25. Fakta Lain(2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pak Ridwan masih terdiam dengan tangan yang terus bergerak gelisah setelah mendengar pertanyaan Dimas barusan. Pria itu seolah tertangkap basah sebagai agen rahasia yang identitasnya tidak boleh diketahui. Ia benar-benar tidak menyangka jika Dimas adalah penerima beasiswa itu.

"Pak Ridwan," panggil Pak Jimmy yang haus akan rasa penasaran lantaran pria di hadapannya ini tak kunjung menjawab pertanyaan Dimas.

"Emm ... maafkan saya, Pak Jimmy. Boleh saya bicara dengan Mas Dimas sebentar?" ucap Pak Ridwan akhirnya.

Meski masih penasaran, Pak Jimmy tetap menghargai privasi kedua orang itu. Maka ia mempersilakan mereka untuk berbincang di ruangan khusus tamu yang disediakan di dalam ruang guru. Membiarkan keduanya menyelesaikan permasalahan yang tidak seharusnya ia ketahui.

Dimas menatap tajam pada Pak Ridwan. Ia sungguh tidak sabar akan penjelasan pria yang sejak tadi hanya bisa bungkam itu. Sedang yang ditatap hanya menunduk sambil terus memilah kata yang tepat sebagai penjelasan pada anak dari atasannya itu.

"Maafkan saya, Mas," ucap Pak Ridwan memulai pembicaraan.

"Saya butuh penjelasan, Pak. Bukan maaf!" jawab Dimas tegas.

"Saya benar-benar tidak tahu jika Mas Dimas sekolah di sini," sahut Pak Ridwan lirih.

"Lalu, beasiswa itu?" tanya Dimas pada intinya.

Pak Ridwan terihat menghela napas berat. Ia tengah berpikir keras sebelum menjawab pertanyaan Dimas dengan jujur. Karena menurutnya, bagaimanapun Dimas berhak tahu tentang ini. Maka ia memutuskan untuk menceritakan semuanya pada Dimas. Ia tidak ingin lagi ada kesalah-pahaman antara ayah dan anak.

"Saya hanya menjalankan perintah dari Pak Wilson," jawab Pak Ridwan jujur.

"Jadi ... benar ini semua ulah Papa," ucap Dimas tanpa menatap lawan bicaranya. Sebab saat ini ia hanya menunduk memikirkan ucapan Pak Ridwan. Ia mencoba menebak apa rencana ayahnya itu. Tidak ada satu pun yang terpikirkan olehnya.

Pikirannya benar-benar tidak dapat bekerja saat ini. Ia bingung dengan perbuatan ayahnya itu. Sebab, selama ini ayahnya selalu bertingkah seolah ia membenci musik di rumah. Bahkan ia melarang Dimas untuk bermain musik. Namun, sekarang ia malah memberikan beasiswa sekolah musik di luar negeri—yang Dimas duga bukan ditujukan untuknya—karena melihat Pak Ridwan yang tidak tahu jika Dimas bersekolah di sini.

Dimas tidak bisa bertanya lebih jauh pada Pak Ridwan. Ia tahu betul jika asisten pribadi ayahnya itu hanya menjalankan perintah dari atasannya. Pak Ridwan bukan orang yang gemar ikut campur dengan urusan pribadi orang lain. Jadi, wajar saja jika beliau tidak tahu tentang Dimas yang bersekolah di sini. Juga tentang ayah Dimas yang sangat membenci musik di rumah, tetapi malah memberi beasiswa sekolah musik untuk anak orang lain.

Satu-satunya orang yang dapat menjawab segala rasa penasarannya hanyalah ayahnya sendiri. Maka Dimas memutuskan untuk mengakhiri pertemuannya dengan Pak Ridwan. Bahkan ia menunda untuk membicarakan perihal beasiswa ini dengan Pak Jimmy. Ia lebih memilih memacu motornya dengan kecepatan penuh menuju tempat kerja ayahnya.

***

Dimas menengadahkan kepala menatap gedung dua puluh satu lantai di hadapannya ini. Ia masih berdiri di halaman parkir sebuah perkantoran yang terbilang cukup megah. Ia menatap deretan mobil mewah yang diduga milik para direksi dalam perusahaan ini.

Ia mengenali satu di antaranya. BMW berwarna hitam mengkilat milik ayahnya terparkir apik di sana. Benar yang Pak Ridwan bilang. Pria itu mengatakan jika ayahnya masih berada di kantor untuk rapat dengan dewan direksi yang Dimas sama sekali tidak peduli. Ia hanya ingin meminta penjelasan pada ayahnya.

Ia segera melangkah memasuki gedung itu dengan langkah tegap dan wajah tegasnya. Kaki jenjangnya melangkah menuju lift khusus direksi—setelah melewati meja resepsionis—dan mengabaikan sapaan dari beberapa pegawai yang mengenalinya. Ia segera menempelkan kartu akses khusus dari dompetnya untuk menekan tombol lift yang mengantarkannya ke ruang kerja sang ayah.

Lift terbuka setelah sampai di lantai sembilan belas. Dimas melangkah menuju ruangan yang hampir seluruh sisi dindingnya terbuat dari kaca. Dari sini ia dapat melihat jika ruangan kerja itu kosong tanpa ada pemiliknya. Hanya ada seorang perempuan cantik dengan penampilan seksi yang Dimas ketahui sebagai sekertaris ayahnya. Wanita itu segera berdiri dari mejanya untuk menyambut kedatangan putra dari CEO perusahaan itu.

"Selamat sore, Mas Dimas. Mau bertemu bapak?" tanya karyawan wanita itu. Ia tersenyum lembut pada Dimas. Sedangkan cowok itu hanya mengangguk kemudian melangkah melewati meja sekertaris untuk langsung menuju ke ruangan ayahnya.

Namun, perempuan itu justru berjalan mengikuti Dimas memasuki ruangan milik orang dengan jabatan paling tinggi dari perusahaan itu. Menyadari langkahnya yang diikuti, membuat Dimas seketika menghentikan langkahnya. Ia berbalik menatap wanita itu tajam.

"Ada apa lagi?" tanyanya dingin.

"Eumm ... maaf, tapi apa mas Dimas mau minum sesuatu?" wanita itu balik bertanya dengan gugup.

"Nggak perlu! Bisa tolong tinggalin aja saya sendiri?" sahut Dimas dengan tatapan tidak suka pada perempuan yang menjabat sebagai sekertaris ayahnya tersebut. Tidak ada alasan yang jelas, Dimas hanya tidak suka dengan wanita berambut panjang dan polesan make up tipis itu. Perempuan itu hanya menunduk malu, lalu melangkah meninggalkan ruangan tanpa berkata apapun lagi.

***

Dimas memperhatikan ruangan yang terlihat rapi dan mewah tersebut dengan teliti. Sudah satu tahun lebih ia tidak berkunjung ke sini. Tepatnya sejak kepergian ibunya dari rumah, ia menjadi tidak akur dengan sang ayah. Karena dulu ia sering diminta mengantarkan makan siang buatan ibunya ke kantor ini.

Tidak banyak yang berubah dari ruangan ini menurut Dimas. Meja kerja dengan papan nama bertuliskan "Wilsson Huang" milik ayahnya masih bertengger di sana. Juga beberapa fotonya dan Danessa turut menghiasi meja kebanggaan ayahnya itu. Beberapa foto mengingatkan Dimas tentang masa lalu keluarganya yang terlihat bahagia. Dimas ingat foto itu diambilnya saat ia sedang jalan-jalan bersama Danessa. Namun, ada yang kurang dari foto-foto itu. Tidak ada lagi foto ibunya di sana.

Tuan Wilsson benar-benar menghilangkan semua hal tentang istrinya. Ia menunjukkan rasa sakit hatinya karena perempuan itu pergi begitu saja dari hidupnya. Membuat anak-anaknya turut membenci ibu mereka. Bagaimanapun, anak-anak itu tidak mengerti penyebab kepergian ibunya. Mereka hanya tahu jika wanita itu meninggalkan keluarganya demi menikah dengan pria lain. Setidaknya, itu yang ayah mereka ceritakan.

Sudah hampir satu jam Dimas menunggu di ruangan ayahnya. Namun, CEO perusahaan itu tak kunjung menyelesaikan rapatnya. Kegiatan seperti ini memang sudah biasa beliau lakukan. Dimas sengaja tidak memperbolehkan sekertaris itu memberitahu ayahnya agar tidak mengganggu.

Suara pintu terbuka menghentikan permainannya pada ponsel pintar. Ia memutar kursi kerja kebesaran ayahnya itu untuk berbalik mengetahui siapa yang datang. Akhirnya orang yang ditunggunya datang juga.

Ini sudah hampir pukul tujuh malam dan ayahnya baru selesai rapat yang katanya dimulai sejak siang hari. Dimas benar-benar tidak mengerti kesibukan orang dewasa. Ini merupakan salah satu alasannya tidak ingin terjun ke dunia bisnis dan meneruskan usaha ayahnya. Ia tidak mau berlama-lama berada di ruang rapat bersama orang-orang yang membosankan. Ia jauh lebih suka disibukkan dengan not balok yang ia susun menjadi sebuah melodi yang indah. Atau bercucuran keringat karena berjam-jam latihan basket.

"Dimas? Ada apa kamu tiba-tiba ke kantor Papa?" tanya pria paruh bayah berdarah tiongkok itu menghentikan lamunan Dimas saat menatap kedatangan ayahnya.

"Ada yang mau Dimas tanyain," jawab Dimas datar.

"Soal apa? Bisa kita bicara sambil duduk di sofa? Daripada Papa berdiri dan kamu sibuk main-main sama kursi putar itu," sahut ayahnya.

Dimas menunduk—bermain-main dengan sepatunya dibalik meja besar itu. Menghela napas berat lalu berdiri menuruti ucapan ayahnya. Duduk pada sofa mewah di hadapannya—di mana ayahnya telah lebih dulu duduk di sana.

"Dimas mau tanya soal beasiswa," ucapnya tanpa basa-basi lagi.

Pria berwajah oriental itu sedikit terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka jika putranya akan mengetahui rencananya. Pria itu hanya menghela napas, lalu tersenyum tipis menatap wajah penasaran anak laki-lakinya.

"Kita makan malam dulu, ya. Papa laper abis rapat." Bukannya menjawab, Tuan Wilsson justru mengalihkannya.

"Pa, bisa kita bicarain ini dulu? Dimas mau penjelasan, bukan ajakan makan malam!"

Laki-laki berwajah tegas itu hanya tersenyum menghadapi protes putranya. Ia memahami rasa penasaran anak laki-laki itu. Namun, ia menginginkan suasana yang tepat untuk membicarakan ini.

"Dim, kamu tahu, kan, Papa habis rapat dari siang. Lagian emang kamu nggak laper pulang sekolah dan latihan basket?" tanya Tuan Wilsson.

Dimas menunduk untuk menatap sweater dan celana basket yang masih ia kenakan. Benar juga. Ia belum memakan apapun sejak jam istirahat siang tadi. Dan ini sudah memasuki waktu makan malam.

Ia mengangguk kemudian berdiri. Bersiap untuk pergi makan malam bersama ayahnya. Jika diingat kembali ini adalah pertama kalinya ia makan malam di luar bersama ayahnya sejak satu tahun yang lalu.

***

Sekitar lima belas menit sejak makanan disajikan oleh pelayan restoran. Tidak ada yang mereka bicarakan. Keduanya hanya diam dan saling fokus pada makanan masing-masing. Sampai salah satunya memulai pembicaraan.

"Pa, kapan mau ngejelasin soal beasiswa itu?" tanya Dimas tidak sabaran.

Tuan Wilsson tersenyum tipis mendengarnya. Ia kembali menyuapkan sendok terakhir nasi goreng dalam mulutnya. Mengunyah dengan benar sambil terus memandangi wajah penasaran putranya. Setelah memastikan makanannya tertelan habis, Tuan Wilsson meneguk air putih di mejanya. Kemudian bersiap untuk menjawab pertanyaan Dimas.

"Papa yakin kamu tahu ini dari Pak Ridwan. Karena hanya dia yang tahu tentang ini." Dimas terlihat tidak sabaran dengan ayahnya yang terus bertele-tele. Namun, ia tetap mendengarkan dengan baik setiap penjelasan yang akan ayahnya berikan.

"Maaf, Papa rahasiain ini dari kamu. Karena sebenernya Papa nggak mau ada yang tahu tentang penyesalan Papa," lanjut Tuan Wilson dengan nada rendah.

Dimas mengangkat sebelah alisnya penasaran. Ia menatap ayahnya dengan wajah bingung. Mencoba menerka apa maksud dari penyesalan sang ayah.

"Penyesalan tentang apa?" tanya Dimas memastikan.

"Jujur aja, Papa merasa bersalah udah membatasi impian kamu. Papa sadar, kamu berhak nentuin masa depan kamu sendiri."

Dimas terkejut mendengarnya. Matanya membola tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Jadi ayahnya akan membiarkannya mengambil kuliah jurusan musik.

"Jadi ... Papa udah bolehin Dimas main musik lagi? Dan, beasiswa musik itu beneran untuk Dimas?" tanyanya hati-hati.

Tuan Wilsson mengerutkan keningnya. Kemudian bertanya, "Beasiswa? Untuk kamu?"

Dimas mengangguk membenarkan pertanyaan ayahnya. Ia yakin jika beasiswa itu ditujukan untuknya di sekolah. Namun, pertanyaan ayahnya barusan membuat ia menjadi bingung.

"Jadi maksud kamu Pak Ridwan kasih beasiswa itu untuk kamu?" tanya Tuan Wilsson lagi.

"Begitu yang aku tahu. Aku cuma ditawarin beasiswa di sekolah yang ternyata itu dari Pak Ridwan." Dimas menjelaskan semua yang ia tahu pada ayahnya. Ia ingin segala hal di sini menjadi jelas dan tidak membingungkan.

Tuan Wilsson terlihat menghela napas beratnya kembali. Ia meminum air mineral untuk menenangkannya. Terlihat wajahnya yang merasa kecewa bercampur lucu karena aksinya ketahuan dengan cara yang tidak keren menurutnya.

"Maaf, Dim, tapi Papa nggak bermaksud kasih beasiswa itu untuk kamu. Sepertinya terjadi kesalahan di sini. Papa lupa bilang ke Pak Ridwan kalau kamu juga sekolah di sana. Papa cuma nggak nyangka aja sih, malah kamu yang dapet," jelas Tuan Wilsson disertai kekehan kecilnya.

Dimas menatap ayahnya tidak percaya. "Jadi, beasiswa itu bukan untuk Dimas?" tanyanya lagi.

"Tentu aja bukan! Buat apa Papa kasih beasiswa ke anak sendiri?"

"Pa, ini keterlaluan! Papa larang Dimas main musik, tapi malah kasih beasiswa ke anak orang lain?" protes Dimas tidak terima.

Tuan Wilsson tertawa kecil mendengarnya.

"Papa kan, udah minta maaf tadi. Papa juga bilang ini bentuk penyesalan Papa, Dim!"

"Lalu? Papa larang Dimas ambil kuliah jurusan musik dan malah kasih beasiswa ke orang lain?" Dimas mulai kesal dengan pembicaraan ini. Sedangkan Tuan Wilsson hanya menanggapi dengan wajah tenang sambil sesekali tersenyum tipis.

"Siapa bilang Papa larang kamu ambil kuliah jurusan musik?" tanya Tuan Wilsson yang langsung membuat Dimas menatapnya tidak percaya.

"Jadi, aku boleh ambil jurusan musik? Kenapa Papa nggak pernah bilang?" Dimas merengut tidak suka.

"Bukannya kamu yang nggak pernah mau Papa ajak bicara?" sindir Tuan Wilsson.

Dimas hanya menunduk malu. Wajahnya memerah lantaran bahagia bercampur haru. Ia tidak menyangka jika ayahnya memiliki rencana seperti ini.

"Maaf, Pa. Dimas kira Papa cuma mau ngomongin tentang kuliah bisnis. Dimas nggak tertarik soal itu," jujur Dimas menunjukkan rasa bersalahnya.

"Papa ngerti. Maafin Papa juga kalau selama ini terlalu keras sama kamu." Tuan Wilsson merespons dengan tulus dan hangat khas seorang ayah. Seketika suasana menjadi canggung. Karena biasanya mereka hanya berbicara singkat dan seperlunya saja.

Sejak kepergian ibunya, Dimas jadi tidak terlalu dekat dengan ayahnya. Sebab pria itu selalu melarang segala hal yang berhubungan dengan mantan istrinya itu dilakukan di hadapannya. Meski Dimas juga membenci ibunya, tetapi ia tidak bisa menahan rasa sukanya terhadap seni. Terutama tentang musik. Ia ingin mewujudkan mimpinya untuk menjadi musisi ternama suatu saat nanti.

Untuk itu ia bersyukur jika sekarang ayahnya sudah memperbolehkannya bermain musik. Bahkan ia diizinkan untuk mengambil kuliah di luar negeri dengan jurusan yang ia mau. Dimas merasa dunianya sudah lengkap sekarang. Tidak ada yang perlu ia khawatirkan lagi untuk saat ini.

End






























































Jangan nih?

Ku sudah lelah nulis ini 😥
Lagi-lagi telat update. Padahal janjinya minggu lalu mau ngebut update 😭

Tapi, terimakasih buat yang masih mau baca 💜
Maaf kalau gaje :(

Oh iya, Tuan Wilsson keturunan Tiongkok. Marganya Huang. Kenapa Dimas gak pake marga babehnya? Karena mamaknya lebih suka anak-anaknya pakai nama Indonesia. Dan itulah kenapa Dimas matanya sipit.

Kok gak dijelasin di awal?
Soalnya baru dapat ide 😀 :v

See u next week.
Semoga selasa sudah bisa update kencannya Dimas dan Irina 🙊

~luv

Min's 💜

Edited: December 31, 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro