Bab 14 - Bye bye, Indonesia!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kita naik Garuda ya, Kak?"

"Iya."

"Wih, Mia udah lama enggak naik pesawat. Kayaknya terakhir pas ke Singapura dua tahun yang lalu, deh."

"Loh? Bukannya kamu suka traveling?"

"Suka, tapi enggak selalu naik pesawat. Tahun lalu Mia ke Malang pake kereta api. Semaleman perjalanannya, tapi asyik, sih."

"Oh, kamu bisa perjalanan jauh gitu juga, ya?"

"Bisa, dong. Enggak harus naik pesawat melulu. Namanya juga berpetualang. Empat tahun lalu, Mia sama Aysha ke Korea Selatan berdua doang, loh. Kita backpacker-an. Mia kan, seneng banget ngatur-ngatur jadwal, nyusun itinerary gitu. Cari-cari transportasi antar kotanya pake apa. Lihat-lihat penginapannya juga, sama makanan-makanan yang enak di mana aja," ceritaku panjang tanpa melihat ke arah Radit. Mataku sibuk memperhatikan sekitar.

Saat perhatianku terpusat pada barisan restoran dan toko kedai kopi, tiba-tiba bibir Radit menubruk bibirku. Sontak aku mundur dengan mata membeliak. Astagfirullah! Bagaimana sih, dia? Terlalu lama tinggal di luar negeri jadi begini kelakuannya.

"Kak! Ini kan tempat umum. Jangan cium-cium gitu, dong. Malu, tahu! Kalo ditangkep satpam gimana? Bisa gagal terbang kita," omelku sambil melipat kedua tangan. Radit malah tergelak. Dia tertawa puas, sedangkan aku malah enggak paham letak kelucuannya itu di mana.

"Biarinlah, sekali-kali. Sama istri ini. Kan, udah halal," elaknya, lalu tertawa lagi. Aku menatap Radit tajam, kemudian menjewer telinganya.

"Auw! Sakit, Mia!" Radit mengaduh sambil mengusap kasar telinganya yang memerah.

Kegaduhan kami sempat menjadi pusat perhatian di antara para penumpang lain yang sedang mengantre di depan konter check-in. Aku cuma bisa menundukkan kepala beberapa kali ke arah orang-orang yang memandang kami dengan tatapan menghakimi. Malu banget rasanya.

"Tuh kan, jadi dilihat orang-orang," protesku sekali lagi.

"Maaf, maaf. Habis tadi kamu kayak serius banget, sih. Akunya jadi dicuekin."

Ya, ampun. Hanya karena itu dia jadi nekat menciumku di depan umum? Enggak aku sangka, ternyata pikiran seorang Radit bisa sesederhana ini.

Saat sudah terbebas dari situasi canggung, aku baru sadar kalau ternyata kami mengantre di depan konter kelas Bisnis, bukan di konter kelas Ekonomi.

"Kak, coba lihat tiketnya, deh. Kita enggak salah antrian, nih?"

Radit mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam ransel, dan membiarkan aku mengambil alih tugasnya. Bola mataku membulat ketika membaca kata status business class di keterangan kursi tiket kami.

"Kak, ini kita duduk di business class?" tanyaku masih enggak percaya. Radit menoleh, lalu mengangguk. Aura sok kerennya keluar lagi.

"Hadiah, dari teman-teman kampusku," jawabnya singkat.

Aku dibuat benar-benar takjub. Levelnya memang sudah beda, ya. Teman-teman Radit sudah bekerja semua. Kadonya saja tiket pesawat, di kelas bisnis pula. Berapa puluh juta itu? Masyaallah. Jadi ingat kado dari teman-teman Kriya-ku. Beberapa cupcake dengan hiasan "nyeleneh" di atasnya yang berhasil bikin aku sama Radit jadi super canggung setelahnya.

"Mia," panggil Radit membuyarkan lamunan.

"Iya, Kak?" jawabku manis.

"Kamu mau sampai kapan manggil aku, 'Kak'?"

Loh, memangnya dia mau dipanggil apa?

"Kan, kita umurnya beda jauh, Kak. Makanya Mia manggil 'Kak'." Aku mencoba menjelaskan alasan yang masuk akal. Meski sebenarnya yang jadi alasanku itu karena masih merasa aneh kalau memanggilnya pakai panggilan sayang. Kita berdua kan, baru kenal seminggu.

"Oh, gitu. Kalau aku minta ganti, boleh, enggak?" tanyanya lagi dengan wajah serius. Kelihatannya dia enggak suka banget dipanggil "Kak".

"Ya ... kalo panggilannya oke dan masuk akal sih, boleh-boleh aja."

"Panggil 'Mas', gimana?"

"Kak Radit kan orang Sunda, bukan orang Jawa. Kok dipanggil, 'Mas'? Lagian, 'Mas' tuh pasaran tahu. Mia manggil kasir Indo-Alfa, tukang sate langganan, sama kurir paket, pake 'Mas' semua."

Radit jadi mendesah pasrah. "Hm, apa dong, yah? Panggil Aa berarti?"

Aku menggeleng.

"Kenapa enggak mau? Katanya orang Sunda?" Sekarang Radit yang bingung.

"Enggak suka, ah. Aa Aa. Kagok gitu."

Radit menghela napas lelah. "Apa, dong?" tanyanya lagi.

"Kakak aja sih," kataku menyimpulkan. Namun, Radit menggeleng. Dia masih enggak setuju.

"Kamu suka drakor kan, ya? Panggil Oppa aja kalo gitu," katanya dengan ekspresi dan nada iseng. Ucapannya bikin aku sampai memutar bola mata saking kesalnya.

"Males amat. Udah Kakak aja. Fix lah. The end!"

Aku geleng-geleng kepala. Sangat enggak berbobot sekali perdebatan kami ini. Aku jadi tertawa geli sendiri.

"Loh, kok malah ketawa?" tanyanya heran.

"Habis, kocak aja gitu, Kak. Ngobrolin beginian sama Kak Radit."

Aku berusaha menghentikan tawa. Takut bikin kericuhan lagi. Sementara Radit malah mengamatiku sampai bikin aku jadi salah tingkah sendiri.

"Jangan ngelihatin gitu, dong!" protesku.

"Mia, aku tahu panggilan yang cocok apa." Radit mulai mendekatkan kepalanya ke telingaku. "Sayang ...," bisiknya lengkap dengan sedikit desahan.

Tubuhku mendadak terasa seperti tersetrum setelah mendengar Radit berbicara seperti itu. Ditambah Radit menatapku dengan mengangkat kedua alis dan menyipitkan matanya. Pakai mendesah juga, lagi. Maksudnya apa coba?

***

Setelah proses check-in selesai, Radit mengajakku masuk ke ruang tunggu. Berhubung boarding time-nya tinggal sebentar lagi, kami berdua duduk di sudut ruangan besar yang sedang enggak begitu ramai.

"Mia, nanti kamu mau punya anak berapa?" tanya Radit yang membuatku langsung menoleh secepat kilat ke arahnya, dengan kondisi mata dan mulutku yang pasti sudah sangat enggak terkondisikan.

"Hm?" tagihnya.

Aku memilih untuk memalingkan muka, berpikir baik-baik sebelum menjawab. Bahkan aku belum siap untuk melakukan kegiatan bereproduksi bersama Radit, tetapi dia sudah bertanya aku mau punya anak berapa. Sejujurnya aku enggak terpikirkan sama sekali. Namun, menolak mentah-mentah juga bukan pilihan.

"Sedikasihnya aja deh, Kak," jawabku netral. "Tapi ... sebenernya Mia belum kepikiran punya anak, Kak. PR Mia masih banyak banget. Harus belajar jadi istri yang bener dulu, baru belajar jadi ibu. Mendidik anak tuh susah loh, Kak," tambahku lagi dengan nada meyakinkan.

Sepertinya kata-kataku barusan sukses bikin Radit berpikir ulang. Buktinya dia enggak berhenti manggut-manggut. Mukanya juga kelihatan serius banget. Alis lebatnya sampai hampir menyatu, mirip ulat bulu.

"Yang kamu bilang benar sih, Mia. Oke, deh. Kita jalanin berdua dulu. Setelah tiga bulan, kita mulai program hamil, ya?" tanyanya lagi.

Aku menoleh, menatap Radit penuh arti. Maksudnya tuh, arti yang enggak bagus-bagus banget.

"Hah? Tiga bulan? Kecepetan, Kak. Setahun deh, ya? Please .... Mia kan masih muda. Malah masih suka kayak bocah. Masa masih anak-anak udah beranak?" balasku mulai agak nyeleneh. Radit jadi tergelak. Dia tertawa lagi.

"Kamu tuh, lucu banget, sih. Gemesin. Pengen aku apain gitu rasanya," ucapnya tanpa berhenti tertawa lama. Aku jadi krisis kepercayaan diri, nih. Padahal aku yakin pas bicara tadi wajahku serius, tetapi Radit kira aku lagi melawak. Sedih.

"Mia beneran loh, Kak. Bahkan tadi Aysha nitip pesen. Katanya aku enggak boleh punya anak dulu sebelum dia punya pacar," tambahku lagi sambil menyilangkan kedua tangan.

Bukannya mereda, suara tawa Radit malah semakin kencang. Dia menertawakanku sambil geleng-geleng kepala. Sedangkan aku cuma bisa mendengkus dan memalingkan muka. Malas melihatnya.

"Udah, yuk. Gate­-nya udah dibuka, tuh. Nanti kita lanjutin lagi pembicaraan ini, ya?" ajak Radit sebelum berdiri dari kursi.

Dia menjulurkan tangannya dengan wajah semringah. Kelihatan banget berusaha keras mengendalikan tawa. Baru kali ini aku merasa jadi badut alami. Rasanya campur aduk. Antara kesal, sebal, tetapi enggak bisa marah terang-terangan juga. Untuk saat ini aku hanya bisa pasrah, tapi nanti pasti aku protes keras sebelum jadi kebiasaan. Huh!

Setelah memperlihatkan tiket dan paspor, kami berdua masuk ke dalam pesawat dengan melewati garbarata yang cukup panjang. Ada dua orang pramugari yang menyambut kedatangan aku dan Radit sambil tersenyum lebar. Salah seorangnya membimbing kami, dan berjalan memimpin sampai tiba di bagian depan pesawat.

Barisan beberapa kursi lebar tampak memenuhi badan pesawat. Hanya ada puluhan kursi di satu section, berbeda dengan Kelas Ekonomi yang dalam satu section bisa memuat hingga ratusan kursi. Kalau di Kelas Bisnis, rasanya lebih private. Apalagi di First Class. Tiap kursi ada pintunya sendiri. Betul-betul mirip kayak kos-kosan mewah.

Mulutku tersenyum lebar. Aku super bahagia. Dari dahulu aku selalu bermimpi ingin duduk di kursi kelas bisnis kalau naik pesawat, dan akhirnya mimpiku kesampaian juga. Alhamdulillah.

Kursi kami berada di row tengah, dan enggak dekat jendela. Agak sedih, sih. Jadi enggak bisa melihat pemandangan, tapi ya, sudah. Toh, nanti ada in-flight entertainment. Jadi seharusnya aku enggak akan merasa bosan.

Sebelum membantu pramugari menaikkan koper-koper kecil kami ke bagasi kabin, Radit mempersilakan aku untuk duduk lebih dahulu. Kesan pertama yang aku dapat begitu duduk adalah, kursinya empuk dan lebar sekali. Pokoknya nyaman banget, deh.

Radit terus memperhatikanku dari sudut matanya. Pasti wajahku terlihat bahagia banget sekarang. Agak alay, sih, tetapi ya sudah. Belum tentu akan ada kesempatan lagi untuk duduk di kursi ini. Jadi harus dinikmati semaksimal mungkin.

"Kamu kayaknya happy banget, ya? Senyumnya dari tadi enggak hilang-hilang," ujar Radit setelah duduk di sampingku. Kepalaku mengangguk penuh semangat.

"Senang banget, Kak. Ini tuh, semacam dream comes true, gitu. Nanti pas Mia pulang ke Bandung, boleh beli tiket business class lagi enggak, Kak? Nanti kan Mia pulang sendiri tuh, buat ngurus visa," rayuku sembari menyandarkan kepala ke pundaknya.

Radit malah dengan sengaja menggeser pundaknya menjauh dan membuat kepalaku terjun bebas. Belum lagi lenganku yang terbentur sandaran tangan. Hah, kesal sekali rasanya! Kenapa Radit jadi iseng dan menyebalkan begini?

"Kak! Tega banget, sih? Sakit, tahu!" semburku penuh emosi.

"Sori, sori. Sakit banget tangannya? Coba sini aku lihat dulu."

Tanpa meminta izin, Radit meraih lengan kiriku yang terasa nyeri. Dia mengusap-usapnya perlahan sambil memijatnya sepenuh hati. Lalu tiba-tiba Radit mencium punggung tanganku. Meski sempat kaget, sekuat tenaga kupertahankan ekspresi kesal di wajah.

"Maaf, ya. Aku beneran enggak sengaja barusan. Refleks. Sekali lagi maaf, ya?" pintanya lagi. Muka Radit memelas. Bibir seksinya itu melengkung ke bawah.

Eh, kenapa jadi kepikiran ke situ?

Aku akhirnya mengangguk, sebab Radit benar-benar terlihat merasa bersalah.

"Terus, permintaan Mia tadi gimana, Kak? Dibolehin, enggak?" tanyaku penuh harap. Siapa tahu karena kejadian tadi, dia jadi mau mengabulkan keinginanku.

"Tiket business class tuh mahal banget, Mia. Sekali jalan aja bisa puluhan juta rupiah, loh," jawab Radit keberatan.

Yah, ditolak.

Embusan napas sedih keluar dari mulutku. Aku baru sadar, sepertinya aku terlalu menggampangkan Radit selama ini. Dia bukan lelaki yang mudah dimanipulasi. Berlaku manja juga enggak manjur. Malah enggak sengaja mengatakan hal konyol bisa membuatnya tertawa. Hm, kayaknya aku harus cari taktik baru, nih.

"Ya udah deh, Kak. Maaf, ya. Belum apa-apa Mia udah banyak maunya."

"It's okay, Mia. Aku mengerti, kok," balas Radit sambil tersenyum. Lesung pipi kesukaanku kelihatan lagi. Membuatku ikut menyunggingkan senyuman.

Waktu berjalan begitu cepat, hingga tiba-tiba terdengar pengumuman kalau pesawat akan segera lepas landas. Untung saja kami mendapat kursi yang tepat bersebelahan, bukan yang terpisah oleh meja. Jadi bisa gampang untuk saling melihat atau saling menatap. Maklum, lah. Pengantin baru. Hehehe ....

Aku sadar kalau sekarang adalah masa transisi untuk kami berdua. Yang awalnya kita sendiri-sendiri, jadi harus berdua kalau mau ke mana-mana. Apalagi aku yang terbiasa bareng Mama dan Papa, sekarang harus tinggal berjauhan dari mereka. Namun, aku percaya sama Radit. Seenggaknya, bersama Radit membuatku merasa tenang dan aman.

"Mia, jangan lupa berdoa," ujar Radit mengingatkan.

Aku mengangguk, lalu memejamkan mata. Enggak lama, pesawatnya mulai bergerak. Rasanya deg-degan sekaligus sedih. Sembari menghela napas beberapa kali, aku berusaha kuat untuk enggak menangis.

Bye Bye-bye, Indonesia. See you in six months.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro