17 - Sedihnya Kehilangan Anak

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Berlian berkacak pinggang sambil menatap Hantu Asad dengan tatapan tajam.

Kau tau dak apa yang kau lakukan ini salah? Kau sesatkan Yuda, kau kagetin Nyai. Besok apa lagi? Kau teror seluruh warga Desa Keling? bentak Berlian penuh emosi.

Hantu bocah itu bukannya takut, ia justru cengengesan sambil melayang kesana kemari. Baginya, ekspresi Berlian saat marah sangat lucu.

Apanya yang lucu? Kenapa ketawa?

"Tidak ada. Aku tidak menertawakan kamu, Berlian. Aku tertawa sendiri," sahut hantu bocah itu sambil cengengesan.

Jujur saja, mendengar gaya bahasa Hantu Asad yang berubah, Berlian nyaris ingin tertawa. Entahlah, ia tidak tahu mengapa hantu bocah itu tiba-tiba saja mengganti gaya bahasanya. Kedengarannya ... benar-benar menggelikan. Aneh.

Semenjak pulang dari Air Terjun Lumut yang terkahir, gaya bahasa Hantu Asad memang langsung berubah. Berlian belum sempat menanyakan itu karena belum ada waktu yang tepat.

Dengar, ya, Asad, jangan lagi-lagi kau bercanda kelewat batas. Kaki Nyai aku kesiram air panas, itu dak lucu, Asad! Paham, kau? Berlian bicara dalam hati dengan ekspresi penuh emosi. Matanya melotot dan kedua tangannya berada di pinggang.

Hantu Asad mengangguk dengan polos. "Oke, Berli. Maaf. Lain kali aku tidak akan melakukan itu lagi. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama," janjinya sungguh-sungguh.

Sial! Berlian luluh. Ia tidak kuasa melihat wajah polos Asad. Selalu saja begini setiap mereka sedang berselisih paham. Ia selalu tidak tega marah dengan si hantu kecil secara berlarut-larut.

Ya sudah. Sana keluar dari kamar aku! Aku mau tidur, usir Berlian seraya mengibaskan tangannya di udara.

"Kamu mau tidur, Berli? Tidak bisa! Ini masih pagi. Jangan tidur pagi-pagi seperti ini. Kata orang tuaku dulu, kalau tidur pagi-pagi bisa terkena penyakit beri-beri," ceramah Asad yang masih melayang-layang di kamar Berlian.

Berlian menguap tanpa menutup mulutnya. Gadis sembilan belas tahun itu ngantuk sekali. Tadi malam ia tidak bisa tidur karena memikirkan perjanjiannya dengan Hantu Sari. Sampai saat ini, ia masih belum tahu harus berbuat apa. Mungkin ... ia belum akan bergerak sebelum Hantu Sari menagih janjinya? Selama Hantu Sari belum muncul lagi di hidupnya, ia akan pura-pura lupa dengan perjanjian itu. Sepertinya ide gila itu menarik, bukan?

"Berli." Hantu Asad menyentuh pipi Berlian dengan kelima jarinya yang dingin.

Asad! teriak Berlian kaget. Gadis itu mengusap-usap pipinya yang dingin. Ia menatap hantu kecil itu dengan emosi.

"Maaf, Berli. Aku hanya ingin menyadarkan kamu dari lamunan. Takutnya kamu kemasukan setan," ujar Hantu Asad dengan polos.

Lagi-lagi Berlian tidak bisa marah dengan Hantu Asad. Tampang polosnya membuat Berlian menarik semua kata-kata makian yang sudah ada di ujung lidah.

Keluar! Keluar! usir Berlian sambil mengusap-usap pipinya yang dingin.

Hantu Asad mengangguk patuh. Hantu kecil itu melayang menembus dinding. Keluar dari kamar Berlian.

Berlian yang sudah sendirian di kamar, memutuskan untuk tidur. Sekarang pukul sembilan pagi, tapi kantuknya sudah tidak bisa lagi ditahan. Sehingga, mau tak mau ia memutuskan untuk tidur saja. Kalau tidur pagi hanya sesekali, tidak mungkin terserang beri-beri, bukan?

***

"Bos Ningsih? Sudah lama dak liat Bos Ningsih," sapa Romlah yang baru saja sampai di warung. Ia tidak menyangka jika akan bertemu dengan Ningsih di sini.

Ningsih hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Wajah wanita paruh baya itu tampak pucat.

Wajar, kehilangan anak memang menyedihkan. Aku paham kayak mana rasanya, batin Romlah seraya menimbang bawang merah.

Sebenarnya pagi ini Berlian ingin membawa Romlah ke rumah sakit atau puskesmas, tapi Romlah menolak. Bukan takut disuntik atau takut tidak bisa membayar, tapi malas antri.

Menurut Romlah, kakinya yang tersiram air panas tidak terlalu parah kok. Hanya melepuh sebesar telapak tangan orang dewasa, dan hanya di sebelah kanan. Sehingga, menurutnya tidak perlu dibawa ke dokter.

Berlian sudah berdebat alot dengan Romlah, tapi Romlah tetap tidak mau dibawa ke dokter. Ya sudah. Berlian bisa apa?

"Aku sering mimpi Sari. Anak itu datang ke mimpiku sambil tersenyum manis. Katanya, dia sudah bahagia di alam sana, Mamak jangan sedih. Mamak harus kuat. Tapi dengar kata-kata kayak gitu, bukannya kuat, aku malah jadi sedih," ujar Ningsih yang duduk di kursi kayu di meja kasir. Ia bicara dengan tatapan kosong.

Yuli dan Romlah langsung menoleh ke arah Ningsih.

"Aku paham rasanya kehilangan, Sih. Sampai sekarang pun kalau ingat almarhum laki aku, rasanya masih sesak," ujar Romlah.

Yuli yang sedang menimbang tepung, tidak berani mengeluarkan suaranya. Meskipun Ningsih tidak pernah membentaknya, tapi ia sangat segan pada bos-nya itu.

"Ya, Nyai. Apalagi Sari ini anakku satu-satunya. Dak ada gunanya aku kerja keras. Semua kekayaan yang kudapat harusnya untuk Sari. Tapi sekarang ...." Ningsih menunduk seraya mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

"Sabar, Ningsih." Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut Romlah. Ia canggung untuk banyak bicara dan sok menasihati Ningsih. Pasalnya, ia tidak terlalu akrab dengan Ningsih.

***

Romlah pulang dari warung dengan membawa belanjaan cukup banyak. Selain kebutuhan untuk dapurnya sendiri, ia juga membeli buah tangan untuk dibawa berkunjung ke rumah Yuda.

Sudah menjadi tradisi warga Desa Keling, jika ada salah satu yang tengah tertimpa musibah, yang lainnya datang menjenguk sambil membawa buah tangan, minimal satu orang sebagai perwakilan dari satu keluarga. Jika ada yang tidak menjenguk, akan digunjing berhari-hari. Dikatai pelit, sok sibuk, sombong, dan entah apa lagi.

Biasanya yang selalu menjadi kompor dan koordinator gunjingan adalah Wahyuni, tetangga Romlah yang berisiknya bukan main.

"Nyai? Banyaknya belanjaan Nyai. Ayo kami antar," ujar Kuat yang kebetulan lewat.

"Dak usah, Kuat. Aku mau olahraga," tolak Romlah.

Ayah tiri Hantu Sari itu sepertinya tidak menerima penolakan, ia terus memaksa Romlah agar naik ke boncengan motornya. Karena malas berdebat, akhirnya Romlah terpaksa mau diantar pulang oleh Kuat.

"Dari mana kau, Kuat?" tanya Romlah basa-basi.

"Dari Air Terjun Lumut, Nyai. Nabur bunga untuk anak tercinta," jawab Kuat sambil terkekeh.

Di boncengan belakang, Romlah mengerutkan keningnya samar. Kenapa terkekeh? Apanya yang lucu? Tapi perempuan tua itu tidak protes sama sekali. Ia hanya duduk diam sambil menatap punggung Kuat yang tegap.

Seluruh warga Desa Keling memang tahu kalau Kuat suka cengengesan dan tidak bisa serius. Bahkan pria empat puluhan tahun itu pernah mendaftar audisi Stand Up Komedi di televisi, sayangnya ia tidak lolos seleksi. Tapi apa iya saat membahas kematian juga tidak bisa serius? Tetap cengengesan? Kematian bukan sebuah lelucon, bukan?

***

Gais, terima kasih untuk kalian yang sudi membaca tulisan ini sampai bab segini. Terus tungguin cerita ini sampai tamat, ya. Cerita ini tamat di bab 50. Insya Allah tamat karena ini lagi diikutkan challenge di grup kepenulisan ketceh the WWG.

Luv,
Juni

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro