26. Endorfin VS Norepinefrin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pencitraan. Itulah misi yang sedang Sherin emban saat ini. Pencitraan apa? Oh, tentu bukan menjaga citra diri sebagai setan, melainkan membangun image sebagai anggota kelompok yang baik dan benar untuk warga Biologiwan. Caranya? Entahlah. Sherin juga bingung. Yang pasti, Sherin semangat sekali bangkit dari kasurnya setelah Hana mengirimkan progres file PPT yang sudah mereka buat sebelum Sherin join. Tinggal diisi sama hasil penelitian dan dokumentasi praktiknya nanti.

Kaget? Jelas, dong! Sejujurnya, Sherin juga mau heran kenapa pengerjaan tugas bisa gercep begitu, tapi sadar kalau kelompok ini disetir kepentingan partai, eh salah, maksudnya disetir seorang Hana yang anti-deadliners. Gila, 'kan? Iyalah! Tumben banget Sherin enggak masuk kelompok sisa!

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir ... selama ini, Hana enggak pernah menutup diri atau menetapkan standar kualifikasi teman sekelompoknya, sih. Yang mau bareng, ya ayo aja. Yang mau sekelompok sama dia, ya digas aja. Jadi, sedari awal ... Sherin bisa-bisa aja, tuh, minta buat join kelompok Hana. Sayangnya, Sherin versi dulu mana berani! Udah keburu sadar diri kalau posisinya emang ditakdirkan buat bareng kelompok yang isinya orang-orang setipe semua. Kalau enggak wibu yang suka molor di jam pelajaran, ya, dapatnya sesama nolep. Gimana mau maju, coba?

Sherin menggeleng cepat, berusaha mengusir segala pemikiran ribet yang enggak semestinya dipikirkan. Ya udahlah, ya. Itu dirinya yang dulu, yang masih betah dengan jabatannya sebagai ampas-ampas kelas. Sekarang? Sorry, deh. Enggak dulu. Sherin mau membenahi diri biar bisa jadi orang keren yang punya percaya diri dan menonjol di akademik! Overoptimistic? Bodo amat. Kata Algis, apa-apa itu trabasin dulu aja. Percaya dulu, positif dulu. Kalau enggak sesuai ekspektasi, ya udah. Kecewa dikit enggak ngaruh!

Dengan semangat menggebu seolah tak ada lagi hari esok, Sherin keluar kamar untuk menggeledah seisi dapur. Ulekan, ulekan, ulekan ... oh, ini! Cangkang telur ... idih. Apa perlu Sherin bongkar tempat sampah? Persis ketika anak perempuan itu tampak melamuni tong sampah dengan tampang mengenaskan, Mama pulang dari rumah sakit. Wanita berusia menjelang kepala empat itu terheran sejenak mendapati penampakan putrinya yang kelihatan tertekan. Saking beratnya beban pressure yang tengah ia hadapi, Sherin sampai tak menyadari kedatangan mamanya.

"Lagi apa, Rin? Kok, ngernyit-ngernyit depan tong sampah? Lagi ngabsen sampah dapur, apa gimana?"

Perlahan, seiring kesadarannya yang mulai kembali, kerutan di kening Sherin jadi memudar. Kedua manik cokelat terangnya menyorotkan binar antusias menyambut kepulangan sang ibu. "Eh, Mama!" Tak lagi peduli dengan tempat sampah yang sedang ia cermati, Sherin langsung memangkas jarak dengan Mama. "Ma, Ma, Ma. Besok Sherin ada tugas praktik biologi, nih, tentang materi pertumbuhan dan perkembangan. Kelompok Sherin mau meneliti pupuk cangkang telur gitu, Ma. Mama punya cangkang telur yang buaaanyak enggak, ya? Mau Sherin minta. Hehe. Di tempat sampah ini ada enggak, Ma?"

"Wow! Bagus itu. Pupuk cangkang telur emang bagus buat tumbuhan." Demi mendapati semangat putri sematawayangnya, segala lelah Mama jadi sirna begitu saja. Senyuman lebar menghiasi kedua sudut bibirnya. "Di tempat sampah itu ada, deh, Rin. Tadi pagi, kan, Mama masak nasi goreng telur ceplok kayak biasa. Nanti kita sama-sama bongkar tong sampah biar sekalian dibuang, ya. Mama mau ganti baju dulu."

Ya ampun, kenapa suasana hari ini terasa cerah sekali! Atmosfer bumi lagi menyerap banyak cahaya dari banyak bintang di seluruh alam semesta, apa gimana, nih? Sherin nyengir tak kalah lebar dari mamanya. "Oke, sip. Aman, Ma! Makasih, ya!"

"Eh, eh. Mama ada tugas buat kamu, tapi, Rin."

Weladalah! Tugas apaan, nih? Nyapu? Ngepel? Masak? Cuci piring? Angkat jemuran? Lho ... Mama enggak pernah minta Sherin melakukan pekerjaan rumah, sebelumnya. Beliau bilang, sih, tugas utama Sherin adalah belajar. Pekerjaan rumah masih bisa di-handle Mama atau Mbak Mirah yang terkadang datang membantu. Sherin garuk-garuk pelipis, penasaran brutal. "Tugas apa, Ma?"

Keheningan sengaja Mama ciptakan untuk sejenak sebagai upaya mendramatisir keadaan. Bercanda! Melihat putrinya kebingungan begitu selalu menjadi hiburan tersendiri buat Mama. "Tugasnya ... refleksi les hari pertama!"

Sherin malah tambah nge-lag ketika Mama cekikikan. "Eh? Refleksi? Diketik A4? Ditulis tangan? Di buku tulis, folio, atau ...."

"Ih, ih. Sherin serius amat." Mama tertawa renyah hingga matanya refleks menyipit dan tersisa segaris saja. "Enggak gitu, dong! Refleksinya cukup kesan-pesan aja. Secara lisan, ya. Langsung sampaikan aja ke Mama. Gimana? Seru? Pembelajarannya oke, enggak? Sistemnya? Atmosfer belajarnya? Sherin nyaman, enggak? Atau ada suatu kendala? Kekurangan bimbelnya, barangkali? Hal yang perlu ditingkatkan atau bahkan diperbaiki dari cara belajarnya? Tutornya? Temannya? Kurikulumnya?"

Eh, demi apa! Teror pertanyaan Mama jauh lebih dahsyat dibandingkan soal-soal matematika yang beranak-pinak itu. Lho, lho ... kok Sherin malah jadi keinget sewotnya si Najis Algis, ya? Kok, bisa sampai mirip Mama? Jangan-jangan, Algis dan Sherin sebenarnya adalah bayi yang tertukar di rumah sakit? Mau dikembalikan, tapi kebaikan hati Mama yang siap menerima minus-minusnya Sherin bikin beliau mantap membesarkan Sherin seperti anak sendiri? Eh, tapi kalau disuruh memilih antara Algis dan Sherin, ya ... sama-sama beban, enggak, sih? Dilihat dari sudut mana pun, enggak ada mending-mendingnya!

Aduh! Malah merembet ke sana-sini. Fokus, Sherin. Fokus! Ingat kata Algis, harus jadi pribadi yang responsif. Butuh pembiasaan! Biarlah Sherin latihan membiasakan ajaran sesat Algis tersebut kepada mamanya terlebih dahulu. Ekhem! "Oke-oke aja, kok, Ma. Aman! Tutornya seru, temannya juga baik-baik, bikin atmosfer belajarnya jadi nyaman."

Oh, wow! Mama tersenyum lega mendengarnya. Sherin jadi bangga sendiri karena sudah melontarkan jawaban yang teramat membahagiakan Mama. Keren banget, kan, pemilihan diksi Sherin barusan? Beberapa saat kemudian, Mama naik ke lantai atas untuk berganti pakaian. Tersisalah Sherin seorang diri di dapur. Daripada pegal berdiri, Sherin memutuskan menunggu Mama sembari duduk di hadapan meja makan dengan kaki yang diayun-ayun penuh gembira. Tak lama kemudian, atensi Sherin teralihkan pada notifikasi yang masuk di ponselnya.

Algis Najis: Bjir! Lo sekelompok sama gue?

Lah, iya. Sherin mengecek ulang daftar partisipan di grup Biologiwan. Iya, ternyata. Sherin baru notice itu.

King Nolep: Kenapa emang? Enggak seneng? Jangan kepedean! Gue, kan, udah bilang kalau Hana itu target pertama gue. Suruh siapa malah masuk kelompok Hana, lo?

Sherin jadi sensi. Idih! Malas juga kalau sekelompok sama si Najis yang enggak punya hati dan hobinya roasting sana-sini tanpa merasa berdosa. Selain itu, kurikulum misi #2023SherinEnggakNolepLagi akan semakin gencar digembor-gemborkan Algis. Hadeuh! Harinya enggak bisa tenang sedikit pun, dong, kalau kayak gini. Sherin membaca pesan balasan Algis dengan masygul.

Algis Najis: Baperan amat. Ya udah, sih! Gue cuma mau bilang, kalau ujung-ujungnya sekelompok sama gue, lo bisa tinggal bilang ke gue aja, enggak perlu PDKT ke Hana. Tapi enggak apa-apa! Baguslah. Ada usaha buat bilang ke Hana, gue kasih 15 poin. Besok coba bangun interaksi sama yang lain lagi, ya. Jangan Hana terus.

Sherin yang udah niat nimpuk Algis secara online, kini mendadak mengurungkan niatnya seketika. Hm ... kalau dipikir-pikir dengan otaknya yang mungil ini ... mungkin proses berinteraksi dengan orang lain ternyata emang enggak seburuk itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro