19: Inspirasi dari Rasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum membaca jangan lupa tekan vote terlebih dahulu, selamat bersemesta !!

            Kalau boleh meminta satu hari saja, aku ingin menghabiskan waktu bersama dengan kamu. Kita, berdua saja. Ada banyak sekali hal yang bisa kita lakukan bersama. Kita bisa mendatangi pameran seni yang menyiratkan banyak makna di setiap karya mereka, kita bisa menikmati suara ombak yang berlarian di tepi pantai, kita bisa duduk di puncak sambil memandangi indahnya pemandangan dari atas, atau sesederhana kita hanya duduk berdua sambil bertukar cerita dengan secangkir minuman di antara kita. Kamu bisa menceritakan tentangmu dan aku yang menceritakan tentangku. Kita akan semakin dan saling mengenal dan tanpa kamu sadari, aku bisa dengan leluasa melihat senyum dan wajahmu dengan sepuasku.

Meskipun kita belum juga memiliki hubungan yang aku harapkan, aku tahu bahwa tawa itulah yang harus aku jaga. Bahwa kebahagiaan yang menguar dari kamu adalah alasan aku untuk terus berjuang. Pun apabila senyum itu perlahan hilang dan pendar dari matamu yang meredup, aku tahu bahwa itu alasanku untuk tetap ada di sisimu dan menjadi sandaran sekaligus pelipur lara atas sedih yang kamu rasa.

Kamu harus tahu bahwa kehadiranmu saja sudah lebih dari cukup sebagai alasanku untuk tetap tinggal, untuk tetap ada, untuk tetap memberikan cinta. Sedih dan bahagiamu, tawa dan murammu, diam dan wicaramu. Untuk semua alasan itu, kamu tidak perlu khawatir karena aku akan tetap tinggal.

―Suara Jengga

Bagas melongo, sedang di hadapannya Narajengga justru menatap dengan dua mata bulat rusanya terlihat polos, tambahan di antara bibir itu terselip sedotan dengan susu rasa pisang yang tengah diteguk Jengga.

Jengga mengedip, kepalanya miring, menyampaikan tanya melalui gesturnya.

"Seumur-umur, ini kayaknya pertama kali kita kelebihan konten. Kamu nggak buat konten sebulan ke depan juga nggak masalah kok." Bagas berdecak tak habis pikir, "Penulis kalau udah jatuh cinta itu ngeri, ya."

Dikomentari begitu, Jengga justru menyengir tanpa rasa salah. Sedangkan Bagas masih sibuk dengan tablet miliknya dan stylus pen yang menggulir layar mengecek satu per satu email dari Narajengga yang menumpuk seusai mengirimkan bahan konten.

"Udah kamu revisi atau mau langsung pakai saja?"

Bagas menimang sesaat, "Aku sebenarnya kepikiran untuk revisi, cuma pas aku baca beberapa, nggak seburuk itu, kok. Mungkin karena udah makin ke sini kamunya juga sudah semakin ahli kali, ya, Jeng."

Bagas menyeruput kopinya sesaat, "Aku mau keep ini buat tetap original, gimana?"

"Maksudnya?" tanya Jengga.

"Setelah bertahun-tahun aku baca karya kamu, kayaknya untuk karya kali ini sedikit lebih spesial. You wrote this from the buttom of your heart, right? Meskipun karyamu dulu pun juga ditulis dari hati paling dalam, tapi itu kan saat kamu sedang sakit-sakitnya, sedang sengsara-sengsaranya. Ini beda. Untuk pertama kalinya, kamu buat sesuatu atas dasar perasaan yang baik. Rasa bahagia, rasa cinta. Jadi, rasanya aku agak merasa bersalah kalau semisal ini semua aku rombak."

Jengga tampak malu-malu, ia menahan bibir untuk tersenyum. Bagas bersumpah kalau bukan karena urusan kerjaan ia akan benar-benar meninju Narajengga atas ekspresi menggelikan itu.

"Ya sudah kalau kamu mikir gitu."

"Sinting," cibir Bagas menatap Jengga dengan datar. Namun ia lanjut bertanya, "Kamu secinta itu sama Rasi?"

Jengga mengangguk tanpa pikir panjang, "Cinta. Cinta sekali," ucapnya dengan senyum yang merekah lebar.

Bagas tak habis pikir. Dia menggelengkan kepala tak percaya, lalu menghembuskan napas berat, "Ya sudahlah, semangat kalau gitu. Dari Rasi-nya sendiri ada penerimaan nggak?"

Jengga menggeleng kembali dengan tanpa pikir panjang juga.

"Nggak ada penolakan maksudnya?"

"Nggak ada penerimaan," jawab Jengga.

Bagas menatap miris, "Jangan bilang kamu udah nembak terus ditolak?"

"Boro-boro nembak, belum apa-apa, belum juga aku pedekate secara serius. Dia udah bilang kalau nggak tertarik pacaran untuk sekarang. Kan ribet, ya."

"Udah tau gitu kamu masih juga mau ngejar dia? Kenapa nggak cewek lain, sih?"

"Sekarang giliran kamu yang sinting," Jengga membalas omongan Bagas menohok. Lalu dengan santainya ia berkata lagi, "Ada cewek cantik, pintar, keren di depanku gitu malahan cari cewek lain."

"Wah, ini sih jelas-jelas kamu yang udah semakin sinting," komentar Bagas, "Bener-bener nggak tertolong kamu, Jeng."

***

Rasi tengah menikmati waktunya dengan Ibu. Gadis tersebut masih setia mengekor kepada ibunya yang tengah memilih pakaian baru untuk dikenakan pada acara kumpul keluarga sebentar lagi. Bagi Rasi tidak masalah harus menemani Ibu meskipun dia mesti berjalan kesana-kemari dengan betis yang meronta ingin diistirahatkan. Namun jika imbalannya dia bisa mendapatkan satu dress yang sudah diincarnya sejak lama secara gratis dan satu porsi steak daging yang lembut, apapun rela dilakukan olehnya. Rasi bahkan sudah membayangkan nikmat daging yang akan dimakannya nanti.

"Iya! Aku juga nggak bisa milih di antara dua ini, harus gimana, dong?"

Langkah Rasi spontan berhenti. Jantungnya mendadak menggila, keringat dingin perlahan menyapa tubuhnya, napasnya memburu, dan respon tubuh itu jelas tidak baik. Rasi mengenal suara itu, teramat kenal bahkan. Ia masih mengingatnya dengan baik. Suara yang dulu rutin menemaninya hampir setiap hari, suara yang dulu ia berbagi tawa dan cerita bersama, serta suara yang pada akhirnya ditinggalkan oleh Rasi tanpa penjelasan begitu saja. Gadis itu mengangkat kepalaperlahan, si Candraningtyas melihat si pemilik suara tersebut berdiri dengan gaun merah muda manis membalut tubuhnya. Rambut si gadis itu menjuntai panjang, senyumnya merekah, wajahnya rupawan dan terlihat menggemaskan, porsi tubuhnya yang sedikit lebih kecil membuatnya terkesan lugu. Tanpa sadar Rasi menggenggam erat tas belanjaan miliknya.

Lalu tidak jauh dari sana, tepat di hadapan gadis tersebut, berdirilah seorang lelaki yang dulu mengambil hati Rasi. Cinta pertamanya, lelaki yang dulunya memenuhi seluruh penjuru hatinya, lelaki yang ingin dimilikinya, tetapi justru beralih menjadi milik kawannya sendiri.

"Lho?" Rasi tersentak dengan suara Ibu tiba-tiba, "itu bukannya temenmu, Ras? Si Rani, kan?"

Rasi menunduk sesaat, ia tidak ingin terlihat menyedihkan, "Iya. Ibu belanjanya sudah selesai? Kita pulang, yuk?"

"Lho, kenapa nggak disapa dulu? Itu kan dulu temen kamu, wong sering main ke rumah, kok. Eh, itu siapanya Rani? Pacarnya? Ganteng sekali, ya?"

"Bu!" Rasi menekan, menghentikan ucapan Ibu yang tampak senang dan antusias hendak menyapa Rani.

Ucapan Ibu berhenti, senyum hangatnya luntur tepat setelah melihat ekspresi keruh dari wajah anak semata-wayangnya, "Rasi? Ada apa?" tanyanya.

Rasi menggeleng, ia masih berusaha membingkai senyum, "Ibu sudah selesai? Ayo kita pulang saja."

Ibu melirik Rani yang masih tidak sadar akan keberadaan mereka, meskipun penasaran akan apa yang terjadi, tetapi wanita itu menghela napas, menyerah dan tidak ingin memaksa anak perempuannya, "Ya sudah, ayo kita pulang."

Dalam perjalanannya, Rasi sudah tidak lagi mengharapkan daging hangat dan lembut yang nantinya ia dapatkan, semua kesenangan yang sejak awal membersamainya lenyap begitu saja. Tangannya meraih tangan Ibu. Hangat. Rasi menyukai kehangatan ini. Membuatnya merasa lebih baik. Lalu melihat rasa penasaran Ibu dan suasananya yang mendadak canggung, gadis tersebut tersenyum sesaat.

"Aku cuma nggak mau ketemu dia, Bu. Meskipun dia kelihatannya baik, tapi percaya kalau Rani nggak sebaik itu," kata Rasi, lalu melanjut seusai menjeda ucapannya, "Semakin aku mengenal dia, semakin aku tahu kalau Rani nggak sepantas itu untuk dipertahankan sebagai teman. Intinya, dia nusuk aku dari belakang."

"Apa?!" Ibu mendadak heboh, dia geram, "Berani-beraninya anak itu. Nusuk dari belakang gimana? Kok kamu nggak pernah cerita ke Ibu?"

Ya, nggak mungkin kan aku cerita kalau dia rebut gebetanku, Bu? Yang ada bukannya dikasihani, malah habis diceramahi Ibu dan Bapak, batin Rasi meringis.

"Yah, adalah dulu, pokoknya dia caper sama guru. Kalau aku mau jawab soal, dia ambil jawabanku. Gitu terus, sampai aku males temenan sama dia," Rasi mengarang asal. Malas menjelaskan lebih jauh.

"Oalah, lah kamu nggak cerita sama Ibu, kalau tau kayak gitu, Ibu nggak heboh tadi."

Rasi hanya meringis. Dia lalu merangkul Ibu, mereka berjalan bersama untuk pulang. Rasi pun merelakan telinganya juga mendengarkan ocehan Ibu tentang si Rani yang tidak sebaik penilaiannya.

Lalu mendadak Rasi teringat dengan perbincangannya bersama Jengga. Diam-diam dia tersenyum tipis.

Jengga, ternyata perasaannya masih sesakit dulu. Namun ini bukan karena aku masih mencintai lelaki itu, tetapi lebih kepada rasa sakit atas penghianatan oleh teman dekatku sendiri. Aku ... tidak akan mau untuk bertemu mereka kembali. Ku harap ini yang terakhir. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro