Bab 17 - Pengalaman Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku masih berusaha keras untuk enggak memikirkan lagi kejadian tadi siang. Namun, setiap kali mata kami enggak sengaja bertemu, cuplikan adegan penuh kontroversi itu kembali berputar di kepala. Alhasil, sepanjang hari aku hampir enggak pernah melihat ke arah Radit. Malu.

Sumpah, deh. Tadi aku benaran enggak sadar kalau ternyata jubah mandiku sudah enggak jelas bentuknya. Bodohnya, pas tadi mengaca di kamar mandi aku malah fokus ke muka doang. Enggak ke sebadan-badan. Jadi aku enggak lihat kalau ternyata ikatannya sudah kendor dan braku terpampang nyata kalau dilihat dari samping, apalagi dari atas.

Niatku ingin menjadi kado terindah buat Radit malah berujung tragedi. Sekarang, aku jadi merasa insecure sama diriku sendiri. Kalau Radit berpikiran yang enggak-enggak tentang aku, bagaimana, dong?

Sebenarnya seharian ini aku sudah bertekad mau menjelaskan alasan kenapa aku sampai nekat seperti tadi. Akan tetapi, setiap kali mau mulai bicara, nyaliku langsung menciut. Jadi dari tadi aku dan Radit sama sekali enggak mengobrol. Bahkan kalau enggak ada TV, entah akan sesunyi apa kamar kami. Maklum hotel mahal. Jendelanya saja hampir kedap suara.

Rencana makan malam di luar dan naik London Eye pun gagal total. Dari siang hingga sekarang, jam sembilan malam waktu London, hanya kami habiskan dengan diam di kamar. Radit kadang asyik dengan laptopnya. Lalu sesekali memberi kode untukku supaya enggak lupa salat, setelah dia selesai salat. Dia juga sempat menerima panggilan dari kantor dua kali. Aku tahu karena aku menguping pembicaraan mereka. Kan, aku anaknya suka kepo.

Setelah selesai makan malam, Radit mendadak berubah jadi mode standby. Dia betah banget duduk di sofa. Enggak bergerak atau pindah ke mana-mana. Dia ikut menonton apa pun yang aku tonton dan enggak berkomentar sama sekali. Susah juga sih mau komentar. Sebab aku sengaja menumpuk semua bantal sofa di tengah-tengah kami. Jadi semacam dinding pembatas yang memisahkan aku dan Radit. Enggak ada maksud apa-apa. Aku cuma takut enggak sengaja beradu pandang sama dia, terus jadi awkward lagi.

Dari tadi aku terus menguasai TV. Kebetulan film yang lagi tayang banyak yang bagus-bagus. Entah sudah berapa judul yang aku tonton hari ini. Kalau sekarang film Eclipse yang lagi diputar. Sudah jadi kebiasaanku menonton ulang semua Twilight Series.

Awalnya aku enggak sadar kalau pilihan filmku ini salah. Begitu ingat kalau di film ini ada adegan Bella yang memaksa Edward untuk melakukan hubungan suami suami-istri karena kelewat nafsu dan terlalu penasaran, aku langsung menyesal banget. Akan tetapi, enggak mungkin ganti saluran juga, kan? Nanti Radit jadi curiga, pula. Ya, sudah. Kita tonton saja, deh.

Di pertengahan film tiba-tiba Radit mendadak gelisah. Dia mulai gerak-gerak dan aku mulai panik. Padahal adegan itu belum tayang, loh, tetapi Radit sudah aneh begini. Bagaimana nanti pas sampai ke adegan itu? Bisa-bisa aku diterkam. Takut.

"Mia," panggil Radit tiba-tiba sampai bikin aku loncat.

"I-iya. Kenapa, Kak?" tanyaku pura-pura tenang, dari balik dinding bantal.

"Kamu mau sampai kapan ngediemin aku begini?" Radit bertanya langsung ke topik utama. Dia sudah kesal banget kayaknya.

Pertanyaan spontan itu, bikin aku kaget dan mati gaya. Sebenarnya aku juga enggak mau kita kayak begini terus, tetapi aku terlalu malu untuk mengajak dia bicara lebih dahulu.

"Maaf, Kak. Mia malu banget soalnya," jawabku sambil menundukkan kepala.

Radit terdengar mengembuskan napas panjang sebelum tangannya mulai memindahkan satu per satu bantal sofa yang jadi pertahananku. Aku hanya bisa diam, enggak melarang apa yang dia lakukan. Radit terus bergerak sampai semua bantalnya sudah berpindah tempat. Sekarang, enggak ada pembatas lagi di antara kami.

"Lihat aku, Mia," titah Radit mulai galak.

Mau enggak mau, aku menurut dan memberanikan diri menoleh ke arahnya. Wajahku mulai memanas. Pasti pipiku merah lagi deh, nih.

Radit menggeser posisi duduk sampai berada tepat di sebelahku. Dia memiringkan tubuh, dan meraih tangan kiriku. Aku kembali menunduk ketika kedua telapak tangan hangatnya menggenggam tanganku.

"Sekarang kamu dengarin aku, ya. Seharusnya kamu enggak perlu malu, Mia. Justru aku sangat berterima kasih dan menghargai usaha kamu tadi. Tingkah nekatmu itu bikin aku senang, kok. Awalnya aku pikir, selama ini kamu belum siap membuka hati. Karena sedekat apa pun kita, aku merasa kalau kamu selalu memberi batasan yang enggak boleh aku lewati. Tapi dari kejadian tadi, aku jadi yakin kalau pikiranku itu salah," jelas Radit pelan, sambil menatapku.

"Serius, Kak? Dari tadi Mia udah takut Kak Radit jadi berpikiran yang aneh sama Mia."

"Serius. Masa aku bohong."

Huh... Lega banget rasanya. Sekarang, saatnya menanyakan hal yang sudah bikin aku penasaran dari awal.

"Kak, Mia boleh tanya sesuatu, enggak?" ucapku pelan. Radit mengangguk tanpa ragu. "Sebenernya, Kak Radit mau dijodohin sama Mia karena apa, sih?"

Begitu aku selesai mengucapkan pertanyaan itu, Radit melepaskan genggaman tangannya. Dia duduk menyandar dan melihat ke langit-langit kamar. Seperti ada alasan panjang di balik keputusannya.

"Yang pertama, karena kamu cantik dan senyummu manis. Begitu melihat fotomu, aku langsung merasa aneh. Kayak ada yang janggal," jawabnya.

"Hah? Aneh gimana, Kak?" tanyaku heran. Jawaban dia kurang meyakinkan.

"Aneh aja. Hm .... yang jelas aku tersenyum cukup lama setelah melihat fotomu. It wasn't love at the first sight, but I knew that I wanted to know you better."

Aku mengangguk, terharu. Radit ini pintar merangkai kata, ya. Aku jadi berbunga-bunga.

"Yang kedua, karena pendidikanmu. Aku enggak akan bohong. Aku punya standar sendiri di bagian latar belakang juga pendidikan. Enggak perlu lulusan S2 seperti aku. Minimal S1 aja, tapi dari kampus yang bagus. Apalagi jurusan yang kamu ambil itu, menurutku unik. Aku langsung bisa membayangkan. Kalau kamu jadi istriku, pasti anak-anak kita nanti bakal seimbang antara kepintaran otak kiri dan kanannya. Kamu juga kelihatan ceria banget. Foto-fotomu di Instagram, banyak yang lucu posenya," ucap jelas Radit dengan sangat jujur.

Alasan dia ternyata sangat rasional. Berbeda dengan alasanku yang rasanya cetek banget. Jangan sampai dia tahu, deh. Bisa-bisa aku jadi bahan tertawaan lagi. Malah yang terburuk, aku bisa dikira perempuan materialistis sama Radit. Gawat!

"Jadi Kak Radit sempet stalking Instagram-ku?"

Pertanyaanku tadi membuat wajahnya mulai jadi memerah. "Iya. Kan, aku harus memastikan kalau kamu enggak aneh-aneh. Berjaga-jaga itu baik, bukan?" jawabnya malah balik bertanya. Sebenarnya jawaban Radit bagus, sih. Namun, entah kenapa kok, aku merasa enggak puas, ya?

"Ada yang mau kamu tanya lagi?"

Aku menggeleng cepat. "Udah aja, Kak. Mia penasaran sama itu aja, sih."

Radit kembali menegakkan posisi duduknya. "Eh, ada satu lagi, Kak!" Aku berteriak heboh.

"Apa, tuh?" Radit kelihatan sangat penasaran.

"Waktu itu, Teh Ranti bilang kalau Kak Radit mau telepon Mia pas lagi enggak sibuk. Tapi, kenapa sampai acara lamaran, Kak Radit enggak telepon Mia juga?" desakku saking keponya. Ini dia pertanyaan yang aku lupakan dari minggu lalu. Euforia gara-gara baru punya suami bikin aku lupa sama hal pertama yang membuatku sebal sama Radit.

Aku pun ikut duduk menyamping, menghadap Radit yang baru saja memalingkan mukanya. Menanti dengan sabar, karena sepertinya suamiku ini butuh waktu untuk merangkai kalimat. Radit menoleh sejenak ke arahku. Mulutnya mulai bergumam panjang. Mengulur waktu. Dia kira aku bakal bosan, lalu membatalkan pertanyaan. Sayang sekali. Kamu salah, Sayang.

"Gimana, gimana? Hm doang dari tadi," tagihku.

Aneh, kan? Tadi dia lancar banget menjawab pertanyaanku. Kenapa sekarang kayak mati kutu begini?

"It's because ... I'm, embarrassed," jawabnya hampir berbisik.

Aku mengernyit keheranan. Malu? Padahal waktu ketemu di hari lamaran, dia menghampiriku dengan penuh percaya diri. Aku enggak habis pikir. Ternyata dia juga merasakan yang sama sepertiku waktu itu.

"Ya, ampun! Ciee ... embarrassed." Aku menggodanya sembari menahan tawa dengan membekap mulutku sendiri. Radit jadi menyipitkan mata. Melihatku dengan alis yang hampir menyatu.

"Sorry, sorry. Mia bercanda kali, Kak. Kita sama, kok. Waktu itu Mia juga malu banget. Padahal pengen ngobrol sama Kak Radit, tapi yang Mia lakuin cuma standby di dekat hape doang," kataku jujur.

Perkataanku tampaknya berhasil membuat ketegangan Radit mengendur. Dia kembali menyandar santai ke sofa. Sepertinya sekarang giliran aku yang bakal diinterogasi. Akan tetapi, setelah beberapa saat, Radit belum juga mengatakan apa-apa.

"Kak Radit enggak penasaran sama alasan Mia? Atau apa gitu?" Malah jadi aku yang bertanya.

Dia menggeleng yakin. "Aku udah tahu alasanmu, kok," katanya penuh percaya diri.

Tuh, kan. Ini nih, yang bikin aku enggak menyangka kalau Radit bilang dia enggak menghubungiku karena malu.

"Memangnya apa alasan Mia?" tanyaku penuh rasa ingin tahu.

Radit berdeham sekali sebelum mulai berbicara. Dia juga meletakkan salah satu tangannya di atas sandaran sofa, lalu berpose bak model profesional.

"Pasti karena aku tampan dan mapan. Ya, kan?" tebaknya sangat tepat sasaran. Lengkap dengan sorot mata menggoda yang seketika bikin aku mati gaya. Bodohnya aku malah diam, bukannya mengelak. Ketahuan banget kalau tebakan Radit itu benar.

"It's okay, Mia. Kita kan enggak saling mengenal sebelumnya. Pasti yang jadi pertimbangan, adalah yang terlihat di depan mata aja. Aku juga begitu, kok. Semua alasan pertamaku itu berdasarkan apa yang aku lihat. Jadi kamu enggak perlu malu," ucapnya berusaha menghibur. Walau memang benar, tetap saja aku merasa enggak enak.

Di luar perkiraan, Radit malah menarikku ke dalam pelukannya. Dia mendekapku erat sebelum kembali menatap lekat.

"Sekarang, aku mau jujur satu hal sama kamu. Sebenarnya ... begitu lihat kamu turun dari tangga di hari lamaran, aku ... ngerasa langsung jatuh cinta sama kamu. Aku enggak bisa berhenti tersenyum hari itu. I love you, Mia."

Radit mengatakan semuanya dengan sangat lancar dan penuh penghayatan. Aku terharu. Ternyata itu isi hati Radit yang sebenarnya. Kami saling menatap satu sama lain cukup lama. Hingga secara perlahan, tangannya menuruni pipiku dan berhenti di tengkuk. Aku tahu, nih, dia mau melakukan apa. Meski masih tersisa sedikit rasa takut, tetapi kali ini aku enggak akan menolaknya lagi. Kubiarkan Radit melakukan apa yang dia inginkan.

Aku menanti dalam gelap, karena mataku langsung terpejam saat kepala Radit mulai mendekat. Jangan ditanya kabar jantungku gimana sekarang. Sudah goyang disko dia. Gugup banget rasanya. Kayak pertama kali mau berciuman. Padahal kita sudah pernah melakukan hal yang sama. Namun, kali ini sepertinya enggak akan berhenti sampai di situ saja. Kemungkinan besar malam ini kita akan naik level.

Radit akhirnya benar-benar menciumku. Irama pergerakannya pelan dan menghanyutkan. Dia sama sekali enggak terburu-buru. Dia membuatku merasa begitu diinginkan dan dicintai. Awalnya aku hanya diam. Enggak bergerak sama sekali, mirip orang-orangan sawah. Namun, lama-lama aku mulai mengikuti insting dan membalas ciumannya. Dia jadi makin bersemangat melumatku sampai hampir kehabisan napas.

Untungnya enggak lama dia berhenti. Memberi jeda pada kegiatan kami, ketika satu tangannya sudah sampai di pinggangku. Saking terbawa suasana aku enggak sadar kalau tangannya sudah berpindah tempat. Selama beberapa detik, kami hanya saling bertatapan dengan wajah sendu penuh hasrat. Lalu, Radit mengelus pelan sisi wajahku. Kemudian tangannya turun hingga berhenti tiba di bibirku yang sedikit terbuka. Seakan mendamba sentuhan lain darinya.

"Mia .... Kalau sekarang, kamu udah siap?" tanya Radit, hampir mendesah.

Jarak kami berdua juga sangat dekat. Aku bisa mendengar jelas pertanyaan serta tarikan napasnya yang memburu. Dia kelihatan sudah enggak bisa menahan diri. Berarti, ini benar-benar saatnya.

Aku mengangguk, seraya berusaha tersenyum simpul. Tanpa buang waktu, Radit kembali menyesapku. Bahkan kali ini lebih heboh dari yang sebelumnya. Aku sudah masuk ke mode pasrah banget sekarang. Kalau Radit enggak mengarahkan tanganku supaya melingkar di lehernya, mungkin sampai sekarang tanganku cuma diam begitu saja. Berbeda dengan tangan Radit yang aktif sekali. Meremas di sana sini. Rasa risi dan malu sudah kabur entah ke mana.

Di tengah-tengah kegiatan panas kami, tiba-tiba kedua lengan kokohnya mengangkatku. Dia membawaku ke tempat tidur dan mendaratkan tubuhku dengan lembut. Aku dan Radit saling bertatapan dalam posisi canggung, tanpa mengatakan apa-apa. Bahkan mataku saja sudah enggak mampu terbuka sempurna.

Rasa panas yang sejak tadi menjalar ke seluruh tubuh, seakan menggerogoti semua sisa tenaga yang aku punya. Baru kali ini aku merasa selemah ini. Tenagaku hampir habis, tapi isi kepalaku hanya ingin Radit segera melanjutkan yang tadi dia lakukan.

"Aku janji bakal pelan-pelan. Kalau kamu enggak nyaman, bilang, ya," bisik lelakiku, sebelum kembali mencium dan menyerangku terus-menerus sampai kami berdua kelelahan dan akhirnya tertidur.

♡♡♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro