CHAP. 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Valli Milonas menunggu dengan sabar.

Terhitung dua jam telah terbuang percuma di tempat ini, lokasi yang harusnya jadi pertemuannya dengan sang klien. Pria 28 tahun itu sengaja datang ke kantor klien dan merasa terabaikan begitu saja.

Dia dan Antheia telah sepakat untuk mengadakan wawancara dengan Osei Olufemi. Kedatangannya ke sini adalah untuk mengobrolkan beberapa hal sebelum acara dilaksanakan.

"Halo, Pak Valli. Maaf harus kusampaikan informasi yang kurang mengenakan." Seorang wanita yang mengenakan rok span cokelat berujar dengan nada tak enak. "Belum ada kabar dari Pak Osei. Seluruh media komunikasi telah kami coba, dan hasilnya tak ada jawaban. Dari GPS terakhir beliau pun, titiknya hanya ada di rumah pria itu."

Valli mendengarkan dengan kecewa. "Begitu, ya?"

"Maaf. Apa Anda akan menunggu lagi?" tanya wanita itu.

"Sepertinya tidak. Aku harus menemui rekanku dan mengobrolkan sesuatu." Valli menjawab apa adanya.

Wanita cantik di depannya mengangguk pelan dengan senyuman sungkan yang melebar. "Baiklah. Terima kasih telah berkunjung dan hati-hati di jalan, Pak."

***

Rembulan bersinar dengan terang, menerobos rimbunnya pepohonan yang berjajar rapi. Menerangi dua bayangan hitam yang tengah berdiskusi di balik batang pohon pinus besar.

"Labirin ini cukup rumit dan aku baru berhasil menjelajahinya sekitar 20%."

Layar biru muncul di depan Antheia dan Shouei. Visualisasi 3D seketika terpampang dengan jelas. Terlihat denah jalan—sebut saja lorong—yang menyambung dan bercabang.

Malam ini, keduanya sepakat langsung beraksi. Tak ingin membuang waktu lagi.

"Aku tertarik dengan apa yang ada di dalamnya, tetapi untuk masuk ke sana cukup sulit. Penjagaan makin ketat, tim peneliti pun tengah bekerja keras. Aku hampir tak memiliki celah. Tapi, kau lihat kan, ada beberapa titik merah?" Sepasang mata biru cemerlang gadis itu menatap lurus pada Antheia.

"Ya."

"Titik merah menandakan jalan yang ditutup. Kau tahu, ditutup sungguhan," jelas Shouei. "Tempat itu telah dilalui oleh para penelusur, lalu beberapa pekerja tambang dibayar lebih untuk menjalankan tugas itu."

Antheia tak meragukan atau mengira Shouei tengah berbohong.

Sekitar 15 tahun lalu, dia menemukan bocah kurus kerempeng yang nyaris mati di dekat tong sampah. Iba membuatnya menunjukkan simpati. Antheia merawat anak itu, yang kemudian memilihnya sebagai "ibu kedua", dan terus bertahan sampai sekarang.

Di sekolah, Shouei tidak terlalu menonjol. Namun, Antheia tidak terlalu banyak tahu karena kesepakatan mereka dulu, bahwa hubungan spesial ini berlaku ketika mereka hanya berdua. Di luar itu, mereka hanya orang asing.

Sejak usia 13, bakat Shouei mulai terlihat. Gadis itu suka dengan teknologi, lalu berujung menjadi "kucing kecil" yang selalu memberinya ladang informasi.

"Kita telah dibekali GPS, jadi berhati-hatilah," pesan Antheia sebelum menaiki hooverscooter-nya.

Mereka sengaja memilih hooverscooter karena kendaraan tunggal itu memiliki badan ramping, punya daya tahan terbang cukup lama, bisa diisi daya dengan manual pula—dengan baterai, serta dilengkapi beberapa fitur canggih.

"Ya, sebaliknya." Jawaban itu membuat obrolan keduanya berakhir.

Pukul dua dini hari, keduanya telah siap dengan perlengkapan seperlunya. Tidak banyak, hanya setelan pakaian khusus, GPS, jam digital, hooverscooter, dan nyali.

Para pengawas tengah berjaga dengan ketat di pintu masuk labirin. Namun, mereka belum mengetahui, bahwa jauh di dalam hutan, terdapat pintu masuk lain menuju labirin. Dari sanalah Antheia dan Shouei masuk.

Hooverscooter keduanya memelesat memasuki mulut lorong yang berdiameter satu meter. Lorong membesar perlahan, masih sepenuhnya tanah.

Sepuluh menit di dalam labirin, belum ada hal mencurigakan. Hanya tercium bau tanah yang basah. Dinding lorong masih berupa tanah. Berikutnya, baru tercium bau apak. Tak ada hewan yang mereka temui. Cahaya penerangan dibuat seminim mungkin. Beruntung hooverscooter tak menimbulkan bising, bahkan suara mesinnya nyaris tak terdengar.

Antheia dan Shouei baru menemui lorong bercabang pertama. Keduanya memutuskan mengambil jalan yang berbeda.

Jalan sendirian membuat Antheia waspada. Dia mengamati sekitar dengan teliti. Lalu, dia menemui lorong yang menurun dengan diameter sedikit menyempit.

"Air?" gumam Antheia saat mendengar gemeresik air.

Ternyata benar, dia menemukan sebuah aliran sungai kecil yang berisi air jernih. Saat mendongak, batuan-batuan runcing hampir menyentuh kepalanya.

Ketika menemui jalan bercabang berikutnya, Antheia mengambil jalur ke kiri. Jam digital masih berfungsi dengan baik, menunjukkan titik lokasinya dan Shouei. Gadis itu terpisah cukup jauh darinya.

Saat tengah fokus mengendarai hooverscooter yang agak oleng, Antheia tiba-tiba mendengar suara aneh. Terlalu fokus mengamati, membuatnya tak sadar mulai memasuki kedalaman ratusan meter di perut bumi. Udara agak menipis, bau lembap yang basah begitu menyengat.

Labirin itu telah menuntunnya pada sebuah bahaya.

"Tidak mungkin," kata Antheia setengah tak percaya.

Dia tiba di sebuah gua yang cukup luas. Cahaya di sana murni karena hewan-hewan mirip cacing yang bertumpuk-tumpuk, tersebar di banyak titik. Ruangan makin terang karena di sana terdapat banyak mineral hijau yang memantulkan cahaya.

Tepat di depannya, terdapat seekor anjing berkepala tiga yang tampak kurus, lemah, dan bergelung tidur. Antheia yakin, hewan itu belum mati karena bulu-bulu lebatnya yang hitam, masih turun-naik mengikuti irama napas.

"Cerberus? Tidak mungkin dia bisa bertahan di era ini." Antheia segera turun dari hooverscooter.

Di saat bersamaan, sepertinya hidung hewan itu mulai mengendus keberadaannya. Cerberus segera berdiri. Tiga kepalanya menghadap penuh pada Antheia. Geraman lemahnya terdengar, tetapi matanya tampak menyala terang, seolah-olah memancarkan kemarahan.

"Ini bukan tempatmu, Bung!" kata Antheia dengan senyum di wajahnya.

Cerberus mengaum, menggetarkan dinding gua. Hewan itu berusaha berdiri dengan lebih tegak. Meski terlilhat lemah, hewan itu tetap mengeluarkan aura membunuh. Beberapa detik berikutnya, ia memelesat menerjang ke arah Antheia.

Ruang yang tak cukup luas membuat Antheia dalam posisi terdesak. Namun, dia masih bisa menghindar dengan gesit. Melompat dari satu tempat ke tempat lain. Hewan itu hanya mampu melancarkan serangan fisk. Tak ada sihir, tak ada keganasannya.

"Kau tampak kelaparan," kata Antheia lalu tersenyum singkat.

Dia mengambil napas saat hewan itu memberi jeda. Kemudian, di kedua tangannya, mulai terkumpul butiran-butiran tanah yang memadat, membentuk sebuah benda.

"Ini tak terlalu berguna, tetapi akan cukup membantu," kata Antheia. Sekarang dia sudah memegang dua tongkat dari butiran tanah yang berhasil dipadatkan.

Setelah menyadari siapa dirinya, Antheia mulai bisa mengontrol hal-hal aneh yang terjadi. Dia memiliki sihir dalam tubuhnya, meski tidak terlalu besar seperti saat dirinya dulu. Bakat manipulasi itu berawal dari dapat menggerakkan benda kecil seperti debu, kertas. Kemudian, seiring potongan mimpi bermunculan, kekuatan itu bertambah kuat.

Baru-baru ini, Antheia dapat "mengubah kenyataan" dalam kepala seseorang, seperti yang dilakukannya pada Ruiz. Dia membuat Ruiz mengira dirinya adalah atasannya yang menyeramkan. Seperti hipnotis, tetapi bukan seperti itu cara kerjanya.

"Sial!" Antheia terbanting ke dinding usai berhasil mendaratkan pukulan kencang. "Seandainya benda ini memiliki ketajaman yang membuat tubuhmu hangus dalam sekali tebas!"

Cerberus setinggi tiga meter itu kembali mengaum. Kaki depannya mencakar-cakar tanah. Dia kelihatan lapar.

Antheia mengubah tongkatnya jadi berujung runcing, kemudian kembali menyerang. "Aku tak suka membuang waktuku di sini!" Dia menancapkan tongkat tanah itu tepat ke punggung sang Cerberus.

Tak ada darah yang keluar, tetapi tongkat itu menancap dalam.

Antheia melompat mundur, waspada. Cerberus itu masih tampak kuat, menatap nyalang padanya.

"Kau lagi apa?" Tiba-tiba sebuah suara terdengar.

Antheia berbalik dan menemukan Shouei dengan hooverscooter-nya mendekat.

"Kenapa kau berdarah dan tubuhmu kotor?" selidik gadis itu dengan mengernyit.

Tangan kiri Antheia refleks mengusap sudut mulutnya yang mengeluarkan darah segar. Punggungnya pun sedikit sakit. Mungkin efek dari lemparan tadi.

"Kau habis bertarung? Dengan siapa?" Shoeui mengamati sekitar dengan teliti. Tak ada siapa pun, gua bawah tanah ini kosong. Lalu, apa Antheia bertemu musuh? "Apa mereka sudah memergokimu?"

"Mereka?"

"Tim khusus berseragam kuning-hitam. Mereka dilengkapi senjata dan membawa robot—kukira robot itu serbaguna," jawab Shouei. Dia masih mengamati sekitar dan tak menemukan apa-apa.

Antheia tak menjawab, memilih mendekati hooverscooter-nya yang berbunyi pelan dengan layar merah berkedap-kedip.

"Sepertinya sudah harus ganti baterai." Shouei membuntuti Antheia, terus menatap waspada.

Selain mulut yang berdarah, terdapat tiga goresan beda ukuran di wajah wanita itu. Jelas, Antheia seperti habis menghadapi musuh berbahaya.

"Kau habis bertarung dengan siapa, sih? Kau mengarahkan dua tongkat—senjata—mu pada angin? Memang ada musuh di depanmu?" cecarnya, habis kesabaran.

"Bukan siapa, tapi apa." Jawaban Antheia tak membantu. "Memang kau tak lihat apa-apa di gua ini?" sambungnya sambil sibuk memasang baterai persegi panjang berukuran sekepal tangan orang dewasa. Seketika hooverscooter berhenti berbunyi.

Shouei menggeleng polos. "Tidak, selain kau yang babak belur, dan dua tongkat tanahmu itu," jawabnya jujur.

Mendengar jawaban itu, Antheia merenung cukup lama sambil memulihkan badan. Meski mendiami tubuh manusia fana, dia merasa memiliki kelebihan lain, yakni dibekali daya tahan tubuh dan dapat memulihkan diri lebih cepat dari orang lain.

"Lupakan." Antheia tak mau ambil pusing. "Kenapa kau menyusul? Aku tak perlu kau khawatirkan, itu menggelikan."

Shouei berdecih sebal. "Titikmu tiba-tiba menghilang, jadi aku menyusul. Jangan geer," jawabnya enggan. "Kita bisa tersesat jika berjalan terpisah, aku sudah merasakannya. Alat canggih buatanku mulai mengalami error. Sepertinya kita hampir mencapai kedalaman seratus meter di bawah tanah. Medan magnet tak beraturan memengaruhi kinerja GPS. Udara di sini juga makin menipis."

Cerocosan Shouei tetap berlanjut sesaat setelah mereka kembali menaiki hooverscooter dan melaju meninggalkan gua.

Kedua tongkat yang menjadi senjata darurat Antheia kembali melebur, menyatu dengan tanah. Kemudian, Cerberus itu juga kembali transparan, bergelung dengan nyaman.

Apa hewan itu hanya bisa dilihat oleh orang yang memiliki sihir? Atau, karena dulu kami satu dunia? Lalu, kenapa dia bisa bertahan di labirin ini? Apakah ... ini merupakan lorong ....

"Aku menemukan sebuah ruangan yang akan membuatmu tertarik," kata Shouei, memecah lamunan Antheia.

"Tunjukan!" Antheia memerintah dengan suara tegas.

Shouei menuntun hingga tiba di sebuah gua bawah tanah yang memperlihatkan reruntuhan bangunan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro