BK nantinya.

Namun, tepat ketika seluruh siswa sudah nyaris habis dan kembali ke kelas masing-masing. Di saat yang sama Binta melihat sosok Nava yang tengah menatapnya dingin tanpa ekspresi, menyandarkan tubuhnya di dinding dengan Lintang yang juga berdiri di dekatnya. Baik Binta maupun Nava saling bertukar pandang selama beberapa detik, sampai pada akhirnya, Nava yang menjadi orang pertama yang memutuskan pandangan tersebut. Lalu berbalik tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Binta dan meninggalkannya begitu saja.

Binta mengepalkan tangannya, hatinya sudah jelas marah atas semua yang menimpa dirinya begini. Sudut bibir gadis tersebut tertarik tipis, ia bergumam lirih.

"Iya, aku nggak butuh Mas Nava. Aku bisa melindungi diriku sendiri."

***

Karena adegan perkelahian tadi cukup menghebohkan. Sampai ada luka fisik yang juga tidak main-main, Bu Yulia pada akhirnya memanggil wali murid untuk juga menyelesaikan masalah ini. Belum lagi mengingat Binta yang keras kepala dan tetap membela diri. Mengaku jika ini bukan salahnya, sementara di satu sisi, Citra juga bersikeras mengaku Binta yang memukulkan begitu keras. Namun, jika ditelisik kembali, memang luka yang ditimbulkan pada Citra lebih parah. Mengingat Binta juga sempat menendang gadis tersebut.

Pun ketika orang tua mereka datang, Binta memutar bola matanya jengah. Melihat bagaimana Citra yang merengek seolah ini semua kesalahannya, jelas Binta pun tak terima.Dia juga ikut memamerkan luka memar dan lecet pada wajahnya.

"Anak saya hanya mencoba melindungi diri. Jelas ini bukan kesalahan satu pihak, Bu. Kami nggak terima. Apalagi anak mereka yang menyerang duluan," Bunda berkata tegas, wanita tersebut meringis melihat luka di wajah dan badan putrinya. Namun, tetap di satu sisi, Binta hanya menatap datar tanpa ekspresi.

"Dan apalagi ini?" Ayah yang kini mengambil tempat di sisi kanan Binta tersenyum remeh, "Hanya karena foto ini anak saya sampai mengalami luka-luka macam ini? Memangnya anak-anak di sekolah ini nggak ada yang tahu, ya? Kalau Nava adalah kakak kandung Binta. Mana mungkin mereka punya hubungan semacam itu."

Citra jelas mati kutu. Tidak berani menjatuhkan perlawanan. Pun ketika detik pertama orang tua Binta memasuki ruangan, gadis tersebut sudah benar-benar terkejut dan membola. Di kepalanya mulai berputar banyak hal, tetapi ia tidak berani mengambil keputusan di satu sisi, sampai konfirmasi tersebut keluar dari mulut Ayah Binta sendiri.

Siapa yang tidak terkejut mengetahui orang tua yang datang adalah orang tua yang sama dengan yang biasa mengambilkan rapor milik Nava.

"Untuk masalah itu, Pak," Bu Yulia menghela napas berat, "Saya pikir tidak banyak anak-anak yang tahu. Mengingat masalahnya sampai sebesar ini."

Orang tua Citra, lebih tepatnya Papanya, menunduk seraya memijat pelipisnya. Dia jelas malu setelah mendengar banyak penjelasan dari kedua pihak. Awal-awal sempat menyalahkan Binta karena anak itu tidak memberikan penjelasan secara spesifik. Sampai ketika Ayah Binta yang angkat suara, baru semuanya mulai terlihat jelas.

"Citra, kamu lebih baik belajar yang benar sepulang dari sini," geram Papa Citra, menatap tajam anaknya.

Citra menciut, ia meminta perlindungan dari sang ibu, tetapi wanita tersebut tentunya tidak bisa melakukan apapun.

"Kami minta maaf atas masalah ini, Pak, Bu. Setelah ini, kami janji akan lebih memerhatikan Citra lebih baik ke depannya. Ini memalukan sekali, kami mengaku anak kami salah karena menyerang Binta lebih dulu."

Pada akhirnya, setelah melalui perdebatan panjang, kedua wali murid tersebut berhasil menyelesaikan masalah putri-putri mereka dengan baik. Hukuman untuk Binta dan Citra juga dijatuhkan sesuai porsi masing-masing. Tentunya Citra yang lebih banyak mengambil hukuman mengingat dia yang membawa gara-gara di sini.

Setelah semuanya selesai, dan setiap orang kembali menuju tempatnya masing-masing, Binta tahu untuknya pribadi, masalah ini belum sepenuhnya selesai.

"Ayah, maaf ganggu kerjaan Ayah." Binta menunduk merasa bersalah. Jemarinya saling memilin satu sama lain.

Ayah menghela napas berat, ekspresinya tak terkontrol, ia memijat pelipisnya lelah, "Kenapa nggak bilang apapun, Dek?"

Binta diam tak menjawab.

"Binta, Ayah nanya ke kamu. Kenapa bisa-bisanya orang lain nggak ada yang tau kalau Nava itu kakakmu? Kenapa kamu bahkan nggak mau buka suara buat bilang hal itu tadi?"

"Mas," Bunda mengelus lengan Ayah, menenangkan pria tersebut, ia lalu menoleh pada Binta. Tangan Bunda menyisir rambut Binta yang berantakan di sana, "Kita obati dulu lukanya Dek Binta, ya?"

Bunda lalu menoleh pada Ayah, "Mas bisa pulang duluan. Aku mau ngurus Binta dulu. Tadi ada meeting penting kan, katanya?"

Ayah pada akhirnya mengangguk. Ia melirik jam di tangannya sesaat, "Kita bicarakan lagi nanti di rumah. Aku pergi dulu," kata Ayah yang lalu berbalik. Pergi begitu saja.

"Bunda ...."

"Sudah, kita obatin dulu luka-lukanya Binta. UKS-nya sebelah mana?"

Meskipun merasa tidak enak hati, pada akhirnya Binta menunjukkan letak UKS sekolahnya. Seraya diam-diam menyiapkan diri, bahwa di rumah nanti pasti masalahnya akan bertambah besar karena melibatkan Nava juga di sana.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro