34. Berharap Suatu Saat Nanti, Kau dan Aku kan Bertemu Lagi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dikarenakan satu dan lain hal, bab ini nggak aku revisi. Jadi, kalau ada salah-salah atau typo dan semacamnya boleh dikomen, biar diperbaiki.

Bab ini mengandung 3000++ kata, jadi harap dibaca perlahan. Jangan lupa juga untuk vote sebelum baca!! Happy reading dan selamat bersemesta!

            Navarendra memegang sebuah foto dalam genggaman tangannya. Pemuda tersebut tersenyum tipis. Cukup lama ia menduduki pinggiran ranjang. Hanya duduk dengan pikiran yang melanglang buana, pun sisa-sisa senang yang masih tertinggal dalam dadanya. Ada dia dan saudara-saudaranya yang tengah tersenyum lebar. Masih dengan dia dan Binta dengan baju seragam mereka, serta Sekala.

Memang selepas itu ocehan Bunda jelas terdengar. Bunda tidak mempermasalahkan anak-anaknya bersenang-senang, justru ia lega mendengar itu. Tetapi perihal Sekala yang tidak mengabari dan membuat wanita tersebut khawatir tentu tidak ditoleransi. Mereka bertiga duduk di sofa ruang tengah. Menunduk dengan Bunda yang berdiri di hadapan mereka. Sesekali memijat kepala karena pusing dengan tingkah laku anak-anaknya. Namun tanpa disadari Bunda, tiga bersaudara itu saling mengulum senyum dan menertawakan jika salah satu di antara mereka ada yang kena sasaran.

Sudah lebih dari satu minggu. Navarendra ingat selepas itu dia dan Binta tidak terlibat perkelahian apapun. Nava pun sudah tidak menolak setiap kali berangkat bersama Binta ke sekolah ataupun berjalan beriringan menuju kelas mereka masing-masing. Itu jelas kemajuan yang hebat. Serta berita hubungan darah keduanya sudah pasti menyebar ke satu sekolah. Perihal dua bersaudara yang memiliki pamor tinggi, ternyata mempunyai adik bungsu lainnya yang tidak kalah cantik.

Gadis-gadis yang awalnya hendak mem-bully Binta jelas mundur. Terutama ketika dia dan Nava berjalan bersama memasuki area sekolah. Nava memang tidak melakukan apapun. Dia tidak sedang mengancam siapapun yang berani melukai adiknya akan berurusan dengan dia. Namun sorot mata tajam dan mengintimidasi darinya sanggup membuat siapapun mundur, Binta pun mempunyai Baskara dan Magenta yang selalu ada dengannya. Terlepas dari itu semua, Binta juga cukup tangguh untuk melindungi dirinya sendiri.

Jelas ada tanda tanya besar terkait asal-usul Binta yang mendadak muncul. Namun keluarga yang bersangkutan mampu menutup semuanya dengan baik. Tidak ada yang tahu termasuk Magenta dan Baskara.

Lagipula, biarkanlah itu menjadi masa lalu mereka. Sebuah kejadian besar yang menjadi pelajaran untuk semua orang yang terlibat. Sesuatu yang bisa dipetik hikmahnya, tidak untuk dilupakan, tidak pula untuk dikenang, hanya untuk dijadikan pelajaran dan pijakan untuk mengambil langkah yang baik ke depannya.

Tok... Tok ...

"Mas Nava? Ini Binta."

Nava segera menyimpan foto tersebut dalam laci meja belajarnya. Ia lalu membuka pintu dan menemukan Binta tengah berdiri di hadapannya.

"Ada apa?"

"Bunda bilang kalau lapar,makan mie dulu atau pesan makanan di luar. Soalnya kayaknya aku, Bunda, sama Ayah bakalan pulang maleman. Mas Kala juga pulang kampus malam-malam."

Nava menahan napas sesaat melihat penampilan adiknya itu. Binta tampak begitu cantik dengan gaun selutut berwarna salem dan rambut yang diberikan jepit berwarna serupa. Riasan tipis yang begitu natural semakin membuatnya terlihat manis. Jantung Nava berdetak cepat, matanya tak juga berkedip. Ia terpesona. Jelas.

"Mas Nava?" Binta bertanya kembali saat yang dia dapati hanya diamnya Nava.

Lalu Nava menggeleng, menyadarkan dirinya bahwa yang barusan jelas adalah kesalahan.

"Y-ya udah, nanti gampang kalau aku lapar."

Binta tersenyum tipis, "Oke, aku pergi duluan. Ayah sudah nunggu."

"Ta!"

Baru tiga langkah, Binta kembali berbalik, "Ya?"

"Ayah lagi buru-buru?"

Binta berpikir sejenak, lalu melihat dari atas masih ada Bunda yang tengah mencuci piring di dapur, "Kayaknya belum, sih. Bunda soalnya masih nyuci piring."

"Boleh bicara sebentar?"

Suasana mendadak tegang setelahnya. Binta menatap Nava seksama untuk memastikan apa yang sang kakak ucapkan.

Menyadari Binta tak juga menjawab, Nava menghembuskan napasnya berat, "Iya, aku nggak akan berbuat sesuatu yang kamu takutkan. Karena kayaknya," pemuda tersebut memberikan jeda, sebelum melanjut berat, "Ada sesuatu yang harus segera kita selesaikan."

Beberapa detik di sana, Binta mencari-cari maksud lain dari ucapan Nava melalui matanya. Tak dapat dipungkiri jelas dia teramat takut dan memendam trauma yang besar. Terutama atas semua perlakuan Nava yang semena-mena terhadapnya. Namun, melihat apa yang kakaknya lakukan kini, menatap Binta dengan begitu sendu dan sorot mata yang sayu membuatnya menurunkan kewaspadaan.

Lalu setelah menganggukkan kepala, Binta mengikuti Nava memasuki kamar sang kakak. Dan setelah beberapa langkah, Nava menutup pintu kamarnya.

Binta berjalan menuju ranjang Nava, sembari melihat-lihat sekeliling kamar kakaknya. Ini baru pertama kali setelah beberapa bulan tinggal di sana, Binta memperhatikan dengan seksama kamar sang kakak. Selama ini Nava tidak memperbolehkannya masuk ataupun sekadar mengintip.

Namun saat tengah asyik-asyiknya memandang koleksi komik-komik Nava, Binta merasakan sebuah lengan melingkar di perutnya. Gadis tersebut sontak waspada. Nyaris saja memberontak jika tidak terdengar bisikan lemah setelahnya.

"Biarkah sebentar saja," Binta merasakan bahu kirinya memberat. Hembusan Nava membuat bulu kuduknya berdiri.

"Aku tau ini salah," kata Nava kemudian, "Aku nggak akan berbuat yang macam-macam. Tolong biarkan sebentar saja."

Binta gemetar, Nava merasakan itu. Tetapi gadis tersebut merasakan lengan Nava yang melingkar semakin naik dan mengusap pergelangan tangannya dengan begitu lembut.

"Kakak rindu sekali dengan kamu, Disa." Nava menempelkan dahinya pada pundak Binta, "Setiap hari rasanya begitu menyiksa. Kamu begitu dekat denganku, tapi sangat sulit untuk aku raih. Kita akhirnya bisa hidup bersama, tetapi tidak dengan garis takdir yang kita inginkan."

Binta tidak tahu harus bersikap seperti apa. Jelas semua perlakuan Nava mencurigakan baginya. Dia tidak bisa langsung meladeni apa yang kakaknya itu perbuat. Tentunya Binta tidak lupa apa yang hendak Nava perbuat padanya di malam dia kabur dari rumah.

Jadi, gadis itu hanya berdiri tegang tanpa membalas apapun. Binta takut. Terlalu takut karena semua tindakannya bisa saja memicu emosi Nava. Belum lagi posisinya yang tengah berada di kamar tertutup, serta Nava yang menekan pergerakannya.

Menyadari Binta yang tidak kunjung membalasnya, Nava melonggarkan pelukan. Pemuda tersebut sadar sang adik tengah begitu takut dan tegang. Lalu dibaliknya tubuh Binta dan diberikannya si Ayudisa sebuah senyum hangat yang sudah amat sangat lama tidak dilihat oleh Binta.

"Maaf, Kakak pasti sudah buat kamu takut selama ini, Disa," Nava menunduk, ia menghela napas panjang, "Perlakuan Kakak memang nggak pernah bisa dibenarkan. Kamu berhak marah dan takut."

"M-mas Nava―"

"Kak Nava, Disa," koreksi Nava cepat, "Tolong lupakan fakta itu satu kali saja. Setidaknya untuk sekarang."

Nava lalu membawa Binta duduk di tepi ranjangnya. Pemuda tersebut mengambil posisi duduk dengan lututnya yang menjadi tumpuan di hadapan Binta. Kepalanya mendongak membalas tatapan Binta yang begitu bingung dan terkesan curiga. Namun Nava tidak terlalu memperdulikan itu, dua tangannya justru tengah menggenggam tangan sang adik begitu erat dan mengelusnya sayang.

Mereka diam cukup lama. Tenggelam dalam pikiran masing-masing sementara Binta yang tidak juga berani membuka suara. Jika saja Nava berani macam-macam, Binta akan segera melakukan apapun untuk menyelamatkan dirinya dan berteriak minta tolong. Karena pemuda ini ....

Binta terhenyak manakala Nava tiba-tiba menatapnya lurus. Sorotnya tampak begitu hangat dan lembut. Sorot mata yang sama seperti Nava yang dulu dikenalnya. Nava yang selalu melindungi Binta, Nava yang begitu menyayangi Binta. Pun manakala seulas senyum si Adiwangsa tercetak begitu jelas, Binta tidak bisa untuk tidak melonggarkan kewaspadaannya. Gadis tersebut perlahan mulai tenang ketika Nava membawanya kembali ke dalam pelukan dan mengelus punggungnya menenangkan.

"Maafkan Kakak, Disa. Maafkan Kakak sudah menyakitimu selama ini. Kamu pasti sangat terluka."

Mendengar penuturan tersebut, hati Binta tersentuh. Gadis tersebut spontan meremat kaus yang tengah digunakan sang kakak. Kepalanya tenggelam dalam pundak Nava, lalu sebuah sensasi basah dan hangat dirasakan si Adiwangsa pada pundaknya.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, Binta menangis sesenggukan. Melampiaskan seluruh kemarahan dan kekecewaannya dalam bentuk tangisan. Bahunya naik-turun seiring isakannya terdengar. Pukulan-pukulan dengan tenaga yang tidak seberapa dirasakan Nava di dadanya.

"Jahat, jahat, jahat!" rengek Binta, "Kakak jahat pokoknya!"

Nava mengangguk, ia pun mati-matian menahan air matanya agar tidak turun. Pemuda tersebut menelan ludah getir. Semakin mengeratkan pelukan mereka dan mengangguk menyetujui setiap ucapan Binta.

"Iya, Kakak jahat sekali sudah kasar sama kamu selama ini. Maaf, ya, Disa. Maafkan Kakak."

"Di-Disa ... waktu itu Disa nggak tau harus ngapain. Disa juga sedih, marah, takut. Tapi Disa nggak tau harus ngapain selain pergi ninggalin Kakak. Di-Disa ...." Nava masih begitu sabar menunggu Binta yang berbicara terpatah-patah, "Disa cuma berharap Kakak nggak akan semarah itu. Karena selain ibu, Disa nggak punya siapapun lagi. Disa nggak masalah kalau Kakak marah, ta-tapi ..."

Binta sesenggukan, tetapi ia masih bersikeras melanjutkan, "Tapi Kakak benci Disa sekali. Disa nggak suka. Kakak bahkan sudah jahatin Disa dan kasar. Kakak jahat!"

Binta agaknya tidak pernah merengek seperti ini terhadap orang lain. Terkecuali dengan Bunda, pun karena waktu itu sang ibu yang memancing. Selain ibu kandungnya dulu, Nava adalah orang kedua tempat Binta bisa leluasa bercerita. Binta dahulu begitu percaya bahwa Nava akan selalu ada dipihaknya. Terlepas dari kondisi mereka yang berubah, Binta masih mempunyai Nava yang mungkin akan membutuhkan waktu untuk memaafkannya.

Namun melihat dari respon si Adiwangsa sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di rumah, pun bagaimana Nava yang juga hilang kabar setelah Binta meninggalkannya, Binta tahu bahwa Nava sudah pergi darinya sejak saat itu.

"Kakak juga bingung, Disa. Semuanya begitu menyakitkan, semuanya rasanya begitu sinting. Kita berada dalam posisi yang sama sekali nggak menguntungkan."

Nava melepas pelukan mereka. Dengan begitu lembut dan telaten, dihapusnya air mata Binta. Pemuda tersebut tersenyum getir.

"Disa, nggak masalah kalau kamu nggak memaafkan Kakak," katanya, "perbuatanku selama ini memang nggak akan pernah bisa dibenarkan. Tapi ... boleh aku minta satu hal terakhir? Setelah ini, aku nggak akan pernah mengusikmu."

Ucapan Nava terdengar ambigu dan semakin mencurigakan, tetapi Binta yang masih emosional tidak bisa berpikir jernih. Lantas gadis tersebut mengangguk tanpa pikir panjang.

"Besok, tolong luangkan waktu kamu untuk aku. Di saat-saat terakhir ini, aku ingin menghabiskan waktu dengan kamu. Sebagai Nava dan Disa. Bukan sebagai Nava dan Binta. Jadilah Ayudisa, perempuan yang sangat aku cintai, seperti dulu. Hanya untuk satu hari saja."

"Memangnya Kak Nava mau kemana?"

Nava tersenyum tipis, ditangkupnya pipi Binta dengan satu tangannya, "Yang pasti, tempat di mana aku bisa perlahan melupakan kamu."

Dada Binta sesak. Tangannya spontan mengepal. Gadis tersebut lagi-lagi menahan air matanya susah payah. Benar. Setelah ini tidak ada yang bisa diharapkan lagi dari hubungan keduanya. Binta dan Nava berada dalam satu ikatan takdir yang tidak mereka inginkan. Benang takdir yang inginnya diputus begitu saja dan disusun ulang sesuai keinginan mereka. Namun, jelas semuanya tidak akan pernah semudah itu. Pun kebahagiaan yang selama ini melingkupi hubungan keduanya hanya berakhir semu. Lantas dengan perasaan berkecamuk dan sesak yang ditekannya mati-matian, Binta mengangguk pasrah.

Nava tersenyum, dia pun sama sakitnya, dia pun sama kecewanya, dia pun sama marahnya. Namun ia sadar bahwa baik dia dan Binta tidak mampu melakukan apa-apa. Jadi, melihat respon sang adik, tangan lelaki tersebut berpindah mengusap puncak kepala Binta, "Anak pintar."

"Sudah, Bunda sama Ayah kayaknya lagi nunggu. Maaf kalau riasan kamu aku rusak."

Binta tersenyum tipis, "Nggak apa-apa, aku bisa perbaiki sedikit." Ia lalu berjalan pergi.

Di depan pintu, dengan tangan yang masih menahan gagangnya, Binta berhenti dan berucap tanpa berbalik menatap Nava.

"Besok sore. Sepulang dari bimbel, jemput aku. Kita habiskan waktu-waktu seperti dulu," katanya yang lalu pergi dan menghilang dibalik pintu.

Nava tersenyum tipis, tangannya menyentuh dada. Ada sebuah perasaan tekanan begitu kuat di dalam sana. Rasa yang membuat si Adiwangsa kembali meringis sesak selepas kepergian Binta.

"Ya," gumamnya lirih, "Mari habiskan waktu-waktu terakhir kita seperti dulu."

***

Binta menyambut Nava dengan senyum manis dan tangannya yang turut melambai. Nava sendiri membuka kaca helmnya, turut melambai dan memperlihatkan senyum kotaknya serupa.

Gadis tersebut lekas berlari kecil, berpamitan sejenak kepada Magenta sebelum menghampiri sang kakak dan duduk di belakangnya.

"Mau kemana, Disa?" tanya Nava, satu tangannya membawa lengan Binta agar melingkar di pinggangnya.

Binta menurut, dia memeluk Nava dari belakang dan menyandarkan dagunya di pundak sang kakak, "Uhm, makan es krim stroberi? Gimana?"

"Itu saja?"

"Kayaknya asyik kalau beli cemilan terus kita duduk di malioboro."

Lalu motor Nava lantas membelah jalanan Yogyakarta sore hari itu. Masih dengan seragam putih abu-abu lengkap, keduanya menghabiskan cukup banyak perbincangan di atas motor. Tanpa adanya kecanggungan dan keseganan seperti dahulu. Mereka seakan terbawa kembali kepada waktu-waktu lalu yang begitu indah. Pun gelak tawa Binta yang terdengar jelas bersahutan dengan tawa dari suara Nava. Sesekali tangan Binta terangkat, menciptakan gerakan ombak mengikuti angin yang cukup keras sore itu, kendati motor milik Nava melaju lambat.

Ada begitu banyak cerita yang mereka lewatkan, serta ada begitu banyak pula perasaan yang tidak mereka bagi bersama. Binta semakin mempererat pelukannya. Kali ini dia tengah mendengarkan satu-dua cerita Nava, ditambah tangan pemuda tersebut yang sesekali turut mengait di jemari Binta.

Sampai pada akhirnya mereka sampai di Malioboro. Nava memarkirkan motornya, lalu membawa Binta dengan jemari yang saling bertautan erat. Keduanya melempar senyum sambil berjalan santai dan hanya memandangi orang-orang yang juga berlalu lalang.

Binta mengambil tempat duduk di paling pinggir, menghadap langsung dengan jalan raya pun Nava di sisinya. Gadis tersebut menyandarkan kepala di bahu sang kakak, sembari menikmati rasa manis dan dingin es krim yang memanjakan mulutnya. Nava tak ambil pusing karena dia pun menikmati waktu-waktunya saat ini dengan Binta.

"Disa," Nava memanggil lembut.

"Ya, Kak?"

"Selama bareng aku, kamu bahagia?"

"Iya, aku bahagia," jawab Binta langsung tanpa pikir panjang.

Nava tersenyum tipis, ia meremat tangan Binta sebagai pelampiasan perasaan leganya, "Syukurlah."

Binta mengangkat kepalanya lantas menatap Nava seksama. Dalam hatinya jelas berkecamuk beragam perasaan yang menekan dadanya begitu kuat. Namun gadis tersebut masih bisa menampilkan seulas senyum hangatnya. Senyum yang membawa esensi tenang terhadap perasaan Nava.

"Kakak nggak perlu khawatir. Selama bersama Kakak, aku bahagia. Yang lalu, biarkan saja berlalu, Kak. Semua yang Kakak lakukan, sudah aku maafkan."

Mengabaikan sedikit keadaan yang ramai di sore itu, Nava agaknya abai pun orang-orang yang menatap acuh keduanya. Pemuda tersebut membawa jemarinya guna menyalipkan rambut halus si Ayudisa di belakang telinga, "Tapi Kakak mungkin akan menyakiti kamu lagi, Disa."

"Maksudnya?" Binta menatap bingung.

"Aku akan pergi," suara Nava tercekat, mata pemuda tersebut sudah berkaca-kaca, ia masih menahan tangis itu agar tidak tumpah begitu saja, "Aku akan pergi meninggalkan kamu, meninggalkan bunda, ayah, dan Mas Kala."

Binta meremat ujung baju seragamnya yang sudah dikeluarkan dari rok, "Kak Nava serius mau pergi?"

"Nggak hanya aku," pemuda tersebut menarik napas sesaat, "Kakak sulung kita juga sepertinya akan ikut pergi. Disa, kami membutuhkan waktu. Segala kejadian ini cukup berat untuk kami terima."

"Terus aku?" Disa berkaca-kaca, ia menatap Nava terluka, "Terus aku gimana? Kalian tega tinggalin aku sendiri? Kita―kita bahkan baru baikan."

Nava menarik Disa ke dalam pelukannya. Ia mengusap lengan si Ayudisa guna menenangkan sang terkasih, "Maafkan kami, Disa. Kami harus meninggalkan kamu. Tapi kami harus pergi. Dan aku ...." Nava menghembuskan napas sesaat sebelum melanjutkan, "Aku harus pergi agar tidak semakin menyakiti diriku sendiri setiap melihat kamu."

Binta melepaskan pelukannya. Gadis tersebut menunduk, ia masih mendengarkan Nava.

"Aku selama ini menahan diri dengan baik, Disa. Setiap kali melihat kamu disekelilingku, kamu pikir aku selama ini baik-baik saja? Sa, kamu tau kan kalau aku sayang kamu? Aku cinta kamu, Sa. Melihat kamu di setiap sudut rumah, rasanya aku ingin tarik kamu pergi. Kita pergi jauh dari kota ini dan kembali melanjutkan cerita kita. Tapi ...." Nava menggeleng, ia mengulum bibir membentuk garis lurus di sana, "Kita nggak bisa, Disa. Nggak akan pernah Disa."

Nava menunduk, napasnya tercekat, tetapi ia masih berusaha melanjutkan, "Aku dan kamu, di dalam diri kita mengalir darah lelaki yang sama. Ayah kita."

Nava menatap Disa, sorotnya begitu terluka dan sendu di saat yang sama. Lelaki itu tampak pasrah sekaligus frustasi di sekon yang sama.

"Maaf aku egois, tapi aku nggak bisa melanjutkan ini lebih lama. Aku nggak bisa menyakiti diriku lebih lama, Disa. Aku ... harus pergi meninggalkan kamu. Untuk waktu yang tidak bisa ditentukan, sampai aku bisa menerima semua keadaan ini."

"Sampai ..." Nava menelan ludah getir, "Sampai aku bisa menerima fakta bahwa kamu adikku dan melupakan perasaan ini."

Mungkin bagi sebagian orang, apabila mereka berada di saat harus mengakhiri hubungan dengan kekasihnya, mereka akan menyimpan satu tempat di hatinya untuk sang mantan kekasih. Tempat yang akan selalu jadi milik seseorang spesial itu meskipun sudah menemukan pengganti yang lebih baik.

Namun kasusnya berbeda untuk Nava. Meskipun jelas mustahil melupakan Ayudisa dan menghapus nama Disa dalam hatinya, tetapi tekadnya untuk melupakan Binta juga besar. Dia tidak mau semakin terpuruk dan jatuh semakin dalam dengan perasaannya. Dia hanya ingin bahagia. Nava hanya ingin hidupnya kembali normal seperti dahulu. Sebelum banyaknya masalah demi masalah menimpanya. Jadi langkah awal yang harus dia lakukan adalah ....

... melepaskan Ayudisa.

Lalu tanpa menunggu Binta membalas ucapannya, lantaran gadis tersebut menunduk sibuk menahan tangis sejak tadi, Nava bangkit dan membawa sang adik. Mereka tentunya tidak bisa menjadi pusat perhatian lantaran Binta yang barangkali saja nanti bisa melepas tangisannya.

"Ayo, pulang, Disa."

"Kalau pulang, berarti nanti kita sudah nggak bisa kayak gini?" Binta bertanya, mendongak menatap Nava berkaca-kaca.

Nava tersenyum tipis, ia mengangguk dengan sorot teduh yang hanya ia berikan terhadap gadis terkasihnya itu, "Iya. Tepat setelah kamu dan aku memasuki rumah, tepat saat itu kita berakhir. Kamu akan kembali menjadi Binta, dan aku akan kembali menjadi Mas Nava."

"Kalau begitu," Binta menghapus satu tetes air mata yang lolos, lantas memaksakan diri untuk tersenyum, "Mari habiskan saat-saat terakhir ini dengan baik."

Keduanya melupakan sejenak fakta yang ada di depan mereka. Baik Binta dan Nava saling berpegangan tangan dan berlari kecil dengan tawa yang merebak mengiringi keduanya. Makanan yang tadi dibawanya sudah dilupakan dan dijejalkan dalam tas masing-masing. Beruntungnya, Binta membawa kamera digital dari rumah. Banyak sekali foto serta video-video yang dia ambil bersama dengan Nava.

Kakaknya itu juga pintar mengambil spot foto. Selain Binta yang sejak tadi mengambil banyak foto dan video Nava, lelaki tersebut melakukan hal yang serupa. Lantas merangkul sang adik dan merekam diri mereka di kamera. Sampai di satu titik, Nava memanggil satu orang lelaki yang dia mintai tolong, untuk mengambil fotonya bersama Binta.

"Oke! Satu ... Dua ... Tiga ...!"

Ckrek!

Suara itu terdengar, seiring dengan Nava yang merangkul Binta. Pemuda tersebut memamerkan senyum kotaknya lebar sampai membuat dua matanya menyipit. Binta sendiri tidak mau kalah dengan satu kaki terangkat dan jemari membentuk tanda V, seraya tersenyum menampilkan deret giginya.

Itu satu dari beberapa gaya foto yang mereka ambil. Setelah puas mengabadikan momen-momen tersebut, Binta tak lagi menampilkan tawa dan senyumnya selepas tadi. Gadis tersebut kembali diingatkan dengan realita, sementara Nava menahan diri seraya merangkul sang adik sepanjang perjalanan.

Keheningan itu berlanjut sampai motor Nava membawa keduanya kembali dan Binta hanya menyandarkan tubuh seraya memeluk Nava dan menatap kosong jalanan. Agaknya tengah mempersiapkan mental untuk perpisahan mereka yang sebentar lagi terjadi.

Motor Nava sudah dimasukkan ke dalam garasi, Binta lalu turun dan melepas helmnya. Nava yang menyadari ekspresi adiknya itu menghembuskan napas cukup berat. Pria tersebut lalu menarik Binta pelan untuk dibawanya kembali ke dalam dekapannya. Detik itu pula tangisan Binta pecah tanpa bisa ia tahan. Nava membawa Binta tenggelam di dadanya guna meredam suara tangis sang adik.

Di waktu yang cukup lama tersebut, Nava dengan sabarnya menunggu. Beruntung saja tidak ada Sekala atau Bunda yang keluar dan mendapati mereka tengah berpelukan begini.

Sampai pada akhirnya, Binta merenggangkan pelukan mereka. Nava dengan telatennya turut membantu menghapus air mata sang adik dan merapikan rambut Binta yang sedikit teracak.

"A-aku sayang Kak Nava. A-aku cinta sama Kakak."

Nava mengangguk dan masih menampilkan senyumnya dengan susah payah, ia mencium puncak kepala Binta sebelum berbisik pilu, "Aku juga cinta sekali dengan Disa. Tapi kita harus mengakhiri perasaan ini, Disa."

"Disa sayang," panggilnya begitu lembut, jemari Nava membawa dagu Ayudisa agar mendongak menatapnya, "Dulu, kita tidak mengakhirinya dengan baik, kan?"

Binta hanya bisa mengangguk. Ia tidak sanggup bersuara, hanya membiarkan Nava mengambil alih dan menyelesaikan semuanya.

"Maka sekarang, sudah saatnya kita mengakhiri semuanya, Sa. Aku dan kamu yang sayang sekali nggak bisa melanjutkan kisah ini bersama-sama. Kita berdua punya akhir yang berbeda. Sebuah akhir cerita di mana tidak ada aku dan kamu dalam masing-masing cerita kita," Nava mengelus puncak kepala Binta dengan begitu halus, seakan takut kembali menyakiti gadistersebut meski dengan hanya sebuah sentuhan, "Jadi, mari akhiri semuanya dengan baik, Disa."

"Terima kasih sudah pernah menjadi bagian dari ceritaku, terima kasih pula sudah pernah menjadi duniaku. Maaf, untuk semua perlakuanku yang selama ini menyakiti kamu."

Binta yang sudah lebih tenang menghapus air matanya, gadis tersebut menatap Nava dan memasang senyum kepayahan. Mengangkat tangan dan mengusap lembut pipi Nava.

"Kakak nggak perlu khawatir, setelah ini, hanya ada kenangan-kenangan indah yang aku simpan antara aku dengan kakak. Kenangan dari seorang pemuda yang sudah berhasil membuatku bahagia."

"Maaf nggak bisa melanjutkan kebahagiaan itu."

"Maaf diterima, dan kita pun harus mencari kebahagiaan lainnya. Dunia itu luas, Kak Nava. Aku percaya bahwa akan ada banyak sekali tempat dan orang yang akan membuat kita bahagia."

Nava mengangguk. Lalu kembali dibawa Ayudisa ke dalam pelukannya. Pelukan terakhir seiring dengan kecupan hangat Nava yang bertahan cukup lama di puncak kepala Binta.

Tidak sanggup menahannya lebih lama, tetes demi tetes air mata Nava mengalir. Ia menelan ludah getir seiring dengan satu kalimat yang diucapkan setelahnya. Bersamaan dengan dentuman dan tekanan besar yang menyapa dadanya.

"Aku melepaskan kamu, Disa."

Dan untuk semua perasaan yang melebur mejadi satu. Perasaan yang akan selalu menjadi milikmu. Perasaan yang perlahan akan aku lepaskan seiring berjalannya waktu aku melepaskan kamu. Rasa cinta dan sayang yang pernah menjadi milikmu, aku lepas mulai detik ini.


So far, bagaimana dengan bab ini? Puas kan ketemu sama nava?

sampai jumpa di bab selanjutnya!!

Jangan lupa untuk tinggalkan jejak berupa vote dan komentar. Share cerita ini ke teman-teman kalian dan mari berteman di instagram dengan follow @bintangsarla untuk konten menarik lainnya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro