16. Organisme VS Populasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kalau lo enggak tau jawaban pasti soal apa yang mau lo perjuangkan ... berarti lo harus nyoba banyak hal! Nyoba sampai nemu di mana hidup lo sesungguhnya. Biologi, misalnya. Coba aja ikut-ikut bimbel atau belajar tambahan dari luar sekolah. Mana tahu jodoh, 'kan?"

Cukup malas mengakui, tetapi kenyataannya, Sherin memang kepikiran sama omongan Algis. Coba-coba, ya? Bimbel? Enggak ada salahnya, sih. Dipikir-pikir, keluar dari zona nyaman emang capek. Tapi berlama-lama stuck di titik yang sama malah lebih capek lagi, enggak, sih? Sherin emang nolep. Dia lebih senang asyik dengan dunianya sendiri. Tapi, tapi, tapi ... masa Sherin mau terus tertinggal kayak begini, sih?

Bukan ini yang Mama harapkan dari lo, Sherin.

Sherin sibuk perang batin. Beribu kalimat pembelaan diri ia lontarkan dalam hati. Namun, tak lama kemudian, berjuta kata 'tapi' juga ia lancarkan untuk bicara soal fakta di lapangan, alias realitas yang selama ini ia takuti.

Ya udahlah, ya. Hidup Sherin udah buluk sejak awal, kok. Nambah sedikit beban dan masalah dengan coba eksplor hal-hal baru tidak akan menjadi suatu hal berarti untuknya. Di saat Algis hendak kembali ke bangkunya karena merasa kondisi Sherin yang planga-plongo itu sudah tidak cukup kondusif untuk menerima khotbah darinya lagi, gerakan Algis terhenti karena lawan bicaranya itu tiba-tiba balas menatap Algis tanpa kedip. "Oke, deal! Gue mau coba di biologi."

Terjadi keheningan yang cukup panjang ketika Algis berusaha mencerna kalimat Sherin luar-dalam. Anak laki-laki iu mengangguk-angguk bagai Mbah Dukun yang habis mendiagnosis permasalahan kliennya, lalu memperbaiki posisi duduk seraya berdeham cukup keras. "Oke, ide Ananda saya acc. Bagaimana plan Ananda terkait putusan ini?"

Wadidaw! Algis lagi cosplay jadi Pak Tasdik, guru PPKn yang terkenal di seantero SMANDATAS dengan kata ganti 'Ananda' yang beliau gunakan kepada seluruh siswa? Sherin meneguk ludahnya susah payah, sama sekali tak siap dengan pertanyaan Algis kali ini. Atmosfer menegangkan mengudara di sekitar. Jemari Sherin pun sesekali tampak tremor bergetar-getar. "Plan ... plan saya ... eh." Kenapa gue jadi ikutan saya-sayaan? Sumpil! Sherin geleng-geleng, berniat membangun fokus kembali. "Gue mau coba ikut bimbel buat memperkuat materi IPA, belajar biologi lebih giat lagi ...."

"Interupsi, interupsi!" Belum selesai Sherin ngomong, Algis sudah memotong dengan suara menggelegar persis halilintar yang bikin Sherin syok berat dan refleks tutup telinga. "Plan ini lah, itu lah, ono lah, anu lah ... omong kosong! Talk less, do more. Biar apa lo pamer-pamer soal plan yang ujungnya enggak pernah lo realisasikan itu? Biarin! Yang penting adalah aksi!"

Lah, Kupret Kampret! Siapa yang tadi nanya-nanya soal plan, coba? Menjebak banget! Algis request biar bibirnya digilas Sherin pakai linggis? Atau sedikit digetok pakai kunci inggris? Atau lagi ... matanya mau dibasuh pakai kecap inggris? Sherin siap menganiaya Algis secara gratis! Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, paling Algis tahu-tahu sudah kritis.

Di saat Sherin masih menimang-nimang bentuk penyiksaan mana yang paling sesuai untuk pribadi Algis yang maha-miris ini, Algis sudah kembali menyerobot, "Tetot! Minus 20 poin! Lo mau coba seriusin biologi? Karena ujian bab satu udah lewat, berarti misi selanjutnya adalah tugas praktik kelompok. Apa kabar kelompok lo, hah? Ditilik dari gaya lo sebagai orang nolep nan introvert yang hobinya mojok dan menghindari interaksi sekecil apa pun dengan orang lain, lo pasti belum masuk kelompok sama sekali."

"Woy!" Sherin keberatan. Yang Algis bilang emang sesuai kenyataan, tapi minimal, ya, diperhalus sedikit bisa, lah, bahasanya! Omongan si Najis itu jahat banget, 'kan? Sherin jadi tenggelam, nih, gara-gara tsunami fakta!

"Kenapa? Enggak seneng? Kalau sadar, coba mulai introspeksi. Kalau enggak sadar, coba mulai sadar diri. Apa gue salah?"

"Enggak, Lord Algis. Enggak salah sama sekali. Gue yang salah karena udah jadi pribadi nolep nan introvert yang hobinya mojok dan menghindari interaksi sekecil apa pun dengan orang lain."

"Bagus!" Algis puas dengan tanggapan ogah-ogahan dari Sherin. "Sekarang apa?"

Sherin nge-lag. Bukannya Algis yang sedang menguasai podium alias berperan sebagai pembicara utama dalam khotbah siang ini? Kenapa malah Algis yang nanya Sherin? "Eu ... sekarang ... nunggu Pak Nizar dateng buat belajar Bahasa Indonesia?"

"Omong kosong macam apakah ini!"

Sherin nyaris terjengkang demi mendapati Algis teriak tepat di depan mukanya. Oh, jangan lupakan tiga-empat percikan hujan lokal yang merembes dari mulut itu. Kau tahu karakter Papa Zola di animasi BoBoiBoy? Nah! Menurut Sherin, Algis lagi cosplay jadi Papa Zola.

"Nunggu? Nunggu aja? Kebenaran ... tak pernah datang pada anak muda yang kerjanya hanya menunggu ...." Algis berkacak pinggang. "Sekarang, lo harus nyari kelompok buat tugas praktik biologi!"

Sherin panik. "Caranya?"

"Interaksi! Bangun komunikasi!" Algis mengguncang kedua bahu Sherin hingga anak perempuan itu merasa kliyengan. "Lo manusia, lo punya mulut, lo makhluk sosial, lo butuh orang lain, lo enggak bisa hidup sendiri. Inget, di dunia ini, lo hidup bareng manusia yang enggak bisa ngerti lo seutuhnya. Apakah itu problematika utamanya? Bukan! Lo dikasih kemampuan buat ngomong, menyuarakan apa yang lo mau. Bayangin! Lo udah ngomong aja seringkali masih ada salah paham ini-itu. Apalagi kalau lo diem aja? Gimana orang-orang bisa paham lo lagi butuh teman kelompok, kalau lo-nya aja enggak ngomong apa-apa? Mereka enggak bisa telepati maupun baca pikiran lo!"

Sumpil! Upil Dekil! Lagi-lagi, ginjal Sherin merasa tersentil. Gimanalah cara Sherin memulai komunikasi? Jumlah percakapan yang pernah dia lakukan dengan teman sekelas saja dapat dihitung jari dalam sehari. Itu pun Sherin yang selalu jadi pihak pasifnya. Entah sekadar jawab iya-tidak, ataupun balas sapaan dengan kaku. Membangun komunikasi? Sherin menghela napas panjang, persis seperti sedang mengejan di tengah kegiatan pengeluaran fesesnya yang rutin diselenggarakan setiap pagi. "Lupain. Gue mana bisa kayak gitu. Gue bukan pribadi yang asik, lo tahu? Gue lebih suka ngomong sama batu karena gue cukup sadar diri kalau manusia asli enggak ada yang berminat buat ngomong sama gue ataupun denger omongan gue."

"Nah, pikiran lo itu yang kurang ajar!" Algis melipat kedua tangan di depan dada. Sialannya, anak laki-laki itu malah berdiri, membuat Sherin terpaksa mendongakkan kepala dari posisinya yang sedang duduk. "Lo percaya, enggak, sama pernyataan kalau segala sesuatu itu tergantung mindset kita sendiri?"

Sherin mengerjapkan mata, membiarkan otaknya berjalan walau tak lebih cepat dari kura-kura. "Perca ...."

"Percaya enggak percaya, lo harus percaya!"

Et, dah! Kebiasaan banget! Algis ini niat nanya, atau sekadar ngetes kesabaran Sherin, sih? Selalu aja dipotong kayak bebek angsa di kuali! Sherin mau marah, tapi tampang serius Algis bikin Sherin memutuskan untuk menghemat stok emosinya saja, jangan sampai ditumpahkan kepada sosok tidak penting seperti Algis.

Anak laki-laki itu kembali angkat suara. "Kalau pikiran lo udah negatif duluan, bahkan sebelum lo menghadapi medan realitas sesungguhnya ... kemungkinan besar ketakutan lo malah beneran terjadi. Belajar, deh, buat berhenti mikir negatifnya aja sama orang-orang. Yah, dia kelihatannya jutek. Dia enggak mungkin dengerin gue. Gue enggak asik. Orang itu mana mau, sih, temenan sama gue? Tetot! Minus 25 poin! Pikiran lo itu yang bikin lo enggan membuka komunikasi sama orang lain, and here you are! Enggak ada yang mau temenan sama lo? Yakin? Bukan lo-nya yang terlalu maruk, halu soal temen yang bisa memenuhi kriteria lo dengan sempurna?"

Hah? Masa, sih? "Jangan ngarang! Gue enggak pernah selektif pilih-pilih orang yang bisa gue jadiin sebagai temen. Guenya aja yang udah sadar diri, kalau gue enggak pantas buat orang adopsi sebagai temen. Who am I? What can I do? Cantik enggak, asik enggak, pinter enggak ... well, manusia berteman buat memenuhi kebutuhan satu sama lain, 'kan? Then ... apa jawaban lo, kalau gue tanya ... apa yang bisa orang dapet dari gue? Kebegoan gue? Keburikan gue? Ke-freak-an gue?"

"Manusia emang berinteraksi satu sama lain atas dasar pemenuhan kebutuhan. Gue enggak ngelak soal itu. Tapi, lo tahu masalah dari mindset lo ada di mana?"

Algis sengaja betul membiarkan kesunyian menyergap keduanya untuk sekejap. Meski begitu, Sherin sudah belajar dari pengalaman. Dia tidak akan menanggapinya sama sekali. Paling bakal dipotong lagi!

Karena tak dapat respons apa-apa, Algis pun berdeham sekilas. "Lo terlalu membatasi lingkup pikiran lo sendiri. Cantik, asik, dan pinter. Lo cuma fokus sama tiga variabel itu. Padahal, enggak semua orang membatasi kualifikasi poin-poin abstrak seseorang buat dijadiin temen. Lo terlalu negatif sama orang, lo selalu menganggap orang-orang enggak akan pernah bisa menerima lo, padahal elo yang enggak pernah menerima diri lo sendiri. Gimana lo bisa ngasih afeksi ke orang-orang, kalau diri lo sendiri aja enggak pernah lo kasih afeksi?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro