Bab 6 - Finally, I'm Engaged!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nah, ini dia orang yang sudah ditunggu dari tadi. Mia, duduk di antara Papa sama Mama, ya," pinta Om Herman berhasil menyadarkanku.

Setelah berhasil mengendalikan diri, mataku beralih ke Papa dan Mama yang tengah tersenyum menatapku. Sekilas aku membalas senyuman mereka, sebelum kembali melihat ke arah Radit. Ternyata dia lebih tinggi dari yang aku kira. Kulitnya putih. Bahkan hampir putih seperti kulitku. Kami duduk berhadapan. Hanya terpisahkan oleh meja tamu panjang.

Di sebelahku ada Mama yang sedang menggenggam tanganku yang sudah basah akibat keringat. Jujur, aku enggak pernah segugup ini sebelumnya. Bagaimana pas akad nikah nanti, ya? Pasti bakal jauh lebih gugup dari sekarang.

"Jadi Mia. Tadi, Radit sudah mengutarakan maksud dan tujuannya datang kemari bersama keluarga besarnya. Sekarang, tinggal menunggu jawaban Mia, nih. Kira-kira, lamaran Radit untuk menikahi Mia, diterima atau enggak?" tanya Om Herman dengan nada bercanda yang segera ampuh mencairkan suasana.

Aku langsung mengangguk tanpa memperpanjang durasi. Malah jadi terkesan sudah enggak sabar. Tapi, ya sudahlah. Sepertinya, aku juga sudah mulai sedikit jatuh hati pada lelaki yang sejak tadi terus menatapku.

Apa ini yang namanya cinta pada pandangan pertama?

"Berarti diterima, ya? Alhamdulillah," seru Om Herman, laludan riuh tepukan tangan mulai terdengar memenuhi ruangan. Semua orang menyambut dengan bahagia. Begitu pun denganku yang enggak bisa berhenti melebarkan senyum semringah.

"Sekarang kita masuk ke acara selanjutnya. Tukar cincin, sebagai penanda sudah terikat satu sama lain. Jadi urutan pertama, bundanya Radit yang memakaikan cincin ke Mia. Setelah itu gantian, mamanya Mia yang memakaikan cincin ke Radit, ya. Mari, silakan dimulai," lanjut Om Herman mempersilakan.

Aku berdiri sesuai instruksi. Berjalan ke ujung meja dan menghampiri Bunda Rila yang menungguku sembari tersenyum tulus. Beliau mengambil cincin dari dalam kotak perhiasan yang dipegang oleh Teh Ranti. Cincin pertunanganku terbuat dari emas putih dengan tiga buah berlian kecil di atasnya. Aku mengangkat tangan kiriku dan melebarkan jari-jarinya, agar Bunda lebih mudah memasangkan benda bulat kecil itu di jari manisku.

Setelah cincinnya terpasang dengan sempurna, aku mencium tangan dan kedua pipi Bunda. Sementara itu para fotografer yang bertanggung jawab untuk mendokumentasikan acara lamaranku, mengambil gambar dan video tanpa henti.

Sekarang giliran Radit yang maju ke ujung meja dan berdiri menghadap Mama. Meski sudah kembali duduk di sofa, pandanganku tetap tertuju padanya. Punggung Radit bidang, bahunya juga lebar. Dia tampak sangat tampan dengan memakai kemeja batik lengan panjang berwarna cokelat kehitaman. Sangat serasi dengan warna gaun yang aku pakai sekarang.

Finally, I'm officially engaged!

***

Debaran di dada perlahan mulai mereda karena kukira acara resminya sudah selesai. Namun, ternyata pikiranku salah. Masih ada satu sesi lagi yang justru lebih krusial dari sebelumnya. Foto bersama!

Bukannya enggak mau dekat-dekat Radit, tapi serius, deh. Aku masih belum siap. Lebih tepatnya, enggak kepikiran akan bilang apa pas berdiri sebelahan nanti. Kita belum pernah berbicara secara langsung, lewat telepon saja enggak.

Dia enggak jadi menghubungiku. Padahal aku sudah stand by terus di dekat ponsel sejak pulang dari bertemu Teh Ranti dan Bunda hari itu. Agak kesal dan kecewa, sih. Mungkin nanti bisa aku tanyakan langsung alasannya enggak menghubungiku. Itu juga kalau berani.

Nyatanya aku cuma mampu mengangguk sekilas sambil tersenyum tipis ketika tiba di sebelahnya. Lelaki berlesung pipi ini, membalas anggukanku dengan senyum yang enggak kalah tipis. Kemudian dia menoleh cepat ke arah kamera. Membiarkan senyumku mengambang di udara.

"Ayo, Mia sama Radit senyum, dong. Jangan kaku gitu," seru Teh Ranti dari arah samping. Sontak aku menoleh, dan menyengir kikuk.

Teh Ranti dan Teh Nuri terlihat sangat antusias. Mereka berdua terus bergerak mengangkat kedua tangan. Semacam memberi dukungan padaku juga Radit.

Mama pun ikut-ikutan mendekatkan wajahnya ke telingaku lalu berbisik. "Senyum, Sayang."

"Iya, Ma."

Setelah menghirup udara dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, aku sudah siap untuk menampilkan senyum terbaik. Aku enggak ingin menyesal ketika nanti melihat hasil cetakan fotonya seperti Teh Nuri dulu. Saking gugupnya, kakak perempuanku itu enggak tersenyum ketika difoto. Malah kelihatan kayak orang marah. Padahal dia sedang bahagia luar biasa. Momen lamaran kan, hanya satu kali seumur hidup. Jadi, aku harus memberikan usaha semaksimal mungkin.

"Oke. Siap, ya. 1, 2, 3."

Lalu, beberapa kilatan cahaya dari kamera pun tercipta. Aku, Radit, Mama, Papa dan Bunda melihat bergantian ke dua fotografer yang terus memberi sinyal. Radit bergeming di tempat. Hanya kedua tangannya yang berubah posisi, persis sepertiku.

Bunda berinisiatif mendorong Radit supaya lebih mendekat, ketika giliran kami berdua yang difoto tiba. Berkat ulah jail calon mama mertuaku, lengan kami enggak sengaja bersenggolan. Dan, efeknya luar biasa. Seperti ada aliran listrik yang menyebar cepat ke sekujur tubuh. Aku sampai kelupaan bernapas selama beberapa detik. Untungnya aku bisa cepat mengendalikan diri. Malu juga kalau sampai ketahuan sama orang-orang.

"Sekarang, tangan yang ada cincinnya diangkat ya," pinta fotografer berkemeja biru.

Kami berdua menurut, tanpa basa-basi. Tangan kananku dan tangan kiri Radit terangkat hingga sejajar di depan dada. Kami berpose memamerkan benda kecil yang kini telah mengikat kami berdua.

Aku sempat melirik ke arah lelaki beraroma harum di sebelahku. Dia sedang tersenyum lebar hingga menampakkan barisan gigi putihnya. Tanpa sadar, aku ikut melebarkan senyum. Enggak peduli kalau pipiku bakal kelihatan super tembam. Kebahagiaan ini memang harus dipamerkan.

Semuanya ... Mia punya tunangan sekarang! Hahaha...

***

Begitu sesi acara resminya selesai, para tamu yang hadir dipersilakan untuk menyantap makan siang yang sudah disiapkan. Nadhira dan Aysha langsung menghampiri dan memelukku bersamaan. Senang sekali rasanya melihat kedua sahabatku ikut menyaksikan salah satu momen terpenting di dalam hidupku.

"Congrats, ya, Mia. Lo cantik banget, sumpah! Pangling gue lihatnya," bisik Nadhira heboh.

"Thank you, ya, Guys. Kalian udah jauh-jauh dateng dari Jakarta. Gue seneng banget!" A jawabku menjawab tanpa melepaskan pelukan.

"Seneng karena kita datang, apa karena calon laki lo, nih?" ujar Nadhira mulai menggoda. Aku langsung menyipitkan mata.

"Ah, masih jauhan calon suami lo, kali. Dari York ke Bandung. Mantap banget usahanya!" kata Aysha sambil menahan tawa.

Secepat kilat, aku mengangkat jari telunjuk. Meminta Aysha dan Nadhira untuk mengecilkan suara. Mataku langsung mencari sosok lelaki yang baru saja resmi menjadi tunanganku. Untungnya Radit sedang enggak berdiri berada di dekat kami bertiga. Dia ada di teras depan, sedang berbicara serius dengan A Vidi. Mungkin lagi diwawancara.

"Cieee .... Curi-curi pandang, ya, lo sekarang," ujar Nadhira kembali menggodaku. Aku buru-buru menggelengkan kepala.

"Apaan, sih! Udah, ah. Makan, yuk. Laper gue.," ajakku pada kedua manusia yang belakangan ini hobi banget menggodaku.

Tangan Aysha dan Nadhira aku tarik paksa menuju ke taman belakang rumahku yang disulap menjadi area makan. Ada satu buah meja prasmanan panjang, tempat disajikannya beberapa macam makanan berat utama. Juga beberapa pondokan, berisi camilan yang mengenyangkan. Tentunya ada red velvet cake kesukaanku. Namun, mataku langsung tertuju pada satu menu makanan yang disajikan di sudut taman.

"Eh, gue ngambil lasagna dulu, ya, Guys."

Nadhira dan Aysha mengangguk setuju. Mereka berdua sepertinya sudah kelaparan, karena langsung berjalan ke meja prasmanan, tanpa mampir ke mana-mana.

Aku mengambil satu piring kecil dan sebuah garpu, lalu menyerahkannya pada petugas katering yang menunggu di balik meja. Dia mengambilkan satu potong lasagna dan mengembalikan piringnya padaku. Saat berbalik, aku melihat Aysha dan Nadhira masih asyik memilih makanan. Sambil menunggu mereka selesai, aku berjalan ke sebuah kursi panjang di sudut lain taman.

Lalu, saat sedang asyik makan, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang yang sudah aku tunggu-tunggu sejak lama.

"Hai, Mia," sapanya singkat.

Kepalaku mendongak perlahan ke sumber suara, dan mendapati Radit tengah berdiri di hadapanku. Dia kelihatan kikuk. Tangannya enggak berhenti menggaruk sisi kepala.

"Eh. Hai juga, Kak Radit," jawabku sedikit gemetar. Ini benar-benar percakapan pertama kami setelah tadi hanya saling bertukar senyum saja.

"Aku boleh duduk di situ?" tanyanya sembari menunjuk sisi kosong di sebelahku. Aku mengangguk dan sedikit bergeser ke sisi ujung.

Awalnya Radit enggak melihat ke arahku. Matanya mengarah lurus ke depan. Dia pasti sama sepertiku yang enggak tahu harus membicarakan apa sekarang. Berulang kali aku menarik napas yang lebih panjang dari biasanya. Berusaha menenangkan gejolak hebat di dada. Kalau enggak, bisa-bisa ketakutanku sebelumnya terjadi. Aku pingsan di tempat saking gugupnya.

"Hm," ujar ucap Radit tiba-tiba.

Kepalaku langsung menoleh ke arahnya. "Iya, Kak?"

"Awkward, isn't it?" lanjutnya.

Aku menyengir sambil mengangguk.

"Yes, indeed, but enggak apa-apa. Namanya juga baru ketemu."

"Iya, sih. Akhirnya ... kita ketemu juga," ujar Radit. Kali ini sambil menatapku.

"Iya, akhirnya ... enggak cuma lihat dari foto doang," balasku sembari tersenyum tulus.

"Kamu lebih cantik aslinya, daripada di foto, Mia.," puji Radit tiba-tiba.

"Wah ... thank you. Kakak juga." Aku sedang benar-benar gugup, tapi terus berusaha untuk tetap tenang. Menjaga image di depan calon suami adalah prioritas utamaku sekarang.

"Maksudnya, aku juga cantik?" tanya Radit yang aku tahu pasti sedang bercanda.

"Bukan itu maksudku, Kak. Masa enggak ngerti, sih?"

Radit malah tertawa melihat responsku. "Iyah, ngerti, kok. Aku bercanda aja tadi." Tuh kan, benar.

Setelah tawa Radit berhenti, kami berdua kembali diam. Aku memutar otak, memikirkan sekiranya topik apa yang cocok dibahas di pertemuan pertama. Sepertinya lebih baik aku bicara basa-basi dulu, deh. Supaya makin akrab.

"Kemarin sampai di Bandung jam berapa, Kak?" tanyaku sambil sesekali menyuap lasagna yang masih tersisa di piring.

Radit kembali menoleh. "Kemarin sore. Sebenernya sekarang aku masih agak jetlag, sih" jawabnyab Radit sambil memegang kepalanya. Aku membalas tatapan, berusaha terlihat prihatin pada kondisi calon suami.

"Waduh, pasti capek banget, deh. Berapa jam sih dari York ke sini?"

"Hm .... Kayaknya lebih dari dua puluh empat jam. Di York enggak ada bandara internasional. Jadi harus ke London dulu baru bisa terbang ke Jakarta," jawab Raditt menjelaskan. Aku mengangguk-anggukkan kepala, berusaha menunjukkan simpati.

"Ya, ampun. Kalo gitu nanti malem jangan begadang ya, Kak. Besok kita harus fitting soalnya."

"Oh, iya, fitting. Kamu udah milih gaun untuk resepsinya?"

"Udah, dong. Besok tinggal fitting terakhir aja. Kemarin ada yang dirombak sedikit soalnya."

"Oh, begitu." Radit ikut menganggukkan kepala.

Akhirnya aku dan Radit malah bertukar informasi mengenai persiapan acara pernikahan kami yang akan dilaksanakan dua hari lagi. Aku terharu, Radit kelihatan antusias mendengar curhatanku. Dia selalu merespons setiap kali aku selesai bicara. Hingga tanpa sadar, kami berdua jadi keasyikan mengobrol. Radit sedikit bercerita tentang York. Bagaimana kesan kota dan bagaimana keseharian masyarakatnya. Hm, semacam teaser hidupku yang akan datang enggak lama lagi.

"Mia! Radit! Bisa ke sini dulu sebentar?" panggil Teh Nuri dari ambang pintu.

Aku dan Radit menoleh hampir bersamaan, lalu kompak mengiakan. Radit berdiri lebih dulu, tetapi dia enggak pergi meninggalkanku. Radit menunggu sampai aku selesai menghabiskan makanan. Setelahnya, baru kami berdua berjalan berdampingan dengan masih ada sedikit jarak.

Aku bisa mencuri pandang ke arah Nadhira dan Aysha yang tengah memandangku sambil tersenyum lebar. Mereka masih berdiri di dekat meja prasmanan. Bisa kutebak, pasti mereka berdua sengaja diam di situ supaya bisa mengintip interaksiku dan Radit. Dasar para manusia kepo!

Begitu aku melemparkan tatapan tajam pada mereka berdua, Nadhira mengangkat jempolnya, begitu juga dengan Aysha.

"Eh."

Hampir saja aku kehilangan keseimbangan gara-gara memelototi Nadhira dan Aysha. Ini juga batu kenapa ada di sini, sih? Perasaan tadi enggak ada, deh. Huh.

"Jangan jalan sambil ngelamun, Mia," bisik Radit sambil menahan tawa.

"Mia enggak ngelamun kok, Kak," balasku membela diri.

"Iya, iya. Ayo jalan lagi, kita udah ditunggu yang lain."

Tanpa bilang apa-apa, Radit meraih tangan kiriku dan menggenggamnya. Mungkin maksudnya biar aku enggak tersandung lagi dan tiba di dalam rumah dengan selamat. Tujuannya bagus, sih. Namun, refleks sederhananya ini sangat ampuh menjeda putaran duniaku. Genggaman tangannya baru terlepas ketika kami berdua masuk ke dalam rumah.

Baru sebentar saja, sentuhannya sudah hampir bikin aku pingsan. Bagaimana kalau lama? Wah, bahaya ini.

Sejauh ini gimana pendapatmu sama ceritanya?

Yuk, komen yang banyaakk!

Thank youuu

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro