06. Bertingkah Manis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana kantin mulai tampak sepi. Beberapa murid yang sudah mengisi perutnya, beralih untuk menghabiskan waktu istirahat di tempat lain. Saat ini hanya ada Daniel, Risya dan Irina yang tersisa untuk duduk di meja kantin.

Ketika Daniel dan Risya asik berbincang, Irina hanya sibuk memakan nasi goreng yang Daniel pesankan untuknya. Sudah menjadi kebiasaan mereka, mengorbankan satu orang untuk berdesakan di meja penjual.  Hari ini, adalah giliran Daniel yang harus berjuang memesankan makanan untuk semua temannya.

Selang beberapa menit, Irina terlihat sedikit gusar setelah menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. Daniel yang menyadari hal itu segera bertanya pada Irina, "Rin, lo kenapa?"

"Kayaknya, alergi gue kambuh deh," jawab Irina dengan menggaruk beberapa anggota tubuhnya.

"Hah? Emang lo ada alergi apa?" tanya Risya yang mulai panik.

"Seafood," jawab Irina singkat.

Daniel segera mengecek nasi goreng milik Risya yang memang sengaja ia pesankan menu yang sama dengan Irina, dan benar! Ia menemukan potongan udang di dalam nasi goreng itu.

"Kita ke UKS sekarang," ucap Daniel lalu segera membantu Irina untuk berdiri.

Daniel dan juga Risya tampak sibuk membantu Irina untuk berjalan ke UKS. Setibanya di sana, Risya segera menuntun Irina untuk berbaring. Daniel yang tidak tinggal diam meminta bantuan pada petugas untuk memberi obat pada Irina.

***

Terik matahari jam sebelas siang membuat Irina semakin pusing. Ia ingin segera pulang dan istirahat. Namun, permintaan Daniel membuatnya bertahan di sini.

Ketika memberikan surat izin untuk Irina, Daniel meminta gadis itu untuk menunggunya di gerbang. Irina yang sudah merasa lemas akibat alerginya, hanya meng-iyakan ucapan pria bergigi kelinci itu.

Hampir lima belas menit Irina menunggu, tetapi Daniel belum juga menampakkan diri—membuat Irina hampir menyerah—dan berjalan ke jalan besar untuk menunggu taksi.

Irina baru berjalan beberapa langkah. Tiba-tiba ada seorang pengendara motor dengan helm tertutup, sedang melaju dari arah parkiran menuju gerbang. Ia berhenti tepat di depan Irina.

Irina terdiam sesaat. Namun, gadis itu menjadi bingung ketika pengendara motor tersebut menyodorkan helm padanya. Ia memperhatikan orang itu dari atas sampai bawah dengan tangan bergetar.

Irina kenal motor ini, motor yang mengantarnya pulang malam itu. Namun, bukan Daniel orangnya. Jika bukan Daniel, berarti orang ini adalah ...

"Kak Dimas? Kakak ngapain di sini?" tanya Irina pada cowok di hadapannya.

"Lo mau pakai sendiri, apa perlu gue yang pakein?" Merasa kesal helmnya tak juga diterima, Dimas menggoyangkan helm di depan wajah Irina. Seketika Irina langsung merebut helm dari tangan cowok itu dan segera memakainya sendiri.

"Perlu digendong juga untuk naik?"

Irina menggelengkan kepalanya dan segera menaiki motor Dimas. Meski di kepalanya muncul berbagai pertanyaan, ia hanya bisa menahannya. Karena untuk saat ini, kesehatan jantungnya lebih utama dari pada rasa penasaran itu.

***

Dalam perjalanan kali ini, masih ada sedikit rasa canggung di antara keduanya. Ini sangat menyiksa, bagi Irina yang merasakan alerginya. Ditambah debar jantungnya yang semakin gila saat bersama Dimas.

"Kakak, kok bisa keluar pas jam pelajaran?" tanyanya pada saat lampu trafic menunjukkan warna merah.

"Iya, tadi izin sama guru piket," jawab Dimas datar.

"Kenapa izin?" tanya Irina lagi, kali ini dengan sedikit memajukan kepalanya karena pendengarannya sedikit terganggu akibat penggunaan helm di tengah padatnya lalu lintas.

"Males. Abis ini pelajaran Kimia, bikin pusing."

Irina segera memundurkan kembali kepalanya setelah menyadari jika kini jarak mereka terlalu dekat. Ia hanya menganggukkan kepalanya seolah percaya dengan ucapan Dimas.

Bohong! Waktu di toko buku malah asik baca buku kimia!

tentu saja Irina hanya berani berbicara dalam hati. Karena jika mengatakannya secara langsung, Dimas akan tahu jika selama ini ia memperhatikannya. Selanjutnya, hanya suara kendaraan yang dipadu dengan keramaian jalanan ibu kota menemani perjalanan mereka. Baik Irina maupun Dimas, tidak ada yang berbicara. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing.

***

Sampai di depan rumah Irina, gadis itu melepas helmnya dan mengembalikannya pada si pemilik.

"Makasih, Kak."

Dimas hanya meganggukkan kepalanya. Namun, saat hendak melajukan motornya, cowok itu melihat Irina tampak kesakitan dengan memegang perutnya. Melihat hal itu, sontak Dimas membatalkan niatnya untuk pergi. Ia menghampiri gadis itu.

"Lo gak apa-apa?" tanyanya pada Irina yang berbalik menatapnya.

"Gak apa-apa, kok. Perutku agak sakit aja, tadi makan nasi gorengnya kepedesan," Irina menjawab dengan sedikit meringis kesakitan.

"Ck, ceroboh banget sih!" ucapnya seraya memalingkan pandangannya.

"Hah?" Irina tampak mengerutkan kening juga mulut yang terbuka lebar.

"Udah tahu ada alergi dan gak kuat makan pedes, tapi malah makan sembarangan!" jawabnya dengan nada kesal.

"Ahh, ituu ...." 

kok, dia tahu? 

Irina hanya menundukkan kepalanya. Gadis itu tidak ada alasan untuk membantah pernyataan Dimas.

"Ya udah, sekarang mau ke dokter aja atau gimana?"

"Ehh, nggak usah, Kak! kan tadi udah minum obat, jadi sebentar lagi juga sembuh kok," jawab Irina buru-buru.

"Ya udah, sekarang masuk, terus makan dan istirahat."

Irina hanya menganggukkan kepala dan mengucapkan terimakasih, lalu mengambil kunci rumah dari dalam tasnya.

"Di rumah gak ada orang?" tanya Dimas, melihat Irina yang membuka pintu dengan kunci di tangannya.

Irina mengangguk perlahan. "Biasanya, jam segini Mama pergi, dan Adik aku belum pulang sekolah."

"Lo gak apa-apa di rumah sendirian?" tanya Dimas dengan nada khawatir.

"Nggak kok, Kak," Irina menjawab dengan sedikit canggung.

"Ohh, ya udah kalau gitu gue pulang, ya?"

Irina hanya menganggukkan kepala, lalu berkata, "Makasih yah, Kak. Hati-hati!"

***

Sudah tiga puluh menit sejak Irina pulang. Rumah terasa sepi karena tidak ada orang. Ia lapar, karena tadi belum sempat makan apapun, selain nasi goreng yang membuatnya kesakitan dan harus pulang ke rumah.

Irina bermaksud untuk turun ke dapur dan mencari makanan. Karena perutnya harus diisi jika tidak ingin lemas seperti ini terus. Saat ia sudah menuruni anak tangga terakhir,  terdengar suara pintu rumahnya diketuk.

Irina melangkah ke depan untuk membukakan pintu. Ia berpikir jika itu Kenny yang tida bisa masuk. Hal itu karena Irina yang lupa mencabut kunci setelah masuk tadi.

"Selamat siang, dengan mbak Irina?"

"Iya, saya sendiri! kenapa ya, Mas?" tanya Irina bingung, karena dugaanya salah.

Bukan Kenny yang mengetuk. Melainkan kurir pengantar makanan. Pria itu membawakan sekotak bubur dengan topping lengkap yang terpisah.

"Tapi, saya nggak pesan makanan loh, Mas?" Irina berusaha menolak kiriman makanan itu.

"Tapi, di sini ditulis pesanan atas nama Irina, mbaknya Irina, kan?" Kurir tersebut berusaha meyakinkan Irina.

"I-iya sih, tapi kan ...."

"Ya udah, Mbak. Tugas saya cuma nganterin aja dan ini udah dibayar kok. Jadi, terima aja ya."

"Hah? O-oke deh, makasih ya, Mas!"

Akhirnya Irina menerima kiriman itu. Ia segera membuka kotak bubur tersebut, setelah kurir itu pergi dari sana. Matanya melebar saat menemukan sticky note berwarna kuning yang bertuliskan:

"Get Well Soon!"

Irina tampak berpikir, ia baru saja pindah ke rumah ini belum lama. Tidak ada yang tahu alamat rumahnya. Kemudian, ia sakit hanya beberapa jam yang lalu dan hanya diketahui oleh Daniel, Risya, penjaga UKS, guru piket, penjaga gerbang, dan ...

Kak Dimas?

Seketika wajahnya memanas. Debaran jantungnya meningkat lebih cepat. Senyum manis sedikit terukir di wajah cantiknya.

Hanya sepuluh detik. Setelah itu Irina merubah ekspresi wajahnya. Ia menunduk dan kehilangan selera makan.

Dia kan, udah punya cewek, tapi kenapa harus bertingkah manis gini ke cewek lain juga?

Tbc...

terimakasih sudah baca💜

Edited: 24 Desember 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro