6. Kamu dan Kota Ini

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dimohon klik vote dulu ya sebelum baca. Selamat bersemestaa <3

            Sekala baru saja memasuki kafe tempat dia biasa menghabiskan waktu. Netranya menyipit dengan dua sudut bibir yang tertarik sempurna ketika mendapati perempuan tak asing yang melambai menyapanya. Tanpa menunda waktu, pemuda tersebut berjalan tak sabaran. Lekas setelah itu merentangkan tangan dan membawa si gadis ke dalam pelukannya dengan erat.

"Kangen." Suara pemuda itu justru terdengar seperti rengekan, yang mengundang tawa ringan dari si gadis. Dagu Sekala yang mendarat di pundak gadis tersebut terasa berat sampai lawannya melepas pelukan mereka.

"Iya, tau. Bukan cuma kamu saja yang kangen."

Sekala menatap penuh rindu pada gadis tersebut. Kekasihnya, Tsana Pramudita. Ia mengambil tempat tepat di samping Tsana dengan makanan serta minuman yang sudah tersaji di meja mereka. Tsana sudah memesannya terlebih dahulu. Tanpa memberitahukan ataupun menanyakan pesanan Sekala karena dia sudah teramat mengenal prianya.

"Kamu sibuk sekali ya akhir-akhir ini?"

Tsana mau tidak mau mengangguk, "Aku harus ikutin ujian blok. Belum lagi praktek. Lumayan banyak. Kegiatan di himpunan juga nggak kalah banyak. Tiga bulan lagi mau ngadain seminar. Jadi banyak yang harus disiapin."

Sekala mau tidak mau mengangguk. Mencoba memahami karena dia pun juga sama-sama sibuknya. Bedanya, Sekala mengikuti UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) riset dan kepenulisan, tempat dia biasanya mendapatkan pelatihan membuat karya tulis bersama teman-teman satu UKM-nya. Sementara Tsana beda lagi. Gadis tersebut sudah cukup penat dengan kegiatan dan tugas kampusnya. Jadi, mengikuti organisasi yang tidak terlalu menguras otak, bergabung bersama-sama di himpunan mahasiswa jurusan pendidikan dokter, yang kegiatannya hanya berupa sosialisasi, pengabdian, ataupun mengadakan lomba dan seminar.

"Ada cerita apa aja selama ini?" Tsana bertanya dengan sorot teduhnya. Nyaris membuat Sekala kehilangan napas saking senangnya bisa bersitatap dengan sang kekasih sejak sekian lama.

"Adikku sudah datang ke rumah, Tsan. Sudah hampir seminggu."

Barangkali itu terdengar sederhana jika kalian mendengarnya dari anak dengan kondisi keluarga baik-baik saja. Tetapi untuk Tsana yang sudah bersama dengan Sekala sejak lama. Berteman sejak SMA, menjalin hubungan di tahun kedua sampai kini mereka menginjak semester 3 perguruan tinggi. Gadis tersebut sudah benar-benar tahu apa saja yang terjadi di keluarga Sekala.

"Terus gimana?"

Sekala menarik sudut bibirnya tipis, "Ya begitu. Kamu tau sendiri aku nggak mau cari gara-gara. Nggak mau cari masalah. Aku harus nerima dia."

"Anaknya baik?"

"Baik," Sekala mengingat bagaimana rupa serta sifat Binta selama seminggu ini di rumah mereka, "Anaknya polos, penurut, nggak ngerepotin. Sejauh ini yang kulihat, Mama kelihatan senang punya teman di rumah selama ada dia."

"Kalau begitu nggak ada masalah, dong? Maksudku, keluarga kamu nerima dia. Mama kamu bahkan nggak marah ada dia."

"Adikku yang belum bisa nerima dia, Tsan."

"Nava, maksudmu?"

Sekala mengangguk. Namun selepas itu dia memilih menggelengkan kepala sembari meraih minuman dinginnya dan menyeruput pelan, "Sudahlah. Aku jauh-jauh ke sini nggak mau ingat itu. Kita bahas tentang kita saja. Gimana?"

Tsana tentu saja mengerti. Sekala kali ini tidak membutuhkan sebuah saran ataupun seseorang untuk di dengar. Dia hanya ingin melupakan sejenak masalahnya dan ingin ditemani. Maka gadis tersebut pada akhirnya mengganti topik. Mengisi perbincangan mereka dengan hal-hal menarik ataupun konyol. Gosip terbaru artis-artis papan atas, lagu-lagu yang mereka dengar akhir-akhir ini, film-film baru yang mereka masukkan ke dalam daftar tontonan. Apapun itu asalkan menghabiskan dengan sang kekasih, tentunya akan tetap terasa menyenangkan.

Ketika waktu sudah berjalan sampai sore dan di sana baik Tsana maupun Sekala tahu bahwa sudah saatnya kembali berpisah. Ada banyak tugas yang menumpuk dan meraung untuk diselesaikan. Jadi Sekala pun memutuskan untuk mengantar Tsana ke rumah milik kekasihnya.

Di atas motor, Tsana melingkarkan tangannya di pinggang Sekala. Memeluk prianya sembari terus melanjutkan cerita yang sempat terpotong sejak di kafe.

"Kamu tau nggak, Tsan? Kadang kala aku iri sama Nava."

Menyadari bahwa kekasihnya sudah mulai bercerita, Tsana memulai perannya dengan baik.

"Kenapa iri, Kala?"

"Karena Nava gampang banget ungkapin dan perlihatin perasaannya. Senang, sedih, marah. Apapun itu. Sementara aku nggak bisa. Aku harus sadar diri, aku harus tau posisi. Kalau aku ngelakuin hal yang sama, semua bakalan makin keruh. Keadaaan semakin parah dan ... Bunda yang akan menjadi pihak paling terluka lihat anak-anaknya begitu.

"Aku selalu ingin marah. Selalu ingin bilang bahwa Bunda seharusnya nggak sebaik itu menerima anak dari perempuan yang sudah menyakitinya dulu. Tapi hal yang aku lakuin justru diam dan milih pendam semua sendiri. Dan di saat aku sudah ketemu sama adik perempuanku, aku memang kesal. Aku marah setiap kali melihat dia sama seperti halnya Nava. Tapi kamu tau, Tsana?"

Sekala mengambil jeda sesaat untuk mengambil napas panjang.

"Aku selalu merasa semakin bersalah dan berdosa jika harus meluapkan amarahku sama Binta. Dia juga hidup susah selama ini, biar bagaimana pun semua kesalahan ini bukanlah salah dia. Bukan dia yang melakukannya, tapi kenapa ... setiap aku lihat dia, aku selalu ngerasa sakit. Karena ... aku selalu ingat bagaimana terlukanya Bunda dulu waktu tau kalau Ayah ... punya anak dari perempuan lain."

Tsana masih terdiam. Membiarkan Sekala mengeluarkan keluh kesah pun beban yang sejak lama dipendamnya seorang diri.

"Tsana aku ingin marah, aku ingin menangis, tapi aku nggak bisa. Bahkan air mata saja rasa-rasanya sulit aku keluarkan."

Tsana mengeratkan pelukannya. Menyadari bahwa Sekala sudah tampak lebih tenang, kini saatnya berbicara.

"Sekala, kamu nggak perlu ngerasa payah karena apa yang sudah kamu lakukan adalah hal yang benar. Kamu sudah berhasil untuk nggak bersikap egois selama ini dan nggak semua orang bisa melakukan itu. Di saat kamu lagi nggak bisa bedain mana yang benar dan mana yang salah, kamu masih bisa untuk memikirkan dampak atas emosi apa yang kamu luapkan untuk orang lain dan itu luar biasa.

"Kamu adalah laki-laki hebat yang aku kenal. Kamu yang selalu mengutamakan orang lain dan kepentingan mereka. Itu nggak apa-apa. Dan siapa bilang kamu pendam semuanya sendiri? Kamu nggak sadar kalau kamu barusan ceritain semuanya ke aku? Sekala, kamu masih punya aku. Kamu tau kalau aku akan selalu dengarin apa saja cerita kamu. Kamu nggak sendirian dan kamu nggak pendam semuanya sendiri. Karena kalau kamu nggak cerita, aku yang buat kamu cerita."

Sekala merasa sedikit bebannya terangkat. Napasnya mendadak sedikit lebih ringan dan ia mengangguk menurut. Motornya melaju lambat seiring perbincangan dalam yang mereka lakukan. Seperti biasanya, Yogyakarta masih menjadi kota yang ramai dengan seluruh penduduk semesta yang baru saja memilih rehat dari sibuknya kehidupan. Matahari mulai merendah tertutupi gedung-gedung tinggi menyisakan rona magenta dan senja yang bersembunyi malu-malu.

Benar kata Tsana bahwa dia tidak benar-benar memendamnya. Biar bagaimana pun juga, Tsana sudah menjadi salah satu rumahnya sejak lama. Tempat dia kembali dan tempat dia mulai bergantung terhadap gadis itu. Sekala tahu seberat apapun masalah yang dia lalui dia akan selalu kembali pada gadisnya dan Tsana pun akan selalu ada dengan tangan yang terbuka lebar, pundak untuk bersandar, dan telinga untuk mendengar.

Di sela-sela perasaan nyaman dan hangat yang menyapa hatinya, pemuda tersebut semakin merasa lebih baik ketika tangan milik Tsana menepuk pundaknya dua kali. Pun lepasnya si gadis berkata lembut.

"Kita lewatin semuanya sama-sama ya, Kala."

***

Dari: Bunda

Sayang, nanti pulangnya sama Mas Kala, ya. Bunda sudah minta masnya jemput. Kamu tunggu saja di bimbel.

Pesan itu Binta terima sekitar lima belas menit yang lalu. Ketika waktu jeda untuk istirahat di tempatnya khursus. Dulu Binta memang sempat mengikuti khursus ketika SMP dan berlanjut sampai SMA. Namun untuk kelas reguler dengan biaya yang lebih murah. Itu saja dia dapat potongan harga karena pernah mendapatkan voucher untuk siswa-siswa yang mendapatkan peringkat tiga besar di sekolah.

Namun kini dia berdiri di bimbingan belajar lain. Gedungnya jauh lebih besar dan megah. Ada tiga lantai dan setiap lantainya terdiri dari kelas-kelas yang berbeda. Binta yang kini sudah hidup di lingkungan keluarga berkecukupan, mendapatkan kelas atas dengan biaya tidak main-main. Tutor lulusan dari universitas ternama di Indonesia, jumlah murid di kelas yang lebih sedikit, ruangan dingin dan nyaman, pembelajaran yang berjalan menyenangkan, serta semua siswa yang dibebaskan mengambil privat atau jam tambahan jika merasa pembelajaran yang mereka peroleh kurang.

Tentunya Ayah tidak segan mengeluarkan uang sebanyak itu lantaran ingin Binta mengejar ketertinggalannya, mengingat dia kini berada di kelas unggulan di sekolah swasta yang isi otak anak-anaknya tidak main-main.

Binta sendiri sudah mengikuti les sejak pukul 4 dan berakhir pukul 6. Setelah itu dia mengambil privat sampai pukul 9. Kini ia tengah berdiri di depan gedung bersama anak-anak yang lain. Ada yang masih menggunakan seragam sekolahnya, Binta sih memilih pulang dulu untuk makan siang dan pergi lagi sore harinya.

"Binta?"

Binta menoleh ketika suara yang tak asing memanggilnya, "Lho, Genta?"

"Les di sini juga?" Magenta seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Binta mengangguk, "Kamu juga? Kok aku nggak lihat kamu tapi, ya."

"Kamu di lantai berapa?"

"Aku les di lantai dua."

"Wih, anak sultan. Pantas nggak ketemu. Aku les di lantai satu."

Ah, Binta baru ingat. Level-level kelas yang dipilih memang dibedakan dari lantai tempat kalian mengikuti khursus. Semakin tinggi lantainya, semakin eksekutif pelayanannya. Dari cara bicara Magenta, Binta menebak bahwa Magenta mengambil kelas untuk anak-anak biasa.

"Kalau sultan aku sudah di lantai tiga, Ta. Masih in the middle aku."

"In the middle saja bikin orang tuaku ngos-ngosan kalau bayarannya aku ikut lantai dua. Kamu lagi nunggu jemputan?"

"Iya, nih. Kamu?"

"Aku bawa motor sendiri. Mau aku tungguin sampai jemput? Udah malam lho ini."

Binta berpikir sejenak. Jika sampai Magenta melihat siapa yang menjemput, dia pasti curiga ketika menemukan Sekala adalah orang yang datang. Sekalipun gadis tersebut tidak bisa memastikan apakah temannya ini tahu atau tidak wajah kakaknya. Namun, gadis tersebut hanya ingin cari aman. Tidak boleh ada yang tahu. Sekalipun―ya, dia masih ingin berbagi cerita dengan Magenta untuk mengusir kebosanan.

"Nggak apa-apa. Masih banyak yang belum dijemput juga. Kamu pulang saja duluan."

"Benar, nih?"

"Iya, benaran."

"Ya sudah aku duluan, ya, Bin."

"Oke, Ta. Hati-hati." Begitu Magenta sudah menuju parkiran dan menghilang dari pandangannya. Benar dugaan Binta karena tidak lama setelah itu, sebuah mobil hitam masuk ke dalam penglihatannya. Kaca mobilnya terbuka dan dari dalam, Sekala tengah melambai sembari tersenyum menyambutnya.

"Ku pikir Mas bawa motor, lho."

"Dingin, Ta, malam-malam. Mas baru selesai mandi juga. Biar makin kelihatan keren, jadi bawa mobil. Masa ganteng-ganteng bawanya motor."

Binta tertawa kecil mendengar ucapan kakaknya, "Kita mau sekalian jemput Mas Nava ya, Mas?"

"Nava sudah bawa motor sendiri. Awalnya mau nyuruh dia sekalian jemput kamu. Tapi aku tau pasti anak itu banyak alasannya. Jadi, ya sudah deh. Mumpung aku nggak lagi sibuk banget juga."

Binta mengangguk pelan. Tatapannya kini beralih melihat kendaraan yang lalu-lalang, gedung-gedung tinggi, dan bangunan besar yang terang di malam hari itu melalui jendela mobilnya. Alunan musik lembut menemani mereka sepanjang perjalanan.

"Binta mau beli sesuatu nggak?"

Pertanyaan Sekala meraih atensinya, "Beli apa maksudnya?"

"Makan. Mau apa gitu? Thai tea? Boba? Atau yang lagi trending itu tuh, brownies lumer. Yang oreo kayaknya enak. Kamu suka sama oreo, kan?"

Binta mengerjap, "Tau darimana aku suka oreo?"

"Kamu kalau beli apa-apa bukannya serba oreo, ya? Susu kocok, oreo. Camilan, oreo. Bahkan es krim oreo yang ember kecil aja sampai kamu habisin sendirian."

Wah, Binta tidak bisa untuk tidak berdecak kagum. Sekaligus merasa senang dalam hati. Padahal baru seminggu dia tinggal di rumah dan Sekala mengetahui hal-hal kecil tentangnya.

"Aku nggak mau roti-rotian. Masih enakan brownies buatanku. Langsung pulang saja deh, Mas."

"Iya juga, sih. Resep brownies-mu apa ya, Ta? Enak banget tau. Kapan-kapan ajarin aku, ya."

"Mas Kala suka masak?"

"Suka. Makanya aku ambil tata boga."

"Waktu hari pertamaku sekolah, teman-temanku ceritain Mas, lho."

Sekala menoleh sejenak melihat adiknya, "Oh, iya? Ceritain apa?"

"Katanya Mas Kala sama Mas Nava itu produk unggul sekolah. Hehe. Mas Nava yang jago di bidang olahraga, Mas Kala di bidang akademik. Ku pikir Mas Kala malah ambil kuliah jurusan yang ada kaitannya sama MIPA."

Sekala terkekeh, tidak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya, "Duh. Ternyata pamorku masih utuh bahkan sampai lulus," katanya menyombong, "Tapi ngomong-ngomong. Capek tau, Ta. Aku udah nggak mau berurusan sama angka-angka lagi. Sudah panas otakku."

Binta tertawa renyah melihat kekonyolan kakaknya. Dia cukup menikmati waktu-waktu yang dihabiskan dengan Sekala semenjak pertama kali menginjakkan kaki di rumah. Kakaknya yang satu itu cukup ramah dan hangat untuk dijadikan teman berbincang.

"Eh? Jadi mau beli apa? Boba? Thai tea?"

"Langsung pulang saja."

"Lho? Kenapa begitu?"

"Nggak apa-apa. Dari dulu aku kalau sudah mau pulang, selalu dibiasakan langsung pulang. Nggak jajan. Soalnya ibu sudah masak dan nyiapin makan di rumah. Nanti malah nggak kemakan."

Binta berkata santai sembari menatap ke jalanan di hadapannya. Sementara Sekala justru berdeham melepas canggung, "Nggak apa-apa. Bunda nggak bakalan marah kok kalau kamu jajan."

"Tapi aku nggak bawa uang, Mas. Nanti malah nggak cukup. Thai tea sama boba kan mahal."

Mahal, ya? Sekala tidak tahu sebab standar mahal versi Binta atau dia mungkin berbeda. Bahkan untuk dua minuman itu, seringkali dia beli bersama Nava ketika mereka pulang bersama atau saling membelikan satu sama lain. Namun bagi Binta, agaknya minuman sekelas itu hanya bisa dia nikmati sesekali.

Ah, lemah sekali hati Sekala. Baru tadi sore dia bercerita kalau dia merasa marah akan kehadiran Binta. Namun melihat wajah polos milik adiknya, seolah tidak berminat menyentuh barang sedikit nikmatnya dosa membuat Sekala menghela napas panjang.

"Kan aku yang ngajak minum. Ya jelas aku yang beliin lah. Kita beli di tempat langgananku sama Nava, ya."

Barangkali ucapan Tsana memang benar. Keputusan Sekala menahan perasaannya untuk tidak melampiaskan emosi sudah tepat. Karena jika dia benar-benar melakukan itu, mungkin Sekala akan menjadi orang paling menyesal.

Karena di sini, bukan hanya dia dan keluarganya saja yang terluka. Ada Binta, yang barangkali lebih pandai menyembunyikan sakitnya daripada Sekala sendiri.

Sebelum pergi tinggalkan vote, komentar, dan share cerita ini ke teman-teman kalian. Sampai jumpa di bab berikutnya. Mari berteman di instagram dengan follow @bintangsarla 

Eitsss, mari ucapkan selamat datang untuk karakter baru, pacar kesayangannya Sekala, Kak Tsana <3





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro