24. Jaringan VS Sel Punca

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kalau Sherin disuruh menuliskan lima keajaiban paling dahsyat yang pernah terjadi dalam hidupnya, maka anak perempuan itu akan menyerahkan list berikut:

Pertama, Sherin dikasih kesempatan masuk ke dunia MaFiKiBi Society setiap kali ia terlelap. Dua, Mama enggak pernah sekali pun keceplosan ngusir Sherin yang jobdesc-nya cuma jadi beban selama ini. Tiga, Tuhan masih membiarkannya bernapas dan berpartisipasi dalam pertambahan angka kepadatan penduduk, padahal Sherin enggak punya nilai guna untuk masyarakat sama sekali. Keempat, seblak Abah yang MAMPUS alias MAntap saMPai USus bisa hadir di tengah dunia yang kejam ini. Lima, sekaligus keajaiban terakhir di hidup Sherin adalah ... Sherin dinyatakan resmi masuk kelompok biologi Hana!

Kaget, enggak? Kaget, enggak? Kaget aja, dong, biar seru! Sherin, sih, syok dikit sambil mangap sebesar kuda nil. Tongkat penyangga tubuhnya aja sampai nyaris tergelincir dari genggaman tangan. Lebay banget, emang! "Beneran?"

Anggukan singkat Hana bikin Sherin menahan napas takjub. "Iya, Sher. Lagian, kan, total murid XII MIPA-4 jadi enggak pas buat dibagi, sejak Adis pindah sekolah ke SMANSABA. Jadi, kalau dibagi enam kelompok ... pasti ada yang berlima, ada juga yang berenam. Karena member kita masih berlima dan yang lain pun kelihatannya enggak kurang dari itu ... jadi kayaknya enggak apa-apa, kamu masuk kelompok kita aja."

Penyampaian panjang Hana yang tampak antusias dan tak begitu mempermasalahkan kehadiran beban di timnya bikin Sherin refleks menyedot ingus penuh haru. "Kamu enggak akan nyesel, Na?"

"Eh, ya kenapa harus nyesel?" Tawa renyah meluncur mulus dari bibir Hana.

Amboi! Lihatlah wajah berseri itu! Rasanya, Sherin belum pernah dapat reaksi segitunya. Aduh! Kebaikan hati Hana sungguhan bikin Sherin salah tingkah dan spontan merasa punya peran spesial di muka bumi ini. Uhuk! Hati Hana memang mulia ... terima kasih, orang baik! Sherin tak bisa berkata apa pun selain menunduk berkali-kali, berterima kasih dalam senyap.

Yaaa, kalau dipikir dengan akal rasional, rasanya tindakan Hana memang logis, sih. Tidak ada yang perlu Hana khawatirkan dari keberadaan Sherin. Anak perempuan itu memanglah beban, tetapi nilai minusnya itu tidak perlu teramat diperhitungkan karena pengaruhnya amatlah kecil jika dibandingkan dengan kapasitas pemberdayaan otak Hana. Sherin berbuat kesalahan? Tenang. Hana pasti bisa memperbaikinya. Sherin enggak bisa jawab pertanyaan dari kelompok lain? Tenang. Hana pasti bisa ngasih back-up biar kelompok mereka enggak kecolongan nilai. Sherin enggak bisa berkontribusi apa-apa? Tenang. Hana bisa mengurusi segalanya sendiri.

Waduh. Terdengar agak tidak tahu diri, sih, ya. Tapi itulah kenyataannya, kenyataan bahwa keberadaan Sherin tidak akan punya peran yang besar dalam memengaruhi performa Hana yang selalu sempurna. Ibaratnya gini, Wir. Lo sekelompok sama Hana, lo punya kuasa!

Tapi, tapi, tapi, lagi-lagi tapi, ya ... Sherin tetap punya harga diri, dong. Kalau memang kenyataannya dia enggak guna, minimal jangan terlalu mencolok, lah, ya. Tanya-tanya aja dulu. Formalitas sedikit. Sherin berdeham panjang, berusaha menarik atensi Hana yang saat ini sedang asyik mengeluarkan alat tulis dan membenahi mejanya demi kondusifitas belajar. Sherin menginterupsi, "Uhm, Hana? Tugas aku berarti ngapain aja, ya?"

"Oh, iya. Lupa." Betul! Seratus buat Hana! Berdasarkan pengalaman dua tahun menjalani kehidupan sekolah di habitat kelas yang sama, setiap warga XII MIPA-4 pun pasti tak terlalu memusingkan tugas-tugas yang diserahkan pada sosok Sherin. Enggak bisa diharapkan, gitu. Emang baiknya dilupain aja. Hana menatap Sherin dengan senyuman yang masih terkembang lebar. "Nanti deh, ya. Pulang les nanti, aku coba add kamu ke grup kelompok dulu, Sher. Kita diskusiin dan bagi-bagi tugas lagi di sana. Oke?"

Sherin mesem-mesem baper enggak jelas. "Oke, deh, Na! Makasih banyak, ya!"

Detik berikutnya, Sherin hendak kembali ke bangku dan memamerkan hasil eksperimennya yang lancar jaya pada sang mentor. Eh, parahnya, si Najis Algis itu udah enggak kelihatan dari pandangan mata. Gila, emang! Padahal bel masuk baru aja bunyi. Habis menceramahi Sherin bolak-balik soal intrik-intrik berteman dan berinteraksi ... anak laki-laki itu malah kabur gitu aja? Enggak punya kerjaan banget! Bisa-bisanya Sherin berguru pada makhluk sejenis itu?

Meski cukup sebal karena tak bisa langsung menyombongkan diri setelah dapat kelompok yang ketuanya seelit Hana, Sherin tetap tidak kehilangan alasan untuk cengengesan di bangkunya sendiri. Kealpaan Algis dari dunianya tidak lantas bikin Sherin mendung dan bersusah hati. Harinya sudah cerah karena dapat penerimaan dari Hana!

Ya ... lagian, siapa, sih, yang enggak akan senang sekelompok sama Hana? Setidaknya, seminimum-minimumnya, nilai praktik biologi dijamin lolos KKM, deh! Belum lagi kalau Sherin bisa aktif lebih banyak. Enggak ada alasan buat mengeluh ... jawaban positif Hana sudah lebih dari cukup buat menerangi sisa hari Sherin!

"Hana!"

"Na!"

"Oy, Na!"

"Semangat, Hana!"

Perhatian Sherin tersita oleh keributan yang terjadi di bingkai pintu kelas XII MIPA-4. Kalau tak salah ingat, manusia-manusia sumber kegaduhan itu temannya Hana yang dari kelas sebelah. Oh, lihatlah! Keempatnya rempong sekali melayangkan flying kiss dan love sign yang segitu brutalnya untuk menyemangati Hana. Bjir, dalam rangka apa, nih? Emang boleh punya teman selucu ini? Emang boleh punya support system se-uwu ini? Boleh-boleh aja, sih ... tapi Sherin juga mau, tahu!

Baru berniat iri hati bertabur kemilau-kemilau dengki, Sherin segera sadar bahwa dirinya bukanlah Hana. Apa boleh buat? Dengan segala nilai gunanya yang berada di atas standar umat manusia, Hana jelas dikenal banyak orang. Akademik? Masuk ranking paralel. Praktik olahraga? Masih aman karena pola hidupnya begitu terjaga. Tingkat kecantikan? Enggak usah ditanya. Kepribadian? Supel banget! Orang-orang enggak akan ragu, deh, buat menjaring pertemanan yang sehat dengan seorang Hana Nathania. Makanya, Sherin juga langsung membidik Hana sebagai target pertama.

Dengan segala kelebihannya yang menyilaukan itu, Hana udah kayak sebuah bintang yang luminositasnya enggak main-main. Terang banget! Selagi Sherin mengekori Hana sampai jam sekolah berakhir dan dilanjut dengan les yang menempatkan keduanya pada kelas yang juga sama ... Sherin merasa cuma jadi bayangan Hana sedari tadi. Hm, apa, ya, istilah cocoknya? Bayangan? Dayang-dayang? Bodyguard? Kurcaci kerdil?

Apa pun itu, bersisian dengan Hana membuat Sherin tampak kebanting oleh segala pesona dan daya tarik yang Hana miliki. Bahkan ketika jam pulang les sekalipun, orang-orang tiada henti bercakap seru dengan Hana. Satu-dua-tiga berpamitan. Empat-lima-enam menanyakan materi yang belum dipahami. Tujuh-delapan-sembilan berpamitan sekaligus membekali Hana dengan kalimat 'hati-hati'. Keren banget! Sherin mana bisa relate, sih, sama situasi yang membutuhkan banyak energi kayak begitu?

Setelah menjalani seharian penuh dengan Hana—yang kalau direkam menjadi a day in my life versi Sherin, frame-nya pasti dikuasai Hana seorang—Sherin akhirnya menemukan analogi yang cocok untuk disematkan pada seorang Hana: sel punca, sel yang belum terdiferensiasi dan mampu meregenerasi dirinya sendiri untuk berkembang jadi berbagai jenis sel yang membentuk bermacam-macam jaringan tubuh.

Betul! Hana emang multitalenan banget!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro