33. Patah Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Daniel melangkah memasuki rumah mewah keluarga Huang. Ia ingin sekali mengutuk teman sebangkunya yang merengek memintanya datang malam-malam begini—karena sedang dihukum, membuat Dimas tidak bisa bebas keluar rumah di luar jam sekolah. Bukannya Daniel tidak terbiasa keluar malam, ia hanya kesal lantaran Dimas meneleponnya saat ia sedang asik mabar dengan teman sepermainannya di game online—padahal ia sudah hampir memenangkan permainan.

Ia mengetuk perlahan pintu besar itu. Tak lama, pintu terbuka menampakkan perempuan paruh baya—pembantu keluarga Dimas. Perempuan itu tersenyum menatap Daniel dan mempersilakan masuk seperti biasa. Dimas melenggang masuk menuju kamar Dimas setelah mendapat ijin.

Saat baru menaiki anak tangga ke tiga, langkahnya terhenti oleh panggilan seseorang. Perlahan ia menoleh menatap sumber suara. Tubuh tegap dengan wajah tegas tengah menatapnya di depan pintu sebuah ruangan dekat tangga—itu adalah ruang kerja Tuan Besar pemilik rumah ini.

"Om Wilsson? Emm ... malam, Om," sapa Daniel dengan sedikit gugup menatap wajah pria paruh baya itu.

Tuan Wilsson melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Alisnya berkerut melihat jarum jam yang menunjuk angka sepuluh. Ia kembali menatap Daniel dengan tatapan curiga.

"Ada apa, Niel, malam-malam begini?" tanya Tuan Wilsson.

Daniel mulai panik dan sedikit gugup. Ia menggaruk pelipisnya, sambil memikirkan alasan terbaik. Tidak mungkin, kan ia mengatakan jika kedatangannya ke sini malam-malam, lantaran putra sulung Tuan Wilsson meneleponnya untuk curhat?

"Anu ... Om, ada tugas yang harus saya kerjain bareng Dimas," jawabnya seraya menggaruk pelan kepalanya yang tiba-tiba saja gatal—sepertinya belum keramas.

Tuan Wilsson kembali mengerutkan kening. Ia menatap Daniel semakin curiga. Kemudian ia kembali bertanya, "Kenapa malem-malem? Bukannya dari tadi?"

"Soalnya tadi saya harus nganterin Mama dulu, Om," bohongnya. Kali ini terdengar lebih lancar. Entah mendapat ilham dari mana, yang membuat otaknya bekerja dengan baik untuk sebuah kebohongan.

Tuan Wilsson kembali melirik rolex pada pergelangan tangannya. Ia tidak memiliki banyak waktu untuk menginterogasi Daniel lebih lama lagi. Ia hanya mengangguk menerima penjelasan remaja delapan belas tahun itu.

"Mending kamu nginep aja, Niel! Nanti kemaleman pulangnya. Sekalian temenin Dimas sama Danesaa," ucapnya lagi.

Daniel menatap ayah Dimas itu bingung, lalu bertanya, "Emangnya, Om mau ke mana?"

"Om ada pekerjaan di Bangkok dua minggu ke depan. Dan besok pagi udah harus berangkat. Jadi, kalian baik-baik ya di sini," jawab Tuan Wilsson.

Kemudian, ia berlalu menuju kamarnya setelah mendapat anggukan oleh Daniel. Entah mengapa, kini ia lebih percaya pada cowok super polos—sahabat anaknya—dari pada Dimas—putranya sendiri. Mungkin karena pada hari itu, hanya Daniel yang berbicara jujur. Tanpa tahu rencana kebohongan dua bersaudara itu.

***

Kini Daniel sudah berbaring nyaman di ranjang empuk milik Dimas. Ia menumpukan satu tangannya untuk menyanggah kepala menghadap si pemilik kamar yang tengah duduk di sofa. Ia mendengarkan setiap rinci cerita Dimas tentang obrolannya bersama Irina tadi sore. Juga tentang beberapa hal yang membuat perasaannya tidak nyaman.

Daniel tidak percaya pada apa yang ia dengar barusan. Kini cowok itu berbalik menatap langit-langit kamar Dimas. Memikirkan kalimat terbaik untuk menyadarkan sahabatnya ini.

"Lo emang udah gila, Dim." Daniel berucap datar tanpa menatap Dimas.

"Gue juga gak ngerti kenapa gue bisa begitu, Niel," sahut Dimas. Ia sudah tampak frustasi dengan berbagai hal yang menimpa dirinya akhir-akhir ini.

"Harusnya lo bisa belajar dari pengalaman. Liat deh, sekarang lo nyesel, kan udah benci Cindy selama ini? Itu karena lo narik kesimpulan sendiri berdasarkan sudut pandang lo. Dan sekarang, lo malah ngelakuin itu lagi ke Irina?!" ucap Daniel yang kini mulai duduk di atas ranjang menatap Dimas. Ia sudah tidak tahan dengan sikap teman sebangkunya itu.

"Tapi, kan, dia egois banget, Niel! Dia nutupin semuanya, padahal dia tau selama ini gue udah salah paham sama Cindy," sahut Dimas tak mau kalah. Ia membenarkan keputusannya.

"Pada dasarnya, semua manusia itu egois, Den. Gak ada orang lomba untuk kalah, kan?" Kali ini Daniel berucap sedikit lebih tenang. Bagaimanapun, saat ini Dimas hanya sedang emosi. Jadi, jika ingin memberi nasihat, setidaknya ia harus bersikap lebih tenang dari cowok itu.

"Coba lo lihat dari sudut pandang Irina. Kalau lo ada di posisi dia, apa yang bakal lo lakuin? Ketika dia lagi dibuai sama seluruh harapan yang lo bangun, tiba-tiba dikasih kenyataan yang bakal bikin harapan itu hancur gitu aja. Mana yang bakal lo pertahanin? Kenyataan di masa lalu? Atau kebahagiaan lo sendiri?"

Dimas hanya terdiam mendengarnya. Ia mencoba memikirkan ucapan Daniel. Meski kenyataannya semua itu benar, tetapi hatinya tidak ingin mengakui itu.

***

Dimas masih terjaga di tengah malam. Ia mencoba memejamkan mata, tapi tidak juga bisa terlelap. Pikirannya tidak dapat diajak bekerja sama kali ini.

Ia memilih untuk keluar kamar. Meninggalkan Daniel yang sudah berkelana dalam dunia mimpi di atas tempat tidurnya. Mungkin udara segar di luar dapat menenangkan pikirannya yang sudah berantakan sejak kemarin.

Ia terkejut mendapati Danessa yang duduk termenung di atas ayunan halaman belakang rumah. Gadis itu terlihat tidak baik-baik saja. Sangat berbanding terbalik dengan yang Dimas temui tadi sore. Bahkan adik kesayangannya itu masih sempat merajuk lantaran harus langsung pulang—padahal ia masih ingin ikut teman-temannya berbelanja sepulang sekolah. Ia tak hentinya menyalahkan Dimas atas hukuman yang diberikan oleh ayahnya.

"Kenapa gak tidur?" tanya Dimas. Ia sudah berdiri di samping ayunan besi yang saat ini Danessa duduki.

Danessa menggeser duduknya—memberikan ruang untuk Dimas duduk. Mereka memainkan kakinya untuk membuat ayunan itu bergerak. Tampak senyuman terbit dari bibir keduanya saat mengenang masa kecil mereka.

"Kakak sendiri, kenapa belum tidur?"

"Ada Daniel di kamar gue. Suara ngoroknya berisik, bikin gue gak bisa tidur," jawab Dimas—tidak sepenuhnya berbohong.

"Kak Daniel nginep? Kok aku gak tahu dia dateng?" tanya Danessa lagi. Ia benar-benar tidak tahu kedatangan Daniel, karena cowok itu memang datang terlalu malam. Selain itu, Danessa memang tidak keluar kamar sejak pulang sekolah. Bahkan ia memakan makan malamnya di kamar dengan alasan sibuk belajar.

"Lo-nya gak keluar-keluar kamar, gimana mau tahu?" sahut Dimas.

Gadis dengan paras cantik itu hanya mengagguk membenarkan ucapan Dimas. Ia tersenyum simpul dengan wajah yang terlihat murung, tetapi tidak mengurangi kadar kecantikannya. Dimas yang menyadari itu, segera bertanya, "Lo ada masalah apa?"

Danessa menatap kakaknya sesaat. Kemudian menggeleng perlahan. Ia kembali mencoba terlihat baik-baik saja di depan semua orang—termasuk kakaknya sendiri.

"Lo bisa aja bohongin semua orang, tapi gak berlaku buat gue," ucap Dimas membuat Danessa merasa sedikit terharu mendengarnya.

Danessa tetap tersenyum, lalu menunduk sambil berucap lirih, "Aku lagi patah hati."

"Udah gue duga," jawab Dimas dengan tatapan datar. Mendengar itu, membuat Danessa terkejut menatap kakaknya. Kemudian berkata, "Kak Dimas tahu dari mana? Emang, aku patah hati sama siapa?"

Dimas memutar bola matanya. Menatap malas pada adik kecilnya ini. Sungguh, ia kesal dengan gadis yang kelewat polos atau, bisa ia katakan bodoh.

"Bahkan orang buta sekalipun, bisa tahu kalau lo tergila-gila sama Leon, Sa!"

"Hah? Jadi selama ini ..."

"Iya! Gue tahu, dan gue yakin si berengsek itu juga tahu kalau lo suka sama dia. Jadi, berhenti nyengir bodoh sambil natap dia kalau lagi bareng-bareng!" sergah Dimas dengan nada tegas. Hal itu membuat Dannessa hanya bungkam dan menunduk malu.

Ia kembali teringat bagaimana ia dengan bodohnya ingin mengungkapkan perasaannya pada Leon. Dan jika memang cowok itu tahu perasaannya, itu artinya ia dengan sengaja mematahkan hati Danessa kemarin. Lagi-lagi gadis yang biasanya terlihat ceria itu meneteskan air matanya.

Dimas menghela napas kembali. Kini ia meraih tubuh adiknya dalam dekapan. Memberikan ketenangan melalui usapan lembut pada puncak kepalanya.

"Jangan sakit, Sa! Jangan sengaja nyakitin diri sendiri! Gue gak suka lihat lo nangis karena terluka!" ucapnya di sela-sela isak tangis Danessa.

Hanya beberapa detik sampai mereka mengurai pelukan penuh drama itu. Danessa mengusap air matanya kasar lantaran malu menangis di hadapan kakaknya. Gadis itu hanya menunduk memainkan kedua ujung jari telunjuknya.

"Kakak gak marah, kan? Kak Dimas gak akan berantem sama Kak Leon, kan?" ucap Danessa hati-hati.

Dimas hanya terkekeh mendengarnya. Ia mengacak rambut Danessa gemas. Kemudian berkata, "Leon itu temen gue, dan lo adik gue. Gimana caranya gue marah sama kalian?"

Danessa mulai berani menatap wajah kakaknya. Ia turut tersenyum melihat senyuman hangat Dimas. Setidaknya ia merasa lebih baik mendengar Dimas yang tidak akan marah padanya ataupun Leon.

"Lagian, gak ada yang bisa disalahin di sini. Leon punya hak untuk memilih mana yang terbaik buat dia. Dan gue juga gak bisa maksa lo untuk berhenti suka sama siapa pun. Jadi, nikmati aja prosesnya dan serahin semua sama takdir." Danessa hanya mengagguk mengiyakan ucapan Dimas.

"Tetep kayak gini, Sa. Kalau ada masalah apapun, cerita sama gue. Jangan ke orang lain, atau cari pelarian yang gak pasti!" lanjut Dimas dengan penekanan di setiap kalimatnya.

Mendengar itu membuat Danessa terharu. Ia kembali meneteskan air mata. Bahkan kini gadis itu berhambur memeluk kakak tampannya.

"Kalau Kak Dimas pergi ke London, aku gimana?" ucapnya memasang wajah memelas dengan mata sendu. Membuat Dimas gemas sekali dan mendekap adik kesayangannya semakan erat.

"Apa lo mau ikut gue ke London aja?"

Tbc ...

Edited: January 2nd, 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro