Big Family

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keluarga besar Agus sering mengadakan pesta makan malam. Rumah mewah nan megah yang ditempati oleh Wijayanto, pengusaha tajir melintir yang sudah terkenal di beberapa negara Asia.

Produk-produk ternama yang dipegang oleh Wijayanto hampir semua sukses besar. Hanya beberapa kegagalan yang pernah ia dapatkan, salah satunya ialah saat calon menantunya hamil di luar nikah. Banyak investor yang menarik sahamnya di perusahaan utama dan Wijayanto hampir berada di titik kehancuran.

Anaknya yang lain bisa mendapatkan suami atau istri yang berpendidikan. Sedangkan, Agus, ia hanya mendapatkan seorang istri yang tamat di bangku pendidikan menengah atas. Bagi mereka yang hanya melihat paras, berpikir bahwa Yuni merupakan model terkenal pada eranya, tetapi berbeda dengan Wijayanto yang memiliki pikiran bahwa seorang model yang tak berpendidikan akan hilang dalam ingatan masyarakat dalam sekejap. Terbukti, saat Yuni hamil di luar nikah, bukan hanya karirnya yang mandek, tetapi ia juga mendapatkan ujaran kebencian, puncaknya saat ia mendapatkan teror yang membuatnya hampir bunuh diri.

"Bunda ikut kita kan, Pa?" tanya Ceres yang sudah siap dengan mengenakan gaun berwarna biru laut yang panjangnya sejengkal di bawah lutut yang menutupi lengannya tiga perempat.

Agus mengangguk. "Tunggu lima menit," jawab Agus yang masih sibuk dengan telepon pintarnya.

Misis baru saja turun dari lantai atas. Ceres terkagum, pesona Misis memang berbeda. Saudari kembarnya mengenakan gaun tak berlengan dengan warna putih gading yang panjangnya selutut. Anggun, menjadi ciri khas tersendiri yang terpancar pada diri Misis. "Apa liat-liat?" tanya Misis yang merasa risih jika Ceres melihatnya dengan kekaguman yang berlebih.

"Idih, galak amat. Senggol bacok, Mbak?"

Misis terkekeh, ia membalas, "Iri bilang, Bos."

Ceres hanya ikut tertawa, tentunya Ceres iri dengan apa yang Misis dapatkan, kekasih yang menyukainya, nilai yang sangat luar biasa, dan memiliki sifat yang membuat orang lain terkagum. Tetapi, Ceres tak tahu bahwa Misis menanggung beban batin yang luar biasa. Bukankah manusia sangat pandai menipu diri sendiri dan orang lain?

***

Kerlipan bintang malam tak menghiasi langit yang meredup. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Seakan-akan langit tahu bahwa ada dua insan yang kini tengah bersedih karena cemoohan keluarganya sendiri.

"Oh, itu keluarganya Agus? Yang istrinya kena skandal, kan?"

"Saya enggak pernah ngelihat anaknya bersanding sama anak saya yang juara olimpiade matematika tingkat nasional, Mbak. Udah gagal jadi perempuan, gagal juga jadi ibu, kerjaannya sama laki-laki lain, sih!"

"Agusnya juga bukannya sama, ya?"

Gonggongan anjing saling menyauti satu sama lain. Seakan belum puas, mereka mencari-cari kesalahan anggota keluarga yang lain, mata mereka seperti alat scan barcode yang ada di pasar swalayan, menilai seakan-akan mereka tahu luar dan dalam diri kita.

Terkadang kita tak bisa mengetahui, mengerti, dan memahami diri kita sendiri. Tetapi, mereka yang menilai kita terkesan sangat mengetahui diri kita sendiri, bukankah cara kerja dunia itu sangat lucu?

"Bisa diam?" tanya Wijayanto yang baru saja tiba untuk menyambut kedatangan anaknya.

Mereka semua seketika menciut mendengar suara tegas dan lantang dari sang pemilik rumah. Bisa bahaya jika mereka berkata satu huruf saja, maka siap-siap Wijayanto akan meluluhlantakkan segala properti yang ia berikan kepada mereka semua.

"Makan malam yang saya adakan bukan untuk mencemooh satu sama lain. Kamu seorang direktur rumah sakit, seharusnya kamu sadar bahwa kemampuanmu saja tak mampu menjadikanmu seorang direktur yang dihormati oleh banyak orang, jika kamu tak menikahi anakku, kamu tak akan berada di posisi saat ini. Jadi ... tutup corong suneomu untuk beberapa jam kedepan." Wijayanto menatap tajam perempuan yang sudah menunduk takut.

Mereka semua diam, tak ada yang bersuara. Saat Wijayanto masuk ke dalam rumah, memimpin untuk berjalan ke arah ruang makan, mereka hanya mengekori di belakang.

"Kalian mau melaksanakan tradisi setelah makan malam atau sebelum makan malam?" tanya Wijayanto sedikit berbasa-basi.

Semuanya diam, tak ada yang menyaut. Aura intimidasi yang lama terpendam, karena pensiun dini langsung saja menguar memenuhi ruangan yang saat ini mereka pijaki.  Mereka masih saja menatap dinginnya lantai yang mereka injak. Tak berani menegakkan wajah mereka untuk melihat wajah Wijayanto.

"Agus?" panggil Wijayanto, seakan-akan ia tengah meminta saran dari anak emasnya.

Wijayanto mengangkat wajahnya, ia memandang ayahnya dengan sopan. "Sebelum makan, Pah." Jawaban Agus mampu membuat Wijayanto senang bukan main, itu berarti ia bisa mendamprat anak, menantu, dan cucunya terlebih dahulu.

"Saya suka keputusanmu," ujar Wijayanto dengan senyum bangga. Berbeda dengan anggota keluarga yang lain, ia harus siap-siap melapangkan batin mereka untuk menerima hinaan dari Wijayanto.

Wijayanto menatap direktur rumah sakit yang baru beberapa menit yang lalu mempermalukan Agus. "Saya menunggu keluarga kamu di ruangan saya, SEGERA!" Wijayanto melangkah menuju ruangannya, meninggalkan mereka yang sudah berwajah pucat. Tak ada yang tahu nasib mereka beberapa jam kemudian, bisa saja setelah keluar selangkah dari ruangan Wijayanto mereka akan jatuh miskin.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro