11. Bakteri VS Alienasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sherin pusing sendiri. Sekarang apa? Seingat Sherin, Bintang akan mengajak Alfis kembali ke basecamp. Tapi ada basa-basinya dulu, deh! Dalam rangka apa, gitu ... kayak ada suatu potongan scene yang hilang. Duh! Apa yang Sherin lupakan? Selagi berpikir keras, Sherin mencoba mengisi keheningan dengan kalimat-kalimat sekenanya. "Daripada melamun dan parahnya kerasukan arwah ...." Oh, itu! Perkataannya terhenti mendadak karena suatu ingatan sukses mendarat di otaknya yang berdebu. Sherin melotot. Dia lupa bawa pisang goreng! Di ceritanya, Bintang papasan sama Alfis karena mau kirim pisang goreng ke Mat! Gara-gara ketiduran di basecamp tadi, Sherin jadi terlambat dan ketemu Alfis sebelum sempat pulang ke rumah.

"Kerasukan arwah?" Alfis mengernyitkan kening. Dia tahu maksud Bintang ... tetapi kenapa anak perempuan itu tiba-tiba pasang mode silent? Kan, jadi Alfis yang parno! Pikirannya bercabang ke mana-mana. Masa Bintang mendadak diam karena lihat sesuanu, sih?

"Pisang goreng!" Gini, nih, kalau otak sama lidah enggak sinkron. Kecepatan otaknya yang hobi nge-bug maksimal itu mana bisa, sih, menandingi mulutnya yang udah kayak Mamang Racing? Sherin meringis. Gimana, dong? Telanjur mention pisang goreng ... tapi aneh juga, kan, kalau Sherin tiba-tiba ajak Alfis ke rumah? Posisi Bintang di sini belum tahu apa-apa soal ayahnya yang pulang kampung, bawa banyak pisang, digoreng Ibu, dan Bintang akan diminta mengantarkan pisang goreng itu untuk Mat dan Tante Hera! Kalau Sherin skip saja bagian itu, boleh enggak, sih?

Alfis tambah kebingungan. "Kerasukan arwah pisang goreng? Kamu lagi pengin pisang goreng, Bi?"

Enggak guna, emang! Ini harusnya scene yang cukup mengharukan! Pasalnya, Bintang lagi dihadapkan sama titik terendah Alfis di sini. Orang lagi down, bukanya dihibur, Alfis malah dibikin bingung sama kelakuan Sherin berkedok Bintang. Aih! Udahlah. Sengalirnya aja! Sherin berdeham untuk mengubah atmosfer sekitar dalam hitungan detik. "Balik ke basecamp, yuk! Kayaknya aku belum habisin stok makanan Tante Hera, deh, hari ini."

Alasannya enggak jelas banget, Bangsul! Apa yang bakal dipikirin Alfis coba? Gimana kalau dia menolak ikut? Asdfghjkl ... stop, Sherin. Stop! Pikirlah sebagai Bintang. Hooh. Anak itu mana mungkin overthinking soal apa yang orang pikir, enggak kayak Sherin. Alternatif terakhir yang akan Bintang lakukan untuk membujuk orang lain adalah ... menggunakan paksaan! Sherin langsung menarik lengan Alfis dan menyeretnya sekuat tenaga.

"Ayo!"

Tanpa menanggapi ajakan Bintang sama sekali, anak laki-laki berkacamata tebal itu hanya bisa mengikuti pergerakan Bintang yang ... sejujurnya cukup menyebalkan karena ritme dan ukuran langkahnya jauh berbeda dengan Alfis. Jomplang! Pundaknya pun terpaksa terbungkuk-bungkuk untuk menyesuaikan dengan tinggi tubuh Bintang. Nasib, nasib.

Setibanya di sana, kesunyian panjang kembali berkuasa di langit-langit ruangan markas mereka setelah Mat menanyakan ada apa. Dengan tidak tahu dirinya, Sherin minta Mat membawakan camilan apa pun yang bisa dijejalkan ke saluran pencernaannya. Meski perlu mengeduk isi stoples di sudut terdalam rumah Mat (mengingat stok makanannya sudah dieksekusi Bintang sejak awal), anak lelaki itu tetap menurut. Mat paham ada sesuatu yang terjadi pada Alfis.

Di tengah lengang yang mengawang-ngawang, Alfis mengecek ponselnya. Sherin yakin ada notifikasi panggilan dari Kak Nay di sana. Waduh, ternyata begini, ya, rasanya menjalani hidup yang sudah Sherin dapatkan spoiler-nya dari Wattpad. Akhirnya, ada satu hal yang tidak menyenangkan dari dunia fiksi ini: enggak seru banget! Lamunan Sherin lekas buyar ketika mendapati Alfis membanting ponselnya ke meja dengan kasar. Mat juga memusatkan perhatiannya ke sana, lalu kembali bertanya, "Kenapa?"

Dan, pertahanan Alfis luluh-lantak dalam sejenak. "Mat! Kau ini leader di MS! Bahkan tak tanggung-tanggung, kau sudah dielu-elukan sebagai calon ketua OSIS berikutnya. Di mana ketegasan dan kepemimpinanmu dalam menindak pelanggaran yang Kiano buat?"

Oke siap. Belum waktunya Bintang berdialog. Tunggu. Kalau tidak salah ingat, sampai Alfis bercerita banyak hal soal papanya ... bukankah Bintang memang tidak punya dialog sebelum itu? Ruangan diisi sunyi sesaat. Kalimat penuh amarah yang terlontar dari mulut Alfis hanya dibalas Mat dengan memandangi Alfis lamat-lamat. Sontak saja, lagi-lagi Alfis memalingkan pandangan. Mat menimpali, "Tidak. Kau tidak bermaksud mengatakannya. Emosi itu tak kau tujukan padaku, bukan?"

Kini, Alfis kembali menatap Mat dengan nyalang dan kedua alis berkerut sempurna. Sherin malah menjerit dalam hati, kegirangan karena seakan tengah menonton live action dari cerita favoritnya di depan mata. Gila, live, Coi! Kayak cerita Wattpad yang diangkat jadi film, tetapi punya isi sama persis dengan versi Wattpad, dan yang pasti tidak mengecewakan! Kalau Sherin terjebak lebih lama di dunia ini ... apa Sherin bisa tahu alur MaFiKiBi Society hingga ending tanpa perlu membaca cerita berjumlah tiga puluh bab itu? Sherin menutup mulut, konsentrasi penuh mendengarkan dialog Alfis. "Apa-apaan maksudmu? Aku sudah menahan ini sedari awal. Kenapa kau tak juga becus menjalankan tugasmu?"

"Aku tahu semua itu hanya pelampiasan, Fis. Jika kau benar-benar marah, kau tak akan pernah melepaskan targetmu dari pandangan, meski sekadar untuk berkedip. Tapi, lihat? Kau malah berkali-kali memalingkan wajah sejak tadi."

Tangan Alfis mengepal kuat. Matanya kini bicara lain, semacam mati-matian menyembunyikan sorot sayu itu. Mat mengulas senyuman hangat. Betul! Siapa pun tahu, kalau Alfis enggak akan seniat itu, dengan kondisinya yang masih berseragam sekolah dan mendatangi Mat selarut ini, hanya untuk mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap sikap Mat yang dinilai terlalu tenang. Alfis memang terlihat berantakan sekali. Perilaku kasarnya yang sok kuat itu tak akan bisa menutupi segalanya. Baik Mat maupun Bintang tentu mengerti. Alfis sedang tidak baik-baik saja.

Mat menarik lengan Alfis untuk kembali duduk di atas karpet. Masih dengan senyuman yang terbingkai di kedua sudut bibirnya, Mat berucap, "Kau butuh tempat untuk pulang, 'kan? It's okay. Tell me. Tell me everything. I'll listen."

OMG, chef kiss! Ending bab yang mengharukan! Kalau saja tidak ingat situasi, Sherin pasti sudah bersorak seraya standing ovation untuk scene yang amat dramatis dari kedua sahabat itu. Ini adegan favorit Sherin dari sepuluh bab yang baru ia baca, tahu! Lega, deh! Walaupun kelupaan pisang goreng jadi variabel yang cukup meresahkan, Sherin senang karena alurnya berjalan sesuai dengan yang ia harapkan. Tidak melenceng! Sherin menghela napas lega hingga lubang hidungnya merekah sempurna.

Ah, habis ini ada scene Kiano yang berhasil taubat dari kesesatan. Timeline-nya ... besok, ya? Bab sembilan, pulang sekolah, di basecamp tercinta ini. Sherin enggak sabar! Besok bakalan jadi hari polusi suara sedunia karena Kiano bakalan nangis bombai dengan berjuta ke-alay-an dan ke-jamet-an. Haha! Meski begitu, Sherin teramat senang bisa dengar anak-anak MS cerita banyak hal soal keluh kesah dan segala resah tentang hidup. Soalnya, Sherin juga pengin didengarkan di dunia nyata. Emang susah, ya, minta telinga orang? Sherin juga tahu, kok, hidupnya bukan yang paling menyedihkan di dunia ini. Tapi apa ia benar-benar enggak pantas punya tempat untuk berbagi? Setidaknya, Sherin tak mau merasa sendiri.

Ya, Tuhan! Tubuh manusia saja tersusun atas 37.2 triliun sel yang terus bekerja setiap saatnya. Belum lagi memperkirakan jumlah total dengan adanya bakteri-bakteri yang menempel. Amboi, ramai sekali di dalam sana! Dengan banyaknya penghuni semesta berukuran mikro itu ... bagaimana mungkin hanya Sherin yang dibiarkan memeluk takdir dengan rasa kesendirian ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro