Bab 9 - Curahan Hati Mia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Sini aku bawain tasnya," pinta Radit begitu kami keluar dari ruang inap Ayah.

"Ini, Kak. Makasih, ya."

Radit cuma berdeham, lalu mengambil alih tas dari tanganku. Ini pertama kalinya kami benar-benar berdua saja. Kemarin waktu kami pergi ke butik untuk fitting, ada Bunda dan Teh Ranti juga yang ikut.

"Mia, kamu udah kepikiran mau honeymoon ke mana?" tanya Radit memecah sunyi.

"Hm .... Belum tahu nih, Kak. Memang Kak Radit mulai masuk kerja lagi hari apa?"

"Sebenarnya, aku dapat jatah libur tambahan untuk honeymoon. Walaupun enggak lama, tapi lumayanlah," jawabnya santai.

"Oh, yah? Kok enggak bilang-bilang?" sahutku gembira.

"Sengaja, biar jadi kejutan," jawab Radit datar tanpa emosi. Aku masih belum bisa memahami bagaimana karakter Radit yang sebenarnya. Terkadang dia bisa cuek tanpa emosi, lalu berubah perhatian dan murah senyum.

"Wah .... Alhamdulillah. Berarti nanti bisa lebih puas jalan-jalannya. Kita keliling London dulu deh, Kak. Dua atau tiga hari gitu. Baru ke kota lain. Gimana?" Aku menjawab penuh semangat. Namun, Radit hanya mengangguk sekilas tanpa menoleh sedikit pun.

"Oh, ya. Kak Radit suka Harry Potter, enggak?" tanyaku lagi. Alis matanya terangkat saat mendengar kata Harry Potter. Jangan-jangan Radit enggak suka, lagi.

"Aku udah nonton semua filmnya, tapi enggak koleksi novelnya, sih. Kamu suka banget, ya?" Kali ini dia yang terlihat penasaran.

"Suka banget, Kak! Mia enggak pernah bosen nontonnya. Padahal di saluran TV lain ditayangin film-film baru, atau film yang rame. Tapi Mia tetep milih nonton si Harry," ujarku masih penuh semangat. "Mia juga suka Twilight Series, apalagi Edward Cullen. Pokoknya si Edward tuh, tipe idaman Mia banget," sambungku lagi, sampai bikin Radit tutup mulut.

"Kamu bawel juga, ya, ternyata? Aku kira kamu pendiam," komentar Radit keheranan. Aku langsung menutup mulut rapat-rapat. Sadar sudah bicara terlalu banyak.

"Maaf, Kak. Mia kebanyakan ngomong, ya?"

Radit langsung terburu-buru menggeleng. "Enggak, kamu jangan salah paham. Sebenarnya aku udah tahu kalau kamu suka ngobrol, tapi enggak nyangka sesuka ini. But, it's okay. Justru aku suka sisi bawelmu."

Aku bisa merasakan pipiku memanas. Kata-kata Radit barusan langsung bikin dadaku berdebar-debar. Secara enggak langsung, dia sudah bilang suka ke aku, dong, ya? Hampir saja aku tertawa karena pikiranku sendiri. Akan tetapi, ketika Radit menggenggam tanganku tanpa pemberitahuan, lamunanku langsung buyar.

"Kamu jangan jalan sambil melamun. Kalau nanti jatuh gimana? Aku pegang tangan kamu aja, ya? Boleh, kan?" tanyanya meminta izin sambil melihat ke arahku. Wajahnya begitu teduh. Pasti aku enggak akan bosan memandanginya sepanjang hari.

"I, iya, Kak. Boleh, kok." Aku jadi salah tingkah, sampai terbata-bata.

Kami pun lanjut berjalan sambil berpegangan tangan sampai tiba di depan mobil Radit.

"Tunggu sebentar, ya. Aku taruh tas di bagasi dulu. Nanti aku bukain pintunya."

Radit bergegas pergi ke belakang mobil, dan dengan patuhnya aku menunggu dia datang menghampiri. Padahal sebenarnya aku bisa saja buka pintu sendiri. Kebaya yang aku pakai enggak panjang menjuntai hingga ke lantai. Hanya sampai betis saja, tapi memang potongan rok batik yang kupakai mengecil di bagian bawahnya. Itu yang bikin aku susah jalan dan susah duduk. Apalagi kalau harus mengangkat kaki supaya bisa duduk di mobil Radit yang seperti Jeep ini.

"Maaf agak lama. Aku sekalian ganti sepatu," ujar Radit sembari membukakan pintu untukku.

"It's okay, Kak."

Aku mencoba mengangkat kaki, tetapi gagal. Rok batik ini benar-benar mengecil di bagian bawah sampai membuat ruang gerak kakiku sangat terbatas. Hah. Pengin kelihatan kurusan itu ternyata merepotkan banget, ya.

Setelah mencoba tiga kali, aku sudah putus asa. Malah hampir menyerah, karena sudah enggak nyaman dengan keringat yang membanjiri wajah sampai ke leher. Sementara Radit masih setia menunggu. Dia mengamati dalam diam. Mungkin sejak tadi, dia berpikir harus membantuku naik atau enggak. Sebenarnya aku sudah terpikirkan caranya, tetapi enggak mungkin aku menarik rok sampai ke paha, kan? Pasti kelihatan aneh banget.

"Mia, sebelumnya aku minta maaf, ya," ucap Radit tiba-tiba.

Sedetik berikutnya, kedua tangan kokoh miliknya sudah mendarat di pinggangku. Dia mengangkatku sampai aku duduk di jok mobil dengan aman. Kedua tanganku sempat memegangi erat lengan Radit, tetapi begitu dia selesai, aku langsung melepasnya. Untuk mencegah suasana canggung ini berlangsung lebih lama.

Radit memindahkan kedua tangannya ke pinggiran jok mobil dan dengan sengaja mencondongkan tubuhnya ke arahku. Wajah Radit berada tepat di hadapanku. Dia menatap tanpa mengedip, hingga membuat tarikan napasku sempat terjeda untuk beberapa saat. Aku terdiam, enggak tahu harus berbuat apa.

Kemudian, Radit tersenyum. Lesung pipinya tercipta begitu memesona. Aku bahkan enggak ingat untuk berterima kasih. Yang masih terbayang di pikiranku, hanya bisikannya yang mengatakan kalau aku cantik. Lalu, Radit menegakkan tubuhnya, menutup pintu mobil dan berjalan memutar untuk duduk di kursi pengemudi.

Lelaki yang sekarang sudah resmi menjadi suamiku ini, mengemudikan mobilnya dengan tenang. Aku semakin yakin, kalau Radit bukan tipikal orang yang suka grusa-grusu. Agak berbeda denganku yang penuh spontanitas dan suka bertindak tanpa pikir panjang.

Keheningan di antara kami enggak berlangsung lama. Untung saja, dia berinisiatif menyalakan pemutar musik begitu mesin dinyalakan. Jadi suasana di dalam mobil enggak sepi dan canggung seperti yang aku takutkan. Sebetulnya, aku ingin menanyakan banyak hal pada Radit, tapi dia kelihatan agak lelah. Terpaksa aku mengurungkan niat. Lagi pula kita masih punya banyak waktu. Banyak banget malah.

Lalu lintas kota Bandung siang ini cukup ramai. Mungkin karena hari ini tanggal merah, jadi banyak orang yang memutuskan untuk keluar rumah. Aku sempat melewati area kampusku. Jadi kangen sama suasananya, deh.

Kuliah itu bikin serba salah, ya. Kalau lagi dijalani suka buat capek sama ingin cepat-cepat selesai. Akan tetapi, giliran sudah lulus, malah ingin mengulang kembali ke masa-masa itu. Aysha dan Nadhira memang masih mudah ditemui meski sekarang kami tinggal berbeda kota, tetapi tetap saja, enggak bisa setiap hari seperti dulu.

"Mia, ada yang mengganggu pikiranmu?"

Sepertinya tanpa sadar aku sempat mengembuskan napas panjang, karena tiba-tiba Radit memanggil namaku. Kayaknya kegelisahanku tampak begitu terlalu jelas sekarang.

Namun, aku menggeleng. "Enggak kok, Kak. Cuma lagi kepikiran masa-masa kuliah aja. Gara-gara tadi lewat depan kampus," jawabku. Radit mengangguk, kemudian kembali fokus menyetir.

"Dulu, aku juga sempat merasa begitu. Mungkin karena itu juga, aku jadi memutuskan untuk mengambil S2. Bukannya merasa pintar atau apa. Aku suka rutinitas di kampus. Bisa ketemu banyak teman dan saling bertukar cerita. Karena dunia kerja, enggak akan bisa sama seperti waktu kuliah. Jadi setelah lulus kuliah, aku memutar otak supaya bisa dapat beasiswa S2," Radit berkata tanpa menoleh ke arahku. Namun, dari sorot matanya, dia terlihat seperti sedang menerawang jauh ke masa lalu. Persis seperti aku barusan.

"Berarti sebelum ambil S2, Kak Radit belum sempat kerja?" tanyaku penasaran.

"Sempat, kok. Sebelum pergi ke Inggris, aku kerja satu tahun dulu di jasa konsultan keuangan, di Bandung sini. Tapi aku sadar, kayaknya aku lebih suka kuliah daripada kerja. Akhirnya aku coba-coba apply beasiswa ke banyak instansi, dan ada yang lolos. Bukan full scholarship, sih. Masih harus modal sendiri untuk hidup sehari-harinya."

"Oh ...." Kepalaku mengangguk beberapa kali. Ternyata suamiku pintar juga, ya. Setahuku dapat beasiswa itu sangat enggak mudah, apalagi beasiswa di universitas yang ada di Inggris.

"Kamu enggak tertarik lanjut S2?" Radit balik bertanya. Tanpa pikir panjang, aku langsung menggeleng.

"Enggak, deh, Kak. Makasih. Bisa lulus aja, udah alhamdulillah.," jawabku cepat.

"Lho? Kok gitu? Tapi kamu enggak salah jurusan, kan?" tanya Radit, lagi-lagi keheranan. Posisiku yang semula miring menghadap Radit, kini kembali ke posisi semula.

"Seharusnya sih, enggak. Aku enjoy, kok. Dari awal masuk kuliah sampai bikin tugas akhir, aku mengerjakan semuanya dengan senang hati. Ya, pastinya ada beberapa mata kuliah yang enggak Mia kuasain, tapi ya, alhamdulillah enggak buruk-buruk amat nilainya. Hanya kalau ditanya mau lanjut S2 atau enggak, jawabannya enggak."

"Tapi kamu lulus cumlaude, loh. Itu artinya kamu cocok sama jurusan yang kamu pilih. Sayang banget enggak diseriusin."

"Itu bisa dibilang faktor keberuntungan kayaknya, Kak. Hehehe ...." Aku malah tertawa.

"Maksudmu gimana?"

"Hm .... Maksudnya, ada faktor dosen-dosen Mia pada baik juga, Kak. Pada enggak pelit nilai. Jadi mereka menilai dari usaha dan kerja keras para mahasiswa, bukan hanya dari hasil akhirnya aja. Bisa dibilang, gambaran Mia itu enggak bagus-bagus banget. Malah kalau dibandingin sama teman-teman sekelas Mia yang lain, gambaran Mia tuh, standar. Ada tuh, mata kuliah Gambar Fashion namanya. Nilai Mia beneran di ambang batas. Soalnya tugasnya itu rata-rata mengharuskan menggambar manusia yang pake pose-pose, terus digambarin desain baju karya kita. Di bagian mewarnainya, Mia cukup jago. Makanya nilainya masih ketolong," curhatku panjang lebar. Untungnya Radit mau mendengar setiap keluh kesahku tanpa protes.

"Kamu masih nyimpan tugas-tugas kuliahmu, enggak?"

Eh, kenapa random sekali pertanyaannya. "Masih, kok. Ada di rumah semua. Kenapa gitu?"

Radit menoleh singkat sembari tersenyum simpul. "Boleh lihat, enggak? Aku penasaran sama hasil-hasil karyamu."

"Hah? Eh, itu. Hm, boleh aja, sih. Tapi ... jangan membayangkan yang keren-keren ya, Kak. Gambaran Mia biasa banget," jawabku ragu-ragu.

"It's okay, Mia. Enggak usah panik begitu. Aku nggak berniat menyidangmu, kok," sindirnya.

Aku menyengir, lalu menghela napas dan memalingkan pandangan ke luar jendela yang ada di sampingku. Memilih untuk enggak memperpanjang topik perkuliahan lagi. Semoga saja Radit lupa. Lagi pula, besok pasti hectic banget di rumah. Pasti dia enggak akan kepikiran buat membongkar gudang rumahku. Hehehe...

Mobil yang kutumpangi akhirnya berbelok masuk ke jalanan beraspal yang lebih sempit, setelah tadi sempat terjebak kemacetan di jalan Ciumbuleuit. Tanaman rimbun dan pepohonan yang berjejer di pinggir jalan, segera menyita seluruh perhatian. Aku merasa sangat lega. Akhirnya segera bisa terbebas dari kungkungan kebaya dan rok batik ini.

Tampaknya Radit juga merasakan yang sama. Dia mengembuskan napas panjang, saat berhasil memarkirkan mobil di dekat pintu masuk lobi. Radit sempat meregangkan tangan dan memutar lehernya beberapa kali. Sebelum meminta izin keluar lebih dulu untuk mengeluarkan koper-koper kami dari dalam bagasi.

Sembari menunggu, mataku enggak berhenti mengamati tampilan luar bangunan hotel yang terpampang begitu jelas di hadapanku. Hotel ini sebenarnya sudah lama menjadi incaran aku, Aysha, dan Nadhira. Sebab hotel ini terkenal dengan pemandangannya yang indah, dan fasilitasnya yang lengkap.

Namun, selama ini keinginan kami bertiga belum juga tercapai, karena rate kamarnya termasuk mahal untuk mahasiswa sepertiku. Enggak disangka-sangka, akhirnya hari ini aku bisa menginap di sini. Meskipun bukan dengan kedua sahabatku, melainkan dengan Radit. Lelaki yang baru saja resmi menjadi suamiku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro