Bab Duapuluh Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hingga beberapa hari kemudian, mereka berlima berhasil mengunjungi kediaman Afi. Dengan dalih mewakilkan seluruh teman kelas mereka. Untungnya sang wali kelas menyetujui hal itu.

Kini mereka semua telah berhadapan dengan kedua orang tua Afi yang terlihat begitu terpukul. Begitu berduka.

"Terima kasih sudah mau datang, Nak. Afi pasti senang," ujar sang Ibu.

Mereka berlima tersenyum canggung. Membalas ucapan Ibu Afi yang terdengar bergetar itu.

"Maaf, Bu. Kalau boleh tau, Afi meninggal gara-gara apa, ya? Kami selaku teman begitu terkejut saat mendengar kabar ini." Tito yang memberanikan diri bertanya pada kedua orang tua Afi.

"Biar kamu saja yang jawab, Bu," kata ayah Afi.

"Begini, Nak. Awalnya anak itu baik-baik saja. Masih bercanda dan bermain seperti biasa. Dan begitu pula ketika dia pamit tidur. Semua masih baik-baik saja. Sebelum akhirnya kami mendengar suara keras dari jalan di depan ini," kata Ibu Afi seraya menunjuk jalan yang lumayan besar, beberapa meter di depan rumah Afi.

"Karena kami penasaran, kami keluar mencaritahu suara apa tadi. Begitu kami keluar...." Ucapan Ibu Afi terpotong kala air mata mendesak, sang suami segera mengusap pundaknya." Kami keluar, dan yang kami lihat adalah Afi dengan kondisi lumayan mengenaskan. Dan begitu kami menemukannya, dia udah nggak ada."

"Maaf, kami membuat Ibu kembali merasa sedih, maafkan kami," ujar Red.

Ibu Afi tersenyum seraya mengusap air matanya. "Enggak papa, Nak. Sudah seharusnya selaku orang tua, kami memberitahukan semuanya. Maafkan kesalahan-kesalahan Afi, ya. Dan ini." Ibu Afi mengeluarkan sesuatu dari kanton bajunya.

"Ini adalah kertas yang Afi pegang. Maaf ya, kertasnya banyak darahnya."

Begitu menerima kertas bersimbah darah itu, mereka yang awalnya duduk berjauhan kini merapat pada Tito. Sebuah tulisan yang mereka tahu adalah tulisan tangan Afi. Tidak rapi tapi bisa dibaca.

Tolong. Wanita itu selalu ngikutin gue.

Dan begitu mereka membacanya. Mereka lantas saling memandang. Seolah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Afi. Dan dugaan-dugaan kini memenuhi kepala mereka.

Beberapa saat berbincang, mereka akhirnya pamit undur diri. Dan setelah itu, mereka memutuskan untuk kembali ke cafe semalam dan berusaha memecahkan kasus ini.

Tak lama dalam perjalanan, mereka sampai. Memilih duduk di tempat semalam yang untungnya sedang tidak ada yang menempati.

"Jadi, ini bener-bener ulah wanita itu?" tanya Andre.

"Bisa jadi sih. Di kertas ini tertulis kalau Afi dikejar-kejar sama wanita itu. Gue rasa sih pas kejadian, Afi dikejar hantu wanita sialan itu sampe akhirnya dia tertabrak." Tito berpendapat.

"Gue juga mikirnya gitu. Tapi kenapa, ya hantu itu nyerang Afi terus-terusan sampe akhirnya bikin dia meninggal? Ini sudah masuk tahap keterlaluan sih. Siapa pun dalangnya, gue rasa dia gila."

"Iyalah. Kalau enggak gila, mana mungkin dia nekat bikin teror-teror begini. Mana kerja sama, sama hantu lagi. Kayak nggak ada kerjaan aja."

Abu yang sedari tadi diam, berusaha menyampaikan pendapatnya. "Gue rasa, ini bukan dendam main-main. Dendam dalam level tertinggi. Orang ini benar-benar ingin bikin hancur. Tapi kita belum tahu, dendam macam apa yang bisa buat dalangnya gila kek gini."

"Eh, masa. Gue baru tahu kalau SMK Tanjung ditutup." Pembahasan Lutfi yang tiba-tiba melenceng dari topik awal. Membuat mereka tertegun sebelum akhirnya tertarik untuk tahu lebih lanjut.

"SMK Tanjung, tutup? Sejak kapan?"

"Dua tahun yang lalu."

"Kita kok nggak tahu, ya."

Abu berdehem. "Gue rasa SMK ini tutup emang sengaja disembunyikan dari khalayak ramai. Eh, hubungannya sama kejadian ini, apa? Astaga."

Terdiam dengan pikiran masing-masing kembali membuat hening sekitar. Hingga tiba tiba...

"Kita harus cari tahu kenapa SMK Tanjung tutup," putus Tito tiba-tiba.

Bersambung...

180119

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro