SEPULUH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by : sapsha_


Siswa dan siswi SMA Alamanda baru saja menyelesaikan pertempurannya dengan soal-soal UAS yang lumayan menguras energi dan pikiran. Sekarang mereka hanya menunggu hasil apakah mereka menang ataupun kalah dalam pertempuran.

Melaksanakan class meeting yang merupakan tradisi wajib setelah ujian adalah hal yang ditunggu-tunggu oleh kebanyakan pelajar, termasuk siswa-siswi SMA Alamanda. Dan salah satu yang paling menjadi sorotan adalah ... pertandingan basket. Bagaimana tidak, mereka yang masuk dalam ekstrakurikuler ini kebanyakan adalah para bintang sekolah. Belum lagi adanya team cheerleader semakin menyemarakkan jalannya pertandingan.

"Ayo semangat," sorak Windi menyemangati teman-temannya.

Meski ini bukanlah pertandingan resmi untuk memperebutkan gelar juara, tapi mereka–para anggota cheerleader seperti sudah mengabdikan diri untuk menjadi penyemarak di setiap pertandingan basket. Sebagian dari mereka yang bukan salah satu di antara keduanya pasti berpikir berlebihan, atau mungkin malah tidak suka sama sekali.

"LEON! LEON! LEON!" teriak mereka semakin bersemangat tatkala salah satu pemain forward terbaik ABT tampak menguasai keadaan. Yang paling menonjol adalah Windi, gadis itu seperti tidak kenal lelah untuk mengeluarkan suara lantangnya.

Leon sendiri saat ini tengah tersenyum namun tetap fokus pada bola di tangannya. Hatinya berdebar, tak peduli dengan sengatan sang raja siang yang begitu membara di kulitnya. Baginya kehadiran Windi sudah menjadi penyejuk.

Serangan demi serangan semakin intens dari berbagai arah. Meskipun beberapa dari mereka bukanlah atlet basket sekolah, tapi kemampuan mereka juga tidak bisa dianggap enteng. Lengah sedikit, Leon bisa kehilangan bola dan itu berarti calon nilai untuk kelasnya akan hilang begitu saja.

Setelah terjadi perebutan bola, Leon akhirnya mengoper kepada salah satu temannya hingga musuh yang tadi menjaganya mengikuti ke mana bola tersebut melayang. Bukan tanpa alasan Leon melakukan hal tersebut. Tak berapa lama kemudian bola kembali melayang ke arah ring dan segera ditangkap oleh Leon yang sudah berjaga di sana.

Dan ketika detik-detik terakhir pertandingan, pemuda itu dengan cepat mengarahkan bola ke dalam ring. MASUK! Anak-anak kelas 10-5 tampak bersorak sorai ketika papan skor menunjukkan angka 5-3 untuk kemenangan Leon, dkk. Begitu juga Windi yang sejak tadi ikut menyemangati salah satu teman baiknya tersebut.

Melepas rangkulan teman-temannya, Leon berjalan ke sisi lapangan untuk beristirahat bersama temannya yang tidak ikut bertanding. Sesekali pemuda itu menatap Windi yang saat ini tengah berbincang dengan Anin lengkap dengan pom-pom di tangannya.

"Huft ..., capek mana panas lagi," keluh Windi sembari mengibas-ngibaskan lengannya di udara.

"Capek? Masa? Perasaan tadi semangat banget ngedukung Leon," goda Lina.

Windi mencebik kesal, namun fisiknya berkhianat, wajahnya bersemu merah. "Dia kan temen gue, wajar dong kalo gue semangatin dia. Emang salah?"

"Iya-iya nggak salah. Padahal tadi gue kira elo udah ngelupain pangeran kodok elo," gurau Lina yang sontak dibantah oleh Windi.

"Stop, girls, dari pada kita berantem nggak jelas mending ke kantin yuk! Sekalian ngadem, kalian pasti capek, 'kan?" ajak Anin.

Windi dan Lina saling berpandangan sebelum mengangguk semangat. "Elo traktir," seru mereka kompak.

Memutar bola matanya, Anin berjalan lebih dulu. Sepanjang perjalanan mereka tampak bersenda gurau dan saling ejek satu sama lain. Dan tentu saja, pembahasan mereka tidak jauh-jauh dari yang namanya fashion dan cowok.

"Lo kali yang jomblo karatan, gue mah nggak ya," ucap Anin.

Tiba-tiba Lina berhenti melangkah. Gadis itu berdiri di hadapan kedua temannya dengan mimik serius yang dibuat-buat sambil menahan tawa.

"Lo ngapain sih, Lin?" kata Anin sewot.

"Nin, gue tau lo itu bukan cewek jomblo di antara kita, tapi sama kayak Windi ... lo kesaing sama cewek lain." Lina menunjuk ke arah sebuah meja yang berisi sepasang muda-mudi yang tengah serius menyantap makanannya.

Melirik ke arah pandangan Lina, Anin kemudian berujar pelan, "OMG!"

Jelas Windi dan Lina terbahak karenanya. Bagaimana tidak, saat ini Anin tengah menatap mereka dengan kilat kemarahan di matanya. Meski begitu, gadis itu tidak bisa berbuat apapun. Ia hanya bisa merajuk pada kedua sahabatnya saja.

"Brian ...," panggilnya dengan perasaan sedih.

"Udahlah, Nin, mending kita makan dulu yuk," ajak Lina sambil menyeret tubuh gadis itu ke arah sebuah meja.

Ketiga gadis itu kembali berjalan semakin ke dalam kantin. Aroma berbagai masakan menguar, membuat siapapun ingin segera mencicipi rasanya.

Tapi belum sempat mereka mendapat tempat duduk, Windi sudah disuguhkan dengan pemandangan yang menyakitkan hatinya.

Windi berhenti dan menatap satu titik dengan pandangan yang tidak jauh berbeda dengan Anin tadi. Tapi beda Anin, beda juga Windi.

"Ish ngapain sih tuh cewek kampung nempel mulu sama my prince," ucap Windi yang mulai kesal dengan kedekatan Akmal dan Riana.

"Biarin aja lah Win, mending kita ngisi perut dulu," ucap Lina kembali menengahi.

"Kalian cari tempat dan pesen makan dulu, ntar gue nyusul," ucap Windi.

"Lo mau kemana?" tanya Anin kali ini.

"Mau ngasih pelajaran sama cewek kampung itu dulu," sahutnya enteng seraya berjalan mendekati meja nomor 9.

"Liat aja, Ri, gue bakal gangguin lo terus selagi lo masih nempel sama my prince," ujar Windi dalam hati ketika langkahnya semakin dekat.

"Hi my prince," sapa Windi manja seraya bergelayut di lengan kiri Akmal.

Akmal yang sadar akan keberadaan Windi justru menghela napas berat sembari mencoba melepas genggaman gadis itu.

"Lo bisa nggak duduk di tempat laen? Ganggu tau nggak," usir Akmal.

"Nggak bisa. Gue mau jagain elo biar gak terkontaminasi sama cewek kampung ini," desis Windi sambil melirik Riana.

Riana hanya berdeham seraya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Windi menaikkan sebelah alisnya sambil tetap memeluk lengan Akmal mesra, bahkan ia tidak peduli jika banyak pasang mata memandangnya geli dan heran sekalipun. Prinsipnya, biarkan orang berkata apa, yang penting cintanya tidak direbut orang lain.

"Apaan sih, yang ada gue itu harus dijauhin dari elo. Satu lagi jangan panggil gue dengan kata 'my prince' lagi karena gue bukan prince lo dan nama gue Akmal," ucap Akmal yang mulai tersulut emosi.

"Gue tau kok nama lo Akmal, tapi emang salah kalo gue panggil elo my prince sedangkan elo emang cakep dan berwibawa kayak pangeran di buku dongeng gue?"

Akmal menepuk dahinya pelan. Makanan enak yang seharusnya meluncur mulus di perutnya terpaksa ia jauhkan dari hadapannya. "Kayaknya gue udah nggak nafsu makan, kita pergi aja yuk, Na!" ajak Akmal pada Riana.

Akmal berdiri hingga membuat pegangan Windi terlepas begitu saja. Pemuda itu benar-benar pergi meninggalkannya. Riana yang baru selesai menegak minumannya ikutan berdiri. Dan ketika tubuhnya berpapasan dengan tubuh Windi, ia mendengar gadis itu berbisik, "Lo boleh boongin diri lo dan semua orang dengan wajah sok alim lo, tapi gue ... gue nggak akan biarin lo menang, Riana."

Riana tampak memandangnya remeh di balik kacamatanya, sementara Windi jelas masih menunjukkan aura permusuhan yang begitu kental. Saling pandang untuk waktu yang lama, kedua gadis bertolak belakang itu sampai tidak sadar jika segerombol pemuda tengah berjalan ke meja itu.

"Hey, ladies, kalian masih mau duduk di sini?" tanya seorang pemuda yang biasa dipanggil Gee.

Windi memutus kontak mata dengan Riana sebelum beralih pada beberapa pemuda di belakangnya. Gadis itu tersenyum manis seraya menjawab, "Oh, nggak kok, gue sama temen-temen gue di sana." Ia menunjuk meja yang ditempati Anin dan Lina. "Kalian mau duduk? Ya udah silakan, gue mau ke sana kok," lanjutnya.

Riana sudah lebih dulu pergi. Tugas Windi hari ini selesai. Berjalan melewati gerombolan tadi, Windi melirik Leon yang sejak tadi ia tahu kedapatan tengah menatapnya sembari tersenyum simpul. Gadis itu kembali berkumpul bersama kedua sahabatnya.

"Udah sih ngeliatnya biasa aja," goda Herwin, salah satu teman Leon.

Leon tersenyum singkat sebelum duduk di sebelah temannya yang lain.

Disisi lain, setelah sampai Windi langsung dihujani pertanyaan oleh kedua sahabatnya.

"Lo ngapain tadi kesana? Akmal nyuekin lo lagi? Riana bilang apa? Kenapa mereka keluar kantin?" tanya Anin dan Lina bergantian tanpa memberikan Windi celah untuk menjawab.

"Kalian kalo nanya satu-satu ngapa, kalian mau liat gue mati jantungan gara-gara pertanyaan kalian?" tanya Windi.

"Hehe, maaf,'' ucap mereka serempak.

Walaupun begitu, pada akhirnya Windi juga menceritakan setiap kronologi bagaimana kejadian tadi.

***

"Eh Win lo gak ngeliat Leon tadi?" tanya Anin ketika mereka tengah berjalan ke arah toilet.

"Liat kok, kenapa?" tanya Windi balik.

"Nggak pa-pa sih, gue cuma heran aja kenapa lo malah b aja sama Leon," ucap Anin.

"Kan udah pernah gue bilang kalo gue gak suka sama Leon karena dia sahabat gue," tegas Windi lagi.

"Emang lo masih suka sama Akmal setelah dia dengan terang-terangan nunjukin kedekatannya dengan Riana sama lo?" tanya Anin lagi.

"Masih lah, lagi pula gue juga bakal nyingkirin tuh cewek kampung dan dapetin my prince gue," ucap Windi yakin. Kedua tangannya sibuk membenahi anak rambutnya yang terlepas dari kucir kudanya.

Ketiga gadis itu berjalan lambat hingga tidak sadar bahwa seseorang tengah berjalan di belakang mereka dengan hati dongkol. Seseorang itu memutar bola matanya bosan. Seragam basket kebanggaannya sudah basah karena keringat, tapi keinginannya untuk bisa mandi dan berganti pakaian terhambat hanya karena tiga anggota cheers sekolahnya menghalangi jalan.

Apalagi mendengar pembicaraan mereka yang berputar pada hal-hal klise seperti cinta yang membuat mereka jadi manusia lemah dan bodoh di muka bumi.

"Segitu yakinnya lo bakal dapetin Akmal?" tanya Anin sambil terkekeh.

"Yakinlah, selagi janur kuning belum melengkung masih bisa gue tikung, eh gak dingkan dia yang nikung gue," ucap Windi sembari terkekeh ketika mengingatpengkhianatan mantan sahabatnya tersebut.    

Kesal, seseorang tadi sedikit mendorong tubuh Lina yang berada di sebelah kanan hingga ia bisa lewat dengan mudah. Lina mencebik kesal. "Apa-apaan sih lo?"

Seseorang tadi menoleh malas kemudian berkata, "Kalian tuh ngalangin jalan tau nggak? Dan lagi, yang kalian omongin semuannya nggak penting."

Sontak, Anin melotot dibuatnya. "What? Nggak penting? Hello, lo cewek dari planet mana sih?"

"Well, kalian bodoh kalo mikirin cowok terus-terusan. Apalagi kalo cowok yang kalian deketin itu jelas-jelas nggak suka sama kehadiran kalian. Kalo kalian pinter, harusnya kalian bisa mundur teratur dan cari cowok laen," katanya acuh sembari berjalan mendahului mereka.

Windi merasa tersindir. Tapi yang bisa ia lakukan hanyalah  tersenyum kecut saat ini.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro