Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ini hanya bukan part lengkap. Kalau responsnya bagus, sisanya akan ku-update nanti malam. Happy reading.

**

MITA berhasil membujukku masuk salon. Dia merencanakan perawatan paripurna. Namun karena toleransi waktuku hanya tiga jam, perawatan itu dibatasi pada creambath, facial, dan meni-pedi.

Dan di sinilah kami sekarang, berbaring berdampingan dikeramasi pegawai salaon yang menyiksa dirinya dengan high heels.

"Enam bulan lagi aku akan menikah, Ka," kata Mita. "Aku akhirnya beneran akan menikah. Rasanya seperti nggak nyata."

"Aku ikut senang untuk kamu." Ya, aku senang dia akhirnya akan menikah. Hanya saja, aku akan lebih senang kalau calon suaminya bukan kakak dari laki-laki yang membuat adikku depresi. Namun tentu saja pendapat itu kutelan dalam hati. Aku tidak mungkin mengatakannya.

"Kamu seharusnya mulai membuka diri pada hubungan yang serius juga, Ka. Jangan menutup diri kayak gini. Jodoh benar sudah ditentukan, tetapi berusaha menemukannya bisa mempercepat prosesnya."

"Kamu tahu fokusku nggak ke situ sekarang." Aku menggeleng kuat-kuat. Kami memang melalui hampir semua tahapan hidup bersama-sama, tetapi soal pasangan hidup adalah sesuatu yang benar-benar berbeda. Menentukan siapa yang akan menemani kita menghabiskan sisa usia tidak semudah menentukan jurusan yang akan diambil saat akan masuk universitas. "Kita membicarakan pernikahan, bukan balapan. Silakan menginjak garis finish lebih dulu. Ambil pialanya. Aku pilih sekolah."

"Sambil jalan bisa, kan?" Gerutu Mita. "Kamu membuat hubungan asmara terdengar seperti penghambat karier. Kamu mau aku kenalin sama seseorang?"

"Nggak usah, terima kasih," tolakku tegas. "Jangan mencoba bermain cupid seperti ayah kamu. Cara kayak gitu sama sekali nggak akan berhasil untukku. Kamu nggak perlu berkeliaran mencari laki-laki baik hati yang sudah menyumbangkan tulang rusuknya untukku."

"Papa nggak menjodohkan aku," bantah Mita. "Dia hanya mengenalkan, Ka."

Aku memutar bola mata. "Memang ada bedanya?"

"Beda dong, Sayang. Mengenalkan berarti hanya membuka jalan. Nggak ada unsur paksaan di dalamnya. Cocok ya lanjut, nggak cocok ya bubar jalan, adios, sayonara, good bye."

Rambut kami sudah dibungkus handuk dan pegawai salon itu meminta kami menuju kursi di depan cermin besar.

"Dan kamu merasa cocok?" lanjutku.

Mita mengangkat jarinya di depan wajahku. "Menurutmu? Benda ini berat lho, Ka. Aku malas saja membuatnya menempel di jariku kalau dia nggak cocok untukku."

"Kamu yakin? Maksudku, kalian nggak butuh waktu lama dari saat berkenalan untuk mengambil langkah sebesar ini." Kenapa aku terdengar seperti ingin Mita meragukan keputusannya? Aku jelas tidak akan melakukan hal konyol seperti ini kalau laki-laki yang dipilih Mita bukanlah tunangannya sekarang.

"Umur, Ka, umur. Dia matang. Cukup dewasa untuk meredam egoku. Sejauh ini, nggak ada keluhan." Mita mengedip genit. "Dan dia tampan, tentu saja."

"Bagaimana dengan cinta?" desakku lagi.

Mita mengedik. "Kurasa aku mencintainya. Sangat mudah mencintainya, aku bahkan nggak perlu berusaha."

"Kamu rasa?" Aku pikir Mita memang harus diyakinkan. Pernikahan tidak seperti pacaran yang bisa diputuskan setiap saat, ketika hubungan itu sudah memberatkan. Dua orang yang sudah menikah tidak bisa lantas berbagi punggung begitu saja ketika menyadari jika orang yang kita pilih ternyata berbeda daripada yang kita inginkan. Saat visi-misi lantas berbeda di tengah jalan. Aku tidak ingin Mita mengalami itu.

Mita menatapku kesal. "Kamu nggak perlu memamerkan kemampuan berbahasa Indonesiamu. Aku cinta Dewa, oke? Aku nggak bodoh mau mengikat diri sama seseorang kalau nggak punya rasa."

Aku memejamkan mata, menikmati pijatan di kepalaku yang berlumur krim. Mita benar, aku berlebihan. Aku sekarang tidak memainkan peran sebagai sahabat yang mendukung keputusannya. Bukan Mita yang harus menanggung sakit hatiku kepada keluarga tunangannya. Itu perasaan yang harus aku hadapi sendiri. "Jangan ngomel, kamu gampang sekali terpancing." Aku memutuskan melepas topik itu.

"Jadi gimana, kamu mau aku kenalin dengan teman residenku? Kalian pasti cocok. Aura kalian sama-sama gelap. Kalian hanya perlu saling menatap untuk memadamkan lampu."

"Sialan! Aku nggak butuh seseorang dengan aura gelap." Mau tidak mau aku tersenyum.

Aku tiba-tiba teringat laki-laki itu. Rajata. Teman isengku. Beberapa malam ini kami bertemu di atap. Aku kasihan membuatnya menunggu, jadi aku akan mengirimnya pesan kalau sudah berada di atap. Dia teman iseng yang menyenangkan. Semalam dia bahkan membawa dua termos kopi dan roti hangat. Satu jam yang terasa singkat. Satu jam, karena ponselku lantas berdering dan aku buru-buru turun.

Aura laki-laki itu tidak gelap. Dia malah terlihat terang. Alih-alih tersinggung, dia menertawakan kalimat-kalimat sarkastisku. Kami jelas dua orang yang berbeda. Gender, fisik, dan kepribadian.

"Oh ya, sabtu malam kita makan bersama," lanjut Mita. "Aku akan pura-pura nggak dengar kalau kamu menolak. Aku akan menjemputmu di rumah."

Aku tahu kalau aku tidak selamanya akan beruntung dengan menghindari tunangan Mita. Siap tidak siap, aku harus menghadapinya. Hanya saja, bayangan berada satu mobil dengan orang itu sedikit mengganggu. "Tentukan saja tempatnya. Kita nanti ketemu di sana."

Mita berdecak. "Naik motor bututmu itu? Jangan tersinggung, tapi kamu akan basah kuyup kalau hujan."

Aku menatapnya dengan pandangan mencela. "Hujan di musim kemarau? Ya, kemungkinannya memang besar."

Mita tertawa. "Aku hanya mau kalian lebih dekat, itu saja. Nggak ada yang lebih penting untukku daripada membuat sahabat dan calon suamiku akrab."

Aku mengerti maksud Mita. Kami sudah bersahabat sejak kami bahkan belum mengenal arti kata sahabat itu sendiri. Dia tidak ingin membuat aku merasa tersingkir. Mau tidak mau aku merasa sedih, karena tahu aku tidak akan bisa sedekat apa yang dia inginkan pada tunangannya. "Dia akan menikah denganmu. Dia nggak perlu dekat denganku," Aku membuat suaraku terdengar riang.

"Menyebalkan!" sungutnya kesal.

Aku berusaha mengulas senyum. Membantah Mita terus-menerus hanya akan memancing kecurigaannya. Aku tidak butuh dicurigai sekarang. Ini pertempuran yang harus kuselesaikan dengan diri sendiri. Mita tidak perlu tahu. Menjaga rahasia ini adalah kewajibanku sebagai sahabatnya.

**

AKU menerima termos kecil berisi kopi yang disodorkan Rajata. Meniupnya perlahan sebelum menyesap isinya.

"Hati-hati, masih panas!" tegurnya.

Memang masih panas. Aku lalu meletakkan termos itu di atas kursi kayu, dan kembali bersandar di pagar. "Keluargamu itu sakit apa?" Sudah lama aku ingin menanyakannya. Terhitung sejak pertama kali bertemu, pertemuan kami ini sudah masuk minggu keempat. Keluarga yang dikunjunginya itu pasti sakit parah. Namun dia tidak pernah terlihat khawatir. Agak mengherankan.

"Apa?" Rajata seperti tidak mengerti pertanyaanku.

"Kamu di rumah sakit ini karena menunggui keluargamu yang sakit, kan?" ulangku.

"Oh... itu." Dia tampak salah tingkah. "Ehm, begitulah."

Begitulah? Jawaban macam apa itu? "Dirawat di bagian apa?"

Rajata meraih termos dan mengulurkannya padaku. "Kayaknya sudah bisa diminum."

Aku tahu dia mengalihkan perhatian. Beberapa orang memang tidak nyaman membicarakan penyakit keluarganya, kepada dokter sekalipun. Aku tidak akan mendesak. Aku menerima termos itu dan mulai menyesap.

"Enak. Kopi dan malam selalu menjadi pasangan serasi," kataku.

"Hei, bagaimana kalau kita bertemu di tempat lain, selain atap ini?" tanya Rajata.

Termos kopi itu tidak jadi menyentuh bibirku. Aku menoleh dan menatap laki-laki itu. Dia menatap lurus ke depan sehingga aku tidak bisa menangkap ekspresinya. Apakah keluarganya sudah akan pulang sehingga dia tidak akan berada di rumah sakit ini lagi di malam hari? Namun kami adalah pasangan iseng. Bertemu secara kebetulan di atas atap. Merencanakan pertemuan di luar jam kerja adalah lompatan besar. Dan aku tidak butuh lompatan seperti itu dalam hidupku. Tidak sekarang.

"Maaf, aku nggak bisa," jawabku. Aku sudah menggunakan kata ganti 'aku' untuk menyebut diri sendiri, menyesuaikan dengan Rajata.

"Apa?" Rajata mengulang kata tanya itu untuk kedua kali dalam waktu kurang dari lima menit.

"Aku nggak bisa ketemu kamu di tempat lain," aku mengulang. Tidak bisa, bukan tidak ingin, sambungku dalam hati.

"Atau nggak mau?" tanyanya lagi.

Astaga, dia bisa membaca pikiranku? Aku berusaha menarik sudut bibir, membentuk senyum. Kuharap yang terlihat bukan seringai masam. "Aku hanya nggak bisa."

"Kenapa? Kamu sudah punya pacar yang keberatan?"

Aku mencoba mencari jawaban masuk akal. Kalau ini berarti perpisahan, aku ingin mengenangnya. Ini untuk pertama kali aku merasa nyaman bersama orang yang belum terlalu lama aku kenal. "Aku nggak punya banyak waktu luang seperti orang lain," kataku. "Jam kerjaku panjang."

"Itu yang ingin aku tanyakan. Kenapa kamu nggak pernah berganti jadwal? Kamu nyaman kerja di malam hari?"

"Aku kerja di tempat lain siang hari." Aku mengangguk saat dia menatap tidak percaya. "Iya, beneran. Aku jaga di klinik 24 jam lain di siang hari. Sisa waktu itu aku pakai untuk istirahat. Jadi, aku nggak punya waktu untuk kegiatan lain."

"Dua sif sehari? Bukannya itu berlebihan?"

Aku meringis. "Untuk sebagian orang, kehidupan memang sekeras itu."

Rajata tampak canggung. "Maaf, aku nggak bermaksud..."

Aku mengibas. "Lebih mudah dijalani daripada dibicarakan. Jadi, aku lebih suka nggak membicarakannya."

Dia tersenyum. "Sabtu minggu? Kamu libur, kan? Kamu yang bilang kemarin."

"Waktu untuk keluarga. Dan tidur yang lama."

"Jadi kita hanya bisa bertemu di atap ini saat kamu kerja?" Pertanyaan itu di luar dugaanku.

"Hanya sampai keluarga kamu sembuh dan pulang, tentu saja. Kamu nggak berencana menjadikan atap ini sebagai tempat bermain, kan?"

Saat itulah pandangan kami bertemu. Aku mencoba bertahan. Hendak melihat berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk berpaling. Bodoh, tentu saja. Tatapannya dalam. Perutku mendadak mulas. Jantungku berdetak lebih cepat daripada yang seharusnya. Udara yang membungkus kami terasa beda. Perbedaan yang tidak bisa kujabarkan dengan kata-kata.

Menjauh, Mika, akal sehatku berteriak saat wajah Rajata mendekat. Aku tahu maksudnya. Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya, tetapi aku tahu apa yang akan dilakukannya. Kakiku tidak bergerak, menolak melaksanakan perintah akal sehatku. Napasnya yang berbau kopi itu mengelusi kulit wajahku sebelum aku merasakan bibirnya berlabuh di bibirku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro