🍎37🍎 Pernyataan Yuga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Prinsha masuk ke kamar Mareta tanpa mengetuk pintu. Di sana terlihat wanita paruh baya itu sedang bersantai sambil membaca majalah kecantikan. Mareta menatap Prinsha sekilas dan kembali fokus pada majalahnya. Sesekali wanita itu bersenandung kecil sambil membalikkan halaman majalah.

“Ma,” panggil Prinsha sambil mendekat.

“Jangan panggil saya seperti itu!” bentak Mareta. Sudah berapa kali ia bilang agar Prinsha memanggilnya dengan sebutan Mama. Namun, cewek itu tetap membangkang.

“Kenapa gak ngadu ke Papa?” tanya Prinsha. Ia yakin Paundra belum tahu masalah Prinsy hampir meracuni Mareta. Kalau Paundra sudah tahu, Prinsha tidak akan ada di rumah itu lagi.

“Jangan salah paham. Saya gak ngadu karena saya gak mau kamu diusir sekarang. Setelah dipikir-pikir, kalau saya ngidam nampar orang, saya harus nampar siapa?”

Mareta tersenyum miring. Wanita itu tidak berubah sama sekali dan masih berpikiran licik seperti itu. Prinsha tidak habis pikir kenapa mama tirinya itu tidak menyukainya sejak pertama mereka menjadi keluarga. Entah apa salah Prinsha hingga Mareta sangat membencinya.

“Aku doain yang terbaik buat bayi itu. Semoga dia cantik kayak mamanya dan punya sifat yang jauh dari pohonnya,” ucap Prinsha sambil tersenyum manis.

Jika Mareta tidak bodoh, wanita itu pasti tahu makna ucapan Prinsha. Seperti pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Prinsha berharap bayi yang akan Mareta lahirkan itu sifatnya berbeda dengan sang ibu. Apa jadinya jika calon bayi itu memiliki sifat yang sama seperti Mareta? Mungkin iblis di rumah neraka itu akan bertambah menjadi dua.

“Maksud kamu apa?” tanya Mareta yang merasa ucapan Prinsha sedikit ganjal. Matanya mendelik dan tangannya meremas majalah yang dipegangnya. Ia merasa ucapan Prinsha memiliki makna yang menyindirnya.

“Pikir sendiri dong. Kayaknya otak Mama itu mahal kalau dijual. Soalnya gak pernah dipake,” ejek Prinsha sambil tersenyum miring. Kemudian ia berbalik badan dan melangkah keluar.

“Kurang ajar kamu, Prinsha! Heh! Anak sialan! Jangan pergi kamu!” jerit Mareta seperti orang kesetanan.

Prinsha semakin senang bisa membuat Mareta marah. Biasanya Mareta kalau marah akan membabibutanya. Namun, sejak wanita itu hamil, Prinsha hanya beberapa kali saja mendapat kekerasan. Cukup menguntungkan saat Mareta hamil.

“Bentar lagi gue bakal pergi dari rumah ini,” ujar Prinsha sambil tersenyum miris. Ada rasa senang dan juga sedih yang bercampur aduk. Entah apa yang membuatnya sedih, padahal tidak ada kebahagiaan yang ia terima selama tinggal di rumah itu.

Ponsel Prinsha berdering tanda ada yang meneleponnya. Prinsha segera melihat ponselnya dan ternyata dari Yuga. Sudut bibir Prinsha tertarik hingga membentuk senyuman manis. Senang rasanya karena Yuga menelepon setelah sekian lama mengabaikannya.

“Halo, Ga!”

“Gue tunggu di taman kota deket rumah Reja jam tiga sore. Gue mau ngomong.”

“Kok tum—”

Yuga memutuskan panggilannya sehingga Prinsha tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Yuga mengajaknya bertemu? Prinsha jadi berdebar-debar menanti apa yang akan Yuga lakukan di taman kota. Mungkinkah Yuga akan mengajaknya berpacaran dan meresmikan hubungan mereka yang gantung dalam waktu lama? Semoga saja iya. Prinsha sangat menantikan itu.

“Hilang 'kan kesel gue sama lo,” kata Prinsha sambil menatap layar ponselnya yang terpampang foto Yuga sebagai wallpaper. Senyumnya terus terpancar di bibirnya sambil masuk ke kamarnya dengan riang. Kemudian ia merebahkan tubuhnya di kasur untuk menunggu pukul tiga sore datang.

“Padahal baru aja mau gue datengin,” ujarnya lagi sambil tersenyum-senyum dan menatap langit-langit kamarnya.

Prinsha tidak boleh ketiduran. Ia harus terjaga sampai waktu yang telah ditentukan tiba. Sembari menunggu waktu berjalan, Prinsha melihat-lihat story whatsapp teman-temannya. 

“Loh, mereka mau ke pantai gak ngajak-ngajak,” gerutu Prinsha saat melihat postingan Reja, Ghanu, dan Deros di whatsapp. Mereka bertiga sedang bersama Varas. Hanya Yuga yang tidak ikut. Prinsha pun mengecek pesan-pesan yang belum ia baca. Ternyata mereka sudah mengajak Prinsha, tetapi Prinsha saja tidak melihat pesan itu.

“Gak papa deh. Yuga juga gak ikut,” kata Prinsha sambil tersenyum lebar.

🍎🍎🍎

Pada pukul setengah tiga Prinsha sudah sampai di taman kota. Ia datang lebih awal dari waktu yang Yuga tentukan. Prinsha tidak henti-hentinya tersenyum sambil membayangkan apa yang akan Yuga bicarakan nantinya. Sesekali ia melirik jam tangannya untuk melihat waktu yang berjalan sangat lambat.

“Sha,” panggil seseorang. Ini suara Yuga. Prinsha langsung menoleh dengan semangat. “Kenapa dateng awal? Gue 'kan bilang jam tiga.”

“Kita udah lama gak ketemu. Lo sibuk banget ya?” ujar Prinsha mengabaikan pertanyaan Yuga tentang alasannya datang lebih awal.

Yuga duduk di samping Prinsha. Raut wajahnya terlihat gusar dan gelisah. Ini bukan pertanda baik. Prinsha menepis pikirannya tentang Yuga akan mengajaknya berpacaran agar ia tidak terlalu berharap. 

“Lo mau ngomong apa?” tanya Prinsha.

“Gue gak tahu sejak kapan rasa itu tumbuh,” kata Yuga pelan. Kepalanya tertunduk, seperti merasa bersalah dengan apa yang sudah ia lakukan. Entah apa itu, Prinsha tidak tahu.

“Rasa cinta?”

“Maaf,” kata Yuga. Cowok itu tidak berani menatap Prinsha sehingga Prinsha merasa aneh. Yuga sedang menyatakan cintanya, tetapi ia bahkan tidak menatap Prinsha dan malah minta maaf. Prinsha jadi bingung.

“Kenapa, Ga? Langsung intinya. Gue gak ngerti kalau lo ngomong setengah-setengah gini,” ucap Prinsha tidak sabaran. Ia tidak ingin berasumsi aneh-aneh tentang pembicaraan Yuga yang terkesan ambigu.

Yuga menghela napas berat. Kemudian ia menatap Prinsha sekilas dan memalingkan wajahnya yang terlihat sangat merasa bersalah. Sebenarnya kesalahan apa yang Yuga buat sampai seperti itu?

“Ga, cepetan. Gue penasaran,” tuntut Prinsha. Yuga sangat bertele-tele sehingga Prinsha merasa kesal sendiri karena sangat penasaran. 

“Gue suka sama seseorang.”

Jantung Prinsha berdebar-debar dengan kencang. Ada firasat buruk tentang apa yang akan Yuga ucapkan selanjutnya. Namun, Prinsha berusaha menyenangkan dirinya. “Gue, 'kan?” tanya Prinsha sambil terkekeh garing. Dalam hati ia berharap kalau Yuga mengiyakan pertanyaannya.

“Iya.”

Prinsha tersenyum lega. Hampir saja ia pikir kalau Yuga menyukai cewek lain selain dirinya. “Gue tahu,” kata Prinsha.

Yuga terdiam lama. Tatapannya tertuju ke sebuah kedai es krim yang ada di dekatnya. Di sana ada seorang cewek yang sangat ia kenali. Yuga menatap Prinsha dan cewek yang sedang memakan es krim itu secara bergantian.

“Tapi sekarang udah berubah,” ucap Yuga. Ia menatap Prinsha dengan lekat-lekat. Dengan keberanian yang ia kumpulkan, akhirnya ia bisa menatap Prinsha.

“Maksud lo?” tanya Prinsha. Wajahnya memerah karena menahan tangisnya. Ia sejak tadi memperhatikan ke mana arah mata Yuga memandang. Perlahan ia mengerti apa yang terjadi dengan Yuga. Namun, entah kenapa Prinsha tidak mau asal menyimpulkan. Ia harus mendengar sendiri dari Yuga, walau nantinya kebenaran itu akan membuatnya sakit.

“Gue salah paham sama perasaan gue. Gue kira, gue suka sama lo. Ternyata gue suka sama dia,” jelas Yuga sambil menatap cewek yang juga sedang menatapnya dari jauh.

“Jadi, lo suka Liza?” tanya Prinsha. Bibirnya bergetar dan air matanya menggenang di pelupuk matanya. Ia menatap ke arah lain agar Yuga tidak melihatnya menahan tangis. Rambutnya yang dikucir kuda langsung Prinsha gerai agar wajahnya bisa tertutup.

“Kita salah paham sama perasaan kita, Sha. Kita gak saling suka. Kita cuma terbawa janji masa lalu,” kata Yuga.

Mudah sekali cowok itu berkata seperti itu. Prinsha merasakannya sendiri, bukan Yuga. Yuga boleh mengatakan perasaaannya sendiri sebagai kesalahpahaman. Namun, Prinsha tidak terima saat Yuga bilang kalau perasaannya adalah kesalahpahaman. Prinsha benar-benar yakin kalau ia menyukai Yuga bukan karena janji masa lalu.

“Gue suka lo sebelum gue tahu kita temen kecil,” ucap Prinsha. Sebisa mungkin ia membuat suaranya terdengar normal. Air matanya sudah mengalir deras karena tidak bisa lagi ia tahan. Rambut lebatnya sangat berguna untuk menutupi wajahnya agar Yuga tidak melihat ia menangis.

“Mungkin aja 'kan lo ngerasa gak asing sama gue,” sangkal Yuga lagi. Prinsha sangat sakit hati karena Yuga ternyata tidak pernah menyukainya setelah bertemu sebagai remaja. Namun, yang paling menyakitkan adalah saat Yuga menyangkal perasaaannya.

Prinsha berdiri. Ia ingin kabur dari tempat itu sekarang juga. Akan tetapi, Yuga mencekal tangannya sehingga Prinsha tidak bisa pergi. Sudah cukup ia tahu kalau Yuga tidak menyukainya.

“Gue belum selesai ngomong, Sha.”

Prinsha geram. Ia langsung berbalik badan dan menampar pipi Yuga dengan karas. Yuga sangat terkejut karena Prinsha menamparnya, apalagi saat melihat wajah Prinsha yang memerah dan penuh air mata. Yuga berpikir, diakah penyebab Prinsha menangis?

“Lo kenapa nangis, Sha?” tanya Yuga sambil mengulurkan tangannya, hendak menghapus air mata Prinsha. Namun, Prinsha segera menepisnya dengan kasar.

“Gue bilang gue suka sama lo sebelum gue tahu kita temen kecil, Yuga! Gue bener-bener suka sama lo! Jangan anggep perasaan gue cuma salah paham kayak lo! Lo berengsek! Gue sakit, Ga! Gue sakit!” jerit Prinsha sambil menampar pipi Yuga berkali-kali. Ia ingin menyalurkan rasa sakitnya dengan menampar Yuga. Ia tahu rasanya ditampar itu sangat sakit, tetapi ia lebih sakit karena hatinya terluka.

Banyak orang yang menonton Prinsha dan Yuga. Rasa penasaran mereka membuat mereka tidak tahan untuk tidak menonton. Termasuk Liza, cewek itu sampai membuang es krimnya dan melangkah mendekat saat melihat Prinsha menampar Yuga berulangkali.

“Lo tega banget sih, Ga. Lo bikin penderitaan gue bertambah. Rasanya sakit banget, Ga,” lirih Prinsha yang kini sudah terduduk di rerumputan. Sementara Yuga terdiam mematung sambil melihat Prinsha yang sudah ia sakiti.

“Yuga, Prinsha kenapa? Lo ngapain dia?” tanya Liza pada Yuga.

“Mana Yuga yang baik? Kenapa dia berubah jadi jahat gini? Kenapa dia tega nyakitin gue? Kenapa? Jawab gue, Liza! Balikin Yuga yang dulu!” teriak Prinsha sambil menatap Liza marah.

“Maaf,” kata Yuga. Hanya kata maaf yang bisa ia katakan pada Prinsha. Ia tidak tahu kalau reaksi Prinsha akan seperti ini. Ia kira Prinsha tidak serius menyukainya. Ia kira Prinsha akan baik-baik saja saat ia bilang kalau ia menyukai cewek lain.

“Yuga suka sama lo, Liz. Dia ninggalin gue,” lirih Prinsha. Ia tampak lebih tenang setelah berpikir lama. Ia merasa bersalah karena telah menyalahkan Liza padahal Liza tidak tahu apa-apa. “Maaf karena gue marah-marah sama lo.”

“Yuga, lo buat gue jadi orang ketiga di hubungan kalian?” tanya Liza sambil menatap Yuga kecewa. Ia langsung mengerti apa yang sedang terjadi. Liza terjerat dalam hubungan pemeran utama seperti di novel-novel dan menjadi orang ketiga. Kenapa Liza menjadi seperti orang jahat dalam hubungan mereka?

“Lo bukan orang ketiga, Liz. Gue suka sama lo,” kata Yuga sambil menggenggam tangan Liza di depan Prinsha.

“Kenapa gue rasanya jadi pelakor?” Mata Liza berkaca-kaca karena nasibnya yang malang seperti ini. Yang salah adalah Yuga. Kenapa Liza yang merasa paling jahat? Prinsha jadi tersakiti seperti itu karena dirinya.

“Lo bukan pelakor,” kata Prinsha tegas. Ia berusaha tegar agar terlihat tidak lemah hanya karena seorang cowok. Lagipula ia sudah sempat membagi rasa sakitnya melalui tamparan. Jadi, Prinsha merasa sedikit lega, walaupun rasa sakit di hatinya tetap ada.

“Sha, maafin gue,” lirih Liza. Ia tidak berbuat apa-apa, tetapi ia tetap merasa bersalah. Coba saja ia tidak dekat dengan Yuga. Coba saja ia tidak lancang sudah menaruh rasa pada Yuga. Prinsha tidak merasa sakit seperti ini kalau ia tidak ada.

“Sha, hubungan kita berakhir ya. Maaf kalau gue berengsek,” kata Yuga sambil menatap Prinsha.

Prinsha yang tadinya terdiam langsung tersenyum. Lambat laun senyumnya menjadi tawa. Matanya terus mengeluarkan air mata, tetapi ia bisa tertawa, membuat Liza dan Yuga semakin bersalah telah menghancurkan hati yang retak itu.

“Hubungan kita berakhir?” tanya Prinsha setelah tawanya mereda. Ia mengusap air matanya dengan kasar dan berusaha tersenyum untuk menunjukkan dirinya yang baik-baik saja. “Emang kita pernah pacaran?”

Yuga terdiam. Prinsha benar, mereka tidak pernah punya hubungan lebih dari teman. Yuga tidak pernah mengajak Prinsha berpacaran, hanya pernah menyatakan cinta seperti saat mereka masih kanak-kanak.

GIMANA PART INI? MAU ADA KONFLIK LAGI?😂

Kamis, 31 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro