-05-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Keluhan, makian, serta kepasrahan menjadi tamu dadakan ketika Mia dan Dikta menghela napas panjang setelah pak Tomo pamit undur diri dan menyisakan oleh-oleh untuk dikerjakan. Akan tetapi, berbeda dengan seorang gadis yang malah terlihat biasa-biasa saja. Tak ada sepatah kata keluar dari bibir setelah kelas selesai.

Tangan lentik gadis itu meraih ponsel di dalam tas, menekan ikon kamera dan mengarahkan benda pipih tersebut ke hadapan wajah hingga menampakkan wajah gembul Anila.

"Rajin bener, udah pengen ngerjain aja." Mia terkekeh di ujung kalimat sembari membereskan buku serta alat tulisnya, lantas dimasukkan ke dalam tas secara asal.

"Harus pintar bagi waktu. Hari ini gue mau ngejalanin misi," jelas Anila, tangannya sibuk memperbaiki poni sebelum merekam video.

Dikta yang duduk tepat di depan meja Mia kontan berbalik ke arah gadis itu. "Udah gue bilang jangan dilanjutin, kok, ngeyel?"

"Udah gue bilang gue gak bakalan berhenti, kok, maksa?" balasnya mengikuti cara bicara sahabat cowoknya.

Karena tetap pada pendirian, akhirnya Dikta hanya bisa menghela napas kasar, kemudian pamit undur diri. Cowok itu sedang memutar otak bagaimana cara agar Anila tidak mendekati Jendra. Dia tahu betul cowok berwatak tak peduli dan sedikit kasar yang selalu dijumpai di rumah sangat tidak menyukai hal seperti ini. Salah satu jalan hanya berbicara pada kakak tirinya meski terpaksa.

"Omnibus law atau sering kita dengar sebagai undang-undang sapu jagat. Dengungan tak setuju dari para buruh menggema di nusantara. Saya Anila Reiva me—"

"Nil, pertimbangin lagi. Orang ya—"

"Ya ampun, Mia! Gue lagi ngerekam tugas." Anila menatap murka ke arah Mia, tidak habis pikir akan tingkah gadis berkacamata di sebelahnya.

Tanpa rasa berdosa sedikit pun Mia menampilkan cengiran lebar. Jujur, dia engaja mengulur waktu agar sahabatnya tidak melakukan kegiatan bodoh dari komunitas tak bermutu, seperti GDC.

Entah mengapa dia memiliki firasat buruk jika misi terselubung tersebut tetap dijalankan. Sejak kemarin gelisah, mungkin karena dia tahu semua anggota GDC menentang kehadiran Anila. Kemungkinan untuk menang dalam tantangan memang belum dipastikan, tetapi setelah melihat target cukup mampu membuat hati dan semangat patah tanpa bisa utuh dengan baik, pesimis pun tak dapat dielakkan.

"Sekali lagi, Nil. Dengerin gue, mungkin lo emang gak pernah dengar desas desus kecuekan, kekasaran senior kita yang satu itu. Tapi, percaya sama gue."

Anila tertawa kecil. "Gue udah tiga kali ketemu sama dia, ya emang orangnya cuek, kalau ngomong juga agak kasar. Tapi, menurut gue fine-fine aja, kok." Seulas senyum mengembang hingga sudut bibir gadis itu tertarik dari ujung ke ujung. "Tenang, percaya sama gue. Mereka gak tau sedang berurusan sama siapa."

"Tapi, lo gak tau sedang berurusan sama siapa. Bukan cuma sama GDC, tapi sama Kak Jendra juga."

"Kalau bukan lo dan Dikta yang dukung gue, terus siapa?" Anila menatap sendu lantai marmer di bawah sana. Keinginan yang sempat berapi-api perlahan meredup.

Melanjutkan adalah sebuah ketakutan, tetapi menyerah lebih miris lagi. Harga diri menjadi tanggungan. Ada keinginan yang terus membara hingga membuatnya terus berjalan.

Tanpa diduga-duga, Mia meraih tubuh sahabatnya, mendekap erat gadis itu. Bersyukur karena memiliki teman dekat seperti Anila, keteguhan tak dibiarkan luntur meski kondisi tak mendukung. Benar, jika bukan dirinya dan Dikta yang menjadi tim sorak sahabatnya, siapa lagi?

"Jangan takut buat nyerah. Perlu lo tau kalau nyerah bukan tanda kelemahan. Ada saatnya menyerah menjadi sebuah penghargaan untuk diri sendiri." Setelah berujar demikian sembari menepuk-nepuk punggung cewek bermata bulat dalam pelukannya, dia beranjak dari ruangan.

Gadis berponi yang kini tinggal sendiri di dalam kelas mengerjap bersamaan rasa hangat yang menjalar ke hati. Dalam hitungan detik matanya berkaca-kaca. Kalimat Mia tadi sukses membuatnya terharu. Sahabatnya mungkin melarang, tetapi mereka tak pernah menjadi penghalang. Andai tidak ada mereka, lantas seperti apa tipe sahabat yang akan menemaninya sampai detik ini?

Satu hal yang membuatnya penasaran sekarang, apakah Dikta ikut kelas gosip? Kenapa cowok itu sangat melarangnya dengan dalih yang sama seperti Mia?

***

Jendra berjalan bersisian menuju taman belakang kampus bersama dua orang temannya, Adnan dan Darash. Sore hari tak mereka pedulikan jika bersua bersama game online. Tidak ada yang bisa mengalihkan fokus tiga serangkai itu saat mata dan tangan sudah tertancap penuh ke layar gawai.

"Buset, udah gue bilangin lo ke situ, malah ke sono," omel cowok berambut gondrong bernama Darash.

Tak mau disalahkan, cowok berambut cepak bernama Adnan melontarkan pembelaan. "Enak aja nyalahin gue, HP lo nge-leg aja kerjanya, kayak bajaj!"

Kalimat demi kalimat saling menyalahkan semakin memberondong satu sama lain, membuat suasana taman menjadi ramai meski hanya ada dua orang yang bersuara. Jendra menginjak cepat kedua kaki sahabatnya, jengkel karena tak bisa mengkhayati permainan.

"Asem! Sakit, woy!" teriak Darash tepat di sebelah telinga Adnan. Dia tidak mungkin meneriaki telinga Jendra, yang ada hantaman tangan sedikit kurus cowok itu akan melayang mengenainya.

Adnan mendelik seraya menarik cambang cowok berperawakan kurus kritis tanpa daging di sebelahnya. "Njay! Sakit. Kalau gak bisa balas dendam sama orangnya langsung, jangan ke gue, bego!"

Tak peduli, seorang yang paling cuek di antara mereka semakin mempercepat derap kaki, ingin segera duduk nyaman di bawah pohon, menikmati dan melihat matahari terbenam dari sini, dari balik tembok pembatas kampus. Walaupun banyak tempat indah untuk menikmati rona merah menjelang malam hari, tetap saja Jendra lebih menyukai taman belakang tempatnya melanjutkan pendidikan.

Jika ditanya mengapa, cowok itu cuman menaikkan bahu, tidak tahu. Bagi cowok berpostur tubuh tegap tersebut berpendapat bahwa menyukai tak membutuhkan alasan, seperti dia yang lebih senang menghabiskan waktu di sini. Mungkin karena sepi, meskipun terbilang cukup bersih dan terawat.

Jendra menggeram saat ponselnya berdering, menandakan panggilan masuk. Alhasil, gimnya tertunda padahal lagi seru-serunya. Kejengkelan semakin menguar ketika melihat nama 'Big Boss' pada layar gawai. Dia mendengkus, tetapi tetap menjawab panggilan masuk.

"Ndra, Ayah harap kamu mau pulang. Kita bicarakan semuanya baik-baik."

Begitu alinea yang tertangkap oleh indera pendengarannya. Dia terdiam beberapa saat sebelum bersuara. Dia mengusap wajah sedikit kasar.

"Hmmm." Sebagai jawaban dia hanya berdeham, tidak ingin bersuara, takut jika nantinya dia malah kelepasan dan kembali melukai hati sang ayah.

Kalau kalian berpikir Jendra terkesan biasa-biasa saja menanggapi semua emosi ayahnya, maka kalian keliru karena cowok itu selalu memikirkan tiap perkataan dan perbuatan yang telah membuat keluarganya sedikit berantakan.

"So-sori, ini ma-masih gue kerjain, kok!"

"Telat! Gue udah bilang sebelum jam dua tugas gue harus kelar!" Suara bentakan menggema di setiap sudut taman.

Adnan dan Darash kontan mencari sumber suara, lain hal dengan Jendra, tidak peduli dan kembali melanjutkan permainan yang sempat tertunda setelah mengakhiri panggilan. Mereka sudah tak asing lagi mendengar suara itu. Gadis anggun nan memesona, tetapi tak dilengkapi keindahan hati.

Keduanya berdecak bersamaan kala manik mereka mendapati Magnolia sedang melempar tas seorang gadis di depannya ke sembarang arah, kemudian mencoba mengambil laptop si cewek, hendak melemparnya juga. Namun, gadis berambut panjang dengan sorot mata sendu itu menahan mati-matian benda berharga tersebut agar tidak menjadi korban tangan kejam Magnolia.

"Berhenti! Lo ini gak ada kerjaan lain atau gimana, sih? Gangguin orang lain mulu." Kehadiran Anila yang begitu tiba-tiba serta mendorong paksa tubuh Magnolia membuat mereka yang memandang kejadian itu melongo seketika.

Magnolia menggeram jengkel, kedua tangannya sudah mengepal kuat, hendak memukul apa pun. "Lagi-lagi lo ikut campur! Gue peringatin, mending lo mundur dari GDC dan jangan coba-coba jalanin misi buat deketin Kak Jendra."

"Dia target gue kalau lo lupa," balas Anila, terdengar cuek.

Ketiga cowok yang tak jauh dari sana, terkhusus Adnan dan Darash saling melempar pandang ketika mendengar nama Jendra disebut, sedangkan Jendra malah terlihat bodo amat, membiarkan mata yang tengah sibuk menatap layar ponsel itu tenggelam dalam tanda tanya.

Sejujurnya cowok itu tetap penasaran.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro