Papa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ceres dan Misis terpaku di atas lantai dingin ruang tamu, mereka kompak menatap papanya yang berjalan linglung memasuki rumah, tak lupa bibirnya yang mengucapkan kata-kata asal dan kasar.

Yuni yang baru saja keluar dari dapur langsung tergopoh menghampiri Agus yang masih meracau tak jelas.

"Papa kenapa?" tanya Yuni khawatir.

Agus memegang kedua pipi Yuni. "Saya masih menyukaimu seperti dulu," ucapnya dengan napas tak beraturan.

"Mengapa hidup kita terlalu runyam?" tanyanya putus asa, setelah itu mengecup bibir ranum Yuni pelan.

Ceres dan Misis mendengar dan melihat semuanya, hati mereka ikut teriris.

"Mengapa kita tak bisa sebahagia mereka?" Agus lagi-lagi meracau tentang kehidupan yang ia jalani.

Yuni melepaskan tangan Agus yang berada di pipinya, menggenggam tangannya erat-erat seolah menyalurkan kekuatan untuk tetap bertahan. "Agus," panggil Yuni dengan lembut.

"Saya janji, akan selalu ada di sisi kamu." Yuni melepaskan genggaman mereka, lalu memeluk suaminya erat, Yuni melanjutkan kalimatnya, "dengan cara yang berbeda. Tidak seperti saat ini. Karena, aku sudah terlalu lelah untuk bertahan bersamamu."

***

Misis dan Ceres terpaksa harus bolos hari ini, mereka berdua mendapatkan tugas mulia untuk merawat kedua orang tuanya.

Sudah tua, tetapi sok minum-minuman beralkohol membuat Agus teler di atas sofa. Tak ada yang mampu memapahnya ke lantai atas. Bahkan sudah jam 9 pagi, Agus masih belum sadarkan diri.

Ceres dan Misis beralih menatap Yuni yang keluar-masuk kamar mandi sembari menutup mulutnya, menahan muntahan yang hendak keluar.

"Ceres, tolong beliin tolak angin. Kayaknya Bunda masuk angin deh," pinta Yuni yang lupa ingatan bahwa dirinya tengah mengandung.

"Bunda udah cek dedek bayi?" tanya Ceres tak menanggapi permintaan bundanya yang tengah linglung.

Yuni menepuk dahinya pelang. "Bunda lupa kalau lagi hamil," ujarnya pelan.

HOEK!!!

Celaka dua belas, Agus dengan santainya memuntahkan isi perutnya di ruang tamu, mengotori baju yang ia pakai, muntahan tersebut merembes ke atas sofa dan dengan mulusnya mengenai lantai ruang tamu.

"Pa--" Ceres ingin menghampiri papanya yang bersiap memuntahkan isi perutnya yang kedua.

HOEK!!!

Seperti gempa susulan, tak berseling lama muntahan itu semakin tersebar luas di daerah ruang tamu.

Yuni meringis menatap naas keadaan perabotannya yang terkena muntahan sang suami. Saat morning sickness saja ia tak pernah separah Agus.

"Res, gua pengen muntah," keluh Misis yang sudah menutup mulutnya menahan rasa mual sekaligus enek.

Seperti penyakit menular, saat melihat orang muntah, entah mengapa tanpa sadar rasa mual datang dan membuat kita ikut-ikutan muntah.

Ceres geleng-geleng kepala, mengapa papanya tak pernah sadar diri akan umurnya yang sudah tak muda lagi.

"Pa, ayo ke kamar mandi. Biar ruang tamunya enggak bau muntahan," ajak Ceres menarik ujung lengan Agus yang masih tak tersentuh oleh cairan menjijikan itu.

"Bunda bisa bantuin Ceres? Ceres enggak kuat kalau sendiri," pinta Ceres lesu.

Yuni menghampiri Ceres dan Agus sembari menutup indera penciumannya, dirinya takut ikut-ikutan mual seperti Misis.

***

Ceres tengah sibuk di dapur membuat sup ayam dengan lauk bakwan goreng, tak lupa sambal yang menjadi menu wajib.

"Res? Masih lama enggak? Laper nih!" teriak Misis yang berada di ruang tamu yang tengah mengepel lantai.

Ceres memasukkan bumbu yang sudah ia haluskan ke dalam panci yang berisi potongan ayam, wortel, kentang, dan buncis. "Bentar lagi supnya mateng," jawab Ceres dengan suara yang tak kalah nyaring.

"Mau Bunda bantu?" tanya Yuni yang baru saja memasuki dapur.

Ceres menggeleng, sambal sudah jadi, bakwan sudah digoreng, dan sup ayam sebentar lagi matang.

"Bunda datangnya telat ya?" tanya Yuni lagi.

"Bunda duduk cantik aja, biar Ceres yang beraksi." Ceres menatap bundanya yang tengah tersenyum lega. Senyuman yang terpancar semakin membuat Ceres ingin bertanya-tanya tentang cowok yang waktu itu datang menemui Misis, mengatakan hal yang tidak-tidak dan membuat dirinya dan Misis hampir menyerah.

"Keadaan papa gimana?" tanya Ceres tak ingin merusak suasana hari ini, setelah kejadian muntahan seperti lava gunung yang terus menjalar di ruang tamu.

"Bentar lagi turun, laper katanya," jawab Yuni seadanya.

Ceres beralih menatap panci sup yang uap airnya telah memancar memenuhi ruangan dapur.

"Tambahin bawang goreng, biar ada gurihnya," titah Yuni yang diangguki oleh Ceres.

"Kapan-kapan kita masak bareng ya," ajak Yuni membuat Ceres mengangguk semangat.

"Udah mateng?" tanya Misis, kepalanya ia longokkan ke dalam dapur seolah-olah mengintip kejadian antara Ceres dan Yuni.

"Wanginya harum." Tak jauh berbeda dengan Misis, Agus ikut melongokkan kepalanya, menghirup aroma sup ayam dalam-dalam.

"Ayo makan," ajak Yuni sudah siap dengan centong nasi dan piring yang berada di genggamannya.

"Bunda udah kelaperan tuh," ledek Misis.

"Bunda makan yang banyak ya, kan sekarang porsinya harus dua. Biar dedeknya kedape--" Kalimat Ceres menggantung di udara.

Netranya melirik cemas ke arah Agus yang ikut menatap dirinya bingung. Tatapannya seolah-olah meminta penjelasan tentang kalimatnya yang belum terselesaikan.

Misis menghela napasnya berat, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga atau sepintar-pintarnya bau bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga. Kedua peribahas itu pantas menggambarkan kejadian saat ini.

Mulut mereka masing-masing terkatup rapat, bingung ingin mengucapkan apa, karena mereka takut salah langkah.

"Kita bahasnya habis makan aja ya? Bunda udah lapar," ujar Yuni mencoba mencairkan suasana tegang yang tercipta.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro