Bab Tigapuluh Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mereka berjalan mengendap-endap. Sembari sesekali melihat kanan dan kiri. Tak lupa juga depan dan belakang. Mencari-cari siapa tahu ada yang mencurigakan di sekitar mereka.

Abu berada di barisan paling depan. Memimpin arah jalan mereka. Dan Tito, memutuskan untuk berdiri di barisan paling belakang. Menjaga-jaga takutnya ada sesuatu yang menjanggal. Namun sejauh mereka melangkah, mereka berlima masih belum menemukan adanya keanehan.

Suasana semakin terasa mencekam kala terdengar suara burung, yang entah burung apa itu. Suaranya seolah menggambarkan sunyinya malam dan suramnya suasana. Keempat lainnya merapat di belakang Abu. Bahkan Lutfi, yang tepat berada di belakang Abu sampai mencengkram jaket yang pemuda itu kenakan. Sekujur tubuhnya merasa merinding.

Bahkan lebih merinding dari sekedar menonton film horor. Bulu kuduk mereka semua meremang. Seakan takut pada sesuatu yang membuntuti dan mengawasi mereka. Sesuatu yang sebenarnya tak mereka lihat.

Tito pun sebenarnya merasa ada yang aneh. Namun sebisa mungkin ia menyembunyikan hal itu. Bukannya apa, Tito hanya takut aksi mereka kali ini kembali gagal. Dan Tito berharap semoga malam ini, mereka menemukan bukti baru. Ya, semoga saja.

Langkah mereka semakin jauh dan sampailah pada ruang kepala sekolah.

Aneh.

Ruangan ini terkunci. Berkali-kali mereka mencoba membuka, namun hasilnya nihil. Sepertinya mereka telah ditipu kali ini.

Yang paling keras terdengar berdecak adalah Red. Mereka semua sebenarnya kecewa. Sedih. Terlebih merasa ditipu begitu saja. Malam-malam seperti ini, mereka rela datang ke sekolah. Namun hasilnya malah seperti ini. Tidak membuahkan hasil.

Tito jadi kembali percaya jika semua yang telah mereka alami selama ini, bukanlah hal yang berkaitan dengan mereka, yang tak terlihat.

Dengan diketahuinya fakta bahwa mereka telah ditipu, cukup membuat mereka begitu merasa rugi. Sungguh, mereka menyesal telah mengambil keputusan untuk menyambangi tempat ini.

Hal yang terjadi selanjutnya adalah mereka berbalik. Ingin pulang meski harus dengan menelan kekecewaan. Namun belum sempat mereka melangkah lebih dari dua langkah, terdengar suara-suara dari dalam ruangan.

Abu adalah orang yang pertama kali tertarik dengan suara itu. Ia memilih tinggal di saat yang lain mulai kembali melangkah. Abu bahkan sampai menempelkan telinganya ke pintu. Demi terdengarnya suara yang lebih jelas. Abu sampai mengesampingkan rasa takutnya hanya karena rasa keingintahuannya.

Beberapa saat menguping, Abu menghela napas. Setidaknya, yang ia dengar adalah suara manusia. Bukan suara apa pun. Tapi, sepertinya manusia di dalam ruangan ini tidak mengetahui adanya mereka. Entah manusia di dalam itu terlalu hanyut dengan aktifitasnya atau apa. Hingga tak mendengar suara gedean yang sebenarnya terdengar agak keras.

Abu segera merogoh kantongnya. Mencari ponsel untuk merekam apa yang sedang dibicarakan di dalam sana. Dan kesimpulannya adalah, ruangan itu ternyata dikunci dari dalam. Seolah apa yang mereka lakukan ini memang benar. Mereka tidak ditipu.

Dan satu hal yang terdengar mengejutkan. Abu berhasil menemukan sesuatu.

Setelah merasa bukti yang ia rekam cukup. Abu bergegas menaruh ponselnya di saku jaket, sebelum akhirnya berjalan mengendap-endap. Menyusul yang lain.

.

"Sumpah, ya. Semalem tuh gue pengen banting orang rasanya. Kesel banget. Lagian kenapa kita bisa terkecoh sama sesuatu yang sifatnya enggak pasti sih." Andre mulai mengomel. Ia bahkan sedari bangun tadi, ia telah mengocehkan hal yang sama.

"Ndre, lo tau enggak sih. Lo itu ngomel udah dari tadi pagi. Nggak capek apa? Gue yang denger aja capek." Tito menyahut. Ia juga kesal. Kesal karena kupingnya panas mendengar omelan Andre yang lagi-lagi hanya masalah semalam.

Abu yang sebenarnya memiliki fakta yang cukup mengejutkan memilih bungkam. Ia tak ingin teman-temannya tahu untuk saat ini. Mengapa? Hanya Abu yang tahu apa alasannya.

"Lo juga, Bu. Semalam ke mana? Lama banget."

"Gue udah bilang semalem, kan. Gue kebelet."

Andre hendak mengeluarkan suaranya kembali. Namun tangan kurus nan besar membekap mulutnya. Lutfilah pemilik tangan itu. Jujur saja, ia jengah mendengar omelan Andre. Tak hanya ia, ketiga temannya juga pasti begitu. Makanya Lutfi memilih untuk membekap mulut Andre. Agar bisa diam.

Sedangkan Andre hanya bisa pasrah. Ia terdiam sembari memutar bola matanya jengah.

Bersambung...

260119

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro