Pak Guru!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pak Guru! Pak Guru! King Kong lawan Godzilla, menang siapa?"

"Pak Guru! Delapan ribu seratus sembilan puluh dua dikali dua, hasilnya berapa?"

"Pak Guru! Pinjam ponsel, dong!"

"Jun, Jun, coba lihat ke halaman, deh. Ada ibu-ibu aneh di bawah pohon."

Jun memijat pelipis. Hari ini sekolah dasar pulang pagi dan, tentu saja, ada anak-anak yang masih tinggal karena lupa mengabari orang tua mereka. Rencana awal adalah mengerjakan rekap data nilai dan pulang ketika terik matahari sudah mereda, tetapi kini laptopnya macet, suasana kelas masih riuh, dan rumus yang dimasukkan ke failnya mengembalikan tulisan error.

"Menang Godzilla. Hasilnya enam belas ribu tiga ratus delapan puluh empat. Nggak boleh, orang tuamu sudah kutelpon lima belas menit lalu. Kamu, Merlin, jangan panggil pak guru langsung dengan nama, nggak sopan," Jun menyahut tanpa menoleh. Pandangannya masih terpaku pada layar laptop. "Kalian nggak bosan menunggu di kelas? Taman bermain kosong, tuh."

Farhan nyengir, kemudian bergegas menuju ayunan kosong di depan bak pasir. Fikri memasukkan angka-angka ke kalkulator pinjaman dengan jemari kecilnya, wajahnya berbinar ketika jawaban sang guru cocok dengan tulisan yang muncul. Fahmi merengut, rencana meminjam ponsel pak guru untuk bermain permainan ular-ularan gagal. Ia berlari mengejar Farhan yang kini berubah pikiran, melambaikan tangan di satu sisi jungkat-jungkit.

"Pak Guru keren! Kalau enam belas ribu tiga ratus delapan puluh empat dikali dua, hasilnya berapa?"

"Tiga puluh dua ribu tujuh ratus enam puluh delapan."

"Kereen!"

Jun tidak sampai hati menyampaikan kalau dia juga membuka kalkulator di layar laptopnya. Barangkali si bocah akan sadar ketika ia mendapatkan laptop sendiri entah berapa tahun lagi. Ia merasakan tarikan di pinggir kemejanya, Merlin.

"Itu, ada ibu-ibu aneh duduk di bawah pohon, Om."

Om.

Jun meringis. Usianya bahkan belum mencapai angka tiga puluh. Ia membuat catatan mental untuk mencukur janggutnya sepulang kerja nanti. Tangannya mengusap puncak kepala si bocah, setengah gemas dan setengah emosi yang tidak pantas diluapkan kepada anak sekolah dasar. "Sekarang masih pukul satu siang, Merlin. Kuntilanak belum keluar sepagi ini."

"Bukan kuntilanak, tahu. Mana ada kuntilanak pakai seragam."

Jun menyipitkan mata. Kalau bukan dedemitan, lalu apa? Guru-guru seharusnya sudah pulang atau sedang rapat di ruang kepala sekolah. Ia berdiri dari kursinya, berjinjit untuk mendapatkan pemandangan lebih jelas dari pohon yang ditunjuk si bocah.

Benar saja, ada wanita berkemeja putih lengkap dengan luaran hitam yang dikerumuni oleh tiga-empat bocah kelas satu di luar sana. Tangannya memberikan isyarat agar kerumunan di sekitar bubar dan meninggalkannya sendiri, tetapi rasa penasaran bocah prapuber tidak ada tandingannya. Mereka terperangkap dalam siklus "Ibu nggak apa-apa?" dan "Jangan panggil aku ibu, pulang sana."

Jun mendorong kedua bocah yang masih tersisa dengan halus ke luar kelas sebelum menguncinya untuk sementara. Meninggalkan laptop di hadapan dua setan kecil sarat dengan rasa penasaran adalah risiko yang tidak ingin diambilnya. Suara langkah berat Jun mengalihkan perhatian kerumunan yang kemudian dibubarkannya dengan iming-iming beberapa bungkus permen jahe dari saku celana.

Sekarang yang tersisa hanyalah Jun dan sang wanita yang menghela napas lega. Jun menggaruk bagian belakang kepala yang tidak gatal. "Ibu mau menjemput ananda dari kelas berapa, ya?"

"Makasih sebelumnya, pak." Si wanita mengantongi ponselnya. "Saya kerja di sini, kok. Mau ambil dokumen di ruang tata usaha, tapi..."

Pandangan Jun melesat ke label nama yang menempel pada saku depan sosok di depannya. Di sana tertulis "Aria" dalam huruf besar-besar. Jun mengerutkan kening. Rasanya ia pernah mendengar nama itu, entah dimana.

Oh.

Jun ingat. Dulu, dulu sekali (baca: dua bulan lalu), ia pernah diberi wejangan oleh guru senior yang melatihnya. Intinya, jika suatu hari ia terjebak di situasi yang memerlukan keahlian teknis komputer, jangan sungkan-sungkan menghubungi Aria dari staf tata usaha lewat surel. Dijamin, seratus persen, akan dijawab dalam hitungan menit.

Walaupun begitu, Jun tidak pernah melihat sang pemilik nama secara langsung. Saat lewat ruang tata usaha pun yang menyapanya hanyalah meja kosong dengan nama Aria di sana. Tenaga IT punya hak spesial untuk bekerja dari rumah, kata koleganya.

Jun tidak pernah mendengar protes, malahan banyak cerita mengenai betapa terbantunya guru-guru senior atas kepiawaian Aria dalam mempermudah urusan mereka. Silabus pembelajaran yang biasanya memakan waktu dan tenaga? Selesai dalam tiga hari. Rekap nilai yang merepotkan karena harus berkutat dengan tabel dan formula? Cukup kirim surel berisi pertanyaan ke Aria dan dapatkan dokumen yang hanya perlu diisi dengan nilai mentah. Di sekolah swasta yang penuh dengan guru dengan kesulitan dalam menyimpan file ketikan, keberadaan Aria rasanya tidak tergantikan.

Oleh karena itu, Jun membayangkan kalau si Aria ini adalah lelaki berjanggut gemuk tak terawat, atau seorang bungkuk berkacamata tebal yang menghabiskan hidup di depan layar komputer, atau robot dari masa depan yang merasa kasihan sehingga ia melimpahkan ilmunya kepada mereka yang gagap teknologi. Yang pasti, apapun selain sosok yang berada di depannya. Bukan gadis seumuran dengan helai cokelat gelap seleher yang memegangi pergelangan kakinya sambil meringis.

Eh?

Tenggelam dalam pikirannya, Jun baru sadar bahwa pada pergelangan kaki wanita di depannya terdapat bengkak hitam yang diurut dengan penuh penderitaan. Astaga. Jun bukan dokter, tetapi ia pun tahu tanda-tanda kaki terkilir parah yang perlu segera ditangani.

"Bu- Uh ... Mbak? Mau dibawa ke UKS? Penjaga di sana belum pulang, kayaknya. Sini, saya bantu berdiri. Nggak jauh, kok." Jun berlutut untuk memeriksa lebih jelas.

"JANGAN DISENTUH!" teriak Aria, mengundang pandangan aneh dari bocah yang bermain di bak pasir. Yang bersangkutan menutupi mulutnya dengan tangan ketika sadar betapa tidak sopan dan lantang teriakannya barusan. "Nggak, anu ... Bukan begitu. Ah, maksud saya nggak ... Aduh, intinya saya nggak apa-apa. Makasih tawarannya, pak. Bukan maksud saya nggak sopan, serius."

Aria berusaha berdiri, salah satu tangannya berpegangan pada pohon palem yang menaungi mereka. Ia sempoyongan melanjutkan langkah menuju ruang tata usaha. Belum ada tiga meter, ngilu menjalar dari pergelangan kakinya dan Aria roboh ke tanah berdebu.

Jun menggelengkan kepala dan bergegas membantu Aria berdiri. Si gadis berkemeja putih awalnya menolak, tetapi Jun bersikeras. Bahu di atas kaki yang terkilir ditopang oleh si guru baru. "Nggak apa-apa, mbak. Kalau mbak mau, saya bisa pura-pura kita nggak pernah ketemu hari ini. Yang penting kakinya diobati dulu, oke?"

Aria menghela napas panjang. "Iya, deh. Tapi saya nggak tanggung jawab kalau bapak kenapa-kenapa, lho."

Jun hampir tertawa. Ia sedang berada di puncak performa fisiknya, tentu saja membopong seorang gadis dengan kaki terkilir bukanlah masalah besar. Aria menatap cemas ke kanan dan kiri.

Duk.

Sebuah bola sepak kulit mendarat pada wajah Jun, menghilangkan keseimbangan dan membuat bagian belakang kepalanya membentur tanah keras. Kesadarannya yang hampir hilang pada hantaman pertama kini kian meredup diikuti sensasi rasa hangat yang membasahi bagian tengkuknya. Ia melihat figur histeris Aria mengguncang bahu seiring jiwanya tenggelam ke alam bawah sadar.

Ah ... dokumen di laptopnya tadi belum di-save.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Silakan tinggalkan like dan komentar, nggak juga nggak apa-apa sih.  _(:3」∠)_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro