Bab 23 - Tiga Permintaan Mia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Radit enggak ada di sebelahku ketika aku terjaga beberapa saat yang lalu. Kemarin, Radit juga enggak menepati janjinya. Dia enggak pulang jam delapan. Bahkan, enggak ada pesan darinya ketika aku terbangun karena lapar semalam. Jadi terpaksa aku makan malam dengan mi instan yang kubawa dari Bandung. Setelah makan, aku mengurung diri di kamar. Mempersiapkan diri akan memarahi Radit habis-habisan. Sayangnya, aku lebih dulu tertidur enggak lama setelah menyentuh kasur.

Aku meraih ponsel untuk memeriksa waktu. Ternyata ada satu chat dari Radit yang masuk pukul sepuluh malam ke ponselku. Dia mengabarkan kalau baru bisa pulang satu jam lagi. Berarti, tadi malam dia sampai di rumah sekitar jam sebelas. Mood-ku langsung kacau. Ingin marah-marah, tetapi masih pagi. Sayang banget energi positifku harus habis seawal ini.

Setelah berdebat dengan diri sendiri, aku putuskan untuk tetap memarahi Radit. Tujuannya supaya dia tahu kalau aku kecewa sama dia. Coba bayangkan. Baru sampai di tempat yang benar-benar asing, sudah ditinggal sendirian. Aku memang ingin belajar mandiri, tetapi kan enggak begini juga caranya.

Aku berusaha menenangkan diri dengan menghirup napas panjang lalu mengembuskannya pelan. Setelah itu aku bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Sebelum mengomel aku harus tetap wangi, biar Radit betah mendengarkan omelanku nanti. Aku menggosok gigi cepat-cepat sambil melatih tatapan penuh emosi. Air dari keran sampai muncrat ke mana-mana saking hebohnya. Aku keluar setelah yakin mukaku sudah cukup menyeramkan.

Punggung Radit adalah yang pertama terlihat ketika aku tiba di ruang keluarga. Dia sedang sibuk memasak sampai enggak sadar kalau aku sudah bangun dan berdiri di belakangnya.

“Radit Pramana Putra!” panggilku seenaknya tanpa imbuhan 'Kak' seperti biasa. Walau enggak sopan, aku lagi enggak peduli sekarang. Kali ini saja, kok. Nanti-nanti enggak akan lagi.

Lelaki yang mampu memancarkan aura ketampanan meski hanya sedang mengenakan piama motif kotak-kotak kayak papan catur itu menoleh ke arahku. Dia tersenyum lebar banget. Mata sipitnya membulat kayak tahu bulat, tetapi enggak digoreng dadakan. Aku tahu dia lagi berusaha kelihatan biasa saja. Kayak enggak terjadi apa-apa semalam. Dia kira aku sudah pikun, apa.

“Eh, Mia sayang udah bangun? Sini, duduk. Aku udah bikinin sarapan enak, loh, buat kamu,” katanya sok manis.

Aku mendengkus sambil berkacak pinggang dan melihat galak ke arahnya. Kali ini rayuan Radit enggak berhasil menembus pertahananku. Aku berjalan mendekatinya yang terdiam di depan kompor. Senyuman lebarnya sudah berganti jadi senyuman salah tingkah.

“Tadi malem pulang jam berapa? Tahu enggak sih, tadi malem Mia kelaperan, tahu! Kalau enggak bisa pulang on time tuh kabarin dulu sebelumnya! Biar Mia enggak nunggu-nunggu. Kesel tahu, Kak! Mia marah banget nih, sekarang!” omelku dengan mata memelotot. Pundakku sampai naik-turun saking berapi-apinya.

Radit menunduk. Dia enggak berani membalas tatapanku. Beberapa detik setelah aku selesai mencurahkan isi hati, dengan perlahan Radit meraih kedua tanganku yang masih bertengger di pinggang.

“Maaf, Mia …. Ternyata meeting-nya selesai kemalaman. Pas jam tujuh aku udah niat mau ngabarin, tapi bawahanku minta ajarin sesuatu, terus aku jadi lupa. Waktu inget, tahunya udah hampir jam sepuluh. Makanya aku baru chat kamu jam segitu. Maaf banget, Sayang. Kejadian kemarin malam itu di luar kuasaku. Aku enggak bisa kabur juga. Kan meeting-nya bareng direksi,” jelas Radit penuh penyesalan. Lagi-lagi keadaan yang memaksa. Bisa apa lagi aku selain menerima alasan dan memaafkan?

“Ya, udah. Mau gimana lagi,” balasku setengah hati. Berkali-kali aku menarik napas, masih ingin lanjut marah, tetapi enggak bisa. Begitu Radit mendengar perkataanku, kepalanya bergerak naik hingga matanya sejajar dengan mataku.

“Sekali lagi maaf, ya, Sayang,” ucapnya. Kali ini sambil mendekapku erat. Tanganku refleks bergerak, membalas pelukan Radit yang aku rindukan sejak kemarin.

“Tapi, Mia punya tiga syarat,” imbuhku tanpa melepaskan pelukan.

“Bilang aja. Sebisa mungkin aku penuhin,” jawab Radit setuju. Mulutku tersenyum menyeringai ketika memikirkan syarat apa saja yang akan aku minta. Ini saatnya aku mengajukan jumlah uang jatah bulanan!

“Mia mau makan dulu deh, Kak. Laper,” ujarku seraya melepaskan pelukan dan berjalan ke arah kursi makan.

“Siap, Nyonya!” Radit menjawab penuh semangat. Mood-ku kembali membaik. Sepertinya sulit untuk marah lama-lama sama Radit kalau tingkahnya makin manis saat sedang berusaha minta maaf begini.

Aku duduk di kursi makan, tepat di samping jendela. Mataku langsung tertuju ke luar. Matahari pagi ini enggak terlalu cerah, malah agak berawan.

“Ini dia!” seru Radit dari dapur.

Kepalaku menoleh ke arahnya. Di tangan kiri, dia memegang piring berukuran besar. Sedangkan di tangan kanan, dia memegang cangkir yang sepertinya berisi minuman panas karena uapnya masih tampak menyembul ke atas.

Radit berjalan hati-hati. Takut masterpiece-nya tumpah. Aku berusaha menunggu dengan sabar. Padahal jarak dari dapur ke meja makan bundar ini, cuma beberapa langkah doang, tapi dia lama banget sampainya. Setelah hampir satu menit, akhirnya Radit tiba. Dia meletakkan piring dan cangkirnya tepat di hadapanku. Semerbak harum bawang putih bercampur minyak zaitun menusuk hidung. Walau aku enggak yakin ini apa, tetapi kelihatannya enak.

“Wow! Amazing!” pujiku sambil bertepuk tangan. Senyum Radit semakin merekah. Dia terlihat bahagia banget mendengar pujianku.

“Ini menu hasil kreasiku. Namanya ... hm, apa, ya?” ujar Radit berpikir keras.

“Apa coba?”

“Pasta Cinta aja, deh. Soalnya aku masak ini pake bumbu cinta. Hehehe .… Cicip, deh, pasti enak!”

Aku terkekeh sekilas sebelum meraih garpu dengan tangan kanan. Makanan yang Radit masak ini jelas pasta. Mungkin sejenis aglio e olio, tetapi dia memasukkan beberapa jenis sayuran ke dalamnya. Ada potongan jamur kancing, irisan wortel, juga irisan bawang bombai. Dia memakai daging ikan salmon sebagai bahan pelengkap utamanya. Aku sempat bingung dari mana dia dapat bahan-bahan ini. Setahuku di kulkas cuma ada sosis sama telur saja.

“Tadi pas bangun tidur, aku langsung belanja bahan makanan ke grocery store di belokan. Supaya bisa bikinin sarapan enak buat kamu. Ayo dimakan, nanti keburu dingin. Aku bawa piringku dulu, ya,” jelas Radit sebelum berbalik ke dapur untuk mengambil piringnya.

Setelah aku cicipi, ternyata rasa masakannya lumayan enak. Asinnya pas. Hanya irisan wortelnya yang agak bikin aneh. Rasanya jadi nano-nano. Bercampur antara asin dan manis. Padahal seharusnya asin doang. Aku sengaja menyingkirkan irisan wortel untuk dimakan terakhir, supaya enggak merusak rasa.

“Gimana? Oke, kan?” Radit memastikan penuh percaya diri. Aku mengangguk dan tersenyum lebar. Dua jempol tangan yang kuangkat ke udara, melengkapi pujian.

Sebagai istri yang baik, aku harus rajin memuji suami. Apalagi waktu dia berinisiatif begini. Siapa tahu tiap weekend, Radit akan menawarkan diri untuk menggantikanku membuat sarapan. Lebih bagus lagi kalau masak tiga kali sehari.

“Enak, Kak. Asinnya pas, tapi next time jangan pake wortel lagi, ya. Kalo butuh yang manis-manis, makannya sambil lihatin Mia aja.” Aku mengkritik sekaligus menggodanya, supaya dia enggak sadar kalau masakannya belum terlalu sempurna. Cerdas sekali kamu, Mia.

Radit mengangguk kemudian tertawa. Aku menangkap sinyal kalau suasana hatinya lagi bagus sekarang. Berarti, ini saat yang tepat untuk masuk ke dalam topik utama.

“Kak, tadi kan, Mia bilang ada tiga syarat,” kataku hati-hati.

“Iya? Coba bilang apa aja,” balasnya setelah meletakkan garpu dan fokus padaku.

“Pertama, jangan ulangi kesalahan Kakak kemarin, ya. Kalau pulangnya telat, usahain kabarin Mia dulu. Supaya Mia enggak nunggu-nunggu. Oke?”

Radit langsung mengangguk setuju tanpa berpikir. “Insyaallah, Mia. Sebisa mungkin aku kabarin kamu,” balasnya lembut.

“Nah, yang kedua. Mia minta jatah uang bulanannya delapan ribu pound,” ucapku penuh keyakinan. Radit mengerutkan kening dan menatap kaget ke arahku sambil berkedip beberapa kali. Apa yang aku pinta kebanyakan, ya?

“Kamu mau beli apa aja sampai minta delapan ribu?” tanya Radit kebingungan. Loh, benar kebanyakan toh?

“Mia dikasih tahu Nadhira. Katanya biaya hidup di Inggris untuk dua orang itu sekitar empat ribu pound per bulan. Jadi Mia iseng minta dua kali lipat. Hehehe….” Aku menjawab jujur sambil garuk-garuk kepala.

Radit melipat kedua tangannya di atas meja. Seperti bersiap mau menceramahiku. Aku refleks menurunkan tangan. Menaruhnya di atas paha sembari menyesali kecerobohanku tadi yang sudah berkata asal tanpa riset terlebih dahulu.

Let me tell you about my salary,” ucap Radit membuka sesi ceramah. Mendadak dia jadi berwibawa sekali. Aku sampai menelan ludah saking gugupnya.

“Aku kan, di-hire sama perusahaan yang ada di Swiss. Jadi, sebenarnya gajiku itu dalam mata uang franc swiss, bukan pound. Tapi, semenjak ditugaskan di luar Swiss, aku dapet gaji double. Aku digaji sama kantor pusat dan kantor yang di York sini. Kalau ditotalin itu, hm …. Wait.” Radit mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana dan mulai mengetik beberapa saat. Aku menunggunya dengan sabar karena memang penasaran. Sebagai istri, wajar kan kalau ingin tahu berapa gaji suami?

“Mulai bulan ini, aku dapat sekitar sebelas ribu pound per bulan. Makanya aku kaget banget waktu kamu minta delapan ribu. Walaupun gajiku masih ada sisanya, delapan ribu pound itu banyak sekali, Mia.” Radit geleng-geleng kepala.

“Tapi … kata Nadhira gitu, Kak. Bahkan dia nemu di internet, kalau gajinya jabatan Kakak tuh tiga puluh tujuh ribu pound per bulan,” ujarku beralasan. Aku jadi enggak enak sama Nadhira karena sudah menjadikan namanya sebagai alasan. Maaf, ya, Nad.

What? Ya ampun .... Temenmu salah lihat, kali. Bisa jadi dia kira itu gaji per bulan, padahal itu total gaji per tahun,” balasnya kaget. Radit mulai tertawa heboh. Sementara aku menghela napas lemah.

Jadi, selama ini aku salah kira. Padahal sudah terbayang bakal ada saldo delapan ribu pound per bulan di kartu ATM yang kupegang. Hah. Khayalan tetaplah khayalan.

“Jadi … Mia dikasih berapa dong, Kak?” tanyaku memelas. Radit langsung berhenti tertawa, lalu menyipitkan kedua matanya. Ia menatapku intens, seperti sedang menimbang-nimbang berapa jumlah yang tepat.

Let's try with two thousands pounds,” jawabnya yakin.

“Cukup, yah, segitu?”  tanyaku masih ragu-ragu.

“Cukup, kalau kamu bisa ngaturnya, Mia. Uang yang kamu pegang, pure hanya untuk keperluan dapur aja. Sama sabun, odol, detergen, dan lainnya. Urusan bayar air, listrik, internet, biar aku yang handle. Dan satu lagi, uang jajanmu beda lagi, kok. Berarti … setiap bulan aku transfer tiga ribu pound, ya? Dua ribu untuk kebutuhan yang tadi aku bilang, seribunya lagi untuk uang jajan bulananmu. Gimana? Kamu setuju, enggak?” Radit meminta pendapat. Aku cuma bisa menyetujui semua yang dia bilang, biar cepat selesai pembahasannya.

“Aku bukannya pelit atau gimana. Tapi sekarang aku lagi menabung banget. Cita-citaku ingin bisa beli rumah secepatnya. Supaya kamu bisa merawat anak kita nanti di lingkungan yang lebih baik dan lebih nyaman. Kamu paham, kan?”

“Iya, Kak. Mia nurut aja, deh. Bulan depan baru evaluasi lagi, ya?”

“Okelah, boleh. Syarat terakhir apa, nih?” tanya Radit sebelum kembali melanjutkan makannya.

“Hm .... Kak Radit inget enggak, obrolan kita waktu di bandara pas mau ke London?” Aku harus mengembalikan ingatan Radit dahulu, supaya dia enggak punya alasan untuk menolak permintaanku.

“Aku agak lupa, sih. Emang yang mana?”

“Yang Mia enggak mau punya anak dulu sampai tahun depan,” kataku menjelaskan. Sedetik setelah aku selesai berbicara, Radit langsung terdiam. Perubahan sikapnya bikin aku tegang.

“Kenapa, sih, kamu kayaknya anti banget punya anak? Padahal kamu udah punya tiga keponakan, kan? Pasti perihal mengasuh anak udah enggak asing lagi buatmu,” ucap Radit dengan penuh penekanan.

“Mia … belum siap, Kak. Mia udah sempet jelasin alasannya waktu itu, kan?” tanyaku hati-hati. Namun, Radit menggeleng.

“Sekarang aku enggak bisa setuju dengan permintaanmu itu. Waktu di bandara aku bilang, nanti kita bicarakan lagi. Bukan berarti aku udah setuju. Aku pengen punya anak secepatnya, Mia. Tahun depan aku udah tiga puluh tahun. Aku enggak mau jarak umurku sama anak kita terlalu jauh,” sanggah Radit seraya mengungkapkan alasan. Dia juga memalingkan wajahnya, menghindari tatapan mataku.

“Tapi, Kak, kita tuh baru kenal. Bahkan belum sampai satu bulan. Mia pengen ngerasain pacaran sama Kak Radit. Enggak mau ada penghalang. Please dong, Kak. Satu tahun aja. Mia juga mau cari-cari pengalaman dulu. Misal ambil kursus atau kerja part time di mana gitu. Mia pengen merasakan dunia kerja itu seperti apa. Walaupun cuma sebentar, Mia tetep pengen punya pengalaman. Yah, yah?” Aku memohon lagi dengan amat sangat.

Sementara Radit bergeming. Lalu enggak lama, akhirnya dia menoleh ke arahku. Namun, ketegangan masih tampak jelas di wajahnya. Ekspresi memelasku enggak berhasil meluluhkan hatinya kali ini. Mendadak aku jadi putus asa, ingin menangis rasanya. Kenapa dia memaksa sampai begitu, sih? Enggak pengertian banget sama istri.

“Untuk yang satu ini, aku enggak bisa setuju. Kamu mau punya pengalaman? Bisa, kok, setelah anak kita udah besar. Minimal tunggu sampai usianya tiga atau empat tahun. Nanti kan, bisa dititip di daycare atau sewa pengasuh anak. Jadi hidupmu masih bisa berjalan tanpa hambatan,” kata Radit bersikeras.

“Aku enggak mau nitipin anak kita ke daycare. Enggak aman tahu, Kak. Please … Kak. Please ....”

“Enggak. Sekali enggak, tetap enggak. Aku ingin kamu hamil anakku secepatnya. Aku enggak mau dengan sengaja menunda-nunda,” putus Radit sebelum berdiri dan pergi meninggalkan aku yang masih terdiam kehabisan kata-kata.
Telak. Ya, sepertinya keputusan Radit sudah enggak bisa diganggu gugat.

Air mata mulai menggenang di kedua kelopak mataku. Berkali-kali aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan. Mencoba menguatkan hati yang telanjur sakit. Namun, sepertinya usahaku sia-sia. Kesedihan tetap meluap bersamaan dengan mulai menetesnya cairan bening yang sejak tadi aku tahan.

Ini pertama kalinya kami bertengkar dan berbeda pendapat akan sesuatu yang penting di dalam pernikahan. Dan aku bingung harus bagaimana.

Nah, lho! Berantem deh mereka. 😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro