Nightmare

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Regulus, kau harus tetap disini dan jangan bergerak sedikitpun. Kau harus menunggu ibumu dan adikmu."

Anak lelaki berambut cokelat itu hanya menatap ayahnya yang menyembunyikannya dalam sebuah pintu rahasia yang selalu ada di dalam rumahnya. Tempat favoritenya untuk bersembunyi saat ayah dan ibunya bermain petak umpet.

"Petak... umpet, dad?"

Ayahnya James, hanya diam dan menatapnya selama beberapa saat. Pria itu tersenyum dan menghela napas, sebelum mengusap kepalanya dengan lembut. 

"Ya, sekarang kau hanya perlu bersembunyi sampai ibumu bisa menemukanmu," anak itu hanya mengangguk seperti anak baik pada umumnya. Lagipula permainan itu adalah kesukaannya, dan ayahnya selalu bisa menemukannya. Ia hanya perlu diam dan bersembunyi.

Ayahnya segera menutup pelan pintu didepannya, membiarkannya dalam sebuah kegelapan dengan sekilas cahaya dari celah pintu. Ia masih mendengar ayahnya sedang berbicara dengan ibunya. Entah kenapa, ia mendengar suara ayahnya yang sangat panik seolah ketakutan akan sesuatu.

"Bagaimana dengan Regulus?"

"Ia sudah aman. Mereka datang, cepat sembunyikan Harry."

Langkah kaki ibunya terdengar dari tempatnya berasal, menuju kearah kamar dimana adiknya berada. Hanya beberapa saat, suara pintu terdobrak membuatnya tersentak. Seseorang berbicara, ia tidak pernah mendengar suara orang itu. Takut-takut, ia mendekat dan mengintip dari celah pintu didepannya. Ia hanya bisa melihat beberapa orang tampak berpakaian hitam, melewati ruangan depan.

Ia mendengar ayahnya berteriak dari tangga seolah mencoba untuk mengalihkan orang-orang itu darinya.

"Avada Kedavra."

Kilatan cahaya berwarna hijau tampak, suara ayahnya begitu saja menghilang berganti langkah yang semakin dekat menuju ke kamar adiknya dan juga ibunya. Teriakan ibunya kini berganti, dan kembali mantra itu terucap dan berganti menjadi keheningan.

Suara itu terdengar menyeramkan saat itu, untuknya yang berusia 3 tahun. Hanya untuk menahan tangisnya saja ia sudah kesusahan. Ia ingin bergerak, namun tubuhnya gemetar hingga tidak bisa ia gerakkan.

Suara tangis adiknya terdengar, tubuhnya masih tidak bisa ia gerakkan.

Ia hanya menutup kedua telinganya, memejamkan matanya dan berharap jika semua itu berakhir. Jika semua itu mimpi hingga saat ia membuka mata, itu hanyalah satu dari semua mimpi buruk yang pernah ia lihat sebelumnya.

Ia tidak yakin berapa lama ia menutup matanya, namun yang membuatnya bergerak dan tersentak adalah suara pintu yang terbuka. Ditengah cahaya rumah yang membelakangi orang itu, ia hanya melihat jubah hitam yang dikenakan pria itu.

"Ah..."

Ia hanya berdiri canggung, menatap dengan tatapan sakit dan akan menggapai anak itu, namun anak itu terisak dan mundur beberapa langkah menyeret tubuhnya lebih jauh dari pria itu.

"Aku adalah... aku adalah teman... ibumu."

Entahlah, ia bahkan tidak mengerti saat itu kenapa ia bisa mempercayai pria itu. Ia hanya merasa jika pria itu tidak memiliki niat buruk. Ia pernah bertemu dengan teman-teman ayah dan ibunya, ia rasa yang paling jahat hanyalah Bibi Petunia. Itupun hanya karena perempuan itu terlihat judes dan dingin.

Ia mendekat perlahan, memegang ujung jubah hitam dari pria itu dan berdiri tanpa perkataan apapun. Ia baru menyadari adiknya juga berada dalam gendongan pria itu dan tampak hanya menatapnya dengan tatapan bingung dan mata yang membengkak seolah baru menangis.

Pria itu tidak menggandengnya, anak itu hanya berjalan mengikuti, keluar dari persembunyiannya. Dari posisinya setelah keluar dari ruang bawah tanah, ia bisa melihat kaki ayahnya yang terlihat dari bawah anak tangga.

Diam, dan kaku.

***Regulus's POV***

"Regulus, bisakah kau kemari dear?"

Suara Mrs. Granger membangunkanku. Sedikit menggeliat, kupaksakan tubuhku untuk bergerak, dengan mata yang malas untuk membuka. Mimpi malam tadi, kulirik jam yang ada di meja kecil kamarku. Sudah pukul 8 pagi, itu artinya Mrs. Granger akan pergi ke klinik bersama dengan suaminya. 

"Kakak!"

Kulihat anak perempuan berusia 7 tahun yang berlari dan memanggilku kakak. Enam tahun yang lalu, saat usiaku 6 tahun keluarga Granger mengadopsiku yang dititipkan di panti asuhan oleh pria yang mengaku sebagai teman dari ibuku. Harry sendiri, kudengar ia dititipkan pada keluarga bibi Peturian. 

"Mama menyuruhku memberitahumu untuk bersiap-siap. Ada seseorang yang datang membawa surat dan berpenampilan menyeramkan!" 

Mengerikan? Aku bahkan tidak tahu definisi menyeramkan seperti apa semenjak malam itu. Suara yang dingin, jubah hitam yang berkibar. Kulirik Hermione yang tampak menatapku dengan tatapan cemas.

"Kau tidak apa?"

Aku bahkan tidak sadar tubuhku gemetar. Kupegang lengan kananku, dan tersenyum.

"Aku tidak apa-apa, baiklah aku akan bersiap. Tunggulah di bawah dengan ibu."

Hermione hanya tersenyum dan mengangguk. Ia berjalan, keluar dari kamar yang kutempati menuju ke ruang tamu yang ada di bawah. Kupaksakan tubuhku yang malas untuk bergerak, mengganti pakaian tidurku dengan yang lebih pantas.

***

"Kemari sayang," Mrs. Granger menyuruhku untuk duduk diantara dia dan suaminya. Ayah dan ibu angkatku. Saat duduk, aku baru menyadari siapa yang ada didepanku. Seorang wanita tua yang tersenyum ramah padaku dan kedua orang tua angkatku. Ia mengenakan pakaian yang aneh dengan topi yang mengingatkanku dengan penyihir di buku-buku dongeng bacaan Hermione.

"Dia adalah Professor McGonagall, ia kemari untuk memberikanmu surat ini," Mrs. Granger memberikan sepucuk surat untukku. Kulihat kop surat juga nama yang tertera disana. Dahiku berkerut, sekelibat ingatan tentu segera muncul saat kulihat nama yang tertulis disana dengan rapi.

Regulus James Potter.

Nama yang terlupakan, sudah lama sejak kusandang nama Granger sebagai nama belakangku. Kedua orang tua angkatku tidak mengetahui nama asliku, dan tentu itu membuat mereka bingung.

"Potter adalah nama keluargaku yang dulu," keduanya tampak mengangguk, tidak bertanya banyak karena memang tentang keluargaku yang dulu adalah pembicaraan yang sensitif dan mereka mengerti itu.

"Usiamu sudah beranjak 12 tahun, dan namamu juga adikmu sudah berada di Quill sejak kalian lahir," aku pernah mendengar tentang dunia sihir dari kedua orang tuaku meski samar bisa kuingat. Paman Sirius yang sekali pernah berkunjung menceritakanku tentang sekolah tempat mereka belajar.

"Hogwarts...?"

"Kau pernah mendengarnya? Itu adalah sekolah sihir yang paling besar di dunia."

"Tempat ayah dan ibuku juga Paman Sirius juga Paman Remus bersekolah dulu," kubuka surat itu sambil membicarakan hal itu. Keheningan yang ditimbulkan oleh Prof McGonagall secara tiba-tiba membuatku sekilas menatap kearahnya, mengalihkannya dari surat, "ada yang salah?"

"Tidak," wanita tua itu hanya tersenyum dan aku kembali membaca surat yang ada di tanganku. Intinya, aku akan berada disana dan mengenyam pendidikanku terutama soal sihir dan segala jenis yang berhubungan dengan itu. 

Aku mendengar sayup Prof McGonagall menjelaskan pada kedua orang tua angkatku tentang dunia sihir juga sekolah yang akan aku tempati. Sepertinya keduanya sedikit bingung juga kaget. Tentu saja, sihir hanyalah sebuah khayalan bagi kebanyakan orang. 

"Apakah kau ingin masuk ke sekolah ini?"

Pertanyaan Mr. Granger segera membuatku menoleh padanya. Mereka bertiga menoleh padaku, sepertinya memberikan keputusan sepenuhnya padaku. Sesungguhnya, sihir adalah hal yang sangat kujauhi. Di kepalaku, mantra yang diucapkan oleh sosok malam kematian kedua orang tuaku selalu terngiang.

Avada Kedavra.

Itu seperti kutukan yang membawaku selalu ke mimpi burukku. 

Tetapi, aku ingin tahu tentang dunia yang dimiliki ayah dan ibuku. Aku ingin tahu dunia sihir yang selalu diceritakan dengan senyuman oleh Paman Sirius dan Paman Remus. Dan kupikir, aku akan bisa mengetahui siapa yang membunuh kedua orang tuaku juga siapa pria malam itu yang menyelamatkanku dan adikku.

"Bolehkah?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro