05. Tanpa Malu-Malu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

tap bintang dulu sebelum baca. Selamat bersemesta!

Kantor penerbit Cakrawala tidaklah besar. Alih-alih menyewa atau membeli sebuah gedung bertingkat, penerbit ini justru berada di sebuah wilayah perumahan. Tidak seperti kantor, kesannya justru sebuah rumah bertingkat, terlihat normal seperti rumah-rumah di sekelilingnya. Jengga dengar, Mas Satria, sebagai orang yang 'melahirkan' penerbit ini sejak awal, merupakan orang yang pekerja keras dan membangun semua benar-benar dari nol.

Jengga selalu suka menghabiskan waktu lama di penerbit tersebut. Memang kesannya sedikit berbeda. Kebanyakan penulis biasanya memilih mengunjungi penerbit saat ada sesuatu yang dibutuhkan, membahas proyek naskahnya, ataupun kepentingan lainnya. Namun, Jengga adalah salah satu penulis yang sudah ditarik penerbit Cakrawala bahkan di awal-awal penerbit itu dibangun. Jelas ia cukup akrab dengan para karyawan di kantor itu. Belum lagi, mayoritas pegawai di penerbit itu adalah orang-orang seusianya.

Mas Satria adalah orang yang cerdas, Jengga mengakui itu. Dia berani mempekerjakan anak-anak muda. Jengga mengenal dengan baik para desainer penerbit, yang bertugas mendesain sampul buku, layout halaman buku, pun menentukan konsep buku itu akan dibuat seperti apa sesuai isinya, mereka semua mayoritas para mahasiswa yang bekerja part-time di penerbit Cakrawala. Pun beberapa editor novel atau buku yang juga mempunyai minat besar terhadap sastra dan berpengalaman di bidang tersebut. Semuanya dilakukan karena bagi Mas Satria, para pemuda tersebut adalah orang berbakat dan jelas tahu tren yang sedang tenar di masa kini.

Jengga melangkah ringan dengan telunjuk yang sejak tadi memainkan kunci mobilnya. Senandung lirihnya terdengar dari halaman parkir sampai langkah pertamanya memasuki wilayah penerbit.

Jengga disambut dengan wangi aroma buah-buahan yang segar, ia memasuki ruang tamu. Biasanya di situlah Mas Satria menyambut tamu-tamu pentingnya. Lalu ia melangkah kembali masuk lebih dalam, ada ruangan paling besar di antara seluruh ruangan lainnya. Ruangan yang berisi deretan meja kerja yang setiap atasnya terdapat komputer berlayar besar. Tak luput dokumen-dokumen yang mengantri untuk diselesaikan pun buku-buku tebal yang menunggu antrian. Deretan itu adalah meja para editor untuk bekerja menyelesaikan editing naskah-naskah dari penulis mereka.

Lalu di deretan lainnya, terdapat empat meja lainnya, yang di setiap atasnya mayoritas diisi oleh benda-benda elektronik. Selain komputer berlayar tak kalah besar, ada tablet lengkap dengan pensil pasangannya, buku sketsa, dan beragam pensil warna. Jelas sudah bisa ditebak itu meja milik para desainer penerbit.

Ruangan besar tersebut diapit dengan ruangan-ruangan lainnya. Di sebelah kanan, ada ruangan sedang dengan meja panjangnya, sebuah LCD yang menggantung di langit-langit ruangan, lalu papan tulis putih besar di paling depan. Itu ruangan tempat para karyawan biasa melakukan rapat mereka ataupun rapat bersama para penulis untuk membahas mengenai naskah dan buku mereka. Setelah itu, di sebelah kiri terdapat satu ruangan kecil milik Mas Satria, dan satunya lagi ruangan khusus berisi buku-buku koleksi penerbit Cakrawala.

Lalu di bagian belakang, ada dapur, mushola, serta taman dengan kolam ikan sederhana dan meja besar dengan kursi-kursi yang mengelilinginya, biasanya area itu dipakai untuk bincang santai dengan para penulis ataupun digunakan untuk rapat sederhana dengan suasana yang lebih santai saja. Sementara di lantai 2 adalah tempat tinggal Mas Satria sendiri, serta dua kamar lain adalah kamar penulis (untuk tempat tinggal sementara bagi para penulis yang berasal dari luar kota Yogyakarta).

"Mas Satria! Aku datang!"

Jengga, dengan tingkah seenaknya, membuka ruang kerja Satria. Ia seketika disambut dengan alis Satria yang menukik tajam dan kacamata pria tersebut yang sudah nyaris jatuh di ujung hidungnya.

"Dateng nggak ada kabar tiba-tiba bikin heboh. Ada apa, sih?"

"Duh, galak banget," Jengga menyengir tanpa dosa. Lalu kepalanya menengok sejenak ke belakang, "Mba-mba sama Mas-mas pada kemana?" tanyanya.

"Mereka aku suruh kerja lewat rumah aja, lagi musim-musim ujian akhir. Biar nggak perlu sibuk ke kantor. Kerjaannya bisa sambil nyambi gitu. Jadi, ku suruh aja fokus sama ujiannya."

"Wah, seneng banget, ya, mereka." Jengga berdecak, kepalanya menggeleng dramatis, "Dulu aku meskipun kuliah, tetep aja dibantai sama omongan 'Deadline novel harus diselesein malem ini, Jengga', nggak peduli tuh yang ngomong sama kuliahku," cibir Jengga, mengikuti gaya bicara Mas Satria kala itu yang jelas dia lebih-lebihkan.

"Beda, Ngga. Dulu kan gue belum berduit. Jadi harus ngejar cuan."

"Nggak pake nyusahin aku segala kali, Mas."

"Ya dulu, kamu juga seneng disusahin, kan?"

Jengga tidak bisa menampik fakta itu. Jelas karena dia di masa itu benar-benar sangat amat niat untuk menulis. Ada tiga buku yang bisa dia selesaikan dalam waktu satu tahun. Bisa dia terbitkan cetak, ataupun yang ia tuliskan di platform menulis. Jangan lupa juga, di masa-masa itu, Jengga tidak pernah berani dengan Satria. Pria itu cukup garang sampai membuat Jengga nurut-nurut saja kalau disuruh.

"Berarti minggu-minggu ini penerbit lagi sepi, Mas?"

Mas Satria masih fokus dengan laptop miliknya, tetapi ia tetap mendengarkan Jengga, "Cuma sesekali penulis-penulis lain datang. Tapi nggak sering. Sekarang juga aku kalau capek, mending lewat online meeting aja sama mereka."

"Serius? Berarti Mas Satria sendirian terus, dong." Jengga berkata tak percaya, sembari melangkah ringan menuju satu meja kecil tempat Mas Satria menyimpan camilan miliknya. Pemuda tersebut mengambil satu batang cokelat di sana.

"Sesekali Rasi datang ke sini. Katanya dia lebih enak diskusi langsung. Soalnya terakhir yang ku dengar, dia sudah mulai nyusun sampul bukunya. Dan tolong Jengga, dari semua jajan, kenapa harus cokelatku yang kamu ambil, sih?!" protes Mas Satria.

Jengga hanya menyengir tanpa salah, bahkan tidak ada malu-malunya ketika memamerkan deretan gigi yang dikotori oleh cokelat itu, "Sekali-kali bagi jajan mahal, Mas."

"Matamu sekali-kali, tiap ke sini selalu ambil itu, ya!"

"Jangan marah-marah, Mas Satria. Nanti jodohnya nggak dateng-dateng, lho," ledek Jengga semakin menjadi-jadi.

"Ngga, jaman sekarang itu, cewek lebih suka sama yang kelihatan dewasa. Jadi, semakin dewasa cowok, semakin tinggi value-nya." Mas Satria membalas dengan santai, sembari menaikkan kacamata di hidungnya dan tersenyum sok bijaksana.

"Cih, jatuhnya malah kayak om-om mesum yang ngejar bocah."

Mas Satria menghela napas panjang, menahan amarah dengan tetap mempertahankan senyumnya, "Jengga, kalau nggak ada kerjaan, boleh banget, lho langsung pulang aja. Lagian kamu nggak mau nulis lagi, kan sekarang?"

"Rasi hari ini nggak dateng?"

"Kenapa tiba-tiba nanyain itu?"

"Kalau Rasi nggak dateng, sia-sia dong aku ke sini."

Mas Satria yang notabenenya sudah bertahun-tahun mengenal Jengga jelas menyadari ada hal yang aneh di sini. Mengabaikan laptop miliknya, pria tersebut menatap Jengga lamat-lamat, "Ada urusan apa sama Rasi?"

Jengga menaikkan bahunya cuek, "Nggak ada urusan apa-apa. Pengin ketemu aja."

"Tiba-tiba?"

"Nggak tiba-tiba, Mas Satria. Akhir-akhir ini kan aku sering ke sini."

Mas Satria tertawa kecil, ada sebersit pemikiran di kepalanya kendati sudah ditepis, "Kamu, nggak lagi tIba-tiba suka sama cewek itu kan? Jengga yang ku tau ini malah kayaknya sudah mendekati impoten, lho. Kayaknya nggak mungkin bisa suka sama cewek."

Jengga masih tampak santai, ia bahkan duduk menyandar dengan tenang di kursinya. Namun, tiba-tiba pemuda tersebut mengacungkan jari telunjuknya, "Satu, aku masih lurus dari lahir hingga detik ini," lalu ia kembali menambah satu jemarinya, "dua, iya aku lagi tertarik sama Rasi."

"HAH?!"

"Eh, nggak tertarik, sih. Emang lagi suka aja," jawab Jengga santai, tak memperdulikan teriakan Mas Satria barusan.

"Wah, ini bukan prank, kan? Ini serius?"

"Dua rius."

"Ih, bohong banget si Narajengga." Mas Satria spontan mundur, masih menolak untuk percaya.

Namun Jengga tidak membalas, dia hanya menatap lurus nan datar Mas Satria. Pun melihat ekspresi pasrah Jengga padanya, Mas Satria yang masih dengan mata melotot lebar, satu tangannya menutup mulut yang kini juga terbuka tak kalah lebar.

Tolong, kenapa juga orang-orang di sekitarnya bertingkah berlebihan seperti ini hanya perkara Narajengga Lakeswara sedang menyukai seorang gadis saja.

"Sumpah, aku pikir kamu bakalan jadi penulis kesepian yang bisanya nulis tentang cinta doang."

"Mas Satria, ya ampun, nanti jadi doa, lho. Amit-amit, ih!" Jengga mendadak panik.

Mas Satria tertawa, ada banyak fakta yang sanggup mengundang tawa pecahnya yang membahana di ruangan tersebut. Pun melihat wajah Jengga di hadapannya, ia geleng-geleng kepala.

"Jengga, Jengga. Ternyata kamu bisa juga sama cewek gini. Tapi, ya, Ngga. Di mana-mana, orang tuh kalau langsung ditembak kayak tadi bakalan malu. Kamu begitu ditanya suka apa nggak, malah langsung jawab yakin gitu. Nggak ada malu-malunya. Sukamu itu masih main-main, kali!"

"Enak aja," Jengga merengut, "Beneran suka, Mas. Yakin, deh, aku. Lagian kenapa harus mikir lama-lama kalau ditanya? Emang aku dari sananya udah suka sama Rasi, kan?"

"Seenggaknya ada malu-malunya gitu, Jengga."

"Lah, sama Mas Satria juga. Kayak sama siapa aja. Dulu juga Mas Satria yang ngebet jodohin aku sama cewek-cewek."

Mas Satria lantas mengangguk menanggapi hal tersebut, "Progres naskahnya Rasi lumayan lho. Sejauh ini nggak ada kendala. Anaknya juga kelihatan baik. Yah, tipikal cewek-cewek manis yang nurut orang tuanya. Di mataku, selagi dia nggak bikin masalah selama kerja di sini, masih aman."

"Emang kelihatannya dia rajin juga, kok."

"Angkasa sudah tau dia?"

Jengga mengangguk, "Mas Angkasa malah yang pertama tau."

Mas Satria lagi-lagi menggeleng tak percaya, "Mau aku bantu biar bisa deket?"

"Caranya?"

"Kalian digabungin di satu projek, mungkin? Tapi tergantung, sih. Kalau naskahnya Rasi yang ini laku, mungkin aku bisa pertimbangin itu."

Jengga mendengkus, "Formal banget pake gabung di satu projek gitu. Nggak usah, lah. Aku mau usaha sendiri aja."

"Aku jadi penasaran," tubuh Mas Satria menyondong, ia menatap Jengga lekat-lekat, "Apa sih, yang bikin kamu suka banget sama Rasi?"

Jengga tersenyum, menampilkan jelas lesung pipi miliknya.

"Dia cantik," Mas Satria bisa melihat ketulusan dari pujian yang baru saja didengarnya dari Jengga, "Dia cantik sekali, Mas Satria."

Dwi Sasono sebagai Mas Satria!

Say Helo to Mas Satria karena dia juga bakalan ikut mengiringi perjalanan Narajengga buat dapetin Rasi ^_^

Dann... sampai jumpa di chapter selanjutnya yaa. Jangan lupa tinggalin vote sama komentar kalian. Follow wattpad ini untuk cerita menarik lainnya, dan jangan lupa share cerita ini ke yang lainnya juga.

Mari berteman di instagram dengan follow @bintangsarla untuk konten-konten menarik dan berita update novel-novelku.

Sampai jumpa!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro