43. Amigdala VS Adrenalin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Wait, wait. Hold on. Lo berutang banyak penjelasan buat gue. Gue tahu dan cukup sadar diri atas minimnya kapasitas otak gue sendiri, jadi, please ... beri gue beberapa waktu untuk memproses segalanya." Sherin mengangkat tangan lebar-lebar, berusaha merentang jarak dengan helm yang sudah disodorkan Algis tak sabaran sedari tadi. Hujan sudah berhenti, menyisakan jejak-jejak genangan di permukaan jalan. "Is it really Mama? Dari mana Mama punya kontak lo? Kenapa Mama telepon elo? Ngapain Mama telepon lo? Sejak kapan kalian berinteraksi kayak begitu? Is it a normal thing ... kalau Mama menghubungi elo kayak tadi? How come? Since when? Kalian bahkan belum pernah saling mengenal! Atau jangan-jangan ...."

"Sher," tegur Algis. Tangannya udah kesemutan, nih! Apa salahnya, sih, terima dulu helm yang disodorkan Algis, baru lanjut mengoceh? Karena enggak niat jalan bareng beban kayak Sherin hari ini, Algis sebetulnya cuma bawa satu helm, tahu. Dan itu dia persembahkan baik-baik untuk dipakai Sherin. Biar keselamatan anak itu lebih terjamin. Algis kurang baik apa lagi, sih? Masa ketahanan tangan dan kesabarannya masih harus diuji? "Pakai dulu helmnya, nih."

"Jangan-jangan ...." Sherin enggak peduli. Matanya memicing tajam. "Jangan-jangan, gue selama ini emang bukan anak tunggal. Mama punya anak-anak yang lain? Kalau elo juga anak Mama, berarti ... oh, wow! Berarti sepaket sama Gisa juga. Kok gue enggak pernah dikasih tahu? Lo selama ini nyembunyiin fakta bahwa ...."

Algis berdecak, kemudian langsung mengenakan helm putihnya di kepala Sherin tanpa permisi. "Gini, nih, kalau dugong keasikan ngomong sendiri ... mulut enggak bisa direm, tapi otaknya jadi ketinggalan." Setelah memasangkan helm dengan baik dan benar, Algis mengetuk-ngetuk kepala Sherin yang terhalangi helm dengan kekuatan cukup besar. "Gue anaknya Mamah Heni, kok. Riil seratus persen."

Sherin cukup cengo ketika tubuhnya akhirnya menurut untuk menaiki sepeda motor Algis dan duduk di jok belakang. Begitu Algis menyalakan mesin sepeda motor, Sherin baru kembali angkat suara. "Oh, iya, aman. Mama namanya Yeni, soalnya. Beda, ya." Terjadi senyap yang cukup panjang. Sherin yang tadinya masih nge-lag pun seketika sadar duluan. "Lho, kenapa kita enggak maju-maju?"

"Sherin."

Kenapa si Najis mendadak pasang muka serius begitu? Sherin mengerjap cepat. Tangannya memperbaiki posisi anak rambut yang terkena angin hingga mencolok mata. "Apa?"

"Capek, ya."

"Hah?"

"Pasti elo kesusahan, kan, melalui hari-hari kayak begini?"

Sherin terdiam. Karena lawan bicaranya tak menoleh sama sekali, Sherin hanya mendengarkan sembari melirik spion yang hanya memantulkan bayangan rahang algis hingga pinggang. Sherin tak bisa melihat netra hitam kelam itu.

"Gue rela, deh ... kalau elo mau benci gue karena gue yang selama ini menuntut lo buat membangun banyak relasi, menjalin pertemanan ... yang pada akhirnya, malah bikin lo kecewa, bikin lo sakit hati. Enggak bisa gue pungkiri, berhubungan sama manusia emang selalu banyak sakitnya." Algis tampak menipiskan bibir. "Tapi gue harap, lo enggak akan kapok, Sher. Gue pengen lo yakin, kalau saat ini, lo cuma menemukan orang yang salah di situasi yang salah. Gue sendiri pun ... gue pribadi pengen bisa jadi temen yang baik. Gue mau berusaha memperbaiki kesalahan gue, tapi please, gue mohon ... jangan kapok, ya? Jangan kapok buat berteman."

Eh, apaan, nih? Sherin nge-blank. "Kok gitu? Gue enggak nyalahin lo, tahu. Gue aja enggak kepikiran sampe sana. Algis ... lo barusan overthinking, ya?" Sherin mendadak tergelak. "Haha! Seorang Algis yang biasanya overthinking karena bingung harus overthinking-in apa, sekarang justru overthinking gara-gara gue. Lo emang rese, sih! Udah tahu manusia itu makhluk paling berisiko buat bikin kita sakit hati, tapi lo malah nyuruh gue banyak berinteraksi sama manusia-manusia spesifikasi monster itu."

Algis mendengkus singkat.

Sherin menahan terbitnya senyuman. "Tapi enggak apa-apa ... seru juga, kok. Namanya juga manusia. Wajar kalau banyak mengecewakan. Iya, enggak? Gue juga banyak mengecewakan Mama, soalnya. Ehe! Imbas, lah." Senyuman Sherin tambah lebar ketika ia menyadari cermin spion memantulkan bayangan kedua sudut bibir Algis yang juga tertarik ke atas. "Jadi jalan, enggak, nih? Katanya gue dicariin Mama?"

[ Mikroba • Makrofag ]

"Sherin!"

Suara parau menyambut Sherin yang baru saja turun dari sepeda motor Algis. Setelah mengangguk penuh hormat, Algis izin pamit undur diri untuk mengambilkan barang-barang Sherin yang tertinggal di kelas XII MIPA-4. Sherin langsung ditarik Mama ke dalam pelukan. "Mama? Enggak kerja, Ma? Uhm, anu ...."

"Tadi Bu Rika telepon Mama, menanyakan keadaan kamu. Katanya, kamu enggak masuk kelas lagi setelah jam istirahat pertama."

Mampus! Bu Rika yang lapor? Jangan bilang, perkara contek-menyontek juga sudah sampai ke telinga Mama? Napas Sherin menderu. Rengkuhan Mama memang menghadirkan kehangatan, tetapi sesal dan sesak memenuhi rongga dada Sherin. Raganya masih berpaku di tempat, tak sanggup walau sekadar membalas pelukan Mama. "Ma ... maafin Sherin! Beneran, deh. Sherin enggak berniat ngelakuin itu. Sherin juga enggak mau bolos kayak gini, Ma. Sherin ... Sherin mau ...."

"Mama minta maaf, ya, Nak ... Mama betul-betul minta maaf."

Tangis Mama pecah, sukses mendahului Sherin yang memang menahan stok air matanya untuk tumpah. Lho? Kenapa malah Mama yang minta maaf? Mama segitu kecewanya, ya, sampai menangis tersedu kayak begini? Penyesalan Sherin berganti dengan tanda tanya yang menguasai.

"Mama khawatir sekali, Sherin ... Bu Rika bilang kamu menghilang sejak jam istirahat pertama, ponselmu juga tidak bisa dihubungi."

Mama melepas pelukan eratnya. Seketika, Sherin menyadari keberadaan botol berisi obat dan buku bertema London di genggaman Mama. Ah ... jantung Sherin serasa mencelos. Mama udah tahu, ya? Sherin mengeluarkan nada sumbangnya. "Ma, maafin Sherin. Sherin ... sungguhan enggak bermaksud buat ...."

"Mama enggak mau membebani kamu lagi, Sherin." Mama membelai wajah Sherin, kemudian turun ke pundak. Setiap sentuhannya sarat akan kasih sayang dan kelembutan. "Ah, maaf juga, Sherin ... Mama sudah membaca privasimu di sini, tapi Mama bersyukur karena Mama jadi bisa melihat sudut pandang kamu. Kekosongan dunia yang kamu miliki, hampanya mimpi yang kamu genggam setiap hari ...." Mama berusaha tersenyum di antara isak tangisnya. Sekelebat, kembali terbayang tulisan putri sematawayangnya di halaman buku diari itu.

Aku pengen bisa jadi dokter seperti yang Mama mau.

"Sherin ... tolong dengar Mama. Kamu bisa menentukan jalanmu sendiri. Kamu bisa memilih mimpi yang ingin kamu perjuangkan. Ya? Enggak usah jadi dokter. Enggak usah jadi dokter, Sherin ...."

Tapi aku bodoh, Ma. Nilaiku jeblok semua. Ranking pun selalu dapat yang bawah-bawah.

"Mama juga enggak masalah kalau kamu mau gagal berkali-kali. Mama enggak masalah kalau nilai dan peringkatmu enggak sebagus orang lain."

Ma ... gimana kalau aku enggak bisa jadi apa-apa?

"Semuanya baik-baik aja, Sherin. Enggak apa-apa. Kehadiranmu di dunia ini, nemenin Mama, juga udah lebih dari cukup. Kamu enggak perlu bersaing dan memaksakan diri buat jadi orang hebat, jadi orang yang dikenal seisi dunia ... toh, kamu sudah jadi nomor satu buat Mama. Standar kesuksesan manusia selamanya enggak akan pernah ada apa-apanya dibanding kebahagiaan kamu, Nak ...."

"Mama ...." Pertahanan Sherin sempurna luluh-lantah. Anak perempuan itu membenamkan wajahnya di bahu rapuh sang ibu. "Makasih banyak. Makasih karena enggak pernah nyerah sama Sherin. Enggak apa-apa, Ma. Sherin juga bisa, kok."

Sebagaimana Algis yang bahagia memperjuangkan mimpinya untuk mewujudkan impian Gisa ....

"Sherin juga bahagia." Definisi kebahagiaan enggak sesempit itu, 'kan? Bukan lagi soal 'mimpi milik siapa', tetapi tentang apa yang membuat Sherin bahagia, sesuatu yang memang ingin coba Sherin perjuangkan di setiap hari-hari hidupnya. "Sherin juga bahagia, kok, mengejar impian Mama. Jadi, izinkan Sherin sekali lagi, ya, Ma ...."

Dulu, Sherin memang masih meragukan dirinya sendiri. Tapi sekarang ... perkembangannya sudah terlihat, kok. Sherin sudah jauh-jauh-jauh lebih berkembang. Sampai-sampai, Bu Rika aja enggak percaya melihatnya.

"Izinkan Sherin buat berjuang jadi dokter, sekali lagi, ya, Ma?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro