Bab 2 - Jadi, nih?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pagi, Sayang. Nyenyak tidurnya?" tanya Mama begitu aku duduk di kursi makan. Aku mengucek mata sambil mengangguk dan menguap.

"Kamu belum cuci muka, ya?" tanya Mama lagi.

Aku kembali mengangguk dengan mata yang masih sesekali tertutup lalu terbuka. Ini semua gara-gara tadi malam begadang. Jadi super mengantuk pagi ini. Meski begitu, rasa kantuk ini enggak bisa mengalahkan rasa lapar. Perutku langsung bergemuruh begitu wangi masakan Mama tercium sampai ke kamar.

Selama ini, Mama masih sering memasak walaupun ada Mbok Tina di rumah. Pada dasarnya memasak adalah hobi Mama. Jadi hampir setiap hari ia memasak satu atau dua buah lauk. Sedangkan nasi dan lauk sampingan lainnya menjadi tanggung jawab Mbok Tina. Kalau aku sih, selama ini tugasnya menikmati saja.

"Mama masak apa? Wangi banget. Mia jadi males cuci muka. Tadi bangun tidur langsung meluncur ke meja makan."

"Mama masak nasi goreng seafood kesukaan kamu, nih. Cuci muka dulu sana, baru boleh makan. Gimana mau ketemu calon mertua kalau dekil begitu?" sahut Mama sambil menahan tawanya. Begitu mendengar kata calon mertua, mataku langsung terbuka lebar. Tubuhku menegak, duduk rapi dengan kedua tangan yang terlipat di atas meja. Aku melihat bingung ke arah Mama, hingga akhirnya Mama tidak bisa lagi menahan tawanya.

"Cie... Yang mau nikah," goda Mama lagi. Alisku langsung naik. Aku bingung. Kok Mama sudah tahu? Padahal ini kan, masih rahasia.

"Maksud Mama apaan?" tanyaku pura-pura enggak paham.

"Tetehmu udah cerita semuanya ke Mama. Tadi habis subuh, Nuri nelfon sampai bikin Mama panik. Soalnya tumben banget Nuri nelfon sepagi itu. Pas Mama angkat, tahunya dia malah cerita panjang lebar tentang rencana menjodohkan kamu sama adik teman kajiannya. Mama udah pernah ketemu beberapa kali sama Ranti. Kelihatannya anaknya baik. Nama adiknya Ranti yang mau dijodohkan sama kamu itu, Radit, ya?"

Aku mengangguk ragu-ragu, sambil menebak-nebak apa alasan Teh Nuri memberi tahu Mama mengenai rencana perjodohan ini, tanpa memberitahuku sebelumnya.

"Kebetulan Mama udah kenal sama bundanya Radit dan Ranti. Bundanya Radit itu temen satu angkatannya Papa waktu kuliah. Jadi waktu Mama ikut Papa dateng ke acara reunian, Mama pernah ketemu bunda sama ayahnya Radit. Satu apa dua kali gitu. Lupa lagi. Udah pernah ngobrol-ngobrol juga. Mama denger-denger ayahnya Radit lagi sakit, Mia. Udah cukup lama juga dirawat di rumah sakitnya," kata Mama menjelaskan.

Aku agak terkejut mendengar penjelasan Mama, apalagi soal kabar kalau ayah Radit lagi sakit. Apa itu salah satu alasan Teh Ranti gencar banget ingin menjodohkan Radit, ya?

"Terus gimana, Ma? Teteh cerita apa lagi? Kok Teteh udah cerita sama Mama, ya? Padahal kemarin bilangnya jangan bilang-bilang dulu kalau belum pasti."

Raut wajah Mama mendadak kembali ceria. Beliau menatapku sambil tersenyum, tetapi aku bisa melihat ada keharuan di balik senyumannya itu.

"Mama kenapa ngelihatin Mia kayak gitu?" tanyaku akhirnya.

"Selamat ya, Sayang. Radit setuju dijodohkan sama kamu. Jadi kalian berdua akan segera menikah," jawab Mama setelah diam beberapa saat. "Mama cuma enggak nyangka. Anak bungsu Mama sebentar lagi bakal jadi istri orang. Mama terharu," sambungnya dengan mata berkaca-kaca.

Aku terkejut, perasaanku campur aduk. Ada perasaan bahagia yang bermunculan di hati, tetapi perasaan sedih juga terasa. Ditambah dengan tatapan haru Mama untukku. Sungguh, aku enggak menyangka kalau Radit bakal setuju dijodohkan denganku. Apalagi foto yang dikasih Teh Nuri bukan foto terbaikku.

Namun, seharusnya aku bahagia, kan? Kenapa aku jadi mendadak mellow begini, ya? Di satu sisi, aku takut. Takut gagal jadi istri yang baik. Aku yang masih kekanak-kanakan, masih suka asal, egois dan ngambekan. Apa Radit bisa menerima aku apa adanya?

Aku tersadar dari lamunan begitu Mama bergerak menjauh. Mama memang berdiri membelakangi, tetapi aku bisa tahu kalau Mama sedang menahan tangisannya.

"Ma, kok jadi nangis, sih? Katanya Mama bahagia?" tanyaku sambil mengusap punggung Mama. "Tapi Mama ikhlas kan kalau Mia menikah?" tanyaku memastikan lagi. Melihat Mama, aku juga jadi ingin ikut menangis.

Sekelebat bayangan saat berpamitan pada Mama, Papa, juga Teh Nuri di bandara muncul di benakku. Apa aku siap untuk tinggal sendiri dan jauh dari mereka semua? Menikah dengan Radit bukan hanya membuatku harus belajar menjadi seorang istri, tetapi juga membuatku harus mau belajar untuk hidup mandiri di negara nun jauh di sana.

"Mama ikhlas, Sayang. Insyaallah. Papa juga sudah setuju dengan semua keputusan Mia. Kalau memang Mia sudah yakin untuk menikah dengan Radit, juga siap tinggal di mana pun Radit berada, Mama dan Papa pasti mendukung, kok. Kata Papa, bundanya Radit itu orangnya baik dan rame. Sepertinya cocok sama kamu. Ranti juga anaknya baik dan agamanya bagus. Jadi sejauh ini enggak ada hal negatif dari keluarga mereka. Semoga aja Radit juga baik, ya, orangnya. Aamiin ...." Mama membalas tatapanku sambil menghapus air matanya. Sekarang giliran aku yang menangis heboh.

"Mama .... Mia takut tapi, Ma. Gimana kalau Radit ternyata jahat terus suka marah-marah sama Mia? Mia juga enggak bisa masak, Ma. Gimana, dong?" Aku menangis terisak seperti anak kecil. Mama malah tertawa melihatku.

"Kamu terus berdoa aja. Semoga Radit itu lelaki yang saleh, yang bisa jadi suami yang baik, dan Mia juga bisa jadi istri yang salihah. Di dalam pernikahan, pasti banyak cobaannya, enggak mungkin bahagia terus. Tapi Mama yakin, kamu pasti bisa melewati semuanya dengan baik. Mia sama Radit pasti punya banyak perbedaan, apalagi kalian enggak saling mengenal sebelumnya, tapi di situlah seninya. Lama kelamaan pasti kalian bisa beradaptasi. Kamu tenang ya, Sayang. Pokoknya bismillah dan yakin," ucap Mama menenangkanku. Aku mengangguk paham, dan berusaha menghentikan tangisan.

"Eh, ada apa, nih? Kok pagi-pagi udah pada nangis?" tanya Papa tiba-tiba muncul di balik pintu dapur. Aku langsung menutup muka karena malu, dan berlari ke kamar mandi. Begitu berhasil kabur, yang pertama kali aku lakukan adalah melihat pantulan diriku di cermin. Mata, hidung, dan wajahku memerah. Aku berusaha untuk melupakan semua keraguan dan ketakutan, lalu menggantinya dengan semangat dan selalu berpikiran positif. Benar apa kata Mama, aku harus yakin. Insyaallah semuanya bakal baik-baik saja.

***

Setelah selesai sarapan, aku kembali ke kamar dan langsung memeriksa ponsel. Ternyata sudah ada notifikasi panggilan tidak terjawab dari Teh Nuri. Dengan segera, aku menekan ikon gagang telepon berwarna hijau untuk menghubungi kakak perempuanku.

"Halo, assalamualaikum, Teh," ucapku setelah Teh Nuri mengangkat panggilan.

"Waalaikumsalam, Dek. Kamu habis ngapain? Teteh telepon kok enggak diangkat?"

"Tadi sarapan di bawah, tapi lupa bawa HP. Mana drama dulu tadi. Teteh sih, enggak bilang kalau udah cerita ke Mama. Teh, Radit beneran setuju dijodohin sama Mia?"

"Iya, Dek. Selamat, ya. Bentar lagi nikah, nih," goda teh Nuri. "Terus kamu gimana? Happy enggak? Udah beneran yakin kan kamu?"

"Hm ...," gumamku sambil berpikir. "Insyaallah yakin, Teh. Kan nggak mungkin juga Teteh ngejodohin Mia sama laki-laki yang nggak jelas," jawabku pasti. "Mia juga senang, sih. Semoga Radit juga merasakan hal yang sama."

"Alhamdulillah .... Iya, Insyaallah, Mia. Pernikahan itu sunnah Rasulullah, dan juga menjaga kita dari maksiat. Nanti kamu pacaran setelah menikah aja, kayak Teteh dulu. Lebih enak sebenarnya. Mau ngelakuin apa-apa juga udah halal. Hehehe ...," kata Teh Nuri diakhiri tawa. Aku jadi ikut senyam-senyum sendiri.

"Ah, Teteh, nih. Jadi bikin Mia makin penasaran. Terus gimana, Teh? Ada kelanjutannya apa gitu, nggak?" tanyaku enggak sabar.

"Waduh, ada yang nggak sabar dinikahin, nih?" canda Teh Nuri lagi. Aku jadi menepuk mulutku karena sudah keceplosan.

"Eh, bukan gitu, Teh. Mia pengen tahu aja. Langkah selanjutnya apa gitu," kataku membela diri. Teteh malah tertawa lagi. Untung saja enggak mengobrol langsung. Kalau iya, bisa habis aku digoda seharian.

"Iya, Teteh paham, kok. Masih mau Teteh bicarain lagi sama Ranti. Mungkin Ranti sama bundanya akan ngajak kamu dan Mama ketemu dulu. Kalian obrolin di sana teknis-teknisnya. Teteh pengen banget pulang, tapi belum ngomong sama A Vidi."

"Iya, Teh nggak apa-apa, kok. Kan Mia nganggur, jadi bisa bantu nyiapin juga."

"Nanti Teteh kirim nomor ponselnya Ranti ya, Dek. Teteh udah ngasih nomor ponselmu juga ke dia, biar kalian bisa komunikasi." Aku mengangguk-angguk selama Teteh berbicara.

"Teh, Mia mau tanya, dong," kataku ragu-ragu.

"Tanya apa, Dek?"

"Kalau Mia kenalan sama Radit, boleh enggak? Misalnya Mia follow akun Instagram-nya Radit gitu. Aneh nggak, sih?" tanyaku penasaran. Karena sebenarnya dari kemarin aku ingin sekali mem-follow akunnya, tetapi takut salah langkah, atau dikira kecentilan. Pokoknya serbasalah, deh.

"Kalau kata Teteh, lebih baik kalian tukeran nomor ponsel aja. Nanti teteh tanyain ke Ranti, ya. Minimal kalian kenalan dululah sebelum lamaran."

"Ya udah, Teh. Nanti kabarin lagi, ya."

"Oke. Nanti Teteh telepon lagi ya, Dek. Assalamualaikum."

Segera kuletakkan ponsel setelah sambungan panggilannya terputus. Namun, belum ada satu menit aku sudah kembali sibuk menekan-nekan layar ponsel. Rasa penasaran semakin membesar dan kali ini aku sudah enggak ragu lagi. Tanpa pikir dua kali, kutekan layar di mana tulisan follow berada.

Ini hanya tindakan biasa, kok. Enggak ada yang aneh dari mengikuti akun Instagram calon suami, kan? Ya, ampun! Mia punya calon suami! Membayangkan muka Radit, bikin aku jadi deg-degan maksimal. Kira-kira Radit lagi apa, ya? Dia deg-degan juga enggak, ya?

Tarik napas, Mia. Hirup dalam-dalam, sekarang keluarkan.

Saat detak jantung berangsur normal, aku putuskan untuk memeriksa seperti apa penampakan kota York yang akan menjadi rumahku nanti. Aku juga iseng memeriksa berapa jarak dari Bandung ke York. Mataku membulat begitu melihat angka belasan ribu di layar ponsel. Sekali lagi aku melamunkan banyak hal yang sulit dijelaskan satu per satu.

Belajar jadi seorang istri dan hidup di kota dengan jarak 11.839 KM dari Bandung .... Enggak akan sesusah itu, kan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro