BAGIAN I: Kota Maut

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DISTRIK MAYOR
13 Oserpent 892, kalender Halesphere

_____

Ada kepala yang nyaris plontos sebagai bayaran telah mengurus wilayah dari nol. Biasanya, kepala itu—dan badannya yang ringkih, tentu saja—berjalan menyusuri kota dengan jas panjang biru tua kebesaran. Tiap kali dia berlalu, tercium aroma rumput yang menusuk. Seolah-olah dia hendak melawan aroma laut khas pelabuhan.

Dialah sang wali kota Porthale, Timothee Gerabelle, yang hari ini merayakan ulang tahunnya yang ke-73.

Festival digelar, rakyat terjun ke jalanan, lagu dan musik dijanjikan tak akan berhenti mengalun sepanjang malam. Area gedung wali kota dibuka lebar untuk publik. Setiap sudut kota dihebohkan dengan lampu warna-warni.

Malam ini, seluruh Porthale berpesta.

Pelabuhan ramai oleh kapal-kapal, jalanan dipadati kereta kuda. Lampu-lampu hias, musik jalanan, bisingnya anak-anak, dan serunya obrolan orang dewasa melengkapi kemeriahan.

Di Distrik Mayor, tepatnya di dalam wilayah gedung wali kota, tuan-tuan berambut klimis berjalan gagah dengan tongkat di genggaman dan topi-topi tinggi. Berbagai macam wangi kolonye saling bertabrakan. Di bawah sinar bulan, jas mereka yang segelap langit malam—beberapanya sekelabu awan mendung—terlihat lebih mewah bak ditaburi sihir Porthale. 

Para nona dan nyonya pun tidak ingin kalah. Mereka berlenggak-lenggok dengan penuh percaya diri lantaran tahu betapa cantiknya gaun serta dandanan mereka malam ini. Topi lebar mereka bertahtakan pita, bunga-bunga imitasi, dan bulu angsa. 

Seiring bertambahnya tamu yang memasuki gedung wali kota, ucapan selamat makin tidak terhitung jumlahnya.

Nyatanya, tidak ada yang benar-benar peduli dengan bertambahnya usia Timothee Gerabelle.

Para tamu datang untuk mencari keuntungan, bukan sekadar mengucapkan selamat ulang tahun.

Rakyat pun sama. Mereka hanya ingin bersenang-senang. Minum-minum sampai mabuk kepayang adalah momen yang mereka tunggu-tunggu, bukannya pidato basa-basi sang wali kota.

Timothee Gerabelle sudah memperkirakan segalanya sehingga dia tidak peduli. Yang terpenting, para tamu undangan datang dan melihat betapa suksesnya wilayah yang telah dia kelola. Dari yang awalnya bukan apa-apa, hingga dijuluki sebagai Kota Pelabuhan Raksasa.

"Selamat ulang tahun, Tuan Wali Kota," seekor tikus berkata. "Semoga Anda selalu diberikan berkat dan kekuatan, demi Porthale yang semakin berjaya."

Padahal, di antara wilayah kerajaan Halesphere yang lain, Porthale adalah wilayah terkecil. Jadi mungkin yang tikus itu maksud 'berjaya' adalah pelabuhan dan segala pemasukannya.

"Terima kasih banyak, Tuan. Silakan tambah minumannya, nikmati waktu Anda. Hari ini Porthale akan terbangun semalam suntuk." Timothee Gerabelle tersenyum lebar. Amat lebar. Padahal hanya wali kota, tetapi harga dirinya sudah lebih tinggi dari langit.

"Bersulang, semuanya. Untuk Tuan Gerabelle, untuk Porthale!"

"Untuk Porthale!"

Diangkatlah gelas-gelas kaca ke udara, seolah-olah anggur merah yang menggenang di dalamnya dapat menjadi jaminan masa depan.

Timothee Gerabelle tersenyum jemawa. Tak henti-henti matanya menyisir sekitar, melihat wajah orang-orang penting yang dia undang pada malam ini. Tiap kali ada orang yang datang mendekat, mengucapkan kalimat basa-basi, dan memuji kehebatannya dalam memajukan Porthale, dagu Timothee Gerabelle akan semakin terangkat tinggi. Makin tinggi dagunya terangkat, makin rendah dia memandang tamu-tamunya.

Namun, bukan berarti tidak ada yang bisa membuat kepalanya tertunduk.

Pak Tuaaa ....

Lapaaar ....

Bosaaan ....

Lapaaar ....

Timothee Gerabelle bergidik. Sama sekali tidak menoleh ke belakang, tetapi dagunya yang semula tinggi langsung terjun begitu dia menunduk; menatap jam saku di telapak tangan.

Detik-detik menjelang tengah malam.

Waktunya dia pergi menepi.

Di mata orang-orang, Timothee Gerabelle barangkali hendak memeriksa tamu di lantai atas, menyapa mereka satu per satu. Nyatanya, pria tua itu sedang dalam perjalanan ke sisi gelap pestanya.

Ada satu tujuan Timothee Gerabelle saat ini, yaitu sebuah ruangan paling ujung koridor lantai dua. Pintunya—yang sengaja dipahat dengan indah agar tidak dianggap sembarang ruangan—tertutup rapat tanpa celah. Si pria tua bahkan memberikan kesan kuat bahwa ruangan yang akan dia masuki adalah ruang kerjanya sendiri, sehingga tamu-tamunya tidak menaruh curiga.

Saat pintunya dibuka, memang benar segalanya tampak seperti ruangan kerja klasik. Sebuah meja kerja, rak-rak berisi banyak buku dan folder tebal, serta perabotan umum yang lain. Lampu ruangan sengaja dibiarkan mati, sehingga hanya lampu meja kecil yang bersinar remang-remang.

Pria kurus kering itu menutup pintu, menghalau suara dentang jam yang menunjukkan pukul dua belas malam. Hening datang menyambut. Keramaian di luar lenyap. Sekali dia menarik napas, suaranya terdengar lebih jelas ketimbang sorak-sorai rakyat di tengah jalan.

Satu.

Dua.

Tiga.

Timothee Gerabelle menarik napas sekali lagi. Kali ini dia melakukannya sambil melangkah ke tengah ruangan. Sepatu mengilap yang dia kenakan menginjak karpet tebal berbulu halus di atas lantai marmer. Tiap langkahnya teredam karpet. Tidak sedikit pun terdengar suara dentum sepatu lantaran Timothee Gerabelle melangkah dengan sangat hati-hati.

Malam itu, tidak ada yang tahu bahwa sang wali kota menyembunyikan sesuatu di kantornya.

Desir angin dingin menyapu tengkuk, mengundang refleks untuk bergidik, mematikan akal sehat untuk sementara.

Timothee Gerabelle pernah merasakan yang lebih buruk. Jadi dia paham bahwa dia harus tetap tenang. Angin dingin bukan pertanda nyawanya akan terbang malam ini.

"Hei, anak-anak?" Suaranya yang goyah dan renta mengalun sombong. Lidahnya mencecap rasa pahit begitu terucap kata 'anak-anak'. "Aku tahu kalian memanggilku, jadi jangan hanya sembunyi saja. Ayo cepat. Aku sibuk malam ini."

Sekilas, semua bayang-bayang perabotan memang tampak gelap. Namun, ada bayangan lain yang jauh lebih gelap di sudut ruangan dekat meja kerja, lebih terasa keberadaannya, sekaligus tidak bisa dilihat tanpa memicingkan mata.

Jumlahnya ada dua, anak-anak, posturnya mirip perempuan kembar siam. Keduanya bertelanjang kaki, bergandeng tangan dengan amat rapat sampai-sampai terlihat janggal. Baju terusan merah yang mereka kenakan berpotongan tidak rata di bawah lutut. Dimulai dari pinggang, sosoknya mengabur menjadi siluet. Wajah mereka gulita. Tidak terlihat sama sekali. Suara manis nan horor terus terdengar saling bersahutan.

Main ....

Main ....

"Maaf, kalian berdua. Malam ini aku sibuk," tolak Timothee Gerabelle tanpa rasa takut, seolah-olah fenomena ini sudah biasa di matanya. "Sudah untung kujenguk kalian kemari, apa kalian tidak bisa lihat ada banyak tamu yang menungguku di luar pintu itu?"

Ibu ....

Panggil ... Ibu ....

Timothee Gerabelle mengernyit. Kerutan yang sudah berlipat ganda pada keningnya kini bertambah lagi. "Ibu ...?"

Sepi ....

Dingin ....

Lapaaar ....

Siluet sepasang anak kembar di dekatnya kini bergerak-gerak pelan, mendekati Timothee Gerabelle, menunjukkan gestur abstrak yang tidak manusiawi. Satu tangan memanjang, melambai-lambaikan jemari bayangan yang runcing. Kaki-kaki mereka terbuka lebar, tertutup, dan terpuntir. Berulang kali. Tidak ada jerit kesakitan. Sesekali mulut mereka terbuka lebar secara bergantian, memuntahkan kalimat yang sama dengan intonasi yang kian nelangsa.

Sepi ....

Dingin ....

Lapaaar ....

Dusta apabila Timothee Gerabelle tidak takut. Namun, demi Porthale; demi status dan segala harta yang sudah diperoleh susah payah di kota kecil yang penuh keterbatasan ini, dia tidak akan kalah dari dua bocah berbentuk siluet yang bahkan tidak bisa mengangkat pena bulu.

"Omong kosong," desis Timothee Gerabelle. Sudut bibirnya yang berkeriput berkedut kecil. "Makhluk gaib terkutuk seperti kalian tidak mungkin punya ibu."

Gerakan anak-anak bayangan berhenti. Timothee Gerabelle meneguk ludah. Segala macam rutukan menghujani benak. Kepalanya yang nyaris plontos memikirkan berbagai kemungkinan; mungkinkah makhluk-makhluk itu tersinggung karena disebut terkutuk?

Toh, memangnya kenapa? Mereka memang terkutuk, pikir Timothee Gerabelle sekali lagi, dan kali ini terdengar lebih percaya diri.

Anak-anak bayangan kembali bergerak, ragu-ragu, patah-patah, tidak sinkron antara satu anggota tubuh dengan yang lain. Suara-suara samar mengalun. Awalnya bak melodi sendu, lalu perlahan-lahan suara sendu itu naik satu oktaf, terdengar lebih jelas, naik satu oktaf lagi, dan—

Menjerit. Meraung. Melengking.

Anak-anak bayangan menangis.

Suhu ruang kerja Timothee Gerabelle mendadak anjlok, dan dia yakin bahwa ini bukan karena Porthale memasuki pertengahan musim gugur. Angin dingin yang menyebar terasa lebih menggigit dan menyakitkan

Dua anak bayangan terus meninggikan jeritan mereka. Telinga sang wali kota tak kuasa menangkap suara lagi, kedua lutut tuanya goyah.

Dalam hitungan detik, si pria kurus yang malang jatuh ambruk. Darah segar mengalir dari kedua lubang telinga. Kedua bola matanya bergulir naik hingga putih total. Sekujur badannya dalam perjalanan menuju sekaku batang pohon. Tak lama lagi kehangatan akan hengkang dari raganya.

Setelah satu nyawa hilang, suara teror pun turut hilang. Siluet memudar, kedua anak kembar melebur dalam bayang-bayang. Meninggalkan si pria tua kurus ringkih tergeletak kaku, melotot, dan tak bernyawa di atas karpet.

Tak lama lagi akan terdengar kata-kata, Oh, Timothee Gerabelle yang malang—hidup dan matinya jatuh di tanggal yang sama.[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro