Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di ruang rahasia—tidak rahasia sebenarnya, hanya bekas gudang gimnastik—dengan label ekstrakurikuler Biologi, kami mulai membahas agenda klub kami yang sebenarnya. Klub PCG. Meski sudah kelas dua belas, Kak Voni masih berdedikasi terhadap majunya kepercayaan diri para perempuan jelek.

Jika boleh jujur, klub ini terdengar seperti menghina diri sendiri. Seakan menyemangati dengan cara saling melempari kotoran sapi. Namun aku nyaman-nyaman saja, karena visi-misi kami sama. Mencintai Cowok Ganteng Tanpa Harus Dimiliki.

Terdengar menyedihkan dari sudut pandang kalian para makhluk good looking. Meski bagi orang kurang secanting sepertiku hal itu tetap saja menyedihkan.

"Target baru kita, Marcello Januari." Kak Voni memasang foto Marcello—kurasa diambil dari instagram—ke papan tulis transparan. Aku menelan ludah menahan detak jantung yang yang bergemuruh setiap melihat wajah tampan Marcello.

"Ih, Vivian ngeces!" tunjuk Morin setengah berteriak, menyudutkan adik kelas kami. Vivian segera mengelap liurnya dengan punggung tangan seraya meminta maaf. "Maaf kak, soalnya dia ganteng banget."

"Ih, Gilda ingusan." Kali ini Morin menunjukku. Segera aku mengelap hidung dengan sapu tangan buluk. Aku turut meminta maaf.

Kak Voni kemudian melanjutkan presentasi. "Karena dia anak baru, kita perlu mengulik informasi tentang dia."

Yeah, keren jika kami tahu banyak hal tentang orang itu padahal bukan siapa-siapanya.

"Untuk itu, gue bakal nunjuk Vivian untuk mencari tahu informasi tentang Marcello Januari." Kak Voni memutuskan dan aku menghela napas lega mendengarnya. Vivian bertepuk tangan gemuruh bahkan sampai melompat-lompat saking senangnya.

"Vivian, tujuan kita hanya mengagumi bukan BERHARAP dipacari. Jadi turunkan ekspektasi lo." Kak Voni menghempaskan anak itu sejadi-jadinya. "Nah, karena dia anak kelas sebelas, maka Vivian butuh bimbingan. Kali ini gue tunjuk Gilda yang selama ini kerjaannya gak becus."

Oh Tidak! "G-gue... Anu-anu... Ap-ap." Aku mengap-mengap, bahkan membantah seperti ini pun aku payah. Semenjak Stevi keluar dari klub, semua beban diletakkan ke punggungku. Yeah, karena kami hanya beranggotakan lima orang.

Alge orangnya pelupa, Morin bengekan, sementara aku kikuk. Jadi mungkin kak Voni lebih menaruh kepercayaan pada orang kikuk daripada individu dengan permasalahan pada otak dan fisik.

Aku menahan napas. Seperti yang sering dikatakan Morin : Nampaknya aku siap dikubur kapan saja.

🤧🤧🤧

"Ayahnya Dwiki Januar Marcello, pengacara MA, lahir di Taiwan. Ibunya Sherly Tuongthongkram, psikolog anak. Keturunan Thailand-China," ucapku hati-hati selagi Vivian menulis di buku dengan cekatan. "Dia waktu kecil pernah tinggal di Chiang Mai, kemudian waktu SMP baru pindah ke Jekardah, dan akhirnya nyasar di Palembang."

Sapu tanganku menggelayuti hidung. "Makanan kesukaannya bakmi dan kwetiaw. Musik favoritnya lagu-lagu lama, Guan Zhe, Carabo Band, Siti Nurhaliza. Warna kesukaannya biru langit—"

"Wha pantes aja Kak Voni pilih kasih terus ke kakak," potong Vivian tiba-tiba. "Orang Kak Gilda sekeren ini, bisa langsung tahu banyak hal tentang Kak Marcello."

Iya karena dulu aku babunya. Waktu SMP aku merasa Marcello sepertinya tidak bisa hidup tanpaku. Bukan karena cinta mati, tapi karena aku yang mengurus hampir segala keperluannya. Dia sebenarnya tak memperlakukanku seperti babu, hanya saja aku yang berinisiatif. Yeah, setidaknya aku berguna meski wajahku tidak.

Marcello mengakui hubungan kami dan beberapa orang tahu—hampir semua dari mereka tak terima nasib. Waktu itu aku meninggalkan Marcello bukan karena aku insecure. Tapi... yaah, berada di dekat orang sepertinya kerap membuatku tak berharga dan semakin tak berharga. Maksudku, apakah dia benar-benar menyukai cewek buluk ingusan sepertiku atau sengaja memacariku agar dirinya terlihat lebih bersinar?

Aku ragu. Belum lagi orang-orang semakin membuatku ragu. Bagaimana jika aku tak pernah cukup? Bagaimana jika aku hanyalah seorang babu? Bagaimana jika setelah masa puber yang berkepanjangan, aku tidak menemukan titik glow up?

Ketika Ayah dan Ibu bercerai, Ayah menawarkanku untuk tinggal dengannya di Palembang. Sementara adikku tetap di Jakarta bersama Ibu. Pokoknya waktu itu salah satu dari kami harus memilih.

Aku justru melihat kesempatan ini sebagai jalan untuk melarikan diri. Sungguh, aku bukannya tak bersyukur atau merasa tak tahu diri karena meninggalkan Marcello. Tapi hubungan kami benar-benar membuatku sesak. Rasanya seperti rantai besar yang membelenggu dan Marcello menjadi penjaganya.

Karena kikuk dan tolol, aku memutuskan hubungan dengan Marcello melalui SMS lalu menjual gawaiku di konter terdekat—kebayang kan bagaimana konyolnya aku.

Seperti biasa, setelah mengumpulkan informasi atau menjadi intel dadakan, kami harus melakukan observasi. Meneliti apakah laki-laki yang menjadi target utama merupakan cowok yang nempel sana-sini atau jenis cowok dingin yang keep halal sehingga kami bisa memutuskan untuk tetap mengaguminya atau tidak.

Di kantin, aku berusaha menutupi wajah dengan buku Marshandaku karena rambutku terlalu pendek untuk diandalkan. Sebisa mungkin aku transparan bagi Marcello meski senyum laki-laki itu berhasil bikin hidungku beler.

Sementara Vivian nampaknya tak dapat diajak kerja sama. Dia malah bergeliat ganjen dan sengaja mencari perhatian rombongan anak cowok. "Vivian! Jangan sampai ketahuan," peringatku seraya mengucek hidung yang tak berhenti basah.

"Tapi ganteng-ganteng, Kak. Gue rasanya—"

"Gilda." Suara berat itu langsung membuatku menoleh. Aku memekik mendapati Marcello kini berdiri di hadapan kami. Vivian sendiri terlihat antusias. "Benar Gilda, kan?" Suaranya terdengar menuding sampai-sampai jantungku hendak meletus.

"Ya, ini Kak Gilda. Kok bisa tahu sih." Vivian justru memperburuk keadaan. "Ih, Kak Gil, dia kenal sama Kakak lho."

"Stop!" Aku mendelik dan melirik Marcello lagi. Wajahku spontan berpaling mendapati tatapan dingin itu. "A-ah, lo kok bisa kenal gue. Padahal gue gak terkenal, ya kan?" Aku coba mengajak Vivian berkompromi meski otaknya kurang secanting.

"Kita perlu bicara," katanya dingin. Aku menelan ludah dan gelagapan seperti ikan kehilangan air.

"Bi-bicara? Untuk apa? Gue bukan anak jurnalis." Aku menunduk dalam.

"Oy semuanya..." Tiba-tiba Marcello berteriak di tengah kantin. "Gue sama Gilda—"

"Ayo-ayo pergi!" sergapku seketika sebelum dia melakukan yang tidak-tidak. Nampaknya Marcello tidak berubah. Dia dulu mengumumkan hubungan kami di tengah keramaian kantin persis seperti tadi.

Aku menatap awas koridor belakang, baru setelahnya menilik wajah tegas Marcello. Mata kecil nan tajam itu mengiris sorot pandang kikukku. "Lo berhutang penjelasan." Marcello bersedekap dan bersandar di dinding.

Aku menundukan wajah dengan sapu tangan menempel di hidung. Bahkan ingus sekalipun tidak dapat diajak kerja sama saat ini. "A-anu... gue kan itu... tapi anu... padahal sebenernya itu..."

"Gil, gue gak punya waktu untuk hal ini." Marcello menghela napas.

"Orang tua gue cerai." Aku mendesah lirih. "Gue ikut bokap ke Palembang."

"Kenapa gak ngomong dulu?"

"Kan udah lewat SMS."

"Kenapa gak ngomong dulu!?" tekannya. Aku menutup mata sejenak dan menahan napas.

"Yang sebenernya ngejer-ngejer itu siapa sih?" Belum sempat aku menjawab pertanyaan pertama, dia sudah menambah yang baru. Ironis memang karena dulu akulah yang mengejar-ngejarnya dan menyatakan cinta.

"Gue lelah." Aku mengakui dengan napas menghela. "Gue lelah sama cowok ganteng." Kini kubalas sorot mata dalam laki-laki itu. "Gue gak sanggup mikul bebannya. Lo dulu selalu bilang agar gue gak perlu denger omongan orang, tapi gue selalu denger, dan omongan itu ada. Gue gak mau cuma jadi candaan temen-temen lo setiap kita kumpul, gue capek jadi aib lo setiap kita jalan."

Dia tak merespon. Masih dalam posisi bersedekapnya.

"Gue cuma mau jadi... yaa semacem orang yang suka lo dari kejauhan aja. Dan sekarang gue udah nurunin standar gue. Gue suka sama cowok yang sederajat bentukannya."

Marcello tertawa. "Maksud lo, sekarang tipe cowok lo yang jelek, gitu?"

"Ya." Aku tersenyum. Kukira tawa Marcello barusan mengartikan jika dia menerima alasanku.

"Terus? Cowok jeleknya udah ada yang mau sama lo?"

Aku mengulum senyum dan menggeleng pelan. "Nggak ada."

Dia kembali tertawa. Kali ini lebih lama. "Kasihan banget gue. Jadi satu-satunya cowok yang suka sama lo." Dia kemudian berjalan mendekatiku. Aku menunduk dalam ketika jarak kami hanya sejengkal. "Gue terima lo waktu itu karena lo cewek baik. Tapi... gue gak nyangka lo kayak gini."

Mataku mengabadikan senyum getirnya. Dia nampak... kecewa. Dan ketika Marcello pergi, aku juga merasa sedikit kecewa terhadap diriku sendiri.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro