31. Rindu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana sekolah masih tampak sepi sekali. Bahkan Pak Dio belum menyelesaikan pekerjaannya—merapikan taman belakang. Namun, kedua pelajar itu sudah duduk dengan rapi di bangku kelas—seakan sangat siap menampung ilmu dari mata pelajaran hari ini.

Keduanya adalah sepasang kakak-beradik—Dimas dan Danessa. Biasanya Danessa senang sekali mengajak Dimas untuk berangkat lebih awal ke sekolah. Bahkan ia rela menghabiskan uang jajan untuk menggantikan menu sarapan yang Dimas lewatkan karena menuruti permintaannya. Namun, kali ini tidak ada alasan untuk melakukan itu lagi.

Ia tidak mungkin melakukan kebiasaannya—mengintip Leon yang tertidur di perpustakaan—bertindak sebagai pengagum rahasia. Ia harus menghentikan perasaannya sejak pengakuan Leon yang menyatakan telah berpacaran dengan Airisya. Danessa cukup tahu diri untuk itu.

Di saat gadis itu sudah ingin menghentikan kebiasaannya, takdir berkata lain. Sidang kejujuran yang diadakan Tuan Wilsson semalam, menghasilkan sebuah keputusan yang berat. Mulai hari ini Dimas dan Danessa dilarang untuk menggunakan kendaraan pribadi ke sekolah.

Lebih dari itu, keduanya akan diantar-jemput oleh supir, menyesuaikan jadwal resmi dari sekolah. Mereka dituntut berangkat lebih awal—atau sangat awal lebih tepatnya—setiap hari selama satu bulan sebagai hukuman tambahan. Tidak akan ada lagi pergi bermain sepulang sekolah atau alasan mengerjakan tugas di rumah teman. Karena Tuan Wilsson akan mengawasi segala kegiatan kedua buah hatinya mulai sekarang. Jika salah satu dari mereka ketahuan membolos atau berbohong lagi, maka uang saku mereka berdua selama satu bulan akan menjadi taruhannya.

Danessa terus saja merajuk karena merasa bosan. Sudah hampir lima belas menit ia duduk di bangku Daniel untuk menemani Dimas di kelasnya. Bukan kemauan kakaknya yang meminta gadis itu duduk di sana. Danessa hanya tidak mau duduk di kelas sendirian di saat teman-temannya yang lain masih bersantai di rumah masing-masing.

Ia melihat jam di ponselnya, dan masih ada satu jam lagi sebelum bel masuk dibunyikan. Danessa terdiam dalam lamunannya. Mengingat kembali jika di jam ini, biasanya ia mulai meletakkan sebotol kopi dingin di samping Leon yang tertidur pada bangku perpustakaan. Dan beberapa menit setelahnya, cowok itu terbangun lalu mengambil kopi tersebut, meski Dengan wajah datar tanpa ekspresi.

Danessa tidak yakin apakah cowok itu senang, atau justru keberatan Dengan hal itu. Karena selama ini Leon hanya menerima semua pemberiannya, tanpa ekspresi apapun yang menunjukkan perasaannya. Gadis itu mulai berpikir jika Leon bersikap begitu karena sudah bosan menerima perhatian semacam itu. Tentu saja hal itu bisa terjadi. Karena cowok Dengan tatapan tajam itu memiliki banyak penggemar seantero sekolah.

"waaw, tumben lu berdua dateng pagi-pagi?" Suara Daniel menggema dalam ruangan kelas yang masih kosong ini. Cowok itu meletakkan tasnya di atas meja—menggeser tas milik Danessa—yang menumpang di tempat duduknya.

Tidak ada yang menanggapi sapaannya. Kedua kakak-beradik itu hanya diam dalam lamunannya masing-masing. Membuat Daniel merasa jengah Dengan keduanya.

BRAK!

Keduanya tercekat mendengar Daniel menggebrak meja Dengan sengaja. Menatap cowok bergigi kelinci itu Dengan tatapan tajam. Sedangkan si pelaku hanya menunjukkan cengiran bodohnya.

"Masih pagi, udah pada bengong aja lu bebrdua!"

"Berisik!" ucap Danessa Dengan wajah kesal. Ia segera berdiri lalu menggendong tasnya dan pergi meninggalkan kelas Dimas dan Daniel.

"Lah? Kenapa dia?" tanya Daniel. Ia menatap kepergian Danessa Dengan tatapan kaget juga bingung Dengan sikap cewek itu.

Dimas hanya mengendikan bahu lalu menjawab, "PMS kali."

***

Pria tampan Dengan hidung mancung dan tatapan mata yang tajam terlihat sedang duduk temenung. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruang perpustakaan. Mencari keberadaan seseorang yang selama ini selalu ada di sekitarnya. Namun, netranya tak juga menemukan orang yang dimaksud.

Sudah hampir satu jam ia duduk di bangku favoritnya—bangku panjang yang letaknya di ujung lorong buku bagian sejarah di perpustakaan sekolah. Ia sengaja memilih tempat itu, karena sangat jarang dikunjungi siswa-siswi di sini. Terutama di pagi hari sebelum pelajaran dimulai.

Biasanya, ia hanya akan duduk di sini selama lima menit. Sampai seseorang datang dan melangkah mendekatinya, baru ia akan memejamkan mata seolah telah tertidur semalaman. Hanya beberapa saat, hingga ia merasakan sesuatu diletakkan di sampingnya dan disusul langkah kaki seseorang yang berjalan menjauh. Kemudian, ia tersenyum dalam hati saat mengambil sebotol kapucino dingin di atas meja tempat ia tertidur.

Namun, pagi ini yang ia dapati hanya kesunyian di dalam ruangan penuh buku ini. Tidak ada seorangpun selain dirinya dan Bu Rini—si penjaga perpustakaan. Ia menghela napas berat, lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Ia harus mencari semangat paginya di tempat lain hari ini.

***

Koridor sekolah terasa sangat panjang bagi Irina. Ia berjalan gontai menuju kelasnya Dengan pandangan kosong. Gadis itu tak juga bergegas meski sudah mendengar bel masuk dibunyikan. Penyemangat paginya sudah dua hari tidak ada kabar.

Ia menatap ruangan paling ujung sebelum melangkah masuk pada kelasnya. Terlihat beberapa siswa sedang bercanda. Namun, ia tak juga menemukan pemilik senyuman kesukaannya. Apa cowok itu juga tidak masuk sekolah hari ini?

"Ngapain kamu masih bengong di sini? Kamu gak Dimgar bel masuk?" tegur Pak Agus yang kini berdiri di hadapan Irina.

Gadis itu terkesiap mendengar teguran guru itu. Kemudian kembali dalam dunia sadarnya. Ia hanya bisa tersenyum canggung lalu melangkah memasuki kelas—menyusul Pak Agus yang telah lebih dulu masuk. Dalam hati ia merutuki wali kelasnya yang gemar datang lebih awal untuk mengisi pelajaran.

Baik Irina maupun Risya, keduanya sama-sama berusaha untuk tetap fokus. Meski perasaan mereka sedang tidak baik, tetapi keduanya harus tetap mengikuti pelajaran Dengan benar. Setidaknya mereka dapat menjawab pertanyaan yang diberikan guru Bahasa Indonesia—sebagai ulangan dadakan—tanpa kesalahan.

"Rin, tadi gue lihat Kak Dimas waktu keluar dari toilet," ucap Risya setelah Pak Agus mengakhiri mata pelajaran hari ini.

"Lalu?" jawab Irina datar. Ia tengah menjalankan aksi ngambek—khas anak gadis yang sedang diabaikan kekasihnya—pada Dimas.

Risya menghela napas jengah, "Ya itu artinya dia udah masuk sekolah. Lo udah dikabarin?"

Irina hanya menggeleng pelan sebagai respons. Kemudian, Mr. John sudah melangkahkan kakinya memasuki ruang kelas. Guru yang mendapat julukan sebagai Hot daddy, tetapi paling ditakuti di sekolah itu, bersiap untuk memulai kelas Bahasa Inggris hari ini. Semua murid mulai tenang dan menyiapkan buku pelajaran masing-masing.

***

Bel isitirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu. Namun, Irina masih enggan berdiri dari kursinya. Meski Risya sudah berkali-kali membujuknya untuk ke kantin.

Bukannya Irina tidak lapar, ia hanya tidak ingin bertemu seseorang. Meski dalam hati ia terus menahan rindu, tak satupun kata yang mewakili perasaannya itu keluar dari bibir tipisnya. Sejak kemarin ia terus menghubungi cowok itu, tapi selalu diabaikan. Maka hari ini ia bertekad untuk tidak memikirkannya lagi.

Setidaknya ia harus punya harga diri sebagai seorang perempuan. Ia tidak ingin terlihat menyedihkan hanya karena seoarang pria. Ia ingin menunjukkan jika dirinya cewek kuat Dengan hati baja. Meski hatinya terus didera rindu.

Tbc...

Edited: January 1st, 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro