Ahool

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lembap dan dingin. Hanya sedikit cahaya matahari yang dapat menembus kedalaman gua. Tetes-tetes air dari stalaktit jatuh silih berganti dengan tempo lambat. Gua Aseupan, begitulah manusia menamainya. Merupakan salah satu gua berlorong vertikal yang berada di kawasan Karst Karang Kandang.

Beberapa penjelajah yang terdiri dari dua orang mahasiswa, kepala resor, dan dua orang masyarakat lokal mengamati dengan cermat mulut gua yang terlihat seperti sumur besar.

Peralatan SRT (Single Rope Technique)--salah satu teknik dengan menggunakan satu tali yang umumnya dilakukan untuk mengeksplorasi gua vertikal--dipasang di sekitar mulut gua. Beberapa penjelajah memeriksa kembali perlengkapan yang melekat di tubuhnya, seperti helm proyek, headlamp, harness, sarung tangan, sepatu, dan alat lainnya untuk perlindungan diri. Karena sejatinya, keselamatan adalah hal yang paling utama dan patut diprioritaskan.

"Bismillah." Salah satu dari mereka mengucap do'a sebelum menjadi orang pertama yang memasuki mulut gua.

Diikuti yang lain, para penjelajah itu satu per satu mengikuti rekannya hingga menyisakan dua orang di mulut gua untuk mengawasi keadaan sekitar.

Mereka mengamati kondisi gua dengan takjub. Beberapa mengambil gambar untuk dokumentasi, dan beberapa mencatat hal-hal penting pada buku sakunya. Penjelajahan terus dilakukan sampai tiba di chamber, yaitu sebuah ruangan di dalam gua, dan terdapat ornamen gua berupa flowstone. Pada ruang ini, penerangan hanya bersumber dari headlamp di kepala mereka, karena cahaya matahari sudah tidak dapat menembusnya.

Mereka menemui beberapa biota seperti makhluk amfibi, kelelawar, dan jangkrik gua sebagai hasil penjelajahan. Selagi sibuk mencatat, memotret, dan berjalan dengan langkah hati-hati, mereka tak menyadari bahwa ada sesosok makhluk individual yang bersembunyi di balik flowstone yang indah, Ahool namanya.

Dia sedang tidur. Namun, berkat indra penciumannya yang tajam, kehadiran para penjelajah itu dapat terhirup bahkan dari sejak mereka berjarak 100 meter dari mulut gua, membuatnya terbangun untuk mengamati mereka dengan mata yang sekelam malam.

Penampakan fisik Ahool terlihat seperti kelelawar, tetapi dengan ukuran sepuluh kali lipat lebih besar. Sayapnya mampu direntangkan selebar 4 meter. Namun, kini sayap itu terlipat rapi menyelimuti tubuhnya. Cakar tajam yang terletak di ujung sayap, disembunyikan pula di balik tubuh. Pendengarannya yang tajam, tak henti mengawasi. Ia tetap bergeming, para penjelajah itu bukanlah musuhnya, bukan pula mangsanya. Meski begitu, ia tetap harus berhati-hati.

Ahool terdiam dengan posisi bergelantung pada langit-langit gua dekat flowstone, bersembunyi agar tidak terlihat oleh para manusia. Karena sebetulnya, manusia adalah makhluk yang ia hindari. Mereka tidak memiliki cakar yang tajam, tidak pula taring yang menyeramkan. Namun, mereka mampu membinasakan apa pun, terlebih pada makhluk-makhluk yang dapat mengancam nyawanya.

"Masuk, Maleo. Kalian harus cepat kembali, hujan akan segera turun." Suara laki-laki terdengar lewat handy talky.

"Siap, di-copy."

Para penjelajah kemudian berdiskusi sebentar. Mereka belum selesai melakukan pengamatan, tetapi cuaca sedang tidak bersahabat. Kawannya bilang, sebentar lagi akan turun hujan. Mereka kemudian bergegas kembali ke permukaan, takut akan tenggelam karena banjir yang mampu memenuhi gua.

Cuaca cerah terganti oleh guyuran hujan lebat. Membuat hawa dingin menyelimuti sekitar. Para penjelajah sudah menghilang sejak satu jam yang lalu. Ahool beranjak dari tempatnya ketika sang raja siang siap berganti peran dengan dewi rembulan.

Kala malam datang, Ahool keluar dari persembunyian. Ia merentangkan sayap lebarnya, siap terbang menembus hutan untuk berburu santapan. Kepakan sayapnya menuntun pada sungai deras di dalam hutan yang masih termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Ia terbang perlahan, mengatur gerakannya agar tidak menimbulkan bunyi berisik karena menyukai kesenyapan.

Setiap malam, Ahool akan mencari santapan berupa ikan yang berada di sungai. Masih banyak jenis ikan air tawar yang dapat ditemui di Gunung Salak, tetapi ikan kesukaan Ahool adalah Ikan Bogo, karena ukurannya lebih besar dibanding ikan lainnya.

Selain ikan, Ahool juga menyukai buah-buahan. Namun, tak banyak buah yang bisa ditemui oleh Ahool di lingkungannya. Jika memungkinkan, Ahool akan terbang menuruni gunung menuju desa terdekat. Memakan pisang matang dari kebun milik warga atau buah-buahan lain yang ditanam.

Malam ini, Ahool tak berniat untuk makan buah. Ia putuskan untuk berburu ikan di sungai. Ia terbang dengan hati-hati. Matanya berserobok dengan Macan Tutul Jawa yang sedang asik minum. Awalnya tak ada reaksi di antara mereka. Ahool dan para satwa di hutan tidak terlalu saling peduli dalam banyak hal. Selagi mereka tidak mengusiknya, itu bukan urusan Ahool. Namun, berkat indra penciuman dan pendengarannya yang tajam lagi, Ahool dapat merasakan para manusia yang kian mendekati sungai.

"Manusia akan datang, bersembunyilah," kata Ahool memperingati sang Macan.

Bukan hanya Ahool yang menghindari manusia, para satwa di hutan juga demikian. Mereka takut dengan makhluk berkaki dua itu. Sudah cukup beberapa spesies punah di tangan mereka. Contohnya ketika eksistensi Harimau Jawa benar-benar lenyap. Para satwa akan lebih berhati-hati dan memilih menghindari manusia alih-alih menyerangnya.

Tangkapan ikannya cukup banyak untuk malam ini. Perut Ahool sudah terisi penuh. Ia berdiam sebentar di balik semak-semak hutan yang gelap, hingga tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekati sungai. Manusia itu cepat sekali datangnya. Sementara sang Macan sudah hilang setelah diperingati.

"Cepetan, woy!"

"Sabar, ini gue kesangkut ranting."

Dua orang laki-laki berpakaian kotor terlihat mendekat. Yang satu memiliki rambut kribo, sementara satunya memiliki rambut hitam pendek lurus. Masing-masing kedua tangan mereka menggenggam jeriken kosong. Sudah dipastikan tujuannya hendak mengisi air untuk kawan lainnya yang menunggu di perkemahan.

Ahool terdiam mengamati, posisinya tidak terlalu jauh dari kedua manusia itu. Sayapnya ia lipat, dan tubuhnya meringkuk di sudut semak-semak, dekat sebuah pohon damar yang tinggi menjulang.

Kedua manusia itu terburu-buru mengisi jeriken. Yang satu terlihat sedikit santai, tetapi yang satunya lagi tampak panik di tengah dinginnya malam beserta matanya yang memandang lurus pada keberadaan Ahool.

"Udah, yuk?" ajak sang laki-laki yang sedari tadi menatap samar keberadaan Ahool.

"Bentar, ini belum penuh."

Sang laki-laki memalingkan wajahnya, menenangkan diri bahwa yang ia lihat adalah halusinasi. Tak ada jeritan, tidak juga teriakan atau lari kepanikan.

"Eh bentar, gue mau pipis dulu," kata sang lelaki berambut kribo yang baru saja selesai mengisi penuh jerikennya.

Si kribo melangkah beberapa meter dari sungai, kemudian menurunkan celana dan melakukan hajatnya.

"Jangan sampai tuh air kencing lo kena sungai, kan enggak enak banget kalo orang-orang terkontaminasi air kencing lo!" peringat si rambut lurus.

"Bawel!" umpat si kribo.

Tak sampai tiga menit, ia selesai. Kemudian terdengar suara keresak daun dan ranting yang saling bergesekan di arah tempat si kribo melakukan hajat. Keduanya kaget dan saling berpandangan.

Si rambut lurus kemudian menoleh pada posisi Ahool yang terdiam, matanya seakan percaya tak percaya melihat rupa Ahool yang menyeramkan dan berukuran besar melebihi tubuhnya. Namun, Ahool tetap bergeming berusaha menyaru dalam gelap malam, membuat si rambut lurus bertanya-tanya dalam hati atas hasil dari penglihatannya.

Itu apa, ya? Hantu? Enggak, ini pasti halusinasi gue doang. Si Kribo bergumam dalan hati seraya menenangkan dirinya sendiri.

Keduanya berusaha mengabaikan apa yang mereka dengar dan mereka lihat. Lantas, keempat jeriken yang sudah terisi penuh air itu mereka jinjing sekuat tenaga untuk kembali ke perkemahan. Lama-kelamaan, keduanya pun hilang dari pandangan Ahool.

Penyamaran Ahool berhasil. Ia betul-betul tak mau dilihat manusia. Cukup sudah pengalaman pendahulunya yang pernah ketahuan oleh seorang penjelajah kala tahun 1925 silam. Suara khasnya yang terdengar seperti menyebut "Ahuuuul" di telinga para manusia, membuat mereka ketakutan.

Tidak hanya itu, setelah kejadian tersebut, banyak para manusia yang bukan warga asli di sekitar Gunung Salak berbondong-bondong mencari keberadaan Ahool. Terlebih pada manusia yang memiliki ketertarikan pada kriptozoologi, bertahun-tahun mereka terus mencarinya tanpa kenal lelah.

Urusan mengisi perut malam ini sudah selesai. Ahool kemudian pergi mengelilingi Gunung Salak di bawah langit biru gelap bertabur bintang. Mulai dari sungai, melintasi Kawah Ratu, area perkemahan para pendaki, dan bagian hutan lainnya. Ketika ia memutuskan untuk bertengger pada salah satu dahan pohon, Ahool merasakan ada getaran samar di dalam tanah.

Itu gempa.

Ahool terkejut. Bukan karena efek getaran tersebut, melainkan karena teringat pesan dari pendahulunya yang terus diceritakan secara turun-temurun.

"Kebangkitan Jagat Ravaya akan ditandai dengan gempa. Tetapi bukan gempa biasa, melainkan gempa yang akan meloloskan rupanya yang lebih kecil, menyebar ke seluruh Nusantara untuk membuat kekacauan."

Ahool ingat sekali kata-kata itu. Moyangnya, generasi sebelum Ahool sekarang, memberi pesan bahwa Jagat Ravaya akan bangkit dan membuat kekacauan di Nusantara.

Dahulu sekali, ketika Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883, Jagat Ravaya dikalahkan oleh para makhluk mitologi dari seluruh penjuru Nusantara. Mereka menggabungkan kekuatan untuk membuat segel, agar Jagat Ravaya tidak mampu berbuat onar dan merusak keseimbangan alam.

Kala itu, pertempuran besar terjadi. Moyang Ahool ikut terlibat dan mengerahkan segala kemampuannya, untuk mengalahkan Jagat Ravaya. Sayangnya, bukan hanya Jagat Ravaya yang berhasil dikalahkan, sang Garuda yang mengajak Ahool memerangi Jagat Ravaya, ikut gugur dalam pertempuran.

Pada saat itu, Moyang Ahool berjanji pada dirinya serta generasi penerusnya, bahwa ketika Jagat Ravaya kembali bangkit, Ahool akan ikut berperan memeranginya untuk membalaskan pengorbanan Garuda, di samping menyelamatkan Nusantara.

Bertahun-tahun setelah itu, para makhluk mitologi kembali mendiami tempat asalnya masing-masing. Termasuk Moyang Ahool yang memutuskan untuk mendiami Gunung Salak. Ahool bukanlah makhluk abadi, ia bisa mati berkat usia yang sudah tua. Masa hidupnya hanya selama 40 sampai 50 tahun. Cerita dan pesan mengenai pertempuran besar dan kebangkitan Jagat Ravaya beserta janjinya, terus diturunkan pada generasi-generasi Ahool selanjutnya.

Setiap kali Ahool merasakan getaran gempa, ia akan waswas bahwa itu adalah pertanda kemunculan Jagat Ravaya. Namun, bertahun-tahun gempa terjadi di Nusantara, belum ada satu pun yang menandakan kebangkitan Jagat Ravaya. Hal ini membuat Ahool berpikir bahwa cerita itu hanya bualan belaka.

Pernah saat itu Ahool bertanya kepada ibunya, ketika ia masih kecil dan belum mengerti banyak hal.

"Apakah Jagat Ravaya itu benar-benar berbahaya?"

Ibunya menjawab dengan penuh hati-hati. "Sangat!" pekiknya membuat Ahool kecil ketakutan. "Tetapi, Nenek Moyang kita saja bisa mengalahkannya. Siapa pun Ahool yang kebetulan harus melawan Jagat Ravaya saat ia lolos dari segel, pastilah menjadi Ahool yang sekuat Nenek Moyangnya."

Ahool kecil menatap ibunya sungguh-sungguh. "Bagaimana kalau Ahool yang terpilih itu menolak untuk melawan Jagat Ravaya?" tanyanya penasaran.

Sang ibu menatap anaknya ragu. Ia sebetulnya tidak tahu harus menjawab apa, karena tak pernah sekali pun para pendahulu menceritakan konsekuensi atas pelanggaran janji yang telah disumpah. "Apa pun itu konsekuensinya, pasti lah menjadi hal yang buruk. Jika kau menjadi Ahool yang terpilih, jangan sekali pun mengabaikan pesan Nenek Moyang kita."

Ahool kecil berpikir keras. Memangnya konsekuensi yang buruk itu seperti apa? Kematian kah? Atau hidup selamanya dalam kesengsaraan tanpa bisa mati? Saat itu otaknya lelah berpikir, ia tidak mau melawan Jagat Ravaya yang menyeramkan itu. Biarlah ibunya saja, atau keturunannya kelak yang terpilih untuk melawan Jagat Ravaya. Bahkan Ahool kecil berharap semoga saja Jagat tidak pernah bangkit dari segel itu agar tidak merepotkan banyak pihak.

"Berlatih lah setiap hari untuk mengasah kemampuanmu, karena bahaya bisa terjadi tanpa kenal situasi dan kondisi," pesan ibunya pada Ahool kecil.

Ahool termasuk makhluk yang memiliki ingatan cukup kuat. Setiap perkataan ibunya yang dianggap penting, selalu melekat dalam memori. Sayangnya, ia tak dapat memperoleh informasi lebih ketika banyak pertanyaan muncul di usia dewasa. Setiap Ahool yang sudah dewasa, akan pergi dari induknya dan menjalani kehidupan sendiri. Tak lama setelah sang anak pergi, induk Ahool akan cepat menemui ajalnya.

Kilasan memori itu Ahool tepis untuk kembali pada realitas. Ahool pergi dari tempatnya bertengger, menuju ke desa terdekat untuk melihat situasi. Instingnya mengatakan, jika terjadi gempa, manusia akan dilanda kepanikan dan mencari-cari informasi mengenai apa yang sedang terjadi.

Dalam bayang gelap malam, Ahool mengepakkan sayapnya dengan senyap. Ia mengintai penduduk desa yang sedang beradu pendapat sehabis merasakan gempa. Ahool melihat bahwa mereka berkumpul pada sebuah lapangan kecil milik salah satu warga, yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian atau sekadar menjadi tempat bermain anak-anak. Raut wajah mereka tampak cemas, tetapi sebagian berusaha tidak peduli.

"Sumber gempanya di Tasikmalaya. 7 SR!" seru salah seorang pemuda. Ia berteriak panik memandang layar ponselnya setelah mendapat informasi dari internet.

Beberapa ibu-ibu yang mendengar pun ikut dilanda kepanikan, mereka khawatir akan adanya gempa susulan yang lebih besar. Warga lain yang sedari tadi berdiam diri di rumah--mungkin tidak merasakan gempa--kini ikut bergabung ke lapangan. Namun, seorang bapak-bapak yang hanya berkaus kutang putih, datang dengan geram dan menatap jengkel sang pemuda.

"Tasik tuh jauh dari sini. Jangan buat keributan. Udah, mending kalian bubar aja!"

Seorang ibu-ibu yang tidak terima dibentak, tiba-tiba maju melawan.

"Bapak mau tanggung jawab kalau warga kenapa-kenapa?"

Bapak berkaus kutang itu mendadak diam. Ibu-ibu yang melawannya tak lain adalah istrinya sendiri. Para warga masih dilanda panik, beberapa bergegas kembali ke rumah untuk mengantisipasi gempa susulan, dan beberapa sisanya memilih untuk memperdebatkan hal lain di lapangan.

"Begini saja, pusat gempa saat ini cukup jauh dari desa. Mendingan sekarang kita kembali ke rumah masing-masing dan banyakin berdo'a. Lindungi barang-barang yang rentan pecah, dan jangan dekat-dekat dengan barang yang berpotensi melukai tubuh."

Para warga menyimak perkataan Pak Kades yang datang karena mendengar keributan. Mereka akhirnya sedikit tenang dan terdiam.

"Kalau pun ada gempa susulan, semua warga harus segera berkumpul ke lapangan," kata Pak Kades mengakhiri perdebatan.

Para warga menurut. Perkumpulan mendadak itu seketika usai, dan malam kembali dalam keheningan.

Ahool memandang para warga yang satu per satu kembali ke rumah. Ia pun hendak kembali ke Gua. Namun, pandangannya teralih pada keganjilan berupa titik-titik merah menyala di area Gunung Salak. Ia menajamkan telinganya, lantas terdengar suara keretak api menyala-nyala. Ia pun terbang mendekat karena penasaran.

Ahool terkejut ketika melihat segerombolan makhluk kecil seukuran landak dengan punggung berduri yang merah menyala, memancarkan api layaknya garis-garis batu bara yang panas. Makhluk itu tak sekali pun pernah Ahool lihat seumur hidupnya. Ahool berfirasat bahwa ini bukan merupakan suatu pertanda baik.

Kemunculan makhluk-makhluk dari dalam tanah itu kian lama kian banyak. Jika dihitung, setidaknya mereka ada satu lusin bahkan lebih karena terus bermunculan.

Melihat makhluk-makhluk itu yang muncul secara misterius, dengan rupa menyeramkan dan bergerak menuruni gunung, membuat Ahool teringat pada cerita leluhurnya yang sempat ia kira sebagai bualan.

Inikah tanda kemunculan Jagat Ravaya? Apakah mereka adalah rupa Jagat Ravaya yang lebih kecil? pikir Ahool.

Makhluk-makhluk itu bergerak lincah. Api yang berada di punggungnya bergesekan dengan daun-daun di pegunungan. Ini berbahaya, mereka bisa membuat kebakaran besar di hutan. Ahool tentu tidak menyukai para perusak alam, apa pun itu makhluknya.

Lantas, Ahool bergerak berusaha menghadang mereka. Ia mengibaskan sayapnya di hadapan para makhluk-makhluk kecil itu guna menjatuhkan mereka. Bukannya membuat mereka mundur, tetapi malah membuat titik-titik merah di punggungnya mengeluarkan api yang lebih besar. Membuat semakin rentan membakar hutan.

Ahool benci api, dan ia lemah oleh elemen itu.

Ia berpikir keras. Jika makhluk itu berasal dari api, kelemahannya mungkin adalah elemen yang berlawanan, air. Mata Ahool bergerak melirik sekitar, semua dipenuhi oleh daun-daun yang basah sehabis hujan tadi siang. Setidaknya, itu akan memperlambat kebakaran hutan, tetapi, Ahool harus bertindak cepat untuk menghabisi mereka.

Ahool memberanikan diri untuk membawa mereka ke sungai. Ia mendekati salah satu dari mereka dan kakinya segera mencengkeram kuat kedua sisi makhluk itu. Belum sempat Ahool mengangkatnya lebih tinggi, makhluk itu memanjangkan duri-duri sekeras besi panas dari punggungnya. Membuat Ahool berteriak kesakitan, dan cengkeramannya mendadak terlepas. Menjatuhkan makhluk itu yang langsung berguling-guling di tanah lembap.

Sial! Duri-duri mereka sepanas besi yang baru saja keluar dari api neraka.

Ahool harus mencari cara lain untuk menghalang mereka, sebelum sampai ke desa dan membuat panik para manusia. Di sisi lain, mereka tak henti-hentinya bergerak lincah tak beraturan, membuat api di ujung durinya mengenai setiap batang pohon, ranting, dan semak-semak untuk membakar hutan.

Ahool harus bertindak cepat. Ia pun memiliki sebuah ide.

Dia terbang ke kedalaman hutan guna mencari lumut-lumut yang banyak mengandung air. Dengan cara ini, Ahool berharap menuai keberhasilan. Kecepatan terbangnya pun ia tambah untuk memangkas waktu.

Lumut-lumut yang banyak mengandung air segera memelesat bertubi-tubi mengenai punggung makhluk-makhluk kecil itu. Api di punggungnya perlahan padam tertutup lumut. Ahool berkali-kali melancarkan serangan itu sampai lumut di sebagian hutan hampir tak bersisa.

Usahanya sukses menahan api hingga tidak mampu keluar dari ujung duri. Dengan sigap, Ahool mengangkat mereka satu per satu untuk dibawa ke sungai.

Suara ceburan terdengar saat Ahool menjatuhan makhluk itu dari cengkeraman kakinya. Makhluk itu tenggelam dalam air dan lenyap meninggalkan asap yang menembus permukaan. Tak hanya itu, Ahool turun ke dalam sungai seraya menyabik-nyabik pada titik keluarnya asap, untuk memastikan bahwa makhluk itu benar-benar tak mampu lagi melawan.

Dia benar-benar lenyap, bahkan tidak meninggalkan bangkai kematian. Mereka mati meninggalkan asap yang kemudian terbang bersama angin. Cara ini berhasil, Ahool segera mengulangi usahanya hingga semua makhluk-makhluk itu lenyap satu per satu.

Nyatanya, tidak semua makhluk itu terkalahkan. Ahool hanya sendiri, sementara lawannya lebih dari selusin, yang berhasil Ahool tenggelamkan hanya setengah. Sementara sisanya kembali pulih dan duri di punggung mereka kembali mengeluarkan titik-titik api yang membara. Mereka berbalik, tujuannya bukan lagi mengarah ke desa, tetapi bersiap untuk menyerang Ahool.

Ahool terkesiap. Ia belum siap ketika mereka bersamaan menembakkan duri-duri berapi dari punggung ke hadapan Ahool. Ia pun lantas menceburkan diri pada kedalaman sungai. Meski tidak terlalu dalam, tetapi mampu menenggelamkan Ahool pada posisinya yang berbaring. Duri-duri itu memelesat menembus air. Namun, apinya seketika padam saat pertama kali menyentuh permukaan, kemudian menguap selayaknya para makhluk sebelumnya yang sudah lenyap.

Ketika dirasa serangan itu terhenti, Ahool bangkit dari sungai dan melihat para makhluk kecil itu kembali menuju desa. Ahool tentu tidak tinggal diam. Ia pun mengepakkan sayapnya kuat-kuat. Menimbulkan embusan angin yang besar dan dahsyat, membuat aliran air sungai bergoyang-goyang.

Ahool terus mengibas sayapnya tanpa henti. Air sungai bergoyang kencang, perlahan-lahan membentuk tsunami versi kecil setinggi 2 sampai 3 meter. Terakhir, Ahool mengepak sayap dengan sangat keras membuat tsunami kecil itu menyapu mereka dan melenyapkannya.

Makhluk berupa Jagat Ravaya kecil itu sudah lenyap tidak bersisa. Meninggalkan asap-asap yang perlahan menghilang. Ahool terduduk kelelahan. Seumur hidupnya, baru kali ini ia bertarung melawan sesuatu yang seperti itu. Ahool terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan keheningan. Ia tidak suka menuai pertengkaran. Namun, malam ini, Ahool tahu apa yang harus ia lakukan.

Kilasan memori mengenai percakapan dengan ibunya dahulu, kembali memenuhi otak. Ternyata apa yang ia takutkan selama ini benar. Dialah Ahool yang terpilih secara kebetulan untuk kembali melawan Jagat Ravaya yang telah lama tersegel. Kisah dan pesan itu ternyata memang nyata, bukan sekadar dongeng pengantar tidur.

Ahool berusaha untuk menerima kenyataan mendadak ini. Selama bertahun-tahun, ia juga tak luput mengamalkan pesan sang ibu untuk terus melatih kemampuan yang dimiliki. Ini lah saatnya, ketika semua usaha Ahool akan diuji untuk bertarung. Membuktikan apakah dirinya mampu sekuat Nenek Moyangnya dulu untuk mengalahkan Jagat Ravaya, dan mampu berinteraksi dengan para makhluk mitologi yang bahkan belum pernah dikenalnya.

Demi memenuhi janji tersebut, Ahool tahu ke mana ia harus pergi selanjutnya. Gunung Krakatau, menjadi tujuan utamanya sekarang. Malam itu, dengan tekad yang berusaha ia bulatkan, dan keberanian yang ia kumpulkan, Ahool terbang menembus langit malam menuju tempat kebangkitan musuhnya yang sudah terlalu lama terkurung. Gunung Krakatau.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro