Bab 26 - IKEA, I'm in Love

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku memilih untuk menganggap semuanya jelas dan sudah ketok palu. Meskipun aku enggak sebodoh itu juga. Aku tahu Radit masih agak berat menerima keputusanku. Namun, di balik serangkaian peristiwa yang terjadi kemarin, aku terharu dengan kemampuan Radit menyembunyikan perasaannya. Dia kelihatan banget ingin berdamai dengan situasi. Berusaha keras bersikap dewasa, seperti yang seharusnya.

Aku jadi kepikiran. Kayaknya susah, ya, jadi suami? Atau malah susah punya istri kayak aku? Entahlah. Biarkan hanya suamiku yang tahu.

Setelah berkendara hampir satu jam dengan menggunakan mobil yang Radit pinjam dari kantor, akhirnya kami tiba di area parkir sebuah toko furnitur yang tampak cukup besar. Aku enggak begitu memperhatikan, karena selama di perjalanan kami enggak berhenti berbicara. Lebih tepatnya, aku yang enggak berhenti mengoceh karena masih saja bingung akan membeli apa saja nanti. Radit sampai pusing dan akhirnya hanya menjawab iya-iya saja, biar cepat selesai. Bahkan, aku sempat melihat dia mengembuskan napas lega ketika berhasil memarkirkan mobil dengan selamat. Kayak akhirnya terbebas dari beban, gitu.

Kalau lagi bingung dan enggak bisa memilih, aku memang cenderung jadi banyak bicara untuk menanyakan pendapat orang-orang. Kebetulan yang ada di sekitarku, hanya Radit seorang. Jadi ya sudah, aku tumpahkan saja semuanya sama dia. Kecuali masalah punya anak itu, ya. Sampai sekarang hanya kedua sahabatku yang tahu detailnya.

Oh, iya. Awalnya aku enggak ngeh, kalau bentuk bangunan toko furnitur yang ada di hadapanku sekarang itu kotak dan warna catnya biru sama kuning. Siapa juga yang menyangka ada toko funitur kesukaanku di dekat York. Bahagianya... Aku sampai enggak bisa berkata apa-apa. Aku pikir, Radit akan membawaku ke toko furnitur biasa, ternyata enggak. Dia sangat tahu seleraku.

“Ya ampun, Kak Radit! Ada IKEA toh di sini? Kok dari tadi diem-diem aja, sih?” seruku kencang, saking bahagianya.

“Gimana mau ngasih tahu kalau dari tadi kamu ngomong terus?” sindirnya sembari mendengkus dan memalingkan muka. Mulutku langsung mengatup. Akhirnya dia jujur juga.

“Masa, sih? Padahal tadi Mia sempat beberapa kali berhenti ngomong, tahu,” sanggahku. Radit menggeleng enggak setuju. Dia sampai memejamkan mata dan mengelus dada saking pusingnya.

“Apaan? Enggak sampe sepuluh menit juga kamu udah buka mulut lagi. Udah, ah. Ayo turun sekarang.”

Aku meringis sembari melepaskan sabuk pengaman. Radit keluar terlebih dahulu. Dia berjalan memutar untuk membukakan pintuku. Tanpa sadar aku tersenyum. Seenggaknya kebiasaan ini enggak terpengaruh, meski aku sudah membuatnya kesal karena level bawelku yang melonjak drastis pagi ini.

Radit segera menggenggam tanganku setelah menutup pintu mobil. Mendadak aku terharu. Aku baru menyadari satu hal sekarang. Aku suka Radit yang gemar bercanda dan tertawa walau aku yang jadi bahan tertawaannya. Aku rela dan ikhlas asal dia bahagia.

Diam-diam, aku melihat dan mengamati lelaki yang hari ini tampil stylish. Radit memakai kemeja lengan panjang berwarna biru terang, yang bagian lengannya dia gulung sampai ke siku. Dia memadukannya dengan celana jeans berwarna putih. Aku saja belum pernah memakai bawahan berwarna putih. Rata-rata koleksi celanaku warnanya gelap semua.

“Kamu kenapa? Kok ngelihatin aku sampai segitunya?” tanya Radit bingung. Aku enggak menghindar, malah justru semakin intens menatap matanya. Begitu tiba di koridor luar toko, Radit berhenti melangkah.

“Sekarang bilang, kamu kenapa? Tatapanmu bikin aku kagok, tahu!” ujar Radit mulai tertawa salah tingkah.

Well. Mia cuma bersyukuuur banget, udah nerima perjodohan kita waktu itu,” ucapku malu-malu. “Mia sama sekali enggak menyesal. Mia sayaaang banget sama Kak Radit. Maafin Mia ya, Kak, belum bisa jadi istri sempurna buat Kakak.”

Aku menanti responsnya dalam diam. Namun, Radit malah bergeming. Dia menatapku tepat ke bola mata. Iris cokelat indah itu enggak berkedip. Dia kaget banget kayaknya, melihat aku yang tiba-tiba menyatakan cinta.

Perlahan, lengan kokoh milik lelaki berlesung pipi itu meraih sisi wajahku. Dia menyingkap helaian rambut yang menutupi pipi berisiku dengan begitu lembut. Sentuhan Radit memang enggak pernah gagal. Sampai sekarang bulu kudukku masih sering meremang jika bersentuhan dengannya. Apalagi kalau sambil ditatap penuh cinta begini.

“Kamu wanita yang sempurna untukku, Sayang. Aku juga enggak menyesal sedikit pun. Satu bulan ini indah sekali. Kehadiran kamu bikin hidupku jadi berwarna. Hm … mungkin lebih tepatnya jadi berwarna dan ramai. Kamu tahu, enggak? Tadi aku sampai speechless pas ngedengerin kamu ngomong, nyerocos kayak kereta api yang remnya blong,” balas Radit sambil menggelengkan kepalanya. Bibirku otomatis mengerucut.

Aku enggak habis pikir sama Radit. Kenapa dia harus merusak suasana manis nan romantis ini dengan kalimat ejekan, sih? Padahal tadi pas banget momennya untuk lanjut ke sesi kecup-kecup manja.

Agak bagaimana, ya, mendengar seseorang mengibaratkan aku seperti kereta api yang remnya blong. Lucu, sih, tetapi kok enggak ikhlas gitu dengarnya.

Radit mencubit kedua pipiku dengan gemas. Sepertinya dia enggak menyadari kalau sebenarnya aku tersinggung. Makanya, aku ikut mencubit kencang telinganya. Eh, hidung maksudnya. Aku enggak berani mencubit pipinya. Takut aset berharganya rusak kalau keseringan ditarik-tarik.

“Aduh! Sakit, Mia. Kamu ada dendam apa, sih, sama aku?” keluh Radit kesakitan.

“Salah sendiri! Memangnya enak?” balasku seraya mencebik.

“Udah, ah. Ayo masuk. Mia enggak sabar pengen belanja, nih,” ujarku masih dengan wajah masam.

Belum sempat membuka pintu, Radit lebih dulu mencegahku.
“Kamu marah gara-gara aku bilang kamu kayak kereta api yang remnya blong?” tanyanya tanpa merasa bersalah.

Aku membalas tatapan polosnya, lalu berkata. “Kalau iya, kenapa?”

“Serius? Ya, ampun, Mia. Maafin aku, Sayang. Aku kelepasan, tadi. Maaf ….”

Bisa enggak, sih, kita ganti topik pembicaraan. Jadi makin kesal, lama-lama.

“Kalau aku ngebolehin kamu beli apa pun yang kamu mau hari ini, kamu mau maafin aku, enggak?”

Mataku sempat melebar hampir dua detik, sebelum sadar kalau masih harus jual mahal.

Sadis. Tawaran Radit kenapa menggoda iman sekali? Tumben dia enggak pelit. Jangan-jangan dia baru dapat bonus dari kantor, lagi. Hm ….

Aku menyipitkan mata, kemudian menatapnya penuh selidik. “Seriusan, Kak?” tanyaku memastikan. Radit mengangguk dan menyunggingkan senyum lebar sampai lesung pipinya muncul dengan sempurna.

“Serius, dong. Kapan, sih, aku enggak serius sama kamu?”

“Ya, udah. Mia maafin, deh,” kataku setengah hati.

Tanpa menunggunya lagi, aku bergegas masuk ke dalam area toko furnitur favorit dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan besar yang sedang cukup ramai di hari Sabtu yang cerah ini. Radit menyusul dengan sedikit terengah.

“Kamu semangat banget. Ya, ampun!” ujarnya keheranan, sambil menarik tanganku agar berjalan di sampingnya.

Aku memilih untuk enggak berkomentar karena sudah terlampau antusias. Sungguh. Aku enggak menyangka kalau sedang berada di IKEA cabang York sekarang. Beberapa tahun lalu, aku pernah sengaja pergi ke Tangerang hanya untuk mampir ke toko ini. Sampai seniat itu memang. Senyuman lebarku akhirnya muncul setelah sekian lama. Saatnya menggesek-gesek kartu ATM Radit dan membeli perabotan yang selama ini aku incar! Mantap!

***

Radit benar-benar serius dengan ucapannya. Selama berada di IKEA tadi, dia sama sekali enggak mengatakan “tidak” setiap kali aku bertanya, boleh atau enggak beli ini atau itu. Alhasil, dua troli belanja jadi penuh dengan barang-barang keperluan menghias apartemen. Mulai dari rak, lemari baju kecil, meja rias, kursi makan tambahan, lalu meja TV untuk diletakkan di ruang keluarga. Kalau TV barunya, sudah dipesan Radit tadi pagi via internet, dan besok akan diantar ke apartemen.

Aku juga membeli lampu gantung, hiasan dinding dan pernak-pernik yang enggak penting tetapi lucu. Beli saja dahulu, mau ditaruh di mananya urusan nanti. Hampir saja aku membeli dipan tempat tidur, tetapi langsung Radit cegah. Katanya itu enggak perlu karena sudah ada dipan yang bagus di apartemen. Akhirnya aku mengalah karena yang dia katakan memang benar. Dipan tempat tidur kami sekarang sudah bagus dan desainnya juga enggak kuno.

Akibat belanja brutal itulah, rencana jalan-jalan keliling kota gagal total. Radit mengeluh kelelahan. Aku juga sepertinya sama. Kakiku pegal-pegal. Pinggangku mulai encok. Otakku juga capek karena terus memikirkan apa yang perlu aku beli lagi. Kesempatan menguras harta suami kan enggak rutin datang tiap minggu atau tiap bulan. Paling hanya setahun sekali setiap ulang tahun saja.

Tadi aku sempat melihat total harga dari perabotan yang aku pilih, dan langsung kaget sampai bengong untuk beberapa saat. Namun ajaibnya, wajah Radit masih bisa stay cool waktu menyerahkan credit card dan menandatangani kertas setruknya. Enggak tahu, ya, kalau pas aku lagi enggak memperhatikan. Jangan-jangan dia mengomel dalam hati, pula.

“Kita pulang aja, nih, jadinya?” tanyaku agak kecewa.

“Besok kita jalan-jalan, deh, yah? Aku capek banget sekarang. Besok masih hari Minggu, kok,” pinta Radit sungguh-sungguh. Dari tadi dia terus mengurut betis juga tangannya. Kayak mau menunjukkan kalau dia itu kelelahan banget. Akhirnya aku mengalah. Masih ada hari esok dan esoknya lagi untuk jalan-jalan keliling York.

“Besok barang-barangnya dikirim ke apartemen jam berapa, Kak?”

“Katanya baru dikirim hari Senin,” balas Radit. Aku langsung panik.

“Terus yang masangin TV-nya nanti siapa dong? Hari Senin Kak Radit pulang malem, enggak? Kalo bisa jangan malem-malem, yah? Mia enggak bisa mindahin barang berat sendirian soalnya,” cerocosku bertubi-tubi sampai bikin Radit menahan napas.

“Allahuakbar! Mia, kamu tuh badannya doang yang capek, ya, tapi mulutnya enggak. Sekali lagi kamu ngomong, aku cium sampai bibir kamu dower, nih!”

Mulutku refleks mengatup sampai membuatku enggak bisa napas. Alhasil aku megap-megap kayak ikan koi karena enggak kuat menahan tawa. Kami sudah di mobil dari sepuluh menit yang lalu, tetapi mobilnya enggak gerak-gerak. Tampaknya, terlalu banyak bercanda bikin kami kehilangan kesadaran. Aku sudah mulai sesak napas saking hebohnya tertawa.

“Ayo jalan, Kak. Mia mendadak ngantuk, nih. Pengen tidur,” ujarku sembari menyandar lemah ke sandaran jok mobil.

“Aku tidurin mau, enggak?” celetuk Radit asal.

Aku yang tadi sudah lemas, langsung duduk tegak lagi untuk mencubit hidungnya hampir sejauh satu meter. Oops, maaf terlalu lebay. Mungkin sekitar tiga puluh sentimeter? Yang jelas, cubitanku membuat Radit mengaduh kesakitan. Anehnya aku malah puas melihat dia menderita. Suruh siapa dia curi-curi kesempatan dalam kesempitan.

“Ya, udah. Enggak deh, enggak. Aku bercanda, kok. Kita jalan nih, ya?”

“Iya. Tancap, Mas!” seruku, dan Radit mulai menjalankan mobil. Kayaknya enggak sampai lima belas menit, aku sudah tewas saking mengantuknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro