ENAM BELAS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : syarahnt

Pagi mulai menyapa bumi. Dengan malas, Windi membuka kedua kelopak matanya. Kilauan sinar mentari yang lancang menerobos ke dalam kamar membuatnya sedikit menyipit.

Gadis itu meregangkan otot-otot tangannya yang terasa kaku. Semalam, ia menghabiskan separuh malam bersama anak-anak cheerleader. Beruntung hari ini sudah mulai liburan, tidak ada salahnya untuk bangun kesiangan.

Melirik jam, Windi menyibak selimut kemudian bangkit perlahan. Ia berjalan gontai ke kamar mandi untuk sekedar membasuh wajah dan menyikat gigi.

Setelahnya, gadis itu meraih ponselnya dan melihat notifikasi yang masuk. Ada beberapa pesan dari group WhatsApp kelasnya.

"Ini nih, kalo jomblo mah HP sepi everytime," dumel Windi

Windi meletakkan ponselnya kembali di atas nakas dengan kesal lalu berjalan ke luar. Susana rumah tampak sepi, ayahnya pasti sudah berangkat kerja. 

Tak ingin ambil pusing, Windi berjalan menuju dapur yang terletak di belakang ruang santai. Sesampainya di sana, ia menuang air ke dalam gelas dan meneguknya hingga tandas. Sesekali matanya melirik ke setiap sudut, berharap dapat menemukan sesuatu yang bisa mengganjal perutnya saat ini.

"Baru bangun, Win?" tanya Dira.

Windi meringis memamerkan deretan giginya yang tidak begitu rapi. "Kan libur, Mama sayang."

Dira hanya bisa tersenyum simpul.

"Yaudah, Windi ke atas dulu ya, Ma. Masih kangen sama guling," ujar gadis itu meninggalkan Dira yang geleng-geleng kepala.

"Mandi, Win. Jangan tidur lagi!" seru wanita itu.

Windi yang sudah berada di pertengahan tangga menoleh. "Iya mandi, tapi nanti siang." Ia meringis lebar.

Sampai di kamar, Windi merebahkan tubuhnya lagi di atas kasur. Tangannya mulai merayap ke arah nakas ketika didengarnya sebuah notifikasi dari akun sosmed miliknya berbunyi singkat.

Lina
Win, ada akmal sama cewek itu di sini.

Mata windi lantas membola melihat foto yang dikirim Lina. Acaranya yang semula ingin bergelung dengan gulingnya gagal total.

Sejenak, Windi menimbang. Apakah ia harus ke sana dan menggagalkan liburan keduanya. Atau, dia harus merelakan hubungannya dan Akmal yang tidak akan pernah mendapat restu dari Sofi.

Windi tidak tahu mana yang harus ia lakukan sekarang. Yang ia tahu hanyalah, dia masih menyukai pemuda itu sampai sekarang. Hati kecilnya berontak.

Menghela napas berat, gadis itu megetikkan sesuatu di layar ponselnya.

Windi
Jangan pergi dari sana. Gue nyusul.

Setelah pesan itu terkirim, Windi segera berlari menuju kamar mandi. Ia menggigil ketika air dingin mengguyur tubuh polosnya. Tidak seperti biasa, gadis itu hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk mandi dan berganti pakaian.

Segera ia memoles lip tint di bibir kecilnya kemudian mengaplikasikan bedak tipis dalam waktu singkat. Puas dengan penampilannya, gadis itu bergumam lirih,  "Sip deh. My Prince, Princess datang!"

Sesampainya di bawah, Dira menatap Windi intens. "Udah rapi, Win. Mau kemana?"

Windi meringis malu. "Katemu sama My Prince, Akmal. Biasa, Ma."

Dira mengangguk mengerti. "Yaudah, hati-hati di jalan ya! Jangan ngebut."

"Iya, Ma. Windi berangkat dulu!" pamitnya seraya menstarter motornya.

Deru motor Windi membelah jalanan ibu kota bersama ratusan kendaraan lain yang hilir mudik memadati jalan. Sesekali ia bersungut ketika beberapa motor memotong jalannya.

Sesampainya di tempat tujuan, Windi segera memasuki kafe dan menemukan pemandangan yang membuatnya sakit mata. Mereka–Akmal dan Riana–duduk berseberangan di dekat jendela. Bibir keduanya sama-sama menunjukkan tawa yang tak pernah sekalipun Windi dapatkan.

Gadis itu mengepalkan tangannya kuat. Kepalanya hampir saja pecah saat ini. Tak lama ponselnya kembali berbunyi. Windi membacanya sebentar kemudian segera menghampiri Lina yang juga masih di sana.

"Gercep banget, Neng," komentar Lina.

"Gue tuh nggak rela cowok gue dipepet cewek kaya dia!" ujar Windi dengan suara yang sengaja dikeraskan. Membuat sepasang sejoli yang disindir menoleh ke arahnya.

Akmal sedikit terkejut dengan keberadaan Windi di sini. Terlanjur ketahuan, tanpa aba-aba Windi berjalan ke arah mereka dan duduk di sebelah cowok itu.

"My Prince kesini kok nggak ngajakin aku sih," dumel Windi.

"Lo apaan, sih? Ganggu tau nggak!"

"Tega banget ngomong gitu sama gue. Padahal gue bela-belain dateng sejauh ini buat ngajak kamu pergi dari cewek itu!"

Akmal menggerutu sambil mengacak rambutnya gemas. "Windi, lo tuh apa-apaan sih? Malu-maluin tau nggak."

Setelah berkata demikian, Akmal bangkit dari duduknya dan mengajak Riana pergi dari sana. Meninggalkan Windi yang sebal dengan perlakuan Akmal terhadapnya.

"Gue kira lo udah nggak mau deketin Akmal lagi," ucap Lina yang kini sudah ada di dekatnya.

"Gara-gara kejadian kemaren?" tanya Windi dengan ekspresi datar. Matanya terus menatap kedua orang yang baru saja pergi dengan perasaan terluka.

"Gue nggak akan nyerah kok, Lin. Justru dengan kejadian kemaren, harusnya gue introspeksi diri. Dan gue akui, gue emang salah," lanjutnya.

Lina memandang sahabatnya itu tidak percaya. Namun, dia juga senang, gadis itu tidak terlarut dalam kesedihan yang tidak harus ia pikirkan.

"Akmal tuh punya pesona yang nggak bisa ditolak tau." Windi terkekeh.

Lina hanya melongo dibuatnya. Namun, kemudian dia ikut tertawa pelan. "Bisa aja lo. Yuk ah cabut, bosen gue di sini, sinetronnya udah selesai sih."

Kembali, mereka tertawa bersama. Melupakan segala masalah yang sejenak datang begitu saja.

***

Siang yang terik tak mengurungkan niat Sofi untuk mencari tau mengenai Tomi. Perihal pengambilan raport kemarin ketika Tomi juga datang ke sekolah yang sama dengan sekolah anaknya. Dia hanya ingin memastikan semuanya.

Maka, dengan berbekal tekad yang telah mencapai batas, wanita cantik itu kembali ke tempat di mana ia pernah tinggal dulu. Tempat dia merasa hidupnya ada di titik terendah. Bandung.

Sofi memperhatikan lagi alamat yang sudah lama dilupakannya. Rasa penasaran di dada makin menyeruak dengan segala kemungkinan-kemungkinan di benaknya. Meski hatinya ragu untuk kembali menyelami kenangan di masa lalu, pada akhirnya, wanita itu memang kembali ke tempat di mana ia menjadi seorang wanita sejati. Tempat yang menjadi saksi bisu bahwa ia pernah melahirkan seorang bayi dari rahimnya.

Rasa bersalah mulai mendera hatinya. Ia bersalah karena telah meninggalkan buah hatinya karena keegoisan semata.

"Pak, ke alamat ini, ya," ucap Sofi pada sopir taksi yang ditumpanginya.

Mata Sofi menerawang, mengingat-ingat keadaan jalanan yang dilaluinya kini dengan masa itu. Semuanya memang telah berubah. Mungkin statusnya sebagai seorang wanita juga tengah dipertanyakan kali ini.

Sofi mendesah pelan. Setengah jam kemudian, ia sampai di alamat yang dituju. Ia kembali menerawang. Rumah minimalis di hadapannya tampak jauh berbeda. Meskipun tempat itu masih sama kecil seperti dulu, rumah di depannya jelas lebih berkelas.

Kaki mulusnya bergerak lambat, melewati pintu pagar sebatas pinggang yang didominasi warna putih. Jalanan berlapis tanah dan rumput teki yang dulu sering dilaluinya telah berubah menjadi paving yang menimbulkan suara nyaring ketika bergesekan dengan sepatunya.

Mengumpulkan keberanian, Sofi lantas menekan bel yang terpasang di sisi pintu setengah kaca. Cukup lama ia menunggu, hingga yang kedua kalinya ia mendengar sayup-sayup orang berteriak. Pintu di depannya berderit, menampilkan seorang wanita paruh baya dengan daster melekat pada tubuhnya.

"Nyari siapa, Bu?" tanyanya sopan.

"Apa benar ini rumah Pak Tomi?" tanya Sofi.

Wanita itu membuka pintu semakin lebar, membiarkan udara sejuk di sekitarnya berebut masuk ke dalam rumah. "Maaf, mungkin Ibu salah alamat. Ini bukan rumah Pak Tomi. Saya sudah bekerja di sini sejak lima tahun yang lalu. Pemiliknya bukan Pak Tomi," papar wanita itu.

Bisa Sofi rasakan kekecewaan mulai menggerogoti hatinya. "Oh, baiklah. Kalau boleh saya tau, orang yang dulu tinggal di sini pindah ke mana, ya?"

"Wah, saya kurang tau kalau itu."

"Ada siapa, Bi?" sahut sebuah suara yang berasal dari dalam rumah.

"Ini, Bu, ada yang nanyain pemilik rumah yang dulu," sahut wanita tadi yang ia ketahui adalah seorang asisten rumah tangga.

Si pemilik rumah menatap Sofi. "Mari masuk dulu, Bu."

Sofi mengikuti langkah wanita itu untuk memasuki rumah yang pernah menjadi huniannya.

"Jadi, sebenarnya Anda siapa?" tanya Marina.

"Perkenalkan, saya Sofi. Jadi begini, apa benar penghuni rumah ini dulu bernama Tomi?" papar Sofi.

Marina mengangguk. "Benar. Saya membeli rumah ini lima tahun yang lalu."

"Apakah Anda tau, sekarang Tomi tinggal di mana?" tanya Sofi harap-harap cemas.

Hanya ini satu-satunya harapan agar ia bisa bertemu anaknya. Ya, meskipun setelah sekian lama ia meninggalkan anaknya.

"Kalau itu saya juga kurang tau, Bu. Tapi jika Ibu ingin menemui Pak Tomi, mungkin bisa menanyakannya pada Pak Bimo, dia tinggal dua rumah di sebelah kanan," beber Marina.

Setelah mengucap terima kasih, Sofi bergegas ke rumah yang ditunjuk wanita tadi. Dalam hati ia mengingat-ingat lagi tentang Bimo, pria yang ia kenal sebagai sahabat dekat mantan suaminya itu.

Sofi menatap rumah sederhana yang tampak asri itu dengan pandangan ragu. Ia tidak yakin jika Bimo akan memberitahunya alamat Tomi. Pria itu tidak menyukainya sejak awal, dan semakin membencinya ketika sidang perceraian antara dirinya dan Tomi selesai.

Tok tok tok

"Permisi!" teriak Sofi dari muka pintu.

Ia mengulanginya lagi hingga panggilan keempat, di mana seorang gadis kecil membukakan pintu untuknya.

"Tante temen Mama aku ya?" tanyanya. Belum sempat Sofi menjawab, gadis itu sudah berlari ke dalam rumah.

Tak lama seorang wanita manis keluar sambil menggandeng gadis tadi.

"Maaf, Anda siapa ya?"

"Perkenalkan, saya Sofi. Saya temannya Bimo," ujarnya sambil mengulurkan tangan.

Wanita itu balas mengulurkan tangan. "Saya Gita, istri Bimo. Ada perlu apa ya Bu Sofi ke sini?"

"Saya ingin menanyakan alamat rumah Tomi. Tadi saya baru saja ke rumahnya, tapi ternyata sudah dijual ke orang lain. Jadi, mungkin saja Bimo tau di mana rumah barunya."

Gita mengangguk mengerti. Dengan sopan, ia mempersilakan Sofi duduk di salah satu kursi besi yang ada di teras. Sedangkan wanita itu telah masuk ke dalam rumah.

"Diminum dulu tehnya," kata Gita sembari menyorongkan secangkir teh yang masih mengepulkan asap. Wanita itu duduk di depan Sofi sambil memangku gadis kecil tadi.

"Terakhir kali saya tau, mereka pindah ke alamat ini." Gita meraih note yang berada di atas meja yang biasa digunakan putrinya untuk menulis lalu menuliskan sederet alamat.

Ia menyobek kertas itu kemudian mengasongkan pada Sofi. "Setau saya keluarga Pak Tomi tinggal di sana. Tapi saya tidak tahu pasti."

Sofi menerima note itu dengan senyum merekah. "Terima kasih atas informasinya."

"Kalau boleh saya tau, Ibu ini ada hubungan apa dengan keluarga Pak Tomi?"

Sofi gelagapan. Bingung harus menjawab bagaimana. "Saya mantan istrinya Pak Tomi. Saya ingin bertemu anak saya," jawab Sofi jujur.

Gita mengangguk mengerti.

"Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu. Terima kasih sudah memberitahu alamatnya," ujar Sofi lantas berdiri dan menjabat tangan wanita itu.

"Sama-sama. Saya doakan semoga lekas bertemu kembali ya, Bu."

Sofi mengangguk sekilas lalu berjalan keluar pekarangan rumah itu. Sekarang di tangannya telah ia dapatkan jawaban dari segala kegundahan di hatinya. Ia berjanji jika ia berhasil menemukan mereka, Sofi akan memberikan apa yang seharusnya ia berikan pada anaknya yang saat ini pastilah telah tumbuh menjadi seorang remaja.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro